Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending

DailySocial baru saja mendapat draft rancangan Peraturan OJK untuk Fintech Lending. Dalam draft RPOJK, sementara ini masih dinamai “POJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi”, fokus aturannya hanya mengatur perusahaan fintech yang menjalani bisnis meminjam uang antar personal atau lebih dikenal peer-to-peer lending (P2P lending). Karena pembahasan yang molor, RPOJK ini berpotensi tidak jadi disahkan akhir tahun ini.

Bisnis peminjaman online di luar P2P lending tidak akan diatur OJK. Ada 59 pasal dan terbagi menjadi 12 bab yang termuat dalam draft rancangan POJK ini.

Semua isi dalam draft membahas mulai dari penyelenggara fintech lending, kegiatan usaha, perizinan, pengguna jasa fintech lending, perjanjian, mitigasi risiko, tata kelola sistem teknologi informasi, tanda tangan elektronik, laporan, hingga laporan tata kelola.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan draft judul RPOJK sedang diupayakan untuk menjadi “Layanan Pinjam Meminjam Online Secara Langsung Berbasis Teknologi Informasi”.

“Kita akan menuju ke judul ini agar lebih pas dengan model binis yang akan diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lain, serta tidak melampaui UU OJK,” ucapnya.

Dia melanjutkan, ada kata “langsung” disematkan di antara judul. Hal ini bertujuan untuk memberi identifikasi yang jelas kepada penyelenggara jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung bertindak sebagai marketplace atau fasilitator yang mempertemukan pemberi pinjam (lender) dengan penerima pinjaman (borrower).

Mereka itu sifatnya off balancing sebab penyelenggara tidak mencatatkan penyaluran pembiayaan tersebut ke dalam neraca keuangan untuk dihitung sebagai aset atau kewajibannya. Beda halnya dengan on balancing, di mana sudah lumrah dilakukan oleh perbankan.

“Harus ditambahkan kata “langsung” karena penyelenggara hanya bisa memfasilitasi tidak bisa ikut meminjamkan dana. Sifatnya benar-benar off balancing tidak masuk aset atau kewajiban perusahaan.”

Diberi limitasi agar tidak bertabrakan dengan aturan sebelumnya

Hendrikus mengatakan, dalam proses pembuatan RPOJK ini diusahakan untuk tidak terlalu rigid aturannya, bersifat global, sekaligus tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya. Agar nantinya dalam pengembangan berikutnya tinggal diatur dalam penerbitan Surat Edaran OJK saja.

Ada beberapa aturan acuan yang bakal dikaitkan dengan POJK, diantaranya untuk pencucian uang akan mengikuti pedoman dan prosedur standar terkait penerapan program anti cuci uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT).

Untuk hal yang terkait stabilitas sistem keuangan akan mengacu ke UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), sementara untuk penyalahgunaan data akan mengacu ke UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Selain itu, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan oleh penyelenggara jasa fintech. Seperti tertuang dalam pasal 54, disebutkan penyelenggara tidak bisa bertindak sebagai pemberi pinjaman.

Juga penyelenggara tidak bisa memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain. Caranya dengan menerbitkan surat hutang, sebagai strategi untuk perkuat permodalannya.

“Intinya penyelenggara jasa fintech tidak bisa menggunakan dananya sendiri untuk disalurkan ke publik sebagai pinjaman. Juga, tidak bisa menerbitkan surat berharga apapun untuk memperkuat permodalannya. Kami persempit cakupannya agar tidak bertabrakan dengan multifinance. Jadi untuk perkuat modalnya, caranya hanya satu yakni cari investor baru.”

Usulan modal disetor untuk fintech lending sebesar Rp2,5 miliar

Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial
Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial

Dalam draft Pasal 2 hingga 6, cukup detil menerangkan bagaimana proses penyelenggara fintech lending bisa mendapat lisensi izin penuh dari OJK. Mereka harus berbentuk badan hukum lokal (PT maupun koperasi) yang bisa dikuasai sahamnya maksimal 85% oleh asing.

Adapun sebelum mendapat lisensi, semua penyelenggara (baik existing maupun baru) harus melewati proses pendaftaran dengan memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar. Sebab, pada saat itu pihak OJK akan mengevaluasi model bisnis penyelenggara mulai dari kesiapan bisnis, status direksi, hingga bagaimana melakukan mitigasi risikonya.

Setelah evaluasi selesai, OJK akan mengeluarkan keputusan apakah penyelenggara bisa langsung mengajukan lisensi penuh dengan memenuhi modal disetor jadi Rp2,5 miliar. Bila penyelenggara dinilai OJK belum siap, artinya mereka akan menempuh masa uji coba selama satu tahun untuk belajar bersama dengan OJK untuk pendampingannya.

“Semua penyelenggara fintech yang sudah beroperasi pun harus menempuh proses pendaftaran. Bila bisnis sudah matang, tidak harus menunggu satu tahun, bisa jadi sebulan kemudian [lisensi diberikan]. Untuk yang belum [matang], OJK akan beri coaching, untuk dikawal terus selama satu tahun lamanya.”

Mitigasi yang diwajibkan OJK ada empat cara pengalihan. Hal ini tertuang dalam Pasal 19, melalui mekanisme asuransi kredit, penjaminan kredit, diversifikasi portofolio pinjaman, atau mitigasi risiko sesuai dengan rencana bisnis penyelenggara.

Peranan penyelenggara fintech lending diperluas

Draft juga menyebutkan, peranan penyelenggara fintech lending tidak hanya sekadar fasilitator antara lender dengan borrower saja. Tetapi juga dengan pertukaran data penyelenggara fintech scoring, informasi kredit, sertifikat elektronik, dan fintech pendukung lainnya yang terdaftar di OJK.

Hendrikus mencontohkan, lewat kolaborasi dengan fintech aggregator yang bergerak di bidang pemotretan lokasi dari satelit untuk memeriksa cuaca dan prediksinya di masa mendatang. Fintech lending nantinya akan mendapat rekomendasi yang bisa diberikan ke lender bagaimana cuaca dan iklim bila berinvestasi di sektor perkebunan dan bagaimana kondisi ke depannya.

“Dengan demikian, peran fintech lending bisa lebih luas lagi. Sekilas memang mirip perannya modal ventura (VC) karena memberikan insight ke investor. Tapi ini berbeda, sebab VC masuk akibat adanya intervensi. Beda dengan fintech lending, hanya memberi rekomendasi. Ini adalah value yang tidak bisa diberikan oleh bank,” pungkas dia.