Rekap Hari Pertama Konferensi Music Matters 2012

Widi Asmoro adalah Entertainment Services Manager Nokia Indonesia, yang tahun ini kembali menghadiri konferensi All That Matters di Singapura, mewakili Nokia sebagai salah satu sponsor acara. Tulisan ini pertama kali terbit di blog pribadinya.

Music Matters hari ini dibuka dengan penuh suka cita. Diskusi tahunan pelaku industri musik ini telah memasuki tahun kedelapan semenjak diselenggarakan pertama kalinya di Hongkong. Jasper Donat, Presiden & Co-Founder Branded Ltd, mengungkapkan ada sekitar 1200 partisipan, 175 pembicara dan ada 40 artis atau band yang akan tampil. Pesertanya pun kebanyakan adalah level-level pengambil keputusan di perusahaan dan terutama perusahaan yang bergerak di industri hiburan ataupun pertunjukan.

Music Matters kali ini adalah juga yang kedua diadakan di Singapura. Jasper memberikan momen pembukaan ini kepada Singapore Music Society (SGMUSO) untuk meresmikan terbentuknya komunitas musik Singapura. Graham Perkins, Presiden SGMUSO, naik ke mimbar didampingi oleh Dany Loong, co-founder Timbre dan Aarika Lee, vokalis grup band SIXX untuk mengumumkan berdirinya komunitas ini dan juga memberi selamat kepada Music Matters untuk penyelenggaraan diskusi kelas internasional ini. Saya mencoba menyelinap untuk bertemu Aarika dan bertanya langsung tentang komunitas musik yang dibentuknya ini. Saya rasa Indonesia juga perlu belajar dari mereka dalam membentuk komunitas sejenis untuk sama-sama membangun industri musik dan hiburan tanah air.

Diskusi hari pertama langsung dibikin panas dengan kehadiran manager Lady Gaga, Troy Carter, yang diwawancara one-on-one oleh Michael Schneider, CEO Mobile Roadie. Banyak lontaran pertanyaan seputar penolakan konser di Jakarta dan Manila. Namun yang terpenting dari intervie ini adalah trik Troy dalam membangun artis-artis yang berada dibawah menejemen nya, Atom Factory, seperti Lady Gaga, Greyson Chance dan Mindless Behavior.

Troy mengungkapkan kehadiran label rekaman di saat ini bisa dipandang perlu atau tidak tergantung dari objektif dan ukuran kesuksesan yang mau di dapat sejauh mana. Troy yang juga menghabiskan waktu hampir satu tahun di Sillicon Valley hanya untuk mendapatkan jawaban untuk teknologi apa selanjutnya yang dapat membantu artis-artisnya berkembang.

Pentingnya menjaga fans untuk tetap menyukai seorang artis dapat dibina dengan tetap konsisten menjalani proses-proses pengembangan dari artis itu sendiri. Ia mencontohkan Lady Gaga yang hanya dalam waktu singkat dapat seterkenal sekarang. Padahal baginya Lady Gaga masih dalam tahap pengembangan, bahkan belum mencapai tahap artis yang terbilang matang (established). Cara menjaganya adalah dengan berusaha dekat dengan para penggemarnya dan jujur terhadap seni yang dihasilkannya.

Contoh dari Lady Gaga untuk dekat dengan fans nya adalah dengan menghabiskan waktu lebih lama di kota tempat konser berlangsung untuk memahami apa yang dirasakan para fans nya secara langsung. Jujur dalam seni yang dihasilkannya adalah dengan memanfaatkan teknologi yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Ia menyadari teknologi konser artis hologram sangat memungkinkan sang artis untuk tidak melakukan konser dan datang ke kota pertunjukan secara langsung. Namun bukan pengalaman seperti itu yang saat ini Troy rasakan diperlukan bagi fans Gaga.

Selain Troy Carter, Music Maters hari ini juga hadir mantan gitaris Megadeth yang sudah lama menetap di Jepang, Marty Friedman. Diskusi yang dipandu oleh Ken Ohtake, Presiden Sony Music Publishing Japan, membahas fenomena musik Jepang yang sedang digandrungi juga diseluruh dunia.

Catatan saya, perbedaan kemajuan musik di Jepang dan Korea agak sedikit berbeda. Korea lebih banyak berfokus pada penampilan dari artisnya dan bagaimana peran sebuah music label bukan hanya sebagai produser tetapi juga sebagai artist breeding. Untuk Jepang, banyak orang menyukainya karena faktor musiknya yang sangat aneh dan nyeleneh.

Marty menunjukkan progresi kord C-G-Am-Bm yang umum dilakukan banyak artis di dunia dengan variasi masing-masing, di Jepang progresi ini menjadi sangat panjang dan variatif. Untuk mencapai satu bar misalkan diperlukan banyak  kord-kord tambahan yang akibatnya membuat sang vokalis tidak dapat mengembangkan variasi vokal. Karena akan terdengar sangat riuh jika vokal dan melodi terlau banyak improvisasi. Malahan dengan gaya vokal yang pasrah mengikuti melodi inilah yang kemudian banyak digemari.

Di Jepang, peran produser musik sangat penting dalam membentuk sebuah produk yang matang dan gampang dijual. Kejelian penulis lagu dan komposer menyusun nada-nada hook dan monumenta; di (sebutlah) 15 detik pertama akan sangat menentukan untuk naiknya sales lagu dalam format digital ringtone. Meskipun secara umum market CD di Jepang tidak turun secara signifikan, namun kecendrungan masyarakatn Jepang menggunakan ringtone sebagai identitas diri semakin tumbuh subur.

Selain Jepang, fokus diskusi hari ini ada kepada pasar musik di Cina. Ada dua diskusi panel yang saya ikuti yang menyinggung tentang industri hiburan disana. Yang pertama adalah keynote interview Ralph Simon, CEO Mobilium Advisory Group, dengan John Meglen, President & Co-CEO Concert West/AEG Live.

Sebagai promoter konser dan juga pemilik banyak arena, John melihat pasar Cina sangat potensial. Di sana ia berhasil membangun dua arena yaitu Mercedes-Benz Arena di Shanghai dan Mater Card Center di Beijing. Arena yang dibangun ini bukan hanya untuk pertunjukkan musik namun bisa juga sebagai sarana olah raga seperti basket dan hockey. Yang pasti dengan adanya arena semacam ini, ia melihat akan semakin banyak konten kreatif yang bisa dihasilkan. Misalkan video pertunjukkan, rekaman pertandingan dan banyak hal lainnya. Ia mengistilahkan arena ini sebagai content campus.

Di panel lainnya yang menampilkan pelaku industri hiburan di Cina seperti label musik Beggars, penyedia konten video Kinetic One ataupun juga Baidu, melihat Cina adalah market yang kritis dengan potensi keuntungan yang masih dapat dikembangkan lagi. Peranan pemerintah dalam hal ini Departemen Kebudayaan di Cina sangat penting apalagi dalam hal memberikan restu sebuah pertunjukkan.

Apabila sebuah pertunjukkan tiba-tiba dibatalkan pemerintah dalam 24 jam artinya kelalaian tersebut ada di pihak promotor penyelenggara pertunjukkan. Pemerintah Cina cukup adil memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas dan tentu saja petunjuk ini harus ditaati para promotor pertunjukkan.

Dalam panel “20/20 Visionaries Interview Series” yang dipandu Ted Cohen, Managing Partner TAG Strategic, menampilkan Mike Babel, Head of Global Music Initiatives, Nokia. Mike mengungkapkan peranan strategis Nokia dalam menyediakan platform digital untuk konten hiburan bagi para pengguna ponsel Nokia. Dalam Music Matters tahun ini, Nokia memamerkan Nokia Music yang bisa diakses lewat ponsel seri Asha dan seri Lumia. Kemampuan terdepan untuk discovery musik-musik baru berdasarkan musik yang sering didengar pengguna Nokia Lumia dimanjakan dengan adanya Mix Radio.

Pengguna disodori lagu-lagu yang masih selaras dengan lagu-lagu yang pernah dia putar. Atau bahkan pengguna dapat menjelajah lagu-lagu baru dari pilihan-pilihan radio yang telah tersedia. Layanan discovery music ini dapat digunakan secara gratis tanpa perlu membayar, namun untuk memiliki lagu dan mendownloadnya dibutuhkan metode pembayaran.

Usai Music Matters hari ini para peserta diboyong ke Clarke Quay untuk ajang networking yang lebih erat sambil menyaksikan panggung Music Matters Live. Band Indonesia yang tampil malam ini adalah The Aftermiles yang akan sepanggung bersama Ubiquitous Synergy Seeker (USS) asal Kanada. Jangan lupa, besok kita akan menyaksikan Indah Dewi Pertiwi yang tak hanya tampil melainkan ikut bicara soal artist dan brand. Kita lihat saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published.