Renault F1

Renault Terapkan Latihan Driver Formula 1 Sungguhan untuk Atlet Esports

Kedekatan antara esports balap mobil dengan dunia balap mobil sungguhan (motorsports) adalah hal yang sudah cukup banyak diakui para pelaku industri. Dibandingkan dengan cabang-cabang esports lain, esports balap mobil memang tergolong sangat mirip dengan aktivitas nyatanya. Asosiasi balap mobil FIA juga mengakui bahwa esports telah menciptakan jembatan yang membuat dunia balap mobil lebih aksesibel terhadap para calon atlet, dan bukan hal aneh bila di masa depan atlet motorsports datang dari dunia esports.

Organisasi-organisasi balap ternama pun saat ini sudah cukup banyak yang memiliki divisi esports. Contohnya Mercedes di dunia F1, atau tim-tim NASCAR yang beberapa waktu lalu bertanding di eNASCAR Heat Pro League. Renault termasuk salah satunya, dan beberapa waktu lalu Reuters melaporkan seperti apa cara organisasi ini melatih dan mengembangkan talenta para driver virtual mereka.

Rupanya, Renault menerapkan sejumlah metode yang serupa dalam pelatihan driver F1 sungguhan dan virtual. Terutama di bidang kebugaran fisik, karena hal tersebut cukup penting baik bagi kedua jenis driver.

Renault Esports
Jan Opmeer dan Max Fewtrell, para driver virtual Renault | Sumber: John SIbley/Reuters

Memang tuntutan fisik atlet esports punya perbedaan dengan atlet F1. Contohnya, atlet esports tidak perlu melakukan latihan kekuatan leher untuk menahan g-force. Mereka juga tidak perlu menyesuaikan diri terhadap suhu ekstrem atau masalah dehidrasi. Namun ada kesamaan yaitu keduanya sama-sama harus menunjukkan performa terbaik dalam kondisi penuh tekanan.

“Latihan fisik di esports lebih ke arah menjaga kesehatan, menjaga tubuh tetap fleksibel karena jelas bahwa duduk di simulator untuk waktu lama akan membuat tubuh Anda kaku. Anda ingin menjaga fleksibilitas sebanyak mungkin untuk reaksi dan koordinasi cepat. Di motorsports dunia nyata Anda ingin berlatih agar siap menghadapi g-force, dan hawa panas,” demikian papar Jarno Opmeer, seorang atlet esports di tim Renault Sport Team Vitality.

Salah satu contoh, dalam latihannya driver F1 dan esports di Renault sama-sama menggunakan alat yang disebut “Batak”. Alat ini dapat melatih daya penglihatan, reaksi, serta koordinasi mata dan tangan. Selain itu nutrisi para atlet esports juga dijaga, detak jantung mereka diawasi, bahkan jam tidur pun diatur.

“Semua ini setimpal dan memang memiliki dampak. Jika mereka bisa merasa lebih fokus dan menghadiri event sedikit lebih percaya diri, itu pada akhirnya akan memberikan dampak yang lebih besar,” papar David Thompson, Head of Human Performance di Renault Sport, “Ada banyak hubungan dan persilangan yang kami coba bawa di antara kedua sisi (esports dan motorsports). Hal ini juga direspons dengan baik oleh orang-orang.”

Selain metode latihan, Renault juga memanfaatkan sumber daya lain dari divisi F1 untuk esports, misalnya dalam hal analisis data. Hasil telemetri dari game yang dipertandingkan dalam esports dianalisis oleh tim IT Renault, menggunakan sistem yang sama dengan analisis pertandingan grand prix. Dari analisis tersebut tim engineer kemudian bisa membuat rekomendasi, misalnya perubahan gas atau rem seperti apa yang tepat, serta pengaturan variabel-variabel lainnya.

“Dari perspektif IT musim ini merupakan musim pembelajaran bagi kami. Tapi memasuki 2020, kami ingin para insinyur kami memperlakukan setiap ajang esports seperti ajang balap sungguhan,” kata Ben Hampshire, F1 IT Manager di Renault, “Ini menunjukkan keseriusan Renault dalam bidang esports… dengan keuntungan yang nyata, tidak hanya untuk esports tapi juga untuk program F1 sungguhan kami.”

Renault menyadari bahwa mereka tak sendirian dalam upaya ini. Justru menurut Hampshire, setidaknya tiga tim teratas F1 juga melakukan hal serupa. Memang beberapa waktu lalu Mercedes sempat dikabarkan juga melakukan analisis data untuk performa esports. Apakah pendekatan tersebut bisa membuat performa Renault meningkat di tahun 2020. Rasanya mungkin saja, tapi hanya waktu yang akan menjawabnya.

Sumber: Reuters