Sejarah Panjang Dota 2 dan The International: Berawal dari Mod Sampai Jadi Langganan Rekor Hadiah Turnamen Esports Terbesar Dunia

Di Indonesia, skena esports dari Dota 2 mungkin sudah dianggap hidup segan mati tak mau. Pasalnya, di Tanah Air, game esports yang populer memang mobile game. Karena itu, jangan heran jika tidak banyak organisasi esports yang punya tim Dota 2 atau game PC lainnya saat ini. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Dota 2 tetap merupakan salah satu game esports yang sukses di dunia. Buktinya, The International selalu memecahkan rekor jumlah hadiah terbesar di dunia setiap tahunnya. Tak hanya itu, walau diluncurkan resmi delapan tahun lalu, Dota 2 tetap punya pemain aktif bulanan hingga ratusan ribu orang.

Berikut sejarah mengenai Dota 2 dan bagaimana The International bisa menjadi turnamen global yang diadakan setiap tahun.

Sejarah Dota 2

Semua berawal dari Aeon of Strife, yang dianggap sebagai “game” MOBA pertama. Aeon of Strife merupakan mod buatan fans untuk StarCraft: Brood War. Mod itu menjadi sangat populer sehingga Blizzard pun memasukkannya ke Warcraft 3. Pengalaman bermain Aeon of Strife memang tidak persis sama dengan game-game MOBA yang ada saat ini. Namun, game tersebut tetap punya gameplay dasar yang sama seperti kebanyakan MOBA. Misalnya, tujuan pemain dalam Aeon of Strife tetaplah menghancurkan markas musuh. Selain itu, peta dalam game itu juga punya tiga lini, sama seperti peta dalam game MOBA lainnya. Hanya saja, di Aeon of Strife, satu tim berisi empat orang dan bukannya lima orang. Selain itu, musuh yang harus dihadapi oleh para pemain adalah AI dan bukannya pemain lain, seperti yang disebutkan oleh RedBull.

Aeon of Strife dianggap sebagai game MOBA pertama. | Sumber: Hive Workship

Jika Aeon of Strife menjadi cikal bakal dari genre MOBA, Defense of the Ancients (DotA) merupakan awal dari Dota 2. Sama seperti Aeon of Strife, DotA juga merupakan mod. DotA dibuat modder Kyle “Eul” Sommer untuk Warcraft 3. Mod DotA sudah sangat mirip dengan game Dota 2 yang ada sekarang. Di DotA, lima pemain akan melawan lima pemain lainnya. Tim yang menang adalah tim yang bisa menghancurkan markas musuh lebih dulu. Walau mod DotA populer, Eul memutuskan untuk meninggalkannya. Dia justru mencoba untuk membuat sekuel dari DotA. Namun, proyek tersebut gagal. Pada akhirnya, Eul akan menyerahkan kepemilikannya atas DotA pada Valve.

Kesuksesan mod DotA menginspirasi banyak orang untuk membuat game serupa. Dari semua game yang muncul, hanya DotA: Allstars yang sukses. DotA: Allstars juga dibuat oleh seorang modder, yaitu Steve “Guinsoo” Feak. Nantinya, game inilah yang menjadi dasar dari Dota 2 yang kita kenal sekarang. Faktanya, Allstars juga sering dianggap sebagai DotA orisinal. Alasannya, game itu tidak hanya menjadi dasar dari Dota 2, tapi juga digunakan dalam pertandingan profesional.

Setelah sukses dengan Allstars, Guinsoo dan Steve “Pendragon” Mescon — yang membuat pusat komunitas DotA — memutuskan untuk masuk ke Riot Games dan membantu mereka mengembangkan League of Legends. Mereka meninggalkan DotA: Allstars di tangan IceFrog. Dalam sejarah Dota 2, IceFrog punya peran penting. Memang, dia tidak membuat Allstars dari nol atau merombak game tersebut, tapi, dialah yang membuat konten baru untuk Allstars setelah Guinsoo dan Mescon pergi. Tak hanya itu, dia juga memastikan bahwa gameplay Allstars tetap seimbang dan tidak ada karakter yang terlalu overpowered.

Saat itu, kesuksesan DotA murni berkat fans. Game tersebut dibuat oleh fans dan menjadi besar karena fans. Namun, keadaan berubah ketika League of Legends diluncurkan pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Peluncuran kedua game itu menunjukkan bahwa genre MOBA punya potensi besar. Jika DotA ingin tetap eksis dan bisa bersaing dengan game-game MOBA lainnya, game itu memerlukan bantuan dari perusahaan game besar.

Perusahaan itu adalah Valve.

Valve menggandeng IceFrog untuk membuat Dota 2.

Pada 2009, IceFrog bergabung dengan Valve untuk membuat sebuah game. Ketika itu, semua orang tahu bahwa Valve menggandeng IceFrog untuk membuat game MOBA. Namun, Valve beru mengungkap bahwa game MOBA yang mereka kembangkan adalah Dota 2 pada 2010. Satu tahun kemudian, pada 2011, Valve merilis versi beta dari Dota 2. Sebelum itu, mereka juga memberikan akses pada beberapa media. Versi beta dari Dota 2 mendapatkan sambutan positif dari para beta testers.

Masalah muncul ketika Valve mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark pada 2012. Keputusan itu menjadi awal dari pertarungan legal Valve dengan Blizzard dalam beberapa bulan ke depan. Blizzard memang tidak mencoba untuk mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark. Namun, menurut mereka, DotA, Dota: DOTA, dan Defense of the Ancients merupakan bagian dari Warcraft.  Blizzard beragumen, kata DOTA selalu diasosiasikan dengan Warcraft. Mereka juga menyebutkan, sebagai mod dari Warcraft 3, DOTA dibuat berdasarkan mekanisme pada game buatan Blizzard tersebut. Tak hanya itu, karakter dalam DOTA juga merupakan karakter di Warcraft 3, dengan tampilan desain yang sama, menurut laporan PC GAMER.

Walau membutuhkan beberapa bulan, pertarungan legal antara Valve dan Blizzard akhirnya bisa diselesaikan. Keduanya memutuskan bahwa mereka sama-sama bisa menggunakan varian dari nama “Defense of the Ancients” sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Valve akan menggunakan nama Dota untuk produk komersil mereka, termasuk game Dota 2 yang sedang mereka kembangkan. Sementara itu, ketika Blizzard menggunakan kata Dota, nama itu mengacu pada peta yang pemain buat untuk Warcraft 3 dan Starcraft 2, lapor Gamasutra. Setelah masalah itu selesai, proses pengembangan game Dota 2 berjalan dengan lancar.

Lahirnya The International: Berawal Sebagai Alat Marketing

Valve menggelar The International pertama pada 2011, bersamaan dengan Gamescom. Menariknya, ketika itu, Dota 2 belum resmi diluncurkan dan masih dalam tahap beta. Jadi, untuk apa Valve mengadakan The International? Sebagai alat marketing. Valve menyediakan total hadiah sebesar US$1,6 juta, menjadikan TI sebagai turnamen esports dengan hadiah terbesar pada masanya. Dengan  ini, Valve berharap mereka bisa mengenalkan Dota 2 ke masyarakat luas.

Dalam TI pertama, ada delapan tim yang diundang untuk ikut serta. Pertandingan TI pertama bisa ditonton secara langsung oleh orang-orang yang menghadiri Gamescom, yang digelar di Cologne, Jerman. Selain itu, Valve juga menyiarkan pertandingan TI agar bisa ditonton oleh seluruh gamers di dunia. Keputusan Valve untuk menjadikan TI sebagai alat marketing berbuah manis. Berkat TI, ribuan gamers menjadi tahu akan Dota 2 dan ingin segera mencoba game tersebut.

NaVi jadi juara The International pertama. | Sumber: Navi.gg

Dalam beberapa bulan ke depan, Valve juga terus menyebar undangan bagi gamers untuk menguji versi beta dari Dota 2. Seiring dengan bertambahnya pemain Dota 2, skena esports dari game itu pun mulai terbentuk. Sama seperti dengan Dota 2 yang berawal dari mod, ekosistem esports Dota 2 juga diprakarsi oleh para fans. Karena itu, pada awalnya, turnamen Dota 2 yang muncul hanyalah turnamen skala kecil. Kebanyakan turnamen itu menawarkan total hadiah kurang dari US$25 ribu. Meskipun begitu, ekosistem grassroot itulah yang menjadi awal dari ekosistem esports Dota 2 yang kita kenal sekarang.

Pada 2012, Valve kembali menggelar The International. Total hadiah dari TI2 masih sama seperti TI sebelumnya, yaitu US$1,6 juta. Hanya saja, kali ini, TI digelar di Seattle, Amerika Serikat. Saat itu, versi beta Dota 2 sudah dibuka untuk umum. Jumlah hero yang bisa dimainkan pun sudah semakin banyak. Alhasil, komunitas Dota 2 terus tumbuh.

Valve meluncurkan Dota 2 di Steam pada Juli 2013. Hal ini membuat jumlah pemain Dota 2 meroket. Pada Juni 2013, jumlah pemain rata-rata Dota 2 hanya mencapai 210 ribu orang. Angka ini naik menjadi 237 ribu orang pada Juli 2013 dan menjadi 330,7 ribu orang pada Agustus 2013. Di tahun ini, Valve juga mulai melakukan crowdfunding untuk menaikkan total hadiah dari The Internationnal. Taktik Valve sukses. Total hadiah dari The International 2013 mencapai US$2,8 juta, US$1,2 juta lebih banyak dari dua turnamen sebelumnya.

Sejak sukses dengan crowdfunding di TI3, Valve terus menggalang dana dari fans Dota 2 untuk menambah total hadiah dari TI. Alhasil, dari tahun ke tahun, total hadiah dari TI selalu naik. Tahun lalu, seorang pangeran Arab bahkan membeli battle pass untuk The International 10 — yang ditunda karena pandemi COVID-19 — seharga Rp588 juta. Sejauh ini, total hadiah dari TI10 telah melebihi US$40 juta, mengalahkan rekor tahun lalu. Dan angka ini masih terus naik.

Dari tahun ke tahun, pertumbuhan total hadiah TI memang cukup besar. Pada The International 2014, total hadiah telah menembus US$10 juta. Dua tahun kemudian, pada TI6, total hadiah yang ditawarkan mencapai lebih dari US$20 juta. Dan The International 9 menjadi TI pertama dengan total hadiah lebih dari US$30 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat data tentang total hadiah TI dari tahun ke tahun.

Hadiah The International dari tahun ke tahun. | Sumber data: Esports Earnings

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, terjadi lonjakan besar pada total hadiah The International beberapa kali. Kenaikan total hadiah paling besar terjadi pada The International 9, dengan kenaikan total hadiah hampir mencapai US$8,8 juta. Kenaikan total hadiah pada TI4 dan TI5 juga cukup signifikan. Terus naiknya total hadiah dari The International memang bisa dianggap sebagai tanda bahwa komunitas Dota 2 masih ingin terus mendukung skena esports profesional. Meskipun begitu, total hadiah The International yang sangat besar ini juga menimbulkan masalah sendiri.

Setelah membahas tentang jumlah hadiah dari The International, mari bicara soal tim-tim yang pernah memenangkan kompetisi bergengsi tersebut. Sejak The International digelar pada 2011, hanya ada satu tim yang berhasil menjadi juara dua kali, yaitu tim OG. Tim asal Eropa tersebut berhasil memenangkan TI8 dan TI9.  Menariknya, ketika memenangkan TI selama dua tahun berturut-turut, tim OG memiliki roster yang sama.

Berikut roster dari tim OG ketika memenangkan TI8 dan TI9:

Anathan “ana” Pham
Topias “Topson” Taavitsainen
Sebastien “Ceb” Debs
Jesse “JerAx” Vainikka
Johan “N0tail” Sundstein – kapten

Dan berikut adalah daftar tim yang pernah memenangkan The International:

2011 – Natus Vincere
2012 – Invictus Gaming
2013 – Alliance
2014 – Newbee
2015 – Evil Geniuses
2016 – Wings Gaming
2017 – Team Liquid
2018 – OG
2019 – OG

Total hadiah bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk mengetahui sukses atau tidaknya sebuah turnamen. Dua faktor lain yang bisa menjadi pertimbangan adalah jumlah penonton rata-rata dan hours watched. Menurut data dari Esports Charts, baik jumlah penonton rata-rata maupun hours watched dari The International menunjukkan tren naik dalam empat tahun terakhir. Pada The International 7, jumlah penonton rata-rata hanya mencapai 418 ribu orang. Angka ini naik menjadi 537,7 ribu orang pada TI8 dan menjadi 738,9 ribu orang pada TI9. Sementara dari segi hours watched, total hours watched dari The International 7 hanya mencapai 44,3 juta jam. Pada TI8, total hours watched mencapai 63,9 juta jam dan pada TI9, angka itu naik menjadi 88,4 juta jam.

Jumlah hours watched dari TI7 sampai TI9. | Sumber: Esports Charts
Jumlah peak viewers dari TI7 sampai TI9. | Sumber data: Esports Charts

Sayangnya, walau jumlah penonton dari The International menunjukkan tren naik, lain halnya dengan jumlah pemain Dota 2. Sejak diluncurkan pada 2013, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Steam Charts.

Jumlah pemain rata-rata dan peak players Dota 2 dari tahun ke tahun. | Sumber data: Steam Charts

Sejak Juli 2012 sampai Juli 2014, jumlah pemain rata-rata Dota 2 setiap bulannya menunjukkan tren naik. Pada September 2014, jumlah pemain rata-rata sempat turun menjadi 478 ribu orang, sebelum kembali naik menjadi 629 ribu orang pada Februari 2015. Sepanjang sejarah Dota 2, rekor jumlah pemain rata-rata paling banyak adalah 709 ribu orang. Hal ini terjadi pada Februari 2016.

Sejak saat itu, jumlah pemain rata-rata Dota 2 cenderung menurun. Jumlah pemain Dota 2 mencapai titik terendah pada April 2018, dengan total pemain hanya mencapai 430 ribu orang. Namun, jumlah gamers Dota 2 kembali naik sejak Januari 2019, mencapai 476 ribu orang. Pada Februari-Juni 2019, jumlah rata-rata pemain Dota 2 terus ada di atas 500 ribu orang. Angka itu turun menjadi 465 ribu orang pada Juli 2019. Sejak itu, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun.

Jumlah pemain rata-rata Dota 2 sempat kembali memuncak pada April 2020, mencapai 430 ribu orang. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu alasan mengapa jumlah pemain Dota 2 mengalami kenaikan pada kuartal pertama 2020. Sementara itu, sepanjang sejarah, tren jumlah peak players dari Dota 2 juga sama seperti tren dari jumlah pemain rata-rata. Rekor peak players terbanyak tercatat pada Maret 2016. Ketika itu, jumlah peak players mencapai 1,29 juta orang.

Bagaimana dengan Skena Esports Dota 2 di Indonesia?

“Komunitas Dota 2 di Indonesia saat ini memang berbeda jika dibandingkan dengan pada tahun 2014-2017,” kata Yudi Anggi, shoutcaster Dota 2 yang dikenal dengan nama “Justincase”. Namun, dia meyakinkan, perbedaan itu tidak dalam konotasi negatif. “Perbedaannya, dulu, ada banyak turnamen-turnamen Dota 2 lokal. Dan sekarang, hampir tidak ada turnamen lokal yang diadakan,” ujarnya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

“Tapi, dulu, livestreamer dan kreator konten Dota 2 Indonesia tidak seramai sekarang. Jadi, walau berbeda, tapi tidak buruk juga,” ujar Yudi. Dia mengungkap, saat ini, ada banyak pemain profesional yang aktif melakukan siaran, seperti Rusman, inYourDream, dan lain sebagainya. “Sehingga, para penggemar Dota 2 di Indonesia dimanjakan dengan banyaknya konten livestreaming yang tersedia,” katanya. “Dengan begitu, komunitas Dota 2 pun semakin tumbuh dan terawat, sehingga menjadi ramai kembali.”

Yudi “Justincase” Anggi. | Sumber: Facebook

Yudi menjelaskan, Saweria menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak orang yang tertarik untuk melakukan siaran dan membuat konten. Melalui Saweria, para kreator konten atau streamer bisa mendapatkan donasi dari para penonton. “Para donatur benar-benar dermawan dalam memberikan dukungan pada streamer favorit mereka,” kata Yudi. “Dengan begitu, para streamer pun menjadi semangat untuk membuat konten. Pada akhirnya, pihak yang diuntungkan adalah komunitas Dota 2 itu sendiri.”

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, Co-founder Saweria, Natalia menyebutkan bahwa 10 penerima dana dukungan terbesar di Saweria merupakan gamers. Sementara itu, orang dengan pemasukan terbesar di Saweria bisa mendapatkan sekitar Rp44 juta per bulan.

Gary Ongko Putera, pendiri dan CEO BOOM Esports punya perspektif yang berbeda dari Yudi terkait komunitas Dota 2 di Tanah Air. Menurut Gary, komunitas Dota 2 di Indonesia cukup toxic. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk terlau memerhatikan komunitas lokal dari Dota 2. Contoh perilaku toxic yang dimaksud Gary adalah mendukung tim musuh walau ada tim Indonesia yang berlaga di sebuah turnamen esports. Dia menambahkan, “Sudah tipis, tapi masih suka ‘kanibal’, bunuh tim sendiri. Kadang-kadang, mendukung tim negara sendiri juga jadi malas.”

Meskipun begitu, Gary masih optimistis bahwa ekosistem esports Dota 2 di Indonesia akan bisa bertahan. “Masih ada kita sama AG (Army Geniuses-red), jadi harusnya aman. Selama masih ada yang mau ‘invest‘, pasti bisa hidup. Karena, skill pemain-pemain Dota d Indonesia tinggi,” ungkap Gary. “Tinggal dibantu coaching dan dikasih fasilitas serta standar, supaya bisa hidup dari Dota 2.” Dengan begitu, diharapkan, para pemain berbakat masih akan bersedia untuk serius berkarir sebagai pemain profesional.

Soal masa depan ekosistem esports, Yudi setuju dengan Gary. Dia juga merasa, ekosistem esports Dota 2 di masa depan masih cukup menjanjikan. Hanya saja, jika seseorang ingin bisa menjadi pemain Dota 2 profesional, dia harus siap dalam menghadapi semua tantangan yang ada. “Karena turnamen lokal tidak ada, jadi para pemain yang ingin menjadi profesional harus menunjukkan bakatnya langsung ke kancah internasional,” ungkap Yudi. “Tapi, bila mereka berhasil bersaing di Asia Tenggara, akan terbuka banyak sekali jalan untuk suksesnya. Di luar negeri, masih banyak organisasi esports yang mau menaungi mereka.”

Karena itulah, Yudi menyarankan, bagi orang-orang yang ingin menjadi pemain profesional atau manajer tim Dota 2, dia harus bisa berbahasa Inggris. “Karena lapangan kerja sebagai pemain atau manajer Dota 2 lebih banyak terbuka di luar nergeri daripada di dalam negeri,” katanya. “Kalau menjadi caster Dota 2, lebih baik jangan. Nonton saya saja siaran ya,” selorohnya.

Tim Dota 2 BOOM saat menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Gary bercerita, bagi organisasi esports, ketiadaan turnamen lokal juga mempersulit mereka untuk mencari talenta baru. “Lumayan susah,” jawabnya ketika ditanya apakah mencari pemain baru di Indonesia sulit atau tidak. “But, we did well for ourselves. Kita bisa menarik talenta-talenta dari luar Indonesia. Dan reputasi kita lumayan oke secara global, berkat prestasi dari tim Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive kita.”

Gary juga menyebutkan, gaji pokok yang ditawarkan oleh organisasi esports di Indonesia termasuk salah satu yang terbesar. Dan hal ini bisa menjadi daya tarik bagi para gamers yang memang ingin berkarir sebagai pemain Dota 2 profesional. “Jadi, sebenarnya, kalau bisa jadi pemain top, ya pasti menguntungkan. Sejujurnya, di semua game, kalau bisa jadi pemain-pemain terbaik pasti bisa lukratif. Tapi, kalau levelnya standar, ya susah. Karena, sekarang, organisasi esports yang fokus di Dota 2 juga tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan game lain. Apalagi, skill ceiling-nya juga jauh lebih tinggi dari game MOBA lain.”

Sebelum ini, Editor-in-Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, pernah membahas bagaimana passion tak lagi cukup untuk menjajaki dunia esports. Namun, tak bisa dipungkiri, tetap ada orang-orang yang bertahan di dunia esports karena passion. Gary dan Yudi adalah contohnya. Walau punya karir yang berbeda, keduanya memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 karena memang suka dengan game MOBA tersebut. Padahal, di Indonesia, ekosistem mobile esports jauh lebih ramai. Gary mengaku, akan sulit baginya untuk tetap menjalankan BOOM jika dia hanya fokus sepenuhnya pada bisnis.

“Buat saya sih, lebih ke prinsip saja, tanpa Dota 2/CS:GO, nggak akan ada BOOM,” kata Gary, menjelaskan alasannya mengapa dia tetap mempertahankan tim Dota 2. “Karena, saya sukanya memang Dota 2 dan CS:GO. Dan akan susah untuk terus running BOOM kalau passion-nya sudah nggak ada dan jadi pure bisnis.” Dia mengaku, dia memang senang dengan game-game yang kompleks. Dan menurutnya, Dota 2 merupakan game tersusah di dunia. “No offense ke game lain, tapi saya main SMP sudah main Dota. Dan game ini memang kompleks banget. Bisa ada mekanik stacking, pulling creep, support jadi carry, itemization, dan lain-lain. Jadi, mungkin buat orang ‘tua’ yang biasa nonton game kompleks, disuruh nonton game lain, jadi kurang excited gitu.”

Hanya karena Dota 2 memang merupakan game yang disukai, bukan berarti Gary tak mempertimbangkan sisi bisnis. Ketika ditanya apakah mempertahankan tim Dota 2 di BOOM memang menguntungkan dari segi bisnis, Gary menjawab, “Dari segi bisnis, tentunya menguntungkan. Karena kami kan juga bermain di ‘dunia’. Walau, ya tidak sampai untung-untung banget; cukup untuk membayar cost tim sendirilah, kurang lebih.”

Sementara itu, Yudi mengungkap, alasannya untuk setia menjadi shoutcaster dari Dota 2 adalah karena masalah preferensi. “Saya tidak begitu suka mobile game. Jadi, saya tidak bisa maksimal dalam melakukan shoutcasting mobile games,” ujarnya. “Saya harus benar-benar menyukai sebuah game agar bisa memberikan performa terbaik saat siaran. Dengan saya menyukai sebuah game, saya akan antusias untuk menggali informasi, baik tentang game itu maupun esports scene dari game tersebut. Dua hal itu akan menjadi bahan pembicaraan ketika saya melakukan shoutcasting.”

Pada akhirnya, Yudi menutup, apakah seseorang memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 atau banting setir ke mobile esports yang lebih ramai, hal itu bukan masalah. “Kembali lagi ke masing-masing orang. Kalau ada yang bilang, bekerja itu untuk uang, ya… tidak ada salahnya. Dan itu hak mereka untuk memilih,” katanya. “Tapi, bagi saya pribadi, sepertinya berkarir di Dota 2 saja sudah cukup untuk membuat perut kenyang. Walau memang uangnya masih tidak cukup untuk membeli franchise McDonald’s.”

Penutup

Delapan tahun sejak diluncurkan, Dota 2 masih dimainkan oleh ratusan ribu orang. Hal ini membuktikan kesuksesan Valve dalam membuat Dota 2 tetap digemari. Mengembangkan ekosistem esports jadi salah satu cara mereka untuk merealisasikan hal itu. Walau jumlah penonton The International masih kalah dari League of Legends World Championship, jumlah hadiah TI yang besar tak pernah gagal untuk menarik perhatian masyarakat dan media. Sementara itu, di Indonesia, ekosistem esports Dota 2 memang sudah berubah dari beberapa tahun lalu. Kabar buruknya, tidak banyak turnamen Dota 2 yang diselenggarakan. Kabar baiknya, masih ada organisasi esports lokal yang punya tim Dota 2. Karena itulah, para pemain Dota 2 yang ingin menjadi profesional harus langsung siap bertanding di, setidaknya, tingkat regional.