Setiaji: Standardisasi Jadi “Backbone” Keterhubungan Data di Industri Kesehatan

Tahun lalu saat menduduki posisi Staf Ahli Menteri di bidang teknologi kesehatan, Setiaji mendapat amanat dari Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk menangani pandemi dan menyukseskan program vaksinasi Covid-19 dengan teknologi, serta melakukan transformasi digital di industri kesehatan.

Ia dipercaya memimpin sebuah inisiatif besar–dan mungkin dapat dikatakan pertama kalinya di industri kesehatan–melalui Digital Transformation Office (DTO) untuk mengatasi rangkaian permasalahan sistemik di Tanah Air. Berbekal pengalaman kuat terdahulunya di ranah birokrasi dan teknologi, Setiaji mengawali eksekusinya dengan menyusun standardisasi data sebagai tulang punggung dari seluruh ekosistem kesehatan.

“Tentu fokus awal adalah bagaimana membereskan Covid-19 karena tantangannya setiap hari ada sekitar 400-500 orang meninggal. Bagi saya [menjadi Chief DTO] adalah tugas mulia untuk mengurangi tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 dengan melibatkan teknologi,” ungkapnya.

Bagaimana persiapan awal Anda dalam memimpin DTO?

Jawab: Saat itu sistem, cara kerja, dan tim yang ada, belum mendukung. [Eksekusinya] tidak mungkin ditangani oleh tim internal karena ada keterbatasan SDM, kompetensi, skill set, dan pengalaman untuk menangani sistem besar. Visi dan misi sudah ada, tinggal bagaimana mengakselerasinya dengan tim yang lebih efektif dan tepat sasaran untuk tahu root cause-nya.

Saya bawa pengalaman saya ke DTO, menyederhanakan sistem aplikasi dan membentuk tim agar dapat bekerja lebih efektif. Saya sebelumnya sudah memiliki pengalaman–membentuk startup dalam lingkup pemerintahan–yaitu di Jakarta (Head of Jakarta Smart City) dan Jawa Barat (Head of ICT Digital Services). Nah, di level nasional belum ada.

Tim kami kemudian menyusun roadmap, mulai dari arahnya seperti apa dan bagaimana arsitekturnya. Tentu tantangan akan besar sekali karena kami menyusun roadmap sambil menangani Covid-19. Istilahnya ‘kami berlari sambil mengikat tali sepatu’.

Kami set up organisasi, struktur, dan talent. Kalau di daerah, [organisasi] ini menempel dengan Dinas Kominfo sebagai PT, lalu nanti ada tim govtech. Di Kementerian, istilahnya seperti Pusdatin (Pusat Data dan Teknologi Informasi). Kami pikirkan ini karena kalau levelnya direktorat terkait, eksekusi akan lebih lambat meski berada di bawah Kementerian.

Maka itu, kami dudukan posisi Pusdatin sebagai sekretariat yang akan menyokong berbagai keperluan administratif, seperti pajak dan korespondensi, dipimpin oleh Chief Digital Transformation Officer bersama staf ahli.

Setelah struktur organisasi terbentuk, kami rekrut key hire dulu untuk mengisi posisi C-Level, misalnya CTO, COO, dan CPO. Di awal kami rekrut tim inti, tetapi secara bertahap sambil merekrut tim-tim lain. Saat ini DTO ada 150 orang dan targetnya mencapai 260 orang.

Apakah ada perbedaan signifikan saat memimpin DTO dibanding pengalaman sebelumnya di sektor lain?

Jawab: Sebetulnya, [posisi] sekarang justru lebih spesifik dalam mengatasi problem. Di Jakarta Smart City ada layanan smart health yang terkait dengan Dinas Kesehatan. Kemudian, ada pula sistem penanganan Covid-19 yang saya siapkan di Jawa Barat. Jadi, saya tidak terlalu jetlag. Hanya saja, saya harus mempelajari dan memahami istilah kesehatan, misalnya soal pengukuran data dan proses input. Ini sangat complicated, tetapi saya bisa belajar mengenai end-to-end supply chain hingga rekam medis elektronik.

Pada saat pandemi, memang ruang-ruang regulasi bisa dikesampingkan [agar eksekusi penanganan Covid-19 bisa lebih cepat]. Misalnya, penggunaan telekonsultasi, regulasinya belum klop karena pemeriksaan harus dilakukan secara fisik dan butuh KTP. Justru pada penanganan Covid-19, kami menggabungkan beberapa ekosistem dan menghubungkan ke beberapa sektor agar aktivitas tetap berjalan.

Di DTO, saya bisa eksekusi langsung root cause-nya, sedangkan dulu eksekusinya dilakukan oleh dinas-dinas terkait. Contoh, kalau mau buat smart health, tidak bisa kalau belum bereskan root cause. Dalam konteks standardisasi data, tidak bisa ditransformasi jika data tidak sama. Saya beruntung karena bisa melakukan perubahan itu dengan posisi saat ini di level nasional.

Sulit mendisrupsi industri kesehatan karena tidak ada standardisasi data. Apa upaya DTO untuk mengatasi hal itu?

Jawab: Kami dihadapkan pada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Dulu kami pikir, tinggal connect saja supaya data-data ini bisa masuk ke data center. Setelah kami lihat, pelajari, dan eksplorasi dari studi kasus negara lain, ternyata pendekatan awal salah. Kenapa? Masing-masing direktorat bikin aplikasi untuk kejar pelaporan. Para nakes jadi punya beban tinggi karena harus menginput data berkali-kali.

Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada rekam medis elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data masing-masing. Contoh variabel paling sederhana, format jenis kelamin ada yang sebut L/P, ada juga P/W. Nah, “P” ini maksudnya “Pria” atau “Perempuan”?

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Tak hanya rekam medis, kami standardisasi data pada obat-obatan hingga laboratorium. Kami akan keluarkan kamus standardisasi yang harus diacu oleh setiap fasilitas kesehatan. Jadi, begitu berobat ke rumah sakit, data langsung terhubung, ada nomor kesehatan nasional, rekam medis, informasi berobat di rumah sakit mana. Semua data ini terekam tanpa perlu input lagi. Ini menjadi semacam single identifier berisi informasi kesehatan masyarakat. Selain itu, rekam medis elektronik bisa terintegrasi di berbagai aplikasi dan perangkat elektronik, seperti wearable device.

Nakes juga diberikan semacam kodefikasi sehingga ketika ingin memberikan rujukan kepada pasien, prosesnya tidak lagi berjenjang, kelamaan. Dengan sistem yang kami bangun, nakes dapat tahu rekomendasi rujukan ke mana. Ini semua kami harap dapat meningkatkan kualitas kesehatan.

Aturan mengenai rekam medis elektronik sedang [disusun] dan turunannya di Kemenko Polhukam. Karena ini bentuknya Peraturan Menteri, [penyusunannya] harus disinkronisasikan dengan Kemenko Polhukam untuk memastikan aturannya tidak bertabarakan dengan aturan lain, dan dapat menunjang aturan mana saja. Kami harap aturan ini bisa terbit pada Juni ini.

Sejauh mana progress dari transformasi digital ini? Bagaimana pengujian regulatory sandbox untuk healthtech?

Jawab: Kami punya tiga agenda transformasi, yaitu data, aplikasi, dan ekosistem. Tahun lalu kami fokus menyiapkan arsitektur untuk Indonesia Health Services (IHS), sekarang kami sedang beta testing platformnya. Kurang lebih ada 91 institusi mendaftar, mulai dari asuransi, peneliti, klinik, hingga laboratorium.

Targetnya, kami bisa kick off platform IHS pada Juli mendatang. IHS dapat diintegrasikan ke fasilitas kesehatan yang sudah siap, tentunya mereka harus punya sistem dulu. Kalau rumah sakit masih menggunakan rekam medis berbasis kertas, tidak bisa [integrasi]. Kami targetkan integrasi IHS dapat mencapai 8000 fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas, dan klinik.

Sumber: DTO Kementerian Kesehatan

Banyak pemilik fasilitas kesehatan yang bertanya bagaimana proses integrasinya dan apa saja yang perlu disiapkan. Kami sedang edukasi supaya mereka paham standardisasi yang kami buat. Salah satunya, kami menggunakan format HL7 FHIR berbasis API sebagai standar terkini untuk melakukan pertukaran data dan informasi kesehatan.

Terkait regulatory sandbox, [pengujian] awal memang dibuka untuk telemedicine dulu karena kami ingin mulai dari yang paling sederhana. Ke depannya kami akan buka untuk lebih banyak penyakit dan layanan lain

Kami tidak punya pengalaman [membuat] ini sebelumnya karena belum pernah ada regulatory sandbox di industri kesehatan. Kami juga belajar dari negara lain, seperti Singapura dan Inggris, dan terus melakukan diskusi tentang bagaimana melakukan regulatory sandbox. Belum lagi ini bicara UU Perlindungan Data Pribadi. Makanya, pengujiannya harus hati-hati karena ini berkaitan dengan nyawa manusia, tidak bisa salah diagnosis.

Kami mendapat dukungan dari universitas dan para pakar. Untuk starting, kami bekerja sama dengan UGM untuk pengujian [regulatory sandbox] ini. Kami sedang selesaikan uji coba telemedicine pada penyakit Malaria.

Salah satu tantangan yang kami lihat, para inovator yang menyusun proposal [pengujian] menganggap bahwa regulatory sandbox adalah sesuatu untuk mewujudkan ide-idenya. Padahal, kami menguji produk yang sudah jadi dan secara langsung. Piloting di suatu tempat, lalu testing bersama. Di sini kami lakukan edukasi karena ini berbeda dengan accelerator. Kira-kira ada 25 proposal masuk, tapi hanya 20 yang siap uji. Selebihnya baru sekadar konsep atau prototype untuk penanganan Malaria, belum ada alatnya.

Adapun, lisensi [healthtech] akan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Tapi, kami sedang pikirkan siapa yang operate ini. Di OJK, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) yang mengoperasikan regulatory sandbox. Nah, bisa saja yang operasikan regulatory sandbox ini asosiasi healthtech atau asosiasi telemedicine. Kami akan lihat mana yang cocok.

Bagaimana pengembangan PeduliLindungi selanjutnya pasca-pandemi?

Jawab: Nantinya PeduliLindungi tidak hanya untuk Covid-19. Kami mulai dari vaksinasi anak, seperti polio atau campak. Sertifikasinya akan muncul di aplikasi. Nanti juga ada semacam buku kesehatan digital, misalnya bagi ibu dan anak atau pasien diabetes.

Penyakit kan ada banyak, kami akan buat PeduliLindungi lebih personalized sehingga tampilannya dapat disesuaikan dengan status kesehatan setiap pengguna. Ada juga fitur untuk pencegahan sakit. Kami akan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendorong gaya hidup masyarakat lebih sehat. 

Kami sudah siapkan timeline sampai 2022. Secara bertahap, kami akan tambahkan prioritas layanan kesehatannya supaya ini menjadi kebutuhan mereka setiap hari sebagaimana mereka memakai aplikasi PeduliLindungi di masa pandemi.

Bagaimana mengajak ekosistem kesehatan agar onboard dengan transformasi ini?

Jawab: Selama ini developer membuat aplikasi telemedicine sendiri, untuk rumah sakit atau klinik. Jadi mereka punya ekosistem masing-masing sehingga tidak bisa saling bertukar data. Kami mengembangkan platform, seperti halnya operating system (OS), di mana setiap pihak bisa mengembangkan solusi di sini. Maka itu, platform ini akan menjadi roof bagi setiap inovator sehingga lebih inklusif dalam memudahkan ekosistem berinteraksi satu sama lain.

Kami akan kaitkan [transformasi] ini dengan sistem akreditasi. Apabila [fasilitas kesehatan] tidak punya rekam medis elektronik, akreditasinya akan turun. Mirip dengan laboratorium untuk tes Covid-19, jika tidak terhubung dengan PeduliLindungi, bisa ditinggalkan. Fasilitas kesehatan yang terdaftar di sistem IHS akan punya nilai tambah.

Hal-hal ini untuk memastikan ekosistem tumbuh transparan dan saling terhubung. Kami akan dorong proses transisinya selama satu tahun.