Berbicara tentang ekosistem startup cleantech, bisa dibilang ini bukan ekosistem yang baru. Jika merujuk beberapa artikel yang menjelaskan pertama kali istilah ini dimunculkan, setidaknya sudah 2002 tahun (Neal Dikeman). Tetapi, dengam waktu yang selama ini, apakah ekosistemnya se-vibrant segmen startup lain?
Istilah cleantech dan climate tech atau secara sederhana bisa dibedakan dalam cakupan startup yang membuat produk atau menyediakan solusi hijau dan bersih (green and clean) termasuk di dalamnya meningkatkan performa, produktivitas dan atau efisiensi dari produksi sambil mengurangi implikasi negatif atas lingkungan. Sedangkan climate tech adalah solusi berbasis teknologi yang tujuan utamanya adalah perubahan iklim yang adalah mengurangi dampak dan pendorong gas rumah kaca secara global.
Kondisi ekosistem cleantech Indonesia
Data yang diungkapkan oleh New Energy Nexus Indonesia dari laporannya, seperti yang dituliskan oleh DailySocial. Menyebutkan beberapa kondisi di ekosistem cleantech.
Saat dirilis, laporan tersebut menyebutkan hanya ada 300 startup cleantech. Hanya 50 yang disurvei dan 2 diantaranya tutup. Yang menarik. dalam laporan tersebut, 90% lebih memiliki runway (dana) yang tidak ideal untuk startup, yaitu sebagian besar di bawah 1 tahun. Temuan menarik lainnya adalah sebagian besar masih dalam tahap ideation/prototyping atau testing ke pengguna.
Dari laporan tersebut juga bisa dilihat, dari para VC yang sangat aktif memberikan pendaan untuk startup (misalnya adalah EV), hanya berinvestasi pada 1 startup saja saat laporan tesebut diliris.
Salah dua kendala yang diungkapkan pada laporan tersebut menyebutkan bahwa kendala pendanaan jadi faktor utama. Ada pula kendala jumlah yang kurang banyak dari founder yang cakap dalam segmen ini, serta kerangka regulasi jadi faktor juga di ekosistem cleantech.
Tren sustainability
Di sisi lain, saya juga ingin menyoroti tentang tren yang ada akhir-akhir ini terutama di Indonesia. Jargon sustainability makin santer terdengar dalam beberapa tahun ke belakang di ekosistem startup. Salah dua faktornya bisa jadi karena beberapa startup yanng mulai merilis sustainability report, serta VC yang aktif di Indonesia juga merilis topik report yang sama yaitu sustainability report. Atau ada juga yang merilis ‘saudaranya’ yaitu impact report.
Tentang topik sustainability dan topik hijau juga makin santer jadi bahan topik beberapa media di Indonesia – termasuk media nasional – yang mulai punya kanal atau vertikal khusus sendiri. Tidak terkecuali juga DailySocial yang kini punya Solum.id.
Semakin munculnya topik ini juga bisa karena target yang dipasang oleh pemerintah Indonesia: Net Zero Emission pada 2060 sedangkan transisi EBT atau energi terbarukan seacra nasional 23% di 2025 baru tercapai 12.3%.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan multinasional juga sudah mulai cukup ketat untuk menerapkan beragam persyaratan ‘hijau” pada para mitra. Ada pula yang sudah tidak malu-malu lagi mengungkapkan target hijau mereka. Sebut saja Apple, perusahaan paling bernilaui di dunia (Juli 2023 data dari Katadata), yang memberikan porsi cukup besar untuk program hijau mereka.
Mengapa startup cleantech tidak menjamur?
Meski segmen yang berhubungan dengan iklim lebih erat dengan climate tech, tetapi secara garis besar tren penggunaan teknologi untuk solusi ramah lingkungan semakin dibutuhkan, karena bukan hanya tren ekosistem pendanan startup saja, bumi kita memang sedang membutuhkan solusi-solusi berbasis teknologi untuk menjaga agak tetap layak huni.
Lagi pula, ada irisan tipe startup dari cleantech dan climate tech. Masih berdasarkan ulasan Clean Energy Ventures, setidaknya ada Clean Energy, Suuply Chain. Built Environment dan Trasportasion, yang bisa berupa solusi hijau dan bersih tetapi di sisi lain juga bisa berdampak pada iklim atau pengurangan emisi GRK.
Jadi, seharusnya cleantech juga bisa berperan, dus, jumlahnya bisa semakin bertunbuh dan berkembang karena ada permasalahan yang butuh solusi, dan minat VC di sini pun (seharusnya) meningkat.
Apakah minat VC belum bisa beralih dari fintech, SAAS, F&B , transportsasi, agriteh atau bahkan entertainment menuju ke startup di segmen cleantech karena memang tidak ada startup-nya atau adakah alasan lain?
Apakah karena berinvestasi di startup cleantech itu ‘terlalu berat’ dan butuh waktu dan daya tahan (baca: modal) yang tidak sedikit, sehingga ketertarikan VC yang masih malu-malu kucing.
Atau pengaruh lain, seperti misalnya bayang-bayang resesi ekonomi dan behaviour consumer era post covid yang masih membingungkan, yang memberikan pengaruh atas masih rendahnya minat investasi masuk ke startup cleantech?
Atau dibutuhkan perubahan paradigma (tesis) dari para VC agar ekosistem dari iklim pendanaan yang memungkinkan tumbuh suburnya startup cleantech. Karena tesis ‘masuk di round awal keluar di round berikutny’a, menurut saya bukanlah tesis investasi yang cocok di segmen atau ekosistem cleantech. Karena sebagian besar butuh dana tidak sedikit untuk tumbuh atau untuk pengembangan R&D.
Di sisi lain, solusi low tech di bidang hijau – dibeberapa kondisi – malah jadi lebih menarik dan mudah mendapatkan dana, misal program dari NGO atau dana CSR. Atau bahkan dana berupa program dari perusahaan yang membutuhkan target untuk dimasukkan di laporan sustainability mereka.
Saya jadi ingat tulisan saya yang sedikit banyak bisa jadi penutup tulisan ini. Sekaligus jadi saran sederhana untuk membuka diskusi tentang perkembangan ekosistem cleantech ke depannya.
Saran yang bisa saya utarakan adalah serupa dengan saran saya ke ekosistem startup tahun 2011, yang entah kenapa, meski sudah lebih dari 10 tahun, bagi saya masih selalu dan terus relevan: investor (perorangan, VC atau CVC) – akselerator – inkubator – dan juga pemerintah, termasuk juga bank lewat Taksnonomi hijau, harus bantu inovasi yang dikembangkan oleh para startup cleantech agar ekosistemnya bisa tumbuh dan berkembang.