Sekarang, semakin banyak developer yang mengadopsi model Game as a Service (GaaS). Dulu, ketika Anda hendak memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Dengan model GaaS, seorang pemain bisa memainkan game secara gratis. Sebagai gantinya, akan ada microtransaction, memungkinkan pemain untuk membeli item dalam game, baik berupa item powerup atau sekedar kosmetik. Selain itu, ada juga game yang menawarkan season pass untuk para pemainnya.
Developer dan publisher tentunya menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan model GaaS. Karena, game yang menggunakan model GaaS biasanya akan terus mendapatkan update baru, mendorong pemainnya untuk terus bermain, bahkan bertahun-tahun setelah game diluncurkan. Menurut Yoshimasa Nakano, Senior Content Manager, One Esports, penggunaan model GaaS juga bisa membuat jumlah pemain sebuah game terus bertambah. Salah satu contoh game yang sukses menerapkan GaaS untuk menambah pemainnya adalah Rainbow Six Siege buatan Ubisoft. Meskipun begitu, semakin populernya model GaaS membuat persaingan di kalangan developer game menjadi semakin memanas.
Selain developer dan publisher, pihak lain yang bisa diuntungkan dengan game bermodel GaaS adalah pengiklan. “Berbeda dengan game yang diluncurkan untuk konsol, game yang menggunakan sistem langganan bisa mendapatkan update kapan saja, memungkinkan kolaborasi yang lebih fleksibel dengan pihak pengiklan,” kata Nakano, dikutip dari The Drum. “Itu artinya, kesempatan monetisasi menjadi lebih banyak.”
Sejumlah game yang mengadopsi model GaaS juga bisa dimainkan di berbagai platform, mulai dari PC, konsol, sampai mobile. Ini menjadi keuntungan lain yang didapat pengiklan yang ingin bekerja sama dengan kreator game. “Ketika developer membuat game yang bisa dimainkan di berbagai platform, ini membuka kesempatan bagi pengiklan untuk menjangkau berbagai kalangan konsumen melalui game yang sama,” kata Tim Lindley, Chief Experience Officer di Yup.gg, esports marketplace yang bertujuan untuk membantu perusahaan mencari kesempatan marketing di dunia esports.
Belakangan, selain bermain game, semakin banyak orang yang suka menonton konten gaming. Hal ini membuka kesempatan lain bagi sebuah merek untuk beriklan. Goh Hung Wei, Director of Global Social Marketing, Razer mengatakan, jika ingin menyasar gamer, sebuah perusahaan bisa mendekatkan diri dengan komunitas yang memang sudah ada. Hanya saja, dia memperingatkan, jika ingin sukses, perusahaan harus bisa menyesuaikan diri dengan perilaku komunitas gamer. Dia berkata, kunci memenangkan komunitas gamer adalah membuat interaksi yang otentik.
Misalnya, merek snack Pringles sukses masuk ke dunia esports dengan menawarkan kesempatan untuk memenangkan skin Hextech di League of Legends — yang terkenal sulit untuk didapatkan — dengan mengirimkan kode pada kaleng Pringles. Di sini, Pringles berusaha untuk memenangkan hati komunitas gamer dengan memanfaatkan kesukaan gamer untuk mengumpulkan item virtual dan kebiasaan mereka untuk makan cemilan saat bermain game dalam waktu lama.
Sementara bagi perusahaan telekomunikasi seperti Singtel, mereka bisa menjadikan game sebagai tambahan dari produk utama mereka, sama seperti Netflix dan Spotify. Cindy Tan, Head of Marketing, Singtel International Group mengatakan bahwa saat ini, mereka juga tengah mencari cara untuk mengintegrasikan game dalam produk mereka.
“Untuk game kasual, kami ingin bisa memasukkannya dalam beberapa produk dan layanan kami. Saya rasa, sejumlah pemain ecommerce telah melakukan itu dengan melakukan gamifikasi pada aplikasi mereka. Ini bertujuan untuk membuat pengguna membuka aplikasi lebih lama dan lebih sering,” ujar Cindy. Dia menjadikan Lazada dan Shopee sebagai contoh.
Sumber header: The Drum