[Simply Business] Fail Early, Fail Often (Part 3)

Tulisan ini adalah bagian ketiga dari tulisan Dondi Hananto tentang prinsip Fail Early, Fail Often. Anda dapat membaca bagian pertama di sini dan bagian kedua di sini.

Bagian terakhir ini akan membahas tentang Problem-Solution Fit. Ingat, sebelum melangkah memikirkan solusi, Anda harus memvalidasi dulu masalah yang ada, seperti dibahas di bagian kedua. Setelah problemnya jelas, saatnya memvalidasi apakah solusi yang kita tawarkan memang cocok dengan apa yang diharapkan customer. Caranya adalah dengan menawarkan sebuah prototype atau Minimum Viable Product.

Kita mungkin sering terjebak dengan bayangan bahwa sebuah MVP harus berupa alpha version dari sebuah produk. Sebenarnya jauh dari itu. Contoh paling serig dibicarakan di buku Lean Startup adalah Dropbox yang menggunakan video untuk menjaring peminat awal. Video yang kini menjadi legendaris di kalangan startup ini dapat dilihat di sini. Ratusan ribu calon pengguna mendaftar hanya dengan menonton video itu. Bayangkan, sebuah startup memiliki ratusan ribu pengguna bahkan sebelum produknya diluncurkan!

Satu hal yang perlu diingat adalah salah satu quote terkenal Steve Jobs, “It’s not the customers’ job to find out what they want”. Sama seperti kata-kata Henry Ford, “If I had asked what people want, they would’ve said faster horses. Kita memang tetap harus kreatif dengan solusi kita, dan apabila kita benar-benar memahami problem yang dihadapi, solusi kita pun akan semakin tajam

Saat ini sudah terlalu banyak video tentang mockup produk yang diluncurkan. Bahkan perusahaan sekelas Myspace pun melakukannya sebelum meluncurkan New Myspace. Fenomena yang baru saya temukan adalah menciptakan antrian. Sebuah aplikasi baru di iOS, Mailbox, mulai meluncurkan produk mereka beberapa minggu lalu setelah video mereka juga menjadi sensasi dan mendapatkan banyak pendaftar. Aplikasi mereka sudah bisa didownload tetapi belum bisa diaktifkan karena harus menunggu antrian. Alasan mereka cukup valid, untuk mengontrol scaling up dari sisi server. Saat ini saya masih berada di antrian ke 500,000 dan sudah ada 300,000 lagi antrian di belakang saya. Bayangkan, 1 juta download untuk aplikasi yang belum tentu aktif! Ini karena produk mereka memang sangat potensial menjadi solusi untuk masalah pengelolaan email.

Satu lagi aplikasi yang menggunakan metode yang sama adalah Tempo, sebuah aplikasi kalender iOS keluaran SRI (pengembang Siri) yang baru diluncurkan minggu lalu (20 Feb). Belum sefenomenal Mailbox, tetapi saat ini saya juga berada dalam antrian ke 27,000 dengan 9,000 lagi di belakang saya. Efek yang ditimbulkan bukan saja validasi untuk mereka, tetapi juga rasa penasaran dan efek viral di media sosial karena semakin diperbincangkan.

Tips berikut setelah mendapatkan calon-calon early adopters adalah:

Talk to the customer, pivot if necessary, iterate

Saatnya untuk kembali melakukan proses customer interview. Lihat statistik atau tanya kepada para early adopters: kenapa mereka mencoba, apakah hanya dipakai sekali atau dipakai lebih sering? Fitur apa yang mereka paling suka? Fitur apa lagi yang diharapkan, dst dst. Apabila diperlukan, lakukan pivot, dan ulangi terus proses ini

Langkah berikut setelah mendapat Problem-Solution Fit dan Product-Market Fit adalah menjawab pertanyaan:

Are people willing to BUY our product at the right price?

Untuk saya, pertanyaan ini sebisa mungkin dilakukan lebih dini. Bahkan jika memungkinkan, sambil melakukan proses Problem-Solution Fit di atas. Kenapa? Karena di Indonesia belum banyak contoh startup yang berhasil bertahan tanpa revenue terlalu lama. Saya selalu mengistilahkan, perlu cadangan oksigen yang banyak untuk bisa bernapas panjang seperti startup di Silicon Valley. Bahkan sampai 2 tahun lalu twitter masih dipertanyakan revenue-nya. Mereka sudah mendapatkan Problem-Solution Fit dengan ratusan juta users, tetapi belum menemukan Product-Market Fit dengan segmen yang membawa revenue: para pengiklan. Lebih banyak kesulitan mengembangkan model bisnis double-sided ini akan saya tulis di artikel selanjutnya.

Tips terakhir yang saya sangat pelajari adalah:

Measure, measure, measure

Measurement atau pengukuran menjadi salah satu kelemahan pebisnis kita. Sering saya dengar “banyak yang …” tanpa bisa dikuantifikasi: “berapa orang?” atau “berapa persen pengguna?”. Untuk startup di bidang teknologi digital, jauh lebih mudah mengukur apapun yang ingin kita ukur, dibanding bisnis brick-and-mortar. Mengetahui jumlah pengunjung website dan menganalisanya jauh lebih mudah daripada mengukur dan menganalisa jumlah pengunjung sebuah rumah makan. Padahal keduanya sangat penting. Jadi kalau Anda memiliki sebuah startup digital dan belum bersahabat dengan Google Analytics atau alat pengukuran lainnya, you better start yesterday.

Disclaimer: bagi Anda yang sudah pernah membaca buku Lean Startup, serial artikel ini adalah interpretasi saya terhadap isi buku tersebut dan berbagai blog yang membahas cara implementasi konsep Lean Startup. Saya tidak meng-claim bahwa semua ini adalah ide baru dari saya. Penulisan artikel-artikel ini adalah salah satu cara saya untuk memahami lebih dalam tentang konsep ini dan mengimplementasikannya ke bisnis saya sendiri dan mitra-mitra Kinara.

Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter, @dondihananto.

Leave a Reply

Your email address will not be published.