Tidak Hanya di Indonesia, Dunia Internasional Pun Masih Belum Jelas Soal Aturan Pajak Transaksi Online

Di tengah pertumbuhan pesat e-commerce di Indonesia, muncul kabar yang kini ramai dibicarakan, bahkan bisa dibilang meresahkan bagi sebagian orang. Yakni, rencana bahwa bisnis online akan segera dikenai pajak. Tidak hanya di Indonesia, penerapan pajak pada transaksi online di pasar internasional pun masih termasuk hal yang relatif baru.

Di Indonesia sendiri, pemerintah, yang dimotori oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedang menggarap hal ini, dan pada September tahun lalu, mengundang para pelaku e-commerce dalam sebuah seminar sehubungan penyusunan kebijakan pajak untuk sektor e-commerce. Argumennya, mengingat makin tingginya tingkat transaksi online, maka seharusnya diberlakukan pajak yang sama untuk penjualan offline maupun online.

Secara umum, pelaku industri digital di Indonesia banyak yang tidak setuju adanya penerapan pajak untuk transaksi online karena hal ini merupakan upaya yang terburu-buru di Indonesia. Bahkan ada juga pendapat bahwa penerapan pajak ini layaknya seperti mental ‘Pak Ogah’. “Ibarat pak Ogah yang tidak pernah membangun jalan, tetapi selalu menjadi peminta-minta di pengkolan karena merasa itu adalah haknya, itulah persepsi yang saya tangkap dari semangat memajaki industri e-commerce,” ujar Andi S. Boediman, praktisi e-commerce yang sudah cukup lama menggeluti bidang ini.

Terkait hal ini, Kementerian Keuangan  rupanya masih menunggu standar internasional sebelum menerapkan besaran tarif pajak penjualan online. “Harus ada standar internasional dulu, masih gamang soal ini. Jadi standar internasional diberesin dulu tentang ini. Kalau sudah baru kami tentukan pajaknya,” ungkap Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, seperti dikutip oleh MetroT V News..

Standar transaksi ekonomi digital internasional memang diperlukan agar tidak terjadi perebutan wilayah pajak. Seperti contoh yang diuraikan di atas, jika ada transaksi online dari Amerika Serikat di Indonesia, akan terjadi kebingungan untuk penanganan pajaknya.
“Pajaknya dikenakan di Indonesia atau Amerika Serikat atau dikenakan ke pembeli atau penjual. Itu saja sudah panjang. Makanya diselesaikan dulu internasional untuk digital economy,” terangnya.

Pendapat itu memang nyata, karena di tingkat internasional sendiri pun masalah ini masih jadi perdebatan hangat. Mereka masih mencari skema yang paling adil bagi semua negara. Untuk transaksi tradisional (non-internet) pajak dikenakan oleh negara di mana barang atau jasa itu diproduksi, dan di mana barang atau jasa itu diperdagangkan.
Tetapi tentu saja, perdagangan online tidak semudah itu sebab internet tidak mengenal batas wilayah. Bagaimana cara terbaik untuk memajakinya?

“Satuan kerja untuk ekonomi digital, yang sudah memformulasikan hal ini sejak Oktober 2013, akan mendiskusikan lebih jauh tahun depan. OECD akan melaporkan hal ini dan akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan tingkat menteri G20,” demikian keterangan dari Organization for Economic Cooperation and Development yang bertugas untuk menyusun konsep digital ekonomi ini seperti dikutip Forbes.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Kita tunggu saja perkembangannya. Yang jelas, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan di dunia digital indonesia terutama masalah infrastruktur, belum lagi ekosistem yang belum mapan. Diharapkan, tanpa harus menunggu aturan pajak berlaku, pemerintah segera turun tangan berpartisipasi dalam membangun ekosistem dan mematangkan sektor industri ini, juga memberikan dukungan untuk mendorong kemajuan dunia e-commerce atau bisnis digital lainnya di negeri ini.

[Ilustrasi foto: Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.