Agritech menjadi salah satu segmen industri yang penting karena melekat erat dengan Indonesia. Pertanian memakan hampir sepertiga dari penggunaan lahan dan tenaga kerja. Keberadaan teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu industri ini agar punya produktivitas yang baik karena jumlah tenaga kerjanya terus menurun selama dekade terakhir.
Bila tidak, negeri ini harus mengimpor lebih banyak untuk memberi makan dirinya sendiri. Pada 2025, diprediksi populasi Indonesia bertambah 11 juta orang dari posisi saat ini sekitar 270 juta orang.
Mengutip dari laporan yang dirangkum lembaga riset CompassList bertajuk “Indonesia Agritech Report 2020” dirilis pada akhir Maret lalu, saat ini dunia sedang bergulat dengan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Rantai pasokan makanan global menjadi tegang karena semakin banyak negara menutup diri dan menghentikan ekspor pangan.
Sebagian besar bisnis juga ditangguhkan bersamaan dengan masih terus berlanjutnya kehidupan, di tengah upaya menahan penyebaran virus. Kondisi tersebut memperlihatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan –dan pertanian nasional.
Laporan ini memperlihatkan optimisme yang tinggi untuk agritech, walau masih relatif baru di Indonesia. Pendanaan seri A yang diperoleh Chilibeli pada Maret 2020, menjadi salah satu contoh nyata bahwa sektor ini punya jalan cerah di masa mendatang. Chilibeli sendiri baru dirilis kurang dari setahun.
“Praktik pertanian yang lebih efisien dan adil akan membuka jalan bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia, memberi manfaat bagi petani, sumber daya, dan masyarakat. Ini membantu menciptakan sektor pertanian yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.
Butuh lebih banyak inovasi deep-tech
CompassList menerangkan startup agritech yang beroperasi saat ini terbagi menjadi empat jenis. Yakni seputar pembiayaan, e-commerce, edukasi dan pendampingan, dan pengembangan teknologi. Secara berurutan, sekaligus memperlihatkan konsentrasi startup agritech terbanyak.
Investment & Venture Partner UMG Idealab Jefry Pratama menjelaskan, aktivitas menjual komoditas pertanian adalah cara paling sederhana dan paling pasti buat startup agritech dalam memperoleh pendapatan. Dari seluruh startup yang disoroti, mereka memanfaatkan kehadiran e-commerce atau memasarkannya secara offline.
Startup yang bermain di deep tech sejauh ini memanfaatkan AI, analitik data, dan robotika. Belum ada sampai ke deep tech (teknologi baru yang menawarkan kemajuan signifikan atas yang saat ini sedang digunakan), seperti rekayasa genetika.
Startup yang bermain di pengembangan teknologi di antaranya ada Habibi Garden, BIOPS, HARA, dan JALA. Masing-masing punya spesialisasi teknologi dalam pengumpulan data, petani dapat menerjemahkan dengan bahasa sehari-hari dan bisa langsung ambil tindakan.
JALA misalnya, menggunakan serangkaian sensor untuk mendeteksi kualitas air dalam kolam tambak udang, salinitas, dan keasaman terhadap kandungan oksigen. Data dikirim ke media analisis berbasis cloud yang kemudian memberikan saran untuk meningkatkan kualitas air.
Petani udang pada akhirnya bisa mendistribusikan lebih sedikit pakan jika kelebihan pakan karena ini berdampak pada kualitas akhir. Mereka dapat mengurangi pemborosan dan kehilangan udang, meningkatkan hasil panen.
Masih minimnya inovasi deep tech, sebenarnya terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kurangnya ketersediaan talenta, dukungan dari kampus, lembaga riset, korporasi besar. Entitas-entitas ini punya peran penting dalam memikul biaya pengembangan (R&D) untuk sektor tertentu. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya pertama kalinya inovasi ditemukan.
Namun isu tersebut dapat diatasi, seperti yang dilakukan oleh UMG Idealab, incubator dan CVC dari konglomerasi asal Myanmar UMG. Mereka berinvestasi ke PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), startup agritech fokus pada menciptakan sensor, drone, dan aplikasi mobile untuk petani.
Uniknya MSMB didirikan oleh dosen dan mahasiswa dari UGM. Pegawainya terdiri dari mahasiswa, lulusan baru, dan dosen dari kampus lokal di Yogyakarta dan sekitarnya.
Faktor lainnya juga terefleksi dari infrastruktur pendukung seperti logistik dan supply chain. India menjadi pembanding yang kurang lebih sama dengan Indonesia, meski tidak bisa disamaratakan. Keduanya sama-sama adalah negara dengan wilayah yang luas dengan pengembangan infrastruktur masih terlambat di pedesaan.
Keberadaan R&D semakin dibutuhkan
Keberadaan pusat R&D bagi suatu bisnis adalah maha penting, tidak hanya buat agritech saja. Untuk mendorong lebih banyak petani lokal yang bisa meningkatkan hasil taninya dan mengurangi potensi kerugian, maka dibutuhkan lebih banyak produksi benih berkualitas tinggi, mengembangkan alat diagnosis penyakit yang lebih baik, dan perangkat keras baru.
Startup kemungkinan besar belum punya sumber daya besar untuk membuat R&D sendiri, sehingga menjadi hambatan masuk ke “deep biotech” dalam pengembangan benih. Mereka akan memanfaatkan kolaborasi dengan universitas lokal, seperti IPB dan UGM. Kampus dilengkapi dengan keahlian dan fasilitas untuk mengejar perkawinan silang, rekayasa genetika, dan proyek ilmu dasar lainnya.
Sayangnya, di negeri ini masih kekurangan dana untuk bangun R&D. Pada 2018, keseluruhan anggaran litbang adalah Rp25,8 triliun atau 0,2% dari total GDP.
Kondisi ini mendorong setiap stakeholder saling kolaborasi untuk menciptakan varietas benih unggul. Banyak perusahaan multinasional yang didukung secara finansial melalui kolaborasi dengan pemain lokal dan pemerintah pusat, serta dengan anggaran mereka sendiri. Kolaborasi seperti ini dapat mempercepat ditemukannya pengembangan benih yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, seperti varietas yang lebih tahan saat kekeringan.
“Pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan pertanian Indonesia agar lebih tangguh. Kita perlu mendanai R&D di Indonesia,” tambah Co-Founder & Presiden TaniGroup Pamitra Wineka.
Inisiatif percepat logistik kian beragam
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengestimasi sebanyak 120 kg sampai 170 kg makanan per kapita hilang atau terbuang tiap tahunnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Indonesia untuk memperbaiki logistik dan infrastruktur rantai pasokan untuk mencegah hilangnya makanan tersebut.
Statistik dari ADB mengaitkan 25%-45% dari hasil pembusukan ini karena pengepakan yang buruk, sistem pendingin yang tidak memadai, dan waktu pengiriman yang lama.
Di sini perlu peran pemerintah dan swasta untuk mengurangi kerugian pasca panen tersebut. Caranya dengan membangun gudang, tempat pengepakan, tempat pendingin yang dekat dengan lahan pertanian dan perikanan. Kendaraan pengiriman makanan juga harus ditingkatkan melalui kondisi jalan yang lebih baik dan kendaraan yang bisa menyesuaikan suhu.
TaniGroup membuat anak usaha khusus logistik TaniSupply pada September 2019 untuk mengatasi ketimpangan dalam rantai pasokan. Lalu, 8villages bekerja sama dengan perantara pertanian untuk membuat VLOGS, mengumpulkan data tentang penyedia logistik dalam platform untuk bantu petani mencari mitra logistik.
Jika petani kecil dari desa tetangga dapat menyetujui penyedia logistik yang sama, misalnya, mereka dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan secara kolektif meminta tarif pengiriman yang lebih rendah.
Tokopedia juga membuat inisiasi sejenis dengan membuat TokoCabang, gudang pintar yang dapat memprediksi barang mana yang paling laku di kota terdekat. Seluruh pedagang, mikro sekalipun, dapat menempatkan stok mereka di gudang berdasarkan tren pembelian yang sudah diprediksi.
Model ini dapat diadopsi untuk produk pertanian karena petani dan nelayan punya tantangan yang kurang lebih sama dengan pedagang online di Tokopedia.
Menyederhanakan moda transportasi dan rantai pasokan niscaya berdampak pada berkurangnya kerugian pasca-panen. Perlu inisiatif yang gencar dari startup dan pemerintah untuk memperkuat makanan lokal, memungkinkan produk segar semakin mudah terjangkau ke tangan konsumen tanpa ada tengkulak yang mengganggu.