Investor asal negeri Paman Sam, Lead Edge Capital, dalam artikel lawas menuturkan ada empat alasan mengapa mereka menyukai startup SaaS (software-as-a-service) untuk didanai. Alasannya: (1) terdapat anuitas; (2) tingkat churn rendah dan pembaruan yang tinggi, menghasilkan konsumer bernilai tinggi; (3) Margin kotor yang tinggi sekitar 60%-80% dengan COGS (Cost of Goods Sold) utama adalah biaya kotor jaringan, pengiriman, dan personel layanan.
“Alasan keempat dan terakhir kami menyukai perusahaan SaaS karena mereka memiliki pengeluaran penelitian dan pengembangan yang jauh lebih efisien dibandingkan perusahaan perangkat lunak berlisensi tradisional,” tulisnya dalam blog perusahaan.
Alasan di atas terefleksi dalam kinerja keuangan Fast8 Group (PT Fatiha Sakti), induk perusahaan dari lima produk SaaS. Perusahaan tersebut mengaku sudah cetak untung pada 2022, selang enam tahun terhitung sejak produk pertamanya, Gadjian, hadir di 2016.
Tidak disebutkan nominal laba yang sudah diperoleh. Namun pertumbuhan pendapatan perusahaan secara keseluruhan mencapai 800% secara akumulatif sejak 2018-2022. Dibandingkan secara yoy rata-rata pendapatan naik antara dua hingga tiga kali lipat.
“Revenue kami sudah jutaan dolar per tahun. Gross profit margin kami itu 80% per transaksi, sangat sehat,” ungkap Co-founder dan CEO Fast8 Afia Fitriati saat dihubungi DailySocial.id.
Fast8 sendiri memiliki lima produk SaaS, yakni:
- Gadjian: aplikasi pengelolaan SDM dan penggajian berbasis komputasi awan untuk perusahaan berkembang dan lean enterprises, membantu mereka mengurus tugas-tugas administrasi SDM yang rutin, seperti menghitung penggajian, perpajakan, iuran BPJS, dan rekrutmen.
- Hadirr: aplikasi yang membantu perusahaan dalam memonitor kehadiran dan produktivitas karyawan, baik saat bekerja dari rumah, kantor, maupun lapangan. Telah terintegrasi dengan Gadjian dan platform pengelolaan benefit karyawan Payuung. Solusinya telah digunakan di lebih dari 100 ribu karyawan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
- Payuung: platform e-commerce untuk produk keuangan dan employee benefit. Sediakan aneka solusi pembiayaan, asuransi, investasi, dan produk-produk reward bagi karyawan bagi perusahaan (B2B). Juga, aplikasi mobile Payuung Pribadi yang menyediakan produk-produk keuangan dan wellness bagi konsumen individu (B2C).
- Baktiku: aplikasi presensi pegawai yang didesain untuk instansi pemerintah, baik pemerintahan pusat ataupun pemerintahan daerah. Aplikasi ini membantu mobilitas pegawai dalam bekerja, mulai dari pencatatan kehadiran, kunjungan dinas, tugas, hingga pengajuan reimbursement. Semua proses terdokumentasi lengkap secara digital.
- Pegawe: layanan penggajian dan administrasi SDM untuk karyawan outsource, juga membantu perhitungan pajak, pendaftaran BPJS beserta administrasinya, absensi kehadiran, dan konsultan SDM jika terjadi PHK.
Afia menuturkan, perusahaan dapat cetak laba karena sedari awal didukung oleh model bisnis sebagai SaaS, perusahaan software dengan gross margin yang sangat sehat mulai dari 80%. Ibaratnya, perusahaan langsung terima margin kotor sebesar 80% dari setiap paket berlangganan yang dibayarkan konsumen.
Model bisnis Fast8 seluruhnya adalah berlangganan, bentuknya ada yang bulanan dan juga langsung bundle setahun.
“Konsumen bayar di depan, sehingga sustainable tidak ada yang macet. Model ini yang buat fundamental bisnisnya pasti akan profit. Tinggal bagaimana menskalakannya. SaaS itu sangat mungkin profit. Di luar negeri banyak SaaS yang sudah decacorn, tetap private, tapi sudah profit.”
Tidak bakar duit
Afia mengaku dari hari pertama perusahaan beroperasi, selalu menanamkan diri pola pikir ke seluruh aspek organisasinya bahwa berbisnis itu harus profit dan tidak melakukan strategi bakar duit. Saat membuat pricing sudah ditentukan berapa angka yang jelas apabila ingin memberikan diskon.
Baginya sangat penting untuk dari awal semua tim mengetahuinya agar bisa berjalan bersama. Fasilitas gaji, benefit, dan fasilitas penunjang yang diberikan untuk karyawan Fast8 bukan tergolong kelas premium. Semua tetap diberikan secara layak, karyawan tetap dibuat nyaman saat kerja, walau kantor tidak se-fancy kantor startup kebanyakan.
“Kita justru bingung sama startup yang gila-gilaan kemarin kok bisa kayak gitu [kantor premium, gaji premium]. Startup yang banyak tutup itu menuai apa yang ditanam karena praktik-praktik seperti itu enggak sustainable.”
Dia melanjutkan, “Kantor kita biasa saja, tetap nyaman, tapi enggak berlebihan. Nyaman itu relatif kan ya. Di satu sisi, kita nemuin banyak hal yang kreatif untuk tetap bekerja produktif dan nyaman, tanpa harus bakar duit.”
Perihal penggajian, dunia startup ini begitu terkenal dengan budaya bajak membajak karyawan demi mendapatkan talenta terbaik. Menurut Afia, kebiasaan ini punya dampak yang buruk bagi perusahaan itu sendiri. Sebab, belum tentu karyawan yang bergaji premium ini memang layak mendapatkannya karena kapabilitas yang dimilikinya.
“Di tim kita biasakan no free lunch. Semua harus ada ROI [return of investment] dan logikanya jelas kenapa begitu. Sering ada mindset dari kandidat yang baru di-interview dan bilang bahwa dia layak digaji sekian karena sebelumnya dapat gaji segini. Padahal belum tentu kompetensinya selevel [gajinya]. Itu yang perlu di-challenge.”
Dengan membawa budaya perusahaan demikian, Afia mengaku mayoritas karyawannya loyal terhadap perusahaan, sekitar 40% sudah menetap di sana antara tiga sampai enam tahun ke atas. Di dunia startup, banyak yang menganggap bekerja di satu perusahaan sampai tiga tahun itu terlalu lama. “Turnover paling tinggi itu biasanya baru gabung setahun di sini.”
Karena dari pola pikir sudah dibiasakan untuk selalu bijaksana dan disiplin setiap mengeluarkan belanja perusahaan, Afia mengaku justru pada saat pandemi ia dan tim tidak kaget kalau harus mengencangkan ikat pinggangnya.
“Kalau startup lain ketika ada yang dikurangi [benefit] pasti langsung terasa, tapi kami di masa itu karena terbiasa mengelola uang dengan disiplin cukup beradaptasi saja. Kita terbiasa untuk tidak neko-neko.”
Bisnis perusahaan ikut terasa karena terjadi dua tantangan yang berbeda sepanjang 2020-2023. Afia tidak merinci lebih lanjut secara angka. Namun ia menjelaskan, pada 2020-2021, tantangan saat baru terjadi pandemi adalah adaptasi kerja dari rumah. Saat itu banyak bisnis konsumer yang tutup.
“Tapi saat itu digitalisasi meningkat karena WFH, pengguna attendance kita meningkat, sehingga kita dapat durian runtuh.”
Kemudian pada 2022-sekarang tantangannya berbeda, pengguna absensi berkurang karena perusahaan yang awalnya menetapkan aturan WFH menganjurkan kembali ke kantor. Lalu, sekarang ada faktor ekonomi makro global yang mengakibatkan tech winter.
“Kita di laut ini pasti ikut terkena badainya [tech winter]. Konsumer yang terdampak ada yang mengeluh harus PHK dan itu ngaruh ke kita, [mereka] jadi sulit bayar langganan.”
Dia melanjutkan, “Jadi yang bisa disimpulkan, tantangan ada terus, perusahaan yang berhenti berlangganan juga bervariasi [industrinya]. Setiap masa ada tantangan tersediri, yang penting beradaptasi dan terus melihat metriks-metriks [kinerja keuangan] lebih tajam.”
Rencana berikutnya
Walau perusahaan sudah cetak laba, Afia mengaku tetap membutuhkan sokongan amunisi dari investor. Alasannya, Fast8 kini sudah berkembang dari sepenuhnya SaaS yang murni B2B menjadi SaaS enable marketplace yang target penggunanya sekarang B2B2E. Dana investor tersebut dibutuhkan untuk membesarkan model bisnis tersebut.
Namun karena metriks itu pula, pihaknya memiliki fleksibilitas kapan untuk mewujudkan rencana penggalangan dana. Bisa lebih selektif memilih investornya dan mengatur waktu penggalangannya agar momentumnya lebih tepat. “Sekarang belum aktif [fundraising], lagi persiapan untuk tahap berikutnya. Mungkin awal tahun depan.”
Mengutip dari Crunchbase, perusahaan, melalui Gadjian, mengantongi pendanaan debt pada 2022. Dua tahun sebelumnya, memperoleh bantuan non-ekuitas dari Google for Startups. Saat itu, Afia terpilih sebagai peserta dari total tujuh founder perempuan di Asia Pasifik mengikuti program bimbingan pengembangan keterampilan bernama Immersion: Women Founders.
Pada 2016, perusahaan mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures, diikuti Maloekoe Ventures.
Tips untuk founder baru
Di sela-sela diskusi, Afia menyampaikan dua tips singkat untuk founder baru dalam menyiapkan startup yang sehat secara finansial. Pertama, melihat model bisnisnya. Founder harus jujur pada diri sendiri, apakah unit economics-nya masuk akal untuk capai ke titik profit.
Hal ini ia terapkan dalam setiap peluncuran produk Fast8. Sebelum produk diresmikan, harus dipikirkan sumber pendapatannya dari mana, apakah itu masuk akal. Apakah benar ada orang yang mau bayar? Bagaimana retensinya, apakah bagus? Kalau jelek, akan berpengaruh pada biaya akuisisinya. “Jadi dari model bisnis harus benar-benar dipikirkan.”
Kedua, harus mengetahui metriks kunci untuk mencapai profit. Lalu terus monitor metriks tersebut. Adapun, metriks yang dipakai Fast8 adalah revenue lifetime value, consumer retention rate, dan biaya akuisisi. “Di vertikal mana pun metriksnya sama, itu-itu saja ujungnya,” pungkas dia.