Strategi ESL untuk Tetap Relevan di Industri Esports

Industri esports telah berkembang pesat dan diperkirakan masih akan terus tumbuh. Menurut data Consumer Technology Association, jumlah penonton esports pada 2022 akan mencapai 674 juta, naik hampir 90 persen dari 355 juta orang pada 2018. ESL merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang esports yang telah berdiri cukup lama. Didirikan pada tahun 2000, ESL fokus sebagai penyelenggara turnamen esports. Sejak 20 tahun lalu, lanskap esports telah banyak berubah. Lalu, apa strategi ESL untuk memastikan mereka tetap relevan di dunia esports?

“Kami fokus untuk membuat aset esports yang bisa dikembangkan dan sustainable di Amerika Serikat, jadi kami akan bisa mengembangkan fanbase esports,” kata Yvette Martinez-Rea, CEO ESL North America pada VentureBeat. Dia mengatakan, jika dibandingkan dengan Eropa dan Asia, Amerika Utara masih tertinggal. “Akan ada banyak fokus pada tahun ini, termasuk penggunaan data untuk meningkatkan pengalaman bermain para pemain. Bagaimana kami bisa memberitahu Anda bahwa ketika Anda bermain di peta ini, Anda sering membuat kesalahan besar di tempat-tempat tertentu, sementara pemain lain menggunakan metode yang berbeda. Bagaimana saya bisa memberikan data yang sudah dikustomisasi khusus untuk Anda secara real-time?” ujarnya. Memang, sekarang, organisasi esports mulai mempertimbangkan untuk menggunakan data demi meningkatkan performa tim esports.

“Selain itu, kami juga akan berusaha untuk membuat penonton dan para pemain esports menjadi lebih beragam. Kami juga ingin fokus pada game-game mobile. Kami pikir, jika kami dapat membuat beragam orang bermain dan bertanding dengan satu sama lain, ini akan menjadi game-changer,” ungkap Martinez-Rea.

Yvete Martinez-Rea dan Paul Brewer. Sumber: VentureBeat/Dean Takahashi
Yvette Martinez-Rea dan Paul Brewer. Sumber: VentureBeat/Dean Takahashi

Sementara itu, Paul Brewer, Senior Vice President of Brand Partnerships, ESL North America menambahkan, semakin banyak perusahaan yang mengalihkan dana marketing mereka dari olahraga tradisional, musik, atau media hiburan lainnya ke esports. Hal ini terjadi pada entitas yang bergerak di bidang militer, makanan, dan minuman. Salah satu alasan banyak merek non-endemik tertarik masuk ke esports adalah karena penontonnya yang masih muda. Namun, menurut Brewer, analisa tentang demografi penonton juga penting.

“Apa yang bisa didapatkan sebuah perusahaan dengan menyokong esports? Sesuatu yang telah diberikan oleh olahraga tradisional selama 15-20 tahun. Di sinilah kami berusaha untuk menjadi lebih baik, dimana kami mulai merasa adanya tekanan. Dengan semakin banyak merek yang ingin masuk ke esports, kami harus bisa menjalin kerja sama yang lebih erat dengan mereka,” ujar Brewer.

Anheuser-Busch, merek minuman keras yang juga mendukung esports, mengeluhkan bahwa saat ini, mereka belum mendapatkan data penonton yang memadai. Brewer mengaku, tiga sampai lima tahun lalu, data yang didapat sponsor esports memang belum memadai. “Banyak merek yang ikut terjun ke esports tanpa menganalisanya terlebih dulu. Mungkin karena mereka merasa takut akan tertinggal. Dalam waktu dua sampai tiga tahun, Nielsen telah menjadikan esports sebagai bagian dari bisnis mereka. Dan mereka tidak sendiri. Ada banyak perusahaan yang menyediakan data esports, karena memang tuntutannya sangat tinggi dari para merek. Data kini telah menjadi lebih lengkap dan lebih mudah untuk diakses,” ungkapnya. Meskipun begitu, dia percaya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan.

Menurut Martinez-Rea, perusahaan yang bisa mendapatkan keuntungan maksimal biasanya memiliki mindset terbuka. “Mereka tertarik untuk belajar dan bereksperimen, tidak hanya terkait kegiatan aktivasi, tapi juga dengan judul game esports yang mereka dukung. Perusahaan-perusahaan inilah yang akan terus mendukung esports,” katanya. Selain menjadi sponsor, semakin banyak juga investor yang tertarik menanamkan modal di bidang esports. Meskipun begitu, belum ada perusahaan esports yang telah mendapatkan untung. “Tidak ada satu pun perusahaan yang telah mendapatkan untung dari esports,” kata Martinez-Rea sambil tertawa. “Tidak satu pun.”

ESL One Cologne 2018. | Sumber: ESL One
ESL One Cologne 2018. | Sumber: ESL One

Namun, para investor tidak menanamkan modal karena kemurahan hati mereka. Setelah memberikan modal, tentunya mereka ingin uang mereka kembali. Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pelaku esports akan mendapatkan untung, Martinez-Rea membandingkan esports dengan periklanan mobile sekitar 15 sampai 20 tahun lalu. Ketika itu, dia bilang, semua orang percaya bahwa mobile advertising akan menghasilkan jutaan dollar. “Tapi, proses itu memakan waktu 10 tahun, karena kita belum tahu cara menghitung harga yang sesuai atau menargetkan iklan tersebut. Semua ini adalah tantangan yang kita hadapi untuk merealisasikan potensi yang ada di periklanan mobile,” katanya.

“Menurut saya, esports seperti itu. Esports memiliki potensi. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa merealisasikannya? Bagaimana kita bisa menghitung ROI (Return of Investment) yang sesuai? Bagaimana kita bisa mendorong orang yang datang menonton pertandingan esports ke stadion juga membeli barang lain selain tiket? Dorong mereka untuk membeli jersey dan minuman atau produk lain melalui aplikasi. Bagaimana kita bisa membuat hak siar media memiliki nilai yang sesuai untuk rekan distribusi sehingga mereka rela mengeluarkan uang untuk membeli hak siar tersebut? Semua ini telah mulai dilakukan. Ini adalah proses yang memakan waktu sebelum semuanya terealisasi.”

Fakta bahwa penonton esports merupakan generasi milenial dan gen Z memang menarik bagi perusahaan yang ingin mendekatkan diri dengan mereka. Namun, banyak juga orang yang berasumsi bahwa fans esports tidak memiliki daya beli karena umur mereka yang masih muda. Menariknya, itu tidak menghentikan Lexus untuk mensponsori Esports Awards. Selain itu, Mastercard juga mendukung liga League of Legends.

“Banyak orang yang mengira, semua penonton esports adalah remaja yang tidak memiliki daya beli. Tapi, kami selalu berkata bahwa orang-orang yang bermain game esports, kebanyakan dari mereka bermain di PC berspesifikasi tinggi dan tinggal di kawasan yang memiliki internet cepat. Orang-orang ini bukanlah orang yang tak memiliki daya beli. Kebanyakan dari mereka teredukasi dan memiliki pekerjaan tetap,” ujar Martinez-Rea.

Warcrart III: Reforged. | Sumber: Polygon
Warcrart III: Reforged. | Sumber: Blizzard Entertainment/Activision via Polygon

Minggu lalu, ESL mengumumkan kerja samanya dengan Blizzard untuk mengadakan turnamen untuk StarCraft II dan Warcraft 3: Reforged. Turnamen dari dua game tersebut akan menjadi bagian dari Pro Tour Series, yang juga menyertakan turnamen Counter-Strike: Global Offensive. Terkait kerja sama ESL dengan Blizzard, Martinez-Rea mengatakan bahwa selama 20 tahun ESL berdiri, mereka memang selalu memiliki kerja sama dengan Blizzard.

“Kami banyak bekerja sama dengan mereka di Amerika Serikat terkait Hearthstone dan BlizzCon. Kami mengerti jika mereka ingin fokus pada Overwatch dan Call of Duty. Kami telah berdiskusi dengan mereka agar mereka tetap bisa mendukung komunitas dan pemain StarCraft. Karena, StarCraft adalah awal mula dari semua ini. Tidak ada orang yang mau melihat game itu terlupakan. Tapi bagi Blizzard, game itu tidak lagi jadi fokus utama mereka,” kata Martinez-Rea.

Dia menjelaskan, ESL telah memiliki infrastruktur untuk mengadakan acara esports besar. “Lebih mudah bagi kami untuk membawa masuk game baru ke dalam acara ESL dan DreamHack yang memang sudah memiliki fans dan infrastruktur,” ujarnya. Dengan begitu, Blizzard akan bisa fokus untuk mengadakan turnamen per game.

Sumber header: ESTNN