Survey: “Orang Indonesia Saat Ini Familiar Dengan E-Money Namun Masih Enggan Untuk Menggunakannya”

Masih ingatkah Anda dengan kuis Famili 100 yang dibawakan oleh presenter kuis Sonny Tulung? Dalam kuis tersebut, ia hampir tak pernah lupa untuk mengucapkan “Survey Membuktikan!” ketika para peserta kuis dan penonton ingin mengetahui jawaban dari hasil survey yang terkadang hasilnya cukup bikin penasaran dan juga mengejutkan. Seperti halnya dengan hasil survey yang satu ini, pada hari Kamis kemarin, forum IndoTelko mengadakan survey kepada ribuan orang Indonesia perihal uang elektronik (e-money) dan hasilnya cukup baik. Seperti apa hasilnya? Simak lebih lanjut di bawah ini.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai hasil survey dan beberapa kesimpulan yang didapat, ada baiknya meninjau terlebih dahulu “sejarah” singkat  dari pertumbuhan e-money di Indonesia dan kondisinya kini. Sesuai dengan data dan keterangan resmi tertulis yang kami peroleh dari IndoTelko Forum, diawali dari tahun 2009 yang merupakan tahun tonggak pertumbuhan e-money paling signifikan, transaksi e-money di Indonesia sempat tercatat mencapai angka Rp. 1,4 milyar per hari dengan jumlah transaksi “hanya” mencapai 48 ribu kali dalam setahun. Di tahun berikutnya, jumlah transaksi e-money terus meningkat tajam hingga mencapai 73 ribu kali dalam setahun dengan mencetak nilai transaksi sebesar Rp. 1,9 milyar per hari.

Tren pertumbuhan tersebut ternyata terus diikuti di tahun-tahun berikutnya, seperti pada tahun 2011 ketika transaksi e-money melonjak naik hingga mencapai 112 ribu kali dalam setahun dengan nilai perputaran uang mencapai Rp. 2,7 milyar per hari. Tren ini terus melonjak ketika di tahun 2012, transaksi e-money berlipat ganda hingga 219 ribu transaksi dalam setahun dengan nilai bisnis yang menyentuh angka Rp. 3,2 milyar per hari.  Dari data pertumbuhan tersebut, bisa dikatakan setiap tahunnya transaksi e-money bertumbuh sekitar 120% dari tahun ke tahun, hingga akhirnya pada tahun 2013 ini transaksi e-money telah menembus angka Rp. 6,7 milyar per hari. Sungguh peningkatan yang sangat pesat.

Dari tren pertumbuhan tersebut, pengguna yang paling ber-antusias dalam menggunakan layanan e-money datang dari masyarakat pengguna ponsel yang jauh lebih berpotensi. Namun sayang, dari survey yang dilakukan oleh IndoTelko Forum terhadap sekitar 2.000 responden menemukan masih adanya sejumlah kendala yang harus diperbaiki sebelum layanan e-money dapat menjadi alat transasi keuangan yang dapat diandalkan.

Variasi pengertian e-money
Digelar di sejumlah kota besar di Indonesia, survey digelar secara menyeluruh dengan mengambil sampel dari elemen masyarakat mulai dari kelas bawah hingga kelas atas. Hal ini dinyatakan oleh Doni Ismanto Darwin, selaku penggagas IndoTelko, yang mengatakan pihaknya melakukan survey yang menyeluruh agar mengetahui tingkat pengetahuan produk e-money dari setiap kelas masyarakat kelas yang beragam. “Secara awareness terhadap e-money, pengguna mengetahui produk ini meskipun definisi yang dipahami berbeda-beda,” tandasnya.

Secara mayoritas pengguna, saat mendengar layanan e-money, menurut hasil survey sebanyak 44% menganggap produk e-money adalah layanan elektronik atau mobile money dari operator. Sementara itu, sebanyak 23% koresponden mengenali produk e-money adalah nama produk untuk melakukan transaksi melalui pulsa ponsel. Tak sampai situ, masih ada 15% koresponden lainnya berpikiran e-money adalah produk tabungan bank hasil kerja sama dengan operator, lalu sementara itu sebanyak 8% malah justru mengenali e-money sebagai salah satu layanan isi ulang pulsa. Selebihnya, sebanyak 6% responden mengira e-money merupakan produk pinjaman uang dari Bank yang merupakan hasil kerja sama dengan operator, lalu diakhiri dengan 4% responden yang menyatakan pernah mendengar produk e-money tetapi tidak mengetahui apa itu e-money sebenarnya.

Peran telko dalam implementasi e-money
Dari kesekian responden, pada umumnya seluruh responden mengaku memiliki dan menggunakan ponsel secara konsisten dan juga memiliki rekening Bank yang aktif. Melihat hal tersebut, tentu tak berlebihan rasanya jika pertumbuhan pesat e-money dapat datang dari sektor telekomunikasi yang saat ini tiga operator besar Indonesia (Telkomsel, XL Axiata, Indosat) telah memiliki layanan e-money masing-masing seperti T-Cash, XL-Tunai, dan juga Indosat Dompetku. Seperti halnya dengan yang disampaikan oleh Alex J. Sinaga dalam acara diskusi “New Wave of Less Cash Society: Indonesia Chapter” yang juga digagas oleh IndoTelko, ia mengatakan sektor telekomunikasi memiliki range yang jauh lebih luas ke masyarakat dibanding dengan sektor perbankan, hal tersebut dikorelasikan terhadap perkembangan e-money yang diproyeksikan menjadi “fasilitator” dalam mewujudkan campaign less cash society.

“Dibanding perbankan, operator telko lebih memiliki jangkauan segmentasi pengguna yang lebih luas, selama ini perbankan kita lihat lebih dekat ke arah segmen middle-up, sedangkan bagi provider tentu seperti yang kita ketahui setiap orang kini memiliki handphone mulai dari segmen low hingga teratas sekalipun, operator telah menjadi bagian terpenting dari mereka, dan itu hal yang sangat baik bagi perkembangan e-money secara menyeluruh, jadi baik perbankan maupun operator harus ada kolaborasi yang baik,” papar Alex yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Keraguan menggunakan e-money
Meskipun antusiasmenya cukup tinggi dan perkiraan yang cukup optimis akan pertumbuhan e-money dari sektor industri telekomunikasi, nyatanya masih banyak “tugas” yang harus diperhatikan oleh para pelaku industri tersebut dalam perkembangan bisnis e-money di Indonesia. Pasalnya, dari survey tersebut juga ditemukan fakta bahwasanya masih banyak pengguna yang masih enggan untuk menggunakan layanan ini, bahkan 54% responden mengaku masih ragu-ragu dalam menggunakan e-money.

Faktornya cukup beragam, suara terbanyak datang dari keraguan masyarakat akan keamanan transaksi yang ditemukan sebesar 23% koresponden mempermasalahkan hal tersebut. Lalu ada juga sebanyak 17% mengaku khawatir akan lebih susah mengontrol pengeluaran uang ketika mengadaptasi teknologi e-money. Sementara itu, sebanyak 14% masih ragu akan pihak operator yang dikenal sebagai penyedia layanan non-finansial, serta 14% lainnya mmempertanyakan masalah penanganan jika terjadi masalah dalam layanan.

Tak selesai sampai situ saja, sekitar 9% responden masih meragukan kecepatan e-money saat bertransaksi dan 9% lainnya justru masih was-was akan biaya transaksi. Ditambah lagi ada sekitar 6% responden masih menyangsikan kualitas jaringan operator yang dapat berdampak pada penurunan kualitas transaksi, dan sisa 6%-nya lagi masih mempertanyakan penggunaan e-money yang dianggapnya sulit.

Seluruh data tersebut tentu paling dapat dilihat disebabkan oleh habit masyarakat yang belum familiar dengan uang elektronik. Melihat hal tersebut, Doni Darwin mengemukakan bahwasanya sekali lagi sinergi antar pemangku kepentingan wajib adanya. “Kami sarankan semua ekosistem yang terlibat di uang digital ini untuk berjalan beriringan dan melepas sekat-sekat pembatas agar less cash society dapat benar-benar terwujud,” katanya.

[ilustrasi foto dari: Shutterstock]

Leave a Reply

Your email address will not be published.