Meski tidak diakui secara resmi, 11 November 1993 tercatat sebagai tanggal kelahiran perayaan Singles’ Day di Tiongkok. Kombinasi tanggal dan bulan itu (11.11) dipilih karena angka “1” dianggap menggambarkan status jomblo, namun sekarang mayoritas lebih mengenal 11 November sebagai hari yang tepat untuk berbelanja.
Ini dikarenakan sederet perusahaan e-commerce kompak menghadirkan diskon besar-besaran pada platform-nya masing-masing. Tahun demi tahun, partisipannya terus bertambah, dan tahun ini ada Steam yang menghelat Singles’ Day Sale perdananya.
Ya, Steam sang pedagang game PC itu yang saya maksud. Mungkin mereka merasa ini sebagai momen yang pas untuk mempersilakan para jomblo menghabiskan waktunya di depan PC sembari menikmati sederet game yang mereka beli dengan murah. Saya tidak tahu alasan mereka, tapi yang pasti Singles’ Day Sale di Steam terbuka untuk semua konsumen, bukan kalangan tidak berpasangan saja.
Game–game yang didiskon cukup beragam, dan beberapa terkesan terlalu menarik untuk dilewatkan. Penggemar genre RPG misalnya, bisa membeli Divinity: Original Sin 2 dengan potongan harga 45%, kemudian bagi fans berat Batman, bundel adventure garapan Telltale bisa didapat dengan membayar hanya sepertiga harga aslinya.
Untuk para peminat genre simulasi, ada Cities: Skyline dan Planet Coaster yang masing-masing didiskon 75% dan 70%. Lalu seandainya ada empat jomblo berkumpul dan hendak menghabiskan waktunya bersama, Overcooked! 2 yang didiskon 40% adalah game yang tepat.
Steam Singles’ Day Sale akan berlangsung sampai tanggal 12 November pukul 23.00 WIB. Selamat berbelanja.
Ya, Alibaba memang mencatat rekor penjualan $25,3 miliar (lebih dari 340 triliun Rupiah) yang dibukukan saat Pesta Belanja 11.11 tahun ini. Meskipun demikian, tidak cuma angka penjualan yang dilaporkan raksasa e-commerce Tiongkok ini saat pesta belanja global tahun ini. Data-data pembeli menjadi “tambang emas” yang seharusnya diikuti sebagai basis pelaksanaan pesta belanja, khususnya yang berlangsung secara online, di tanah air.
DailySocial dan sejumlah rekan media mendapat kesempatan secara langsung memantau jalannya pesta belanja 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Ketika countdown dilakukan, yang menjadi awal berlangsungnya kegiatan 11.11, Alibaba langsung menunjukkan data penjualan secara real time. Setelah angka penjualan 10 miliar Yuan ($1,5 miliar atau 20 triliun Rupiah) tercapai dalam waktu 3 menit, dengan 93% transaksi terjadi melalui perangkat mobile, layar lalu beralih ke data yang lebih dalam.
Alibaba kemudian menampilkan dua jenis data besar. Yang pertama adalah data penjualan secara global, yang kedua adalah data penjualan secara nasional. Keduanya diperbarui secara real time.
Di layar pertama, data penjualan global menampilkan negara-negara mana yang termasuk Top 5 berkontribusi di ajang ini dan barang-barang apa saja yang menjadi Top Seller.
Di layar kedua, datanya lebih intensif. Alibaba bisa men-track per kota dan per provinsi, hingga ke desa-desa, tentang pola konsumsi nasional. Alibaba menamai daerah-daerah ekonomi baru ini sebagai New Rural Economy. Peningkatan pendapatan per kapita Tiongkok yang bertambah 10 kali lipat dalam 17 tahun mendorong pola konsumsi yang makin menyebar dan tidak hanya terpusat di kota-kota besar. Shanghai, Beijing, Hangzhou, Guangzhou, dan Shenzhen memang masih mendominasi, tapi provinsi-provinsi lain telah menggeliat dan pola konsumsinya sangat terlihat di pesta belanja seperti ini.
Kepada DailySocial, pihak Alibaba menyebutkan, “Alibaba telah menyiapkan sistem OneData yang menjadi basis data utuk pengembangan teknologi data kami, termasuk data mining, yang telah membantu mendapatkan data secara real time. Dengan peluncuran OneID, yang dapat diakses konsumen melalui platform-platform ekosistem Alibaba, seperti Taobao, Alipay, dan Youku yang menggunakan single login, analisis data yang komprehensif dapat dilakukan secara cepat, yang mendorong ketersediaan insight konsumen yang sangat berharga.”
Pemanfaatan data serupa di Indonesia
Pesta belanja di Indonesia juga berlangsung di periode 11.11 dan 12.12. Sebelumnya pesta belanja seperti ini ditujukan untuk menggairahkan pola konsumsi online yang memang masih sangat kecil persentasenya di Indonesia. Meskipun demikian, data penjualan di pesta belanja tersebut bisa mulai menjadi indikator pola konsumsi masyarakat dan kehadiran kantong-kantong ekonomi baru.
Tentu saja, yang paling harga di sini adalah data-data konsumen. Zaman dulu, ketika semua transaksi dilakukan secara offline, tidak mudah untuk mengetahui pola konsumsi, barang-barang apa yang sering dibeli oleh masyarakat di area tertentu, dan bagaimana seharusnya inventori dioptimalkan. Kini data tersebut bisa diperoleh dengan lebih mudah dan membantu layanan digital menciptakan pengalaman belanja yang lebih baik.
Pihak Alibaba menyebutkan, “Dengan menganalisis data [yang diperoleh di kegiatan 11.11], kami dapat memperoleh insight konsumen dan pada akhirnya bisa melayani konsumen dengan lebih baik. Contohnya, melalui analisis data, kami bisa mengidentifikasi barang yang sering dibeli oleh masyarakat di area tertentu. Sebagai hasilnya, kami bisa menyiapkan barang tersebut terlebih dahulu melalui sistem logistik dan pergudangan pintar kami, sehingga konsumen yang membeli barang tersebut melalui platform e-commerce kami bisa mendapatkan barang secara lebih cepat karena berasal dari gudang yang terdekat.”
Lebih lanjut, data tersebut juga bisa digunakan untuk merekomendasikan barang-barang secara lebih akurat.
“Alibaba telah mengembangkan sistem, disebut Tmall Smart Choice, untuk membantu penjual mengidentifikasi produk yang memiliki potensi menjadi barang-barang yang laku dijual (best-selling). Sistem ini menggunakan permodelan yang memanfaatkan faktor seperti kebutuhan dan daya beli konsumen, kredibilitas dan reputasi layanan penjual, review dan rating produk, jangkauan harga, dan musim [tren], sehingga bisa memprediksikan barang mana yang bakal populer di antara konsumen yang ditargetkan,” tutup pihak Alibaba.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang fokus di pemecahan rekor Gross Merchandise Value (GMV), raksasa e-commerce Alibaba tahun 2017 ini memiliki pendekatan berbeda untuk mengukur keberhasilan pagelaran pesta belanja 24 jam terbesar di dunia 11.11. Hal ini bisa menjadi panduan penggiat e-commerce lokal yang sudah membudayakan tema pesta belanja di tanah air untuk 11.11 dan 12.12.
DailySocial dan sejumlah rekan media mendapatkan kesempatan langsung ikut merasakan euforia 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Tmall, platform marketplace B2C, menjadi platform unggulan Alibaba menggelar pesta belanja dengan harapan mendorong tingkat konsumsi masyarakat sekaligus memperkenalkan sejumlah brand yang menjadi mitranya. Disebutkan tahun ini ada 140 ribu brand yang turut berpartisipasi. Tahun lalu total GMV yang dibukukan Alibaba dalam sehari mencapai $17,8 miliar (lebih dari 240 triliun Rupiah).
Kepada media, Co-Founder dan Vice Chairman Alibaba Joe Tsai mengungkapkan, diskon adalah sebuah cara [untuk meningkatkan penjualan]. Meskipun demikian, ia mengungkapkan tahun ini fokus Alibaba untuk 11.11 juga soal ide inovatif dan unsur hiburan. Ide inovatif di sini termasuk pemanfaatan skema “New Retail” yang menjadi unggulan perusahaannya.
Joe melanjutkan, GMV tidak lagi menjadi satu-satunya metrik yang menjadi acuan di pesta 11.11 kali ini. Menurutnya, angka penting lain yang menjadi perhatian adalah berapa jumlah orang yang mengikuti acara 24 jam ini, berapa jumlah pesanan yang bisa dikirim, dan berapa jumlah transaksi yang bisa di-handle setiap detiknya. Faktor terakhir untuk menunjukkan robustness sistem yang dimiliki Alibaba.
Mendefinisikan “New Retail”
Di Tiongkok disebutkan saat ini perbandingan antara skema ritel offline dan online adalah 82% dan 18%. Angka 18% tentu saja besar jika dibandingkan dibanding penetrasi sektor e-commerce di negara-negara lain, tetapi Alibaba melihat potensi yang jauh besar dengan mengombinasikan ritel offline, teknologi, dan infrastruktur.
Hema, yang dalam bahasa Mandarin artinya kuda nil, adalah prototipe ritel offline masa depan yang menjadi pengejawantahan visi Alibaba dalam 2 tahun terakhir.
Dari luar Hema tampak seperti pasar swalayan biasa. Pengalaman berbeda baru terasa ketika kita berada di dalamnya. Menggunakan aplikasi Hema, kita bisa merasakan bagaimana kebiasaan offline dan online digabungkan.
Konsumen bisa membeli barang secara langsung, kemudian dibayar secara mandiri menggunakan Alipay, atau memilih barang-barang tersebut dikirimkan menggunakan kurir ke rumah. Yang terakhir ini mirip dengan apa yang sudah diterapkan di Indonesia oleh HappyFresh dan Honestbee.
Disebutkan tidak biaya pengantaran, tidak ada nilai minimum untuk setiap transaksi, dan maksimal radius yang dijangkau adalah 3 km. Diklaim barang bisa dikirim dalam waktu 30 menit.
Perwakilan Alibaba mengemukakan, Hema dikembangkan tidak untuk menyaingi bisnis brick and mortar yang sudah ada. Hema disebutkan menjadi prototipe bagaimana industri ritel offline dikombinasikan dengan infrastruktur dan teknologi. Harapannya konsep ini akan diadopsi para mitra demi menciptakan pengalaman omnichannel yang lebih baik.
Dalam menciptakan Hema, Alibaba “memotong” middle man sehingga nilai barang-barang yang ditawarkan diklaim 10% lebih murah ketimbang pasar tradisional.
Cara pembayarannya pun menarik. Menggunakan kasir mandiri, setelah memindai barcode barang-barang yang diinginkan, ada 2 jenis metode pembayaran. Yang pertama adalah menggunakan QR code yang kemudian dibayar menggunakan platform mobile payment Alipay. Ini cara pembayaran paling umum.
Yang kedua adalah menggunakan teknologi /face recognition/. Metode ini hanya bisa dipakai warga negara Tiongkok. Dengan memasukkan nomor telepon, basisdata Alibaba yang menyimpan data penduduk akan mengecek validitas pembeli menggunakan teknologi pengenalan wajah . Dari situ data dihubungkan dengan akun Alipay.
Selain Hema, di sejumlah pop up store Alibaba memberikan showcase bagaimana teknologi bisa meningkatkan pengalaman orang berbelanja secara online.
Konsep magic mirror,yang mengimplementasikan konsep augmented reality, membantu konsumen mematut diri dengan lipstik tanpa harus menggunakannya secara langsung. Ada pula vending machine yang memiliki menu layar sentuh untuk berbelanja online.
Yang terakhir adalah pemanfaatan teknologi RFID yang jika diaplikasikan ke barcode sebuah baju akan menampilkan katalog online produk tersebut. Teknologi yang sama juga dikembangkan sehingga barang yang ditaruh di sebuah permukaan yang bisa membaca RFID akan terbaca secara otomatis di POS kasir tanpa perlu secara manual mengecek barcode barang.
Menurut Joe, saat ini bisa dibilang sudah tidak ada perbedaan antara pembelian secara online maupun offline. Kadang orang melakukan browsing barang secara online, kemudian membeli secara offline, atau sebaliknya. Konsep pengalaman omnichannel seperti ini seharusnya menjadi masa depan industri ritel.