Awal Mei 2022 lalu, Atma mengumumkan debutnya melalui pendanaan pra-awal senilai $5juta dari AC Ventures, Global Founders Capital, dan sejumlah angel investor. Visi besarnya adalah mendefinisikan ulang sistem pencarian kerja dan perekrutan untuk kalangan kelas menengah ke bawah (pekerja kerah biru).
Saat ini aplikasi Atma sudah bisa diakses publik melalui platform Android, menawarkan sejumlah fitur seperti loker tervalidasi, proses lamaran instan, platform pembuatan CV, sampai dengan layanan komunitas.
DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan Co-founder & CEO Atma Edy Tan, membahas tentang cerita di balik pengembangan Atma dan rencana-rencana selanjutnya.
Dimulai dari mitra pengemudi Gojek
Sebelum membangun Atma, Edy merupakan Chief of Driver di Gojek yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi. Sehari-hari ia berkomunikasi dengan pengemudi, untuk merumuskan cara terbaik dalam menaikkan pendapatan mereka.
“Waktu itu cara pandang saya, bagaimana menaikkan pendapatan mitra dan menurunkan pengeluaran [operasional] mereka. Namun, ketika serangkaian strategi dibangun, pada Maret 2022 pandemi datang yang menyebabkan jumlah pemesanan menurun [khususnya untuk layanan transportasi]. Para mitra online 24 jam, tapi on-job cuma 2 jam, sisanya nongkrong di jalan, main Tik Tok, atau kegiatan lainnya yang tidak produktif. Order-nya sedikit, mitra sama banyaknya,” ungkap Edy bercerita.
Lalu, saat itu ia memutuskan untuk melakukan survei untuk tanya langsung ke mitra pengemudi. “Pak kalau saya kasih lebih banyak order [karena performa bagus], Anda mau tidak?” Jawaban yang diberikan justru membuat Edy merasa tertampar, seorang mitra kala itu berkata, “Sebenarnya yang kami butuhkan bukan jumlah order atau pemasukan yang lebih banyak, tapi stabilitas pemasukan.”
Ini adalah hal yang sulit, berbeda dengan korporasi, model pekerjaan on-demand cenderung mendapatkan pemasukan yang tidak stabil. Waktu itu pun Edy menjawab, “Kalau mau yang stabil, apa Anda tidak mau cari pekerjaan tetap [full time]?” Lantas jawaban yang diberikan menjadi tamparan kedua buat Edy, “Bukannya saya tidak mau, tapi tidak tahu caranya.”
Untuk kebanyakan pekerja kerah biru, informasi pekerjaan sebagian besar mengandalkan kabar dari mulut ke mulut, sayangnya hanya dengan lingkup yang kecil — seperti dari kerabat, teman, atau tetangga. Di lain sisi, akses antara pemberi kerja dan pencari kerja bermasalah, apalagi tidak sedikit dimainkan oleh pihak ketiga seperti harus melewati agensi, diminati uang pendaftaran, ancaman scam [penipuan], dan sebagainya.
Di sisi lain, dari pekerjanya juga tidak punya cukup wawasan untuk mengetahui cara melamar yang baik, membuat CV, pedoman wawancara, dan sebagainya.
Permasalahan sistemis
Ketika didalami, permasalahan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh pengemudi ojek online, namun hampir menjadi isu menaun di segmen kelas menengah ke bawah. Dari situ Edy tertarik dan tertantang untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada dalam sistem perekrutan pekerja di level ini.
“Ketika saya cari tahu, kapan orang butuh cari kerja? Maka jawabannya: ketika mereka sedang tidak punya pekerjaan, terhenti pekerjaannya karena perusahaan tidak sehat, atau tidak senang dengan pekerjaan yang dijalankan. Sayangnya untuk segmen kelas menengah ke bawah alasan ketiga tidak berlaku. Dan bagi saya, it doesn’t make sense. Karena dari sisi perusahaan, mereka bilang kesulitan untuk cari orang,” ungkap Edy.
Lantas ketika didalami lagi dengan survei, ada alur proses yang membuat para pencari kerja trauma secara emosional. Edy menjelaskan, biasanya seseorang akan mengirim lamaran ke sejumlah lowongan (bahkan sampai puluhan). Lalu ia akan masuk ke ‘ghosting zone‘, kadang lama menunggu panggilan atau mendapatkan kabar yang tidak jelas. Karena lama di-ghosting, akhirnya ketika ada pekerjaan yang masuk langsung diterima, dan rata-rata upahnya kadang jauh di bawah UMR (DKI Jakarta). Mereka terpaksa mengambil kesempatan tersebut.
“Kenapa harus begitu? Di luar itu banyak sekali perusahaan yang bermasalah mencari karyawan, apalagi untuk pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta,” imbuh Edy.
Di sisi perusahaan pun ternyata mendapati permasalahan juga. Dalam pengamatannya, Edy membagi perusahaan menjadi tiga kategori:
Tipe Perusahaan | Permasalahan Perekrutan |
Enterprise | Mereka post 1 job, yang melamar ribuan orang. Permasalahan di sini sampahnya (spam) terlalu banyak; volume lamarannya tinggi membuat perekrut lama melakukan screening. Yang bagus banyak, yang jelek banyak. |
Branded-SME | Mereka post 1 job, yang melamar ada dan tidak terlalu banyak spam, tapi yang berkualitas jarang. Karena yang memiliki kualitas bagus akan cenderung lari ke Enterprise. |
Unbranded-SME | Mereka post 1 job, yang lamar tidak ada dan butuh waktu lama. Cari satu admin, bisa dua bulan dapatnya. Sayangnya 95% bisnis di kalangan ini. |
Lantas ketika bertanya ke HR di perusahaan, bagaimana cara terbaik untuk mendapatkan pekerja yang ideal? Salah satunya mengandalkan rekomendasi. Jika ada lowongan, lalu seorang karyawan memberikan rekomendasi orang yang bisa dipercaya, biasanya akan lebih cepat. Sekali-duakali bertemu, langsung memberikan penawaran. Yang mana model ini akan mengembalikan ke kondisi di atas, pekerja hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut.
Lantas dari perekrutan yang normal prosesnya bisa sangat panjang. Biasanya perusahaan akan meminta CV, kemudian melakukan wawancara via telepon untuk memvalidasi keabsahan data yang diberikan. Setelah perekrut merasa mantap dengan kandidatnya, maka akan menjadwalkan wawancara dengan user. Proses ini berjalan berminggu-minggu, bahkan beberapa bulan. Dan jika digali akar permasalahannya, proses tersebut lama karena banyak kandidat yang tidak terkualifikasi masuk ke proses lamaran.
Isu tersebut yang coba diselesaikan Atma lewat produknya untuk melakukan match-making (berdasarkan qualification, skills, dan culture fit). User experiences yang ingin dibangun lewat Atma, perusahaan tidak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan kandidat sesaat setelah mereka posting sebuah pekerjaan. Tidak perlu menunggu kandidat untuk melamar, karena sudah langsung disodorkan rekomendasi orang-orang yang seusai dengan kualifikasi.
Sementara dari sisi pencari kerja, misalnya mitra pengemudi, ketika mereka selesai memenuhi pesanan bisa buka aplikasi Atma untuk bergabung ke sebuah komunitas. Di sana ia akan mendapatkan berbagai informasi peluang baru, pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dan dekat dengan mereka.
Layanan yang disediakan Atma
Atma mendeskripsikan dirinya sebagai social job platform powered by community. Ini yang menjadi proposisi nilai dari produknya. Di job marketplace pada umumnya, orang dari berbagai rentang usia, berbagai demografi sosial, berbagai kelas ekonomi berbaur menjadi satu. Sementara di Atma semua dimulai dari komunitas yang bersifat tertutup, dibangun dari komunitas offline dari beberapa tempat, lalu ditarik ke online.
Sebelum masuk ke platform, setiap kandidat akan mendapatkan yang disebut dengan “internal employee scoring” dilihat dari sisi niat mereka untuk bekerja, karakter, dan lain sebagainya. Ini adalah informasi insider yang didapat dari komunitas tersebut, juga ditujukan sebagai kurasi tahap awal. Dan ketika sudah masuk, barulah mereka dibantu platform untuk membangun profil (termasuk CV).
Setiap pekerja hanya bisa melihat pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Dan untuk menentukan kualifikasi ini, setiap skillset diukur melalui sebuah kuis yang telah didesain khusus di aplikasi. Sehingga ketika pengguna melamar, dipastikan dia sudah melalui beberapa tahap awal penyaringan.
“Sebelumnya 80% waktu perekrut akan dihabiskan untuk menyortir spam, melakukan screening, dan verifikasi data. Sisanya 20% digunakan untuk memproses kandidat terkualifikasi. Ini yang mau kita ubah, ke depannya perekrut bisa menggunakan 100% waktunya untuk fokus pada kandidat yang terkualifikasi saja,” terang Edy.
Aplikasi yang ada juga memungkinkan masing-masing mendapatkan pembaruan data terkini — termasuk untuk progres lamaran yang diajukan. Sehingga ketika waktunya wawancara atau proses seleksi, kandidat juga akan mendapatkan notifikasi di aplikasinya. Hal ini juga ditujukan agar karyawan tidak melakukan ghosting terhadap perusahaan dengan sulit untuk dikontak.
Atma juga tidak menggantikan sistem HRIS yang ada di perusahaan, namun bisa dihubungkan dan diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada.
Segmen yang disasar Atma
Secara umum, aplikasi Atma diperuntukkan bagi perekrutan pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta. Mereka membatasi layanannya untuk industri atau vertikal bisnis tertentu. Karena menurut Edy, kalangan pekerjaan di level tersebut kualifikasinya hampir sama untuk semua jenis bisnis.
Untuk segmen tersebut, tidak sedikit perusahaan yang menggunakan jasa outsourcing untuk pemenuhan pegawainya. Namun demikian, Edy mengatakan hal sebaliknya, bahwa Atma tidak bersaing dengan perusahaan outsourcing.
“Di perusahaan outsourcing terbesar, dari 100 kandidat biasanya hanya terkonversi 20 pekerja yang terkualifikasi. Jadi sebenarnya mereka juga jadi klien kami, karena memiliki permasalahan yang sama,” ujar Edy.
Terkait model bisnis, ia tidak mau menjelaskan secara eksplisit. Namun dikatakan, bahwa dari sisi perusahaan maupun kandidat sebenarnya memiliki “daya beli” untuk membayar. Dari survei internal, 95% perusahaan mau membayar untuk mendapatkan kandidat yang seusai kualifikasi. Sementara 70% calon pekerja mau membayar untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan yang lebih baik. Nyatanya banyak pekerja yang rela merogoh kocek untuk mengikuti pelatihan bahkan membayar jasa mempercantik CV.
“Saat ini menurut BPS ada 206 juta populasi usia kerja. 131 juta orang sudah bekerja, Atma ingin membantu mereka mendapatkan cari kerja dengan gaji yang lebih bagus. Kemudian 9 juta masih menganggur, di sini Atma membantu mereka menemukan pekerjaan,” jelas Edy.
Target Atma berikutnya
Edy enggan untuk menyebutkan metrik-metrik yang hendak diraih. Yang ia tekankan, bahwa Atma akan selalu berprinsip “community first”, termasuk produk akan didesain untuk menyesuaikan kebutuhan komunitas. Di fase pra-awal ini, yang ingin difokuskan adalah memberikan kesan yang baik kepada penggunaannya, misalnya dengan menyelesaikan masalah spam di atas dari sisi perusahaan. Untuk pendanaan yang didapat kemarin, fokusnya akan banyak ke pengembangan produk, go-to-market, dan membangun tim yang solid.
“Nama PT kami adalah Atma Meraki Nusantara. Atma artinya esensi hidup. Meraki itu dari bahasa Yunani, artinya melakukan sesuai untuk jiwa raga. Sementara Nusantara itu merepresentasikan Indonesia,” terang Edy.
Di akhir diskusi ia bercerita mengapa akhirnya memilih membangun Atma dengan model bisnis yang ada saat ini. Secara pribadi, ia memang selalu nyaman untuk melakukan sesuatu yang memberikan dampak baik dan menolong orang. “Dulu saat saya kuliah di Boston University, saya mendapatkan kepuasan sendiri ketika menjadi fellow untuk penjadi pengajar kepada calon mahasiswa yang mau masuk ke jurusan saya. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat orang lain berhasil,” ujarnya.
Dan dalam membangun startupnya, ia memiliki 5 prinsip utama yang dipegang teguh:
- Apapun yang dibangun harus memberikan dampak yang besar dan bisa di-scale dengan produk, bukan dengan operasional.
- Bisnis yang digarap dipastikan bisa berkelanjutan. Dengan adanya enduring problem statement, di sana akan ada potensi pemasukan yang baik.
- Intellectually stimulating. Bisnis yang dibangun harus benar-benar menarik, setiap tahap ada permasalahan baru yang bisa dipecahkan. Contohnya, untuk perekrutan permasalahan yang ada seperti yang tadi di ceritakan, tapi ke depan berbeda lagi, misalnya untuk menghadapi era automasi. Hal-hal yang selalu menantang bikin tidak cepat bosan.
- Game of scale, harus ada return of capital yang bagus untuk perusahaan. Ini juga menjadi alasan mengapa pre-seed funding mereka tergolong besar, karena para founder tidak ingin membangun bisnis yang asal-asalan.
- Terakhir, melakukan poin 1-4 dengan orang yang benar-benar disukai.