Tag Archives: accelerator

Tinc Impact Report 2023

Report: Dampak Program Inkubator dan Akselerator untuk Startup Indonesia

Ada sejumlah cara yang dapat dipilih founder untuk memvalidasi dan membesarkan bisnis startup yang didirikan. Salah satu medium yang secara signifikan dapat membantu startup bertumbuh adalah program inkubator dan akselerator. Airbnb, Stripe, Ajaib, eFishery, Fazz, Privy, Xendit adalah sedikit dari ratusan startup tahap akhir yang dulunya merupakan lulusan program inkubator dan akselerator.

Melalui laporan bertajuk “Tinc Impact Report 2023”, Tinc selaku program akselerator startup milik Telkomsel bersama dengan DS/Innovate merangkum tren perkembangan program inkubator dan akselerator di Indonesia. Laporan ini turut melibatkan survei dan wawancara ke stakeholder terkait –termasuk founders, mentors, dan organizers—guna mendapatkan gambaran menyeluruh terkait sejauh mana program tersebut memberikan dampak terhadap founder dan bisnisnya.

Laporan ini terdiri dari 5 pembahasan utama, sebagai berikut:

  1. Tren digitalisasi dan startup di dunia dan Indonesia; mendalami tentang perjalanan penetrasi teknologi digital dalam satu dekade terakhir. Salah satu data yang diungkapkan, bahwa fintech masih menjadi salah satu sektor yang paling menarik dieksplorasi, dibuktikan dengan gelontoran investasi yang cukup besar di sini. Ada lebih dari 250 startup fintech yang sudah menjadi unicorn di dunia, mengumpulkan total pendanaan hampir $40 miliar dalam kurun 2021-2022.
  2. Memahami ekosistem startup builder, program inkubator dan akselerator; mendefinisikan konsep dasar dari program inkubator dan akselerator, juga manfaat dan kurikulum yang diberikan masing-masing sesuai dengan stage-nya.
  3. Perkembangan program inkubator dan akselerator di Indonesia; menjabarkan tentang aneka program inkubator dan askelerator yang telah berjalan di Indonesia, juga dikategorikan berdasarkan sejumlah variabel pembeda, digambarkan pada grafik berikut ini:
  4. Perspektif stakeholder terhadap program inkubator dan akselerator; hasil survei dan wawancara terhadap berbagai pihak yang terlibat langsung dalam program tersebut di Indonesia. Salah satu temuan menariknya adalah 90% founder peserta survei telah memiliki pemahaman terkait program inkubator dan akselerator; 82% di antaranya memiliki rencana untuk bergabung ke salah satu programnya. Kemudian dari sejumlah responden yang pernah mengikuti inkubator/akselerator mengatakan ada tiga hal yang paling dirasakan dampaknya setelah lulus dari program terkait; pertama mendapatkan peningkatan kompetensi (85%), kedua mendapatkan perluasan jaringan (85%), dan ketiga meningkatkan kepercayaan diri (65%).
  5. Proposisi nilai Tinc sebagai program akselerator startup berdampak di Indonesia; membedah tentang program, fasilitas, hingga pembeda yang ditawarkan Tinc kepada para founder. Hingga kini Tinc telah mengakselerasi 34 startup dari 19 vertikal bisnis yang berbeda. Menariknya sudah ada 28 use cases kolaborasi antara startup binaan dengan perusahaan induk, yakni Telkomsel yang tentunya membuka peluang pertumbuhan besar, mengingat perusahaan telekomunikasi ini sudah memiliki basis pengguna dan sub-bisnis yang sangat luas.

Tentu masih banyak data-data dan temuan menarik yang diungkap ke dalam laporan – termasuk hal-hal yang masih perlu ditingkatkan dari inkubator/akselerator hingga program populer yang saat ini banyak diminati oleh founder di Indonesia. Selengkapnya dapat diunduh melalui tautan berikut ini: klik di sini.

Harapannya laporan ini dapat memperluas perspektif para pelaku di ekosistem startup Indonesia tentang program inkubator dan akselerator, sekaligus menjadi bahan untuk mengimprovisasi program-program yang ada sebelumnya sehingga dapat memberikan dampak yang lebih baik dan lebih luas.

Disclosure: DS/Innovate bersama Tinc dari Telkomsel memproduksi laporan ini

CEO Haymarket HQ Duco van Breeman / Haymarket

Program Akselerator Asal Australia Haymarket HQ Hadir di Indonesia

Program akselerator go-to-market asal Australia, Haymarket HQ, mengumumkan peluncuran “Southeast Asia Tech Immersion Mission” yang didukung penuh oleh Investment NSW. Inisiatif ini bertujuan untuk mendukung perusahaan teknologi dan investor dari Pusat Teknologi Sydney yang tertarik untuk mengeksplorasi dan terhubung dengan ekosistem kawasan ini.

Berdasarkan peluang dan potensi yang ditawarkan, ada tiga negara yang akan menjadi fokus utama pada program ini, mencakup Indonesia, Singapura dan Vietnam. Indonesia disebut sebagai salah satu yang utama karena memiliki populasi terbesar di Asia Tenggara serta memiliki sektor teknologi yang tengah berkembang pesat.

Program ini akan diadakan selama 9 hari, menyasar para pendiri dan investor yang ingin menjajaki peluang di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Sekitar 15 delegasi dari Tech Central Sydney akan dipilih untuk mengembangkan pemahaman tentang ekosistem teknologi di Asia Tenggara, meningkatkan akses ke modal dan kesepakatan, koneksi dengan pelanggan, dan jaringan mereka.

CEO Haymarket HQ Duco van Breemen mengungkapkan bahwa Asia Tenggara merupakan rumah bagi kelas menengah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, serta konglomerasi dan VC yang signifikan secara global, unicorn teknologi, dan sekumpulan besar talenta teknologi yang telah memberdayakan beberapa perusahaan teknologi Australia saat ini.

“Program ini dirancang untuk memungkinkan delegasi untuk mengeksplorasi dan terhubung dengan ekosistem di kawasan ini, sehingga mereka bisa memanfaatkan kekayaan peluang yang ditawarkannya,” ujar van Breemen.

SEA Tech Immersion Mission juga akan didukung oleh grup investasi swasta Arkblu Capital (investor Wahyoo, Jago, dan Izy di Indonesia) yang berbasis di Tech Central. Grup yang telah memiliki kantor di Sydney dan Jakarta ini menawarkan delegasi akses ke jaringan tepercaya di wilayah tersebut, memperkenalkan mereka ke kontak yang tepat yang memahami nuansa SEA dan tuntutan bisnis Australia.

Bersama dengan diluncurkannya inisiatif ini, Haymarket HQ juga sekaligus mengumumkan peluncuran Program Australia Vietnam Growth (AVG) untuk mendukung organisasi teknologi dan badan industri Australia untuk mengeksplorasi, memvalidasi, dan berekspansi ke Vietnam.

Program tersebut didukung penuh oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) di bawah Program Hibah Keterlibatan Ekonomi Australia Vietnam yang Ditingkatkan (AVEG). Selaras dengan prioritas strategis Australia, program ini berfokus pada ekonomi hijau dan digital dengan tujuan untuk menghasilkan hasil komersial serta membangun gerbang perdagangan dua arah yang berkelanjutan antara kedua negara.

Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Vietnam juga memiliki ekonomi digital yang bertumbuh dengan cepat, didorong oleh perkembangan infrastruktur digital dan ekonomi siber yang kuat. Teknologi digital dimanfaatkan untuk peningkatan infrastruktur industri, menyederhanakan rantai pasokan dan logistik, memberikan peningkatan kota pintar untuk mengurangi limbah, polusi, dan kemacetan lalu lintas, serta membantu bisnis beroperasi lebih efisien.

Melihat kerja sama Haymaker HQ yang dijalin bersama Vietnam, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada inisiatif baru yang bisa dilakukan bersama Indonesia. SEA Tech Immersion Mission sendiri didasarkan pada kerangka kerja Haymarket HQ yang telah dicoba dan diuji yang telah mendukung lebih dari 800 perusahaan untuk berekspansi ke pasar baru di seluruh wilayah APAC.

Ekosistem startup teknologi di Indonesia

Tahun 2022 dianggap banyak orang jadi tahun yang menantang, pasca-pandemi dua tahun lalu yang memberikan efek kejut bagi perekonomian kita. Isu pasar keuangan global, makroekonomi, hingga resesi jadi “momok” yang seakan memberi peringatan bagi ekosistem startup teknologi kita bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Fenomena “tech winter” yang terjadi dalam skala global ini sangat disayangkan juga memberikan dampak di ekosistem tanah air. Kabar pengurangan pegawai, sampai penutupan bisnis atau pivot, dialami oleh beberapa entitas startup dalam berbagai skala – yang bahkan dialami pula oleh startup-startup berstatus ‘unicorn’.

Meskipun begitu, tidak sedikit startup baru yang hadir menawarkan inovasi dengan nilai tambah dan investor yang terus mengalirkan pendanaan untuk menyokong ekosistem startup teknologi tanah air. Berdasarkan data publik yang dicatat DailySocial.id, di semester ganjil tahun ini setidaknya 73 pendanaan startup diumumkan ke publik (34 transaksi disebutkan nominalnya) dengan nilai $707 juta.

Octopus, agregator platform daur ulang sampah asal Indonesia, menjadi satu-satunya mewakil dari Indonesia di Google for Startups Accelerator: Circular Economy

Octopus Terpilih sebagai Peserta Program Akselerator Startup Google Khusus Bidang Circular Economy

Program “Google for Startups Accelerator: Circular Economy” mengumumkan 12 peserta terpilih dalam batch pertama. Octopus, agregator platform daur ulang sampah asal Indonesia, menjadi satu-satunya yang mewakili Indonesia. 11 startup lainnya berasal dari Amerika Serikat, Korea Selatan, India, dan Taiwan.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan Google pada hari ini (7/2), ke-12 startup yang mengikuti program GFS Accelerator menggunakan teknologi untuk menangani berbagai area masalah yang kompleks, mulai dari limbah makanan dan mode busana, hingga daur ulang dan produk yang dapat digunakan kembali (reusable products).

Selama tiga bulan ke depan, mereka semua akan diberikan pelatihan, mentoring, juga insight dari Google serta mentor eksternal untuk membantu mengembangkan proyek yang sedang dikerjakan. Lalu pada hari demo di akhir program, para peserta akan diminta mempresentasikan hal apa saja yang sudah mereka kerjakan.

“Bergabung dengan Google for Startups Accelerator memberikan kesempatan bagi kami untuk belajar lebih banyak dari Google, serta masuk ke jaringan ekosistem yang dapat membantu mengakselerasi Octopus yang tengah berkembang pesat. Salah satu topik yang membuat kami tertarik adalah yang terkait tentang acquiring new customers ataupun new consumers,” ujar Co-Founder & CEO Octopus Indonesia Moehammad Ichsan.

Menurutnya, ekonomi sirkular adalah hal yang sangat baru di Indonesia, sehingga untuk mendapatkan konsumen atau pengguna aplikasi masih merupakan tantangan terbesar yang kami hadapi saat ini. Dengan bergabung di program ini, ia berharap dapat mempelajari strategi untuk menarik minat pengguna dalam memanfaatkan platform Octopus secara berkelanjutan.

Head of Startup Ecosystem SEA, SAF, and Greater China Region Thye Yeow Bok menambahkan, di Indonesia industri sampah yang dikelola oleh para pemulung atau pekerja informal masih menjadi kunci pengelolaan sampah di negara ini, terutama di daerah pedesaan, sistem pengumpulan sampah secara konvensional belum diterapkan.

Dia memandang, Octopus memberikan solusi yang membuat pengumpulan sampah informal lebih mudah diakses dan efisien. Hal ini memudahkan individu maupun organisasi mendukung upaya daur ulang sampah di Indonesia. “Ini yang membuat kami sangat senang untuk mendukung dan membantu memperluas upaya mereka,” tambah Bok.

Bok melanjutkan, saat ini berbagai perusahaan dan organisasi di seluruh dunia mulai mengambil langkah untuk beralih dari model ekonomi linear, yakni model “ambil, buat, buang”, menuju ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular adalah model ekonomi yang memperpanjang masa pakai produk dan bahan baku sehingga dapat meminimalkan limbah dan bisa menghemat penggunaan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas.

“Saat ini di Google kami sedang mencari berbagai cara untuk memaksimalkan penggunaan kembali sumber daya di seluruh operasi, produk, dan supply chain kami. Selain itu, kami juga membantu berbagai pihak yang ingin sama-sama melakukannya, dengan mendukung startup yang berupaya membangun ekonomi sirkular.”

Managing Director gTech Sustainability Estee Cheng menambahkan, “Daur ulang berperan penting dalam memajukan ekonomi sirkular. Kini ada makin banyak perusahaan yang memikirkan aspek teknis dan desain produk mereka sejak dini, dan mengintegrasikan aspek kedaurulangan ke dalam produk mereka sejak awal untuk mendukung konsep ekonomi sirkular. Artinya, ketika suatu produk mencapai akhir masa pakainya, produk tersebut dapat diubah menjadi produk baru.”

Sebelumnya, Google mengumumkan GFS Accelerator baru pada Oktober 2022 dalam rangka mendukung startup serta organisasi nonprofit di Amerika Utara dan Asia Pasifik yang berusaha memecahkan tantangan terkait ekonomi sirkular, yang bertujuan meminimalisir sampah, memperpanjang masa pakai produk dan bahan baku, serta membantu meregenerasi sistem alam. Model ekonomi sirkular didasarkan pada prinsip mengurangi, menggunakan kembali, memperbaiki, meremajakan, serta mendaur ulang bahan baku dan produk.

Disebutkan ada ratusan aplikasi yang mendaftar untuk mengikuti program tersebut.

Program akselerator lainnya

Selain Google, sejumlah startup berdampak dari Indonesia juga pernah menjadi peserta dari berbagai program akselerator yang diselenggarakan pihak global. Berikut informasinya:

  1. Perusahaan VC yang berbasis di AS, AgFunder, dan ecosystem-builder yang berbasis di Singapura, GROW, menyelenggarakan AgFunder GROW Impact. Program yang pertama kali diadakan pada 2019 ini, telah mengumpulkan lebih dari $60 juta secara kolektif dari seluruh lulusan startupnya. Startup asal Indonesia, Green Rebel Foods adalah salah satu lulusannya.
  2. Program akselerator NINJA JICA 2022 bermitra dengan ANGIN memilih tiga startup berdampak asal Indonesia yang berhak untuk mengikuti program akselerasi pada November 2022. Ketiga startup tersebut adalah Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus. Mereka berhasil lolos setelah melalui proses kurasi dari total 200 startup yang mendaftar.
  3. Grow Impact Accelerator yang kini sudah membuka cohort ke-4 ini, memilih startup Mycotech Lab sebagai salah satu dari 10 startup terpilih dalam cohort ke-3. Tak hanya program mentoring dan akses ke jaringan pasar, peserta juga mendapat dana investasi sebesar $100 ribu.
  4. Sustainable Impact Accelerator yang diselenggarakan oleh Singapore Centre for Social Enterprise, raiSE, dan Quest Ventures, kini sudah membuka cohort ke-2. Peserta yang terpilih juga akan memperoleh dana investasi sebesar $40 ribu. Frea, startup yang didirikan oleh orang Indonesia, adalah salah satu pesertanya pada cohort pertama.
Jajaran stakeholder saat peresmian program Fight for Access untuk Indonesia / Fight for Access

Program “Fight for Access” Jaring Startup Berdampak dari Founder Perempuan

Setelah meluncur di Afrika Selatan, Brazil, dan Inggris, Fight for Access Accelerator Program meresmikan kehadirannya di Indonesia. Program akselerator yang diinisiasi oleh Reckitt dan Health Innovation and Investment Exchange (HIEx), memberikan kesempatan kepada penggiat startup perempuan untuk menjadi katalis inovasi kewirausahaan sosial untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia.

“Fight for Access Accelerator adalah upaya kita mengidentifikasi dan mendukung pegiat startup untuk menciptakan solusi inovatif dengan berbagai pemain di ekosistem kesehatan,” kata CEO HIEx Pradeep Kakkattil.

Untuk merealisasikan program ini, Reckitt dan HIEx turut bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan mitra pengembangan lainnya guna menyelesaikan masalah dan tantangan unik di kawasan Asia Tenggara. Melalui Fight for Access Accelerator, Reckitt dan HIEx menjadikan Sustainable Development Goal (SDG) sebagai fokus utama, yaitu untuk memastikan kehidupan sehat dan mewujudkan kesejahteraan hidup.

“Kami percaya bahwa ketika kami memberdayakan perempuan, kami memberdayakan seluruh keluarga dan masyarakat luas. Hal inilah yang mendorong kami menempatkan pemberdayaan perempuan sebagai inti dari program ini; untuk memastikan bahwa founders perempuan memiliki tempat di mana mereka didengar dan dihargai. Yang terpenting, mereka juga akan dibantu untuk membawa perubahan yang dunia perlukan,” kata Presiden Direktur Reckitt Indonesia Srinivasan Appan.

Investasi ekuitas senilai $25 ribu

Program ini terbuka untuk seluruh startup yang dipimpin oleh perempuan, dengan mendaftar melalui situs resmi yang telah disiapkan. Nantinya akan dipilih 20 pendaftar terbaik berdasarkan empat indikator: dampak, skalabilitas operasional, inovasi, serta keberlanjutan secara finansial. Saat sesi penjurian, peserta diberikan kesempatan untuk mempresentasikan bisnisnya serta peta jalan selama satu tahun.

Setelah melalui proses tersebut 6 startup akan dipilih untuk mengikuti program akselerator. Termasuk di dalamnya akses ke bootcamp, mentoring, serta pendanaan yang ditujukan untuk mengatasi hambatan terhadap pertumbuhan serta mendorong hasil yang positif di sektor kesehatan. Pakar global, termasuk ahli kesehatan dan higienitas Reckitt dari berbagai lini bisnisnya, akan membagikan pengetahuannya mengenai tantangan spesifik yang dihadapi oleh setiap peserta.

Tidak hanya itu, setiap pemenang akan mendapatkan investasi ekuitas sebesar $25 ribu dari Reckitt Fight for Access Fund, setelah melalui due diligence. Dukungan lain yang diberikan kepada cohort Fight for Access adalah, setelah satu tahun, evaluasi dan pengukuran terhadap dampak akan dilakukan untuk menciptakan kesuksesan yang berkelanjutan.

“Sejalan dengan perkembangan pesat teknologi kesehatan, kami berencana memperkenalkan sandbox regulasi inovasi kesehatan sebagai tempat para inovator untuk memberikan feedback yang diperlukan bagi pemerintah dalam merumuskan peraturan tertentu. Sandbox ini juga akan memastikan bahwa setiap solusi tersebut aman dan nyaman digunakan oleh masyarakat,” kata Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan RI Setiaji.

Jajaran founder startup yang terpilih di Accelerating Asia Cohort 7 / Accelerating Asia

Accelerating Asia Kembali Umumkan Startup Binaan, HealthPro Peserta Terpilih dari Indonesia

Accelerating Asia, pemodal ventura sekaligus program akselerator startup tahap awal kembali mengumumkan 10 startup terpilih untuk Cohort 7. Para peserta berasal dari berbagai negara, mulai dari Asia Selatan (Bangladesh, Pakistan), Asia Tenggara (Filipina, Myanmar, Singapura, Malaysia, Indonesia dan Thailand), hingga Asia Timur (Korea).

Program ini bersifat sektor agnostik, dapat diikuti oleh startup dari berbagai lanskap industri. Para startup terpilih di Cohort 7 ini adalah Cocotel, Hishabee, K-Link, Kooky.io, Safe Truck, Shoplinks, Easy Rice Digital Technology, BizB, Ulisse, dan terakhir HealthPro dari Indonesia.

Dalam rilis resminya General Partner Accelerating Asia Amra Naidoo mengungkapkan, investasi baru tersebut membawa portofolio Accelerating Asia menjadi 60 startup dan telah mengumpulkan total investasi lebih dari $50 juta. Untuk peserta di Cohort 7 sendiri telah mengumpulkan $5,2 juta, sebelum bergabung dengan program akselerator.

Investasi baru di Cohort 7 juga diklaim memiliki daya tarik pasar dan pertumbuhan pendapatan dengan nilai rata-rata GMV lebih dari $46.000 per bulan dan rata-rata pendapatan bulanan lebih dari $13.000.

“Apa yang kami lihat di Cohort 7 adalah semacam inflasi kesuksesan. Sepuluh startup yang kami investasikan memiliki pencapaian yang lebih signifikan dalam pendapatan, akuisisi pengguna, dan metrik lainnya yang biasanya diasosiasikan dengan startup tahap awal.”

Para startup yang lolos dalam Cohort teranyar ini sebelumnya telah melalui proses kurasi ketat. Tercatat ada sekitar 600 startup yang mendaftarkan dalam program.  Jumlah tersebut meningkat hingga 232% sejak batch pertama hingga saat ini.

Sejak tahun 2019, Accelerating Asia telah berinvestasi pada 100 lebih pendiri dari 60 startup, menjadikan mereka sebagai salah satu investor paling aktif di startup tahapan pra-seri A di Asia Tenggara dan Selatan.

Fokus kepada profitabilitas

Menurut Co-founder dan General Partner Craig Bristol Dixon, Accelerating Asia selalu berinvestasi kepada bisnis yang dapat menghasilkan uang secara langsung dan difokuskan kepada rencana keuangan yang cerdas dan pendiri yang dapat memonetisasi celah di pasar dalam jangka pendek.

“Dalam hal investasi kami mengikuti strategi sederhana, yang pertama kami kembali kepada organisasi yang dapat menghasilkan uang dalam iklim ekonomi apa pun, kedua pendiri yang dapat bernavigasi dalam kondisi pasar apapun,” kata Dixon.

Accelerating Asia meluncurkan Fund II pada tahun 2021, Cohort 7 adalah investasi gelombang ketiga untuk Fund II yang akan memberikan modal di seluruh startup pra-seri A di kawasan Asia Tenggara dan Selatan.

“Ketika kami mulai beroperasi beberapa tahun lalu, ide Accelerating Asia masih kepada visi ke depan untuk Asia Pasifik. Sekarang saya senang melihat bahwa itu berjalan dengan baik, lebih banyak startup melakukan scale-up secara cepat. Sebagian besar berkat sistem dukungan yang dapat mereka gunakan,
yang mencakup semuanya, mulai dari acara dan konferensi hingga sindikasi angel investor,” kata Naidoo.

Sejak meluncurkan program mereka sudah banyak startup asal Indonesia yang mengalami pertumbuhan positif. Mulai dari TransTRACK.ID dan Tokban yang merupakan peserta dalam Cohort 6; hingga Karyakarsa yang telah mengumpulkan pendanaan putaran awal senilai $498.000 dari Accelerating Asia, Sketchnote Partners, serta angel investor ternama.

Program akselerator Google for Startups Accelerator (GfS Accelerator), kini spesifik mengangkat tema Circular Economy untuk batch pertamanya

Google Buka Batch Pertama Program Akselerator Khusus Ekonomi Sirkular

Program akselerator Google for Startups Accelerator (GfS Accelerator), kini spesifik mengangkat tema ekonomi sirkular untuk batch pertamanya. Google mencari startup dan organisasi nirlaba di Asia Pasifik dan Amerika Utara yang berupaya menciptakan ekonomi sirkular dan membangun masa depan yang berkelanjutan tanpa pemborosan.

Melalui program tersebut, Google akan memilih organisasi yang menggunakan teknologi untuk mengatasi tantangan sirkular, termasuk dalam aktivitas penggunaan kembali (reuse), isi ulang (refill), daur ulang (recycling), pengomposan, fesyen, makanan, bahan yang aman dan sirkular, dan lingkungan binaan (build environment).

Dalam konferensi pers virtual, Head of Startup Ecosystem, SEA, SAF and Greater China Region Google Thye Yeow Bok menyampaikan bahwa Google mencari 10 hingga 15 startup dalam cohort perdana ini. Tidak ada investasi ekuitas yang diberikan untuk tiap peserta, malah nantinya dalam demo day yang berlangsung pada akhir program, akan difasilitasi bertemu dengan investor potensial.

“Kita tidak mengambil ekuitas dari startup peserta. Justru saat demo day, kita akan beri mereka fasilitas untuk terhubung dengan investor potensial,” kata Bok.

Lebih lanjut, Google for Startups Accelerator menawarkan program virtual selama 10 minggu, mencakup pendampingan dan dukungan teknis dari insinyur Google dan pakar eksternal melalui campuran sesi pembelajaran 1-to-1 dan 1-to-many. Peserta juga akan didampingi Success Manager untuk mendapatkan lebih banyak dukungan khusus untuk organisasi mereka.

Pembukaan peserta berlangsung mulai hari ini (4/10) sampai 14 November mendatang. Sementara, program akan dimulai pada Februari 2023. Informasi lebih lanjut mengenai pendaftaran dapat diakses langsung melalui situs resmi.

Latar belakang Google

Dijelaskan lebih jauh, keputusan Google untuk membuka batch khusus ekonomi sirkular ini karena tiap tahunnya terdeteksi manusia mengonsumsi lebih banyak daripada yang dapat diisi ulang secara alami oleh bumi. Pada tahun ini diprediksi permintaan global akan sumber daya diproyeksikan menjadi 1,75 kali lipat dari yang dapat diregenerasi oleh ekosistem bumi dalam setahun.

Sebagian besar dari sumber daya yang diekstrak dan gunakan akhirnya menjadi limbah dan menambah lebih dari dua miliar ton limbah padat yang dihasilkan setiap tahun.

Model ekonomi linier terbukti membawa banyak kemajuan bagi umat manusia dalam waktu singkat. Namun, model ini juga telah menciptakan kerusakan lingkungan, ketidakadilan, dan kesenjangan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kekurangan sumber daya yang berada di dekat kawasan industri di mana kadar polusi lebih tinggi.

Oleh karenanya, seluruh pihak perlu membangun kembali hubungan dengan sumber daya fisik dengan membuat, memroses, menggunakan, dan mendaur ulang untuk menciptakan ekonomi sirkular yang lebih aman, berkelanjutan, dan lebih adil bagi semua pihak.

Menurut Google, kawasan Asia-Pasifik adalah titik awal yang baik untuk berinovasi dan menciptakan solusi ekonomi sirkular. Kawasan ini adalah wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebanyak 90% dari semua plastik yang terbawa sungai di lautan hanya berasal dari sepuluh sungai, delapan di antaranya berada di APAC. Pada 2040, kawasan Asia diperkirakan akan mendorong 40% dari nilai konsumsi dunia.

Dengan latar belakang ini, banyak ekosistem startup dan inovasi di Asia-Pasifik yang berkembang mewakili peluang dan keinginan untuk menciptakan produk original dan bermanfaat di ruang ekonomi sirkular. Peningkatan minat dalam impact investing di beberapa tahun terakhir, menandakan bahwa para investor menyadari perlunya mendukung solusi keberlanjutan.

Di Google sendiri, dalam implementasi ekonomi sirkular ini telah memberlakukan sejumlah inisiatif yang tertuang dalam produk-produknya. Misalnya, memetakan lokasi drop-off daur ulang di Maps dan Search; membangun model ML untuk mengidentifikasi sampah di jalanan; sumber terbuka dan model ML untuk membantu pusat daur ulang meningkatkan analisis/pengelolaan limbah.

“Masih banyak ruang yang perlu dilakukan. Kami ingin mendukung startup dan non-profit yang yang merupakan inovator di ruang ini,” tutup Managing Director Tech Sustainability Google Estee Cheng.

Microsoft for Startup Founders Hub

Program “Founders Hub” dari Microsoft Memiliki Misi Berdayakan Startup Tahap Awal

Pada Maret 2022 lalu, Microsoft resmi meluncurkan inisiatif “Microsoft for Startup Founders Hub”. Platform ini memberikan akses ke panduan teknis yang dipersonalisasi di setiap tahap pengembangan startup. Pendekatan yang digunakan juga telah disesuaikan dengan fase pertumbuhan startup.

Program ini juga memungkinkan founder mendapatkan bimbingan dan mentoring dari para ahli terkait baragam topik bisnis—mulai dari perekrutan untuk strategi go-to-market, serta pengetahuan yang mereka butuhkan untuk maju ke tahap berikutnya.

Menurut laporan Startup Ranking, Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara dengan jumlah perusahaan rintisan atau startup terbanyak di dunia pada 2022. Tercatat, ada sekitar 2346 startup yang dirintis di negeri ini. Jumlah ini menempatkan Indonesia di posisi kelima dalam daftar tersebut, di bawah AS (71.405), India (6.258), dan Kanada (3.332).

Microsoft menyadari kebutuhan untuk mengubah gagasan menjadi solusi yang nyata, berdampak, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dukungan yang diberikan kepada startup pun dimulai dengan pendekatan kolaboratif agar bisa mengakomodasi perusahaan rintisan dari berbagai latar belakang.

“Kami berharap Microsoft for Startup Founders Hub menjadi solusi untuk perusahaan rintisan anak bangsa agar semakin terberdayakan, selaras dengan misi dan upaya kami untuk #BerdayakanIndonesia,” ujar Country Lead Azure GTM Microsoft Indonesia, Fiki Setiyono.

Fiki juga menambahkan bahwa program ini dapat dimanfaatkan oleh semua orang dan siapa pun dengan ide yang layak mendapatkan solusi untuk berinovasi dan terus tumbuh. Mulai dari fase ideation menjadi prototype, kemudian pada fase develop dengan membangun minimum viable product, kemudian bertumbuh dan siap merilis merilis produk ke pasar atau mulai mendapatkan pelanggan hingga ke tahap scale.

Salah satu manfaat yang ditawarkan dari program ini adalah membantu startup berkembang dengan kecepatannya sendiri hingga mendapatkan kredit Azure hingga $150.000 dengan berbagai fase atau tahapan. Tidak hanya itu, program ini juga bisa membantu meningkatkan developer velocity, mengakselerasi produktivitas tim dengan Microsoft 365 dan Microsoft Teams, serta produk-produk Microsoft lain yang bisa membantu mengembangkan bisnis.

Portofolio Founders Hub

Salah satu perusahaan rintisan yang menjadi bagian dalam ekosistem startup Microsoft adalah Opsigo. Perusahaan ini menghadirkan platform terintegrasi untuk mendigitalisasi industri travel dan pariwisata. Kelahiran Opsigo terinspirasi dari kurangnya kemampuan sistem global untuk mengakomodasi keunikan proses bisnis yang ada di negara-negara Asia Tenggara.

Data yang dipaparkan oleh tim Opsigo menunjukkan bahwa sekitar 80% dari konsumen agen travel merupakan konsumen korporasi yang membeli tiket dan voucher hotel untuk keperluan perjalanan dinas mereka. Melihat peluang dari sektor korporasi yang lebih mulus, Opsigo mulai mengembangkan Opsicorp, sebuah platform pengelolaan perjalanan dinas untuk korporasi.

Melalui platform ini, korporasi dapat merencanakan perjalanan, melakukan penerbitan tiket atau voucher hotel secara otomatis, dan memastikan perjalanan dinas tersebut sesuai dengan kebijakan perjalanan perusahaan. Teknologi unggul Opsicorp juga memungkinkan integrasi dengan berbagai platform internal perusahaan, termasuk sistem ERP dan keuangan.

Selain itu, korporasi dapat melihat data pola perjalanan dinas untuk mencari peluang efisiensi yang dapat dilakukan. Alhasil, korporasi diharapkan dapat mempersingkat waktu dan menekan biaya perjalanan hingga 20-30%, seraya menjamin kepatuhan pada kebijakan perjalanan dinas perusahaan. Sejumlah korporasi yang telah menggunakan layanan Opsicorp, antara lain Avrist, Kanmo Retail, Pegadaian, Pertamina, Sritex, dan masih banyak lagi.

CEO Opsigo Edward Nelson Jusuf mengungkapkan bahwa produk atau layanan yang diberikan Opsigo sangat berkaitan dengan transaksi keuangan. Maka dari itu, perusahaan harus dapat menjamin keamanan data dan sistem layanan. Salah satu alasan perusahaan bergabung dengan ekosistem Microsoft adalah sistem keamanan yang premium meyakinkan perusahaan tetap aman, sehingga  mencegah menimbulkan kerugian untuk nasabah ataupun perusahaan.

“Selain itu, pelanggan Opsigo, baik itu dari BUMN maupun korporasi, secara umum juga memanfaatkan ekosistem Microsoft seperti Azure, sehingga sistem Opsigo mudah terintegrasi dengan sistem mereka,” ungkapnya dalam diskusi virtual “Empowering Indonesian Startups for Digital Indonesia” pada hari Kamis (22/09).

Selain itu, Microsoft juga mewadahi dan membekali upskilling platform seperti Alkademi. Berawal dari komunitas digital di Bandung, Alkademi menyediakan berbagai pelatihan teknologi bagi anak muda di daerah suburban sebagai upaya menjawab kebutuhan akan sembilan juta talenta digital Indonesia pada tahun 2030. Kini, sekitar 2.000 siswa telah mendapatkan manfaat dari kelas-kelas yang ditawarkan Alkademi.

Sejak didirikan, Alkademi memanfaatkan Microsoft Azure sebagai basis dari Learning Management System (LMS) mereka. Familiaritas dan keandalan yang Alkademi rasakan dalam ekosistem Microsoft mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam Microsoft for Startups Founders Hub, sekaligus menjadi yang pertama dari Indonesia pada awal tahun 2022. Dalam program tersebut, Alkademi mendapatkan akses infrastruktur teknologi Microsoft, wadah networking dan mentorship, serta go-to assistance dari ahli Microsoft global.

Pada dasarnya, program-program inkubator dan akselerator yang ada saat ini menawarkan kemudahan bagi founder dalam melakukan eskalasi bisnis.  Berdasarkan hasil riset yang dilakukan DailySocial.id, per tahun 2021, ada sekitar 17 program inkubator dan/atau akselerator yang masih aktif membuka batch untuk startup baru. Beberapa di antaranya yang aktif menjaring termasuk program akselerator Surge dari Sequoia Southeast Asia dan India, Founder Institute, dan Y Combinator. 

Jajaran tim Nusantics / Nusantics

Nusantics Kantongi Pendanaan dari Program Akselerator Global “Illumina”

Setelah mengikuti program akselerator yang diinisiasi oleh Illumina, Inc. (NASDAQ: ILMN), Nusantics yang merupakan platform biotech lokal, mengatakan telah mengantongi pendanaan dari program tersebut. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa pendanaan yang diterima. Selama enam bulan, Nusantics mengikuti rangkaian program akselerator yang fokus kepada sekuensing DNA dan teknologi berbasis array.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri mengungkapkan, dana segar tersebut akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk terus mengembangkan riset human microbiome dan produk-produk turunannya.

“Biotechnology itu harus global dan idenya harus terus di uji coba dan di peer-reviewed. Tidak bisa jago kandang, kita harus rutin kalibrasi apalagi tujuan kita membawa bioteknologi Indonesia di kancah global.”

Dalam keterangan resminya disebutkan, selama siklus programnya enam bulan dua kali per tahun, Illumina Accelerator menyediakan kepada startup terpilih akses ke investasi awal, panduan bisnis, keahlian genomik, dan ruang lab yang beroperasi penuh yang berdekatan dengan kampus Illumina di Cambridge atau Bay Area.

Selanjutnya Nusantics juga berencana untuk menjalin kolaborasi strategis dengan Illumina untuk melakukan riset terkini terutama kepada human respiratory microbiome. Tercatat saat ini ada lebih dari 20 juta orang di Indonesia yang di diagnosis dengan microbial related infection setiap tahunnya, kebanyakan yang berhubungan dengan gangguan pernapasan.

Nusantics sendiri sebelumnya telah mendapatkan pendanaan seri A dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin East Ventures. Nusantics didirikan oleh Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama.

Fokus kepada pengembangan

Bisnis inti Nusantics terletak pada kapabilitas R&D. Selain membudidayakan produk dan layanan kecantikan, Nusantics berencana bekerja sama dengan pemangku kepentingan di bidang kesehatan dan pendidikan untuk memproduksi test kit untuk menganalisis dan memantau profil mikrobioma.

Sejak awal meluncur misi dari Nusantics adalah memanfaatkan kemampuan dalam riset mikrobioma untuk mengembangkan dua generasi alat uji (test kit) Covid-19 berbasis PCR dengan tingkat sensitivas dan spesifitas tinggi. Alat uji tersebut mampu mendeteksi beragam mutasi virus Corona di Indonesia, termasuk strain virus yang baru-baru ini mewabah di Inggris.

Alat uji generasi pertama telah didistribusikan ke 19 provinsi sebagai bagian dari gerakan Indonesia PASTI BISA berkolaborasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Perusahaan juga bermitra dengan Bio Farma dalam pengembangan alat uji generasi kedua yang memangkas proses diagnosis pengujian menjadi tiga kali lebih cepat. Diklaim alat uji ini terbukti masih relevan dengan mutasi virus terkini yang mendeteksi mewabah di Inggris.

Startup ini pertama kali memperkenalkan teknologinya ke industri kecantikan. Di labnya, Nusantics Hub, startup tersebut melakukan tes usap wajah bagi konsumen untuk menilai dan menilai keragaman mikrobioma kulit. Mereka juga menyediakan layanan konsultasi untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit.

Menurut Nusantics, mikrobioma yang beragam dan seimbang sangat penting untuk kulit yang sehat, jadi memahami keseimbangan mikrobioma dapat menghasilkan pilihan yang tepat tentang produk perawatan kulit yang sesuai dengan kondisi fisik alami seseorang.

Para pendiri yang terlibat dalam Surge 07 / Surge

Semaai dan Whiz Jadi Startup Lokal yang Terpilih di Surge Kohort ke-7

Surge, selaku program akselerator besutan Sequoia Southeast Asia dan India resmi mengumumkan kohort ketujuhnya yang diikuti oleh 15 startup tahap awal, melibatkan 37 founder. Terdapat dua startup asal Indonesia yang terpilih untuk bergabung, yaitu Semaai dan Whiz.

Selama tiga tahun terakhir, Surge telah berkembang pesat, termasuk memperkuat komitmen dengan meningkatkan kucuran dana untuk startup tahap awal binaannya. Sebelumnya mereka memberikan seed funding di rentang $1 juta – $2 juta, kini ditingkatkan hingga $3 juta.

Hingga saat ini,  komunitas Surge telah menaungi 281 founder dari 127 startup dalam 16 sektor. Startup-startup Surge telah mengumpulkan pendanaan secara kolektif sebesar lebih dari Rp25,2 triliun ($1,7 miliar), dengan lebih dari 60% perusahaan dari lima kohort pertamanya mengumpulkan pendanaan seri A dan seterusnya.

Para founder masa kini membidik bisnis mereka untuk panggung dunia. Mayoritas dari perusahaan ini membangun dari tahap awal untuk pasar-pasar global dan membidik khalayak di luar pasar asal mereka, hampir setengahnya hadir di pasar-pasar Amerika Serikat dan Eropa.

Beberapa founder yang terlibat sudah pernah memiliki pengalaman, seperti mantan CFO dari Nykaa, insinyur pertama Uber di India, teknisi yang membantu pengembangan Apache Hive, dan sebagainya. Selain itu, sepertiga dari startup-startup di kohort kali ini memiliki setidaknya satu founder perempuan.

Rajan Anandan selaku Managing Director Sequoia India & Southeast Asia dan Surge mengungkapkan kekaguman yang mendalam akan ambisi dan keanekaragaman ide yang ada, serta kaliber para founder dari tiap kohort dalam program Surge, tak terkecuali Surge 07.

“Kami telah bermitra dengan semua perusahaan tersebut di tahap paling awal pembangunan perusahaan, dengan hampir setengahnya masih dalam tahap pra-peluncuran pada saat memulai kemitraannya. Para founder kami membawa pengalaman dan kreativitas mereka yang luas, dan kami percaya bahwa para pemimpi, inovator dan pembangun kategori ini memiliki potensi untuk mengubah masa depan kawasan ini dan dunia,” ujarnya.

Startup Indonesia di program Surge

Indonesia sendiri diketahui menjadi salah satu negara yang ditargetkan oleh program akselerator ini. Dalam setiap kohort, terdapat minimal satu startup asal Indonesia yang menjadi perwakilan. Pertama kali dimulai pada Maret 2019, Bobobox dan Qoala bergabung sebagai representasi Indonesia. Diikuti dengan Bobobox dan Qoala.

Dalam tiga kohort terakhir, ada BukuKas, Hangry, CoLearn, Otoklix, Durianpay, Bukugaji/Vara, dan Rara Delivery. Dalam kohort ketujuh ini, terdapat dua startup asal Indonesia yang bergabung, yaitu Semaai dan Whiz.

Semaai merupakan startup agritech yang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah sistemik seperti itu di industri dengan menawarkan platform yang komprehensif untuk komunitas pertanian, dengan fokus awal pada input pertanian, seperti benih, pupuk, pestisida dan alat pertanian.

Belum lama ini perusahaan juga telah mengumumkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Surge, diikuti oleh Beenext dan sejumlah angel investor, seperti Nipun Mehra (Ula), Harshet Lunani (Qoala), dan Prashant Pawar (Houlihan Lokey).

Sektor pertanian dalam ekosistem startup digital di Indonesia sendiri kian menunjukkan potensi luar biasa. Bahkan saat pandemi, beberapa layanan terkait bisnis budidaya mendapati traksi yang luar biasa, beberapa di antaranya sudah menjadi soonicorn seperti Tanihub, Eden Farm, Aruna, dan eFishery.

Sementara itu, Whiz merupakan perusahaan fintech yang memfokuskan layanannya untuk kalanganr remaja di Indonesia. Startup yang digawangi oleh Agnes Wirya Lie, Dominic Sumarli, dan Frederick Widjaja ini memungkinkan remaja dapat membuka rekening keuangan pertama mereka dengan aplikasi yang mudah digunakan, melakukan pembelian melalui sistem pembayaran QR yang diterima secara luas di Indonesia, dan belajar tentang penganggaran dan tabungan.

Di antara padatnya persaingan di ranah fintech, solusi yang ditawarkan oleh Whiz membuka ruang untuk pasar yang lebih awam untuk sedini mungkin bisa terpapar oleh literasi keuangan. Beberapa aplikasi yang sudah lebih dulu meluncur seperti Finansialku, Sribuu, Pay Ok, PINA, Finoo, Moni, Xettle, Finku, Neu (Fazz Financial Group). Sebagian dari mereka juga sudah mengantongi kepercayaan dari investor dalam bentuk perolehan dana segar.

Saat ini, Semaai dan Whiz tengah menjalani program 16 minggu yang ketat secara hybrid. Surge 07 juga menghadirkan pembicara dan mentor yang sebelumnya sudah pernah terlibat dalam program ini termasuk Siu Rui Quek (Carousell), William Tanuwijaya (Tokopedia/GoTo), Chatri Sityodtong (ONE Championship) dan Doug Leone (Sequoia Capital).

Pada dasarnya, program-program inkubator dan akselerator yang ada saat ini menawarkan kemudahan bagi founder dalam melakukan eskalasi bisnis. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan DailySocial.id, per tahun 2021, ada sekitar 17 program inkubator dan/atau akselerator yang masih aktif membuka batch untuk startup baru.

Program Akelerator Startup Upturn

Upturn Bicara Debut Program Akselerator hingga Tesis Investasi

Startup Upturn resmi memulai program akselerator perdananya pada Mei 2022 lalu. Mengklaim pencapaian positif pada debut program ini, Co-founder dan Partner Upturn Riswanto berencana memperluas keterlibatannya di industri startup melalui kendaraan investasi baru.

Selain Riswanto, Upturn turut didirikan Ayunda Afifah dan Bharat Ongso. Sejak April 2022, pihaknya telah berganti nama dari sebelumnya “Tunnelerate”. Selain itu, Upturn kini beroperasi dengan entitas baru PT Upturn Akselerasi Nusantara dan telah menghentikan operasional pada entitas yang menaungi Tunnelerate. Perlu dicatat, Upturn merupakan startup untuk program akselerator, bukan pemodal ventura (VC).

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Riswanto bercerita singkat mengenai program akselerator, hipotesis, hingga rencana investasi startup. Ia juga mengungkap tengah melakukan perekrutan untuk mengisi posisi Managing Partner yang dapat mewakili Upturn jangka panjang.

Program akselerator

Alih-alih fokus terhadap alasan rebranding, Riswanto lebih menyoroti upaya Upturn untuk membantu mengakselerasi bisnis startup di Indonesia. Dengan posisinya saat ini, program akselerator menjadi langkah tepat untuk memfasilitasi founder ke sejumlah mentor, investor, dan jaringan yang dimiliki Upturn.

Sebagai gambaran, nilai ekonomi digital di Indonesia tercatat sebesar $70 miliar pada 2021 yang juga terbesar di Asia Tenggara. Angka tersebut diperkirakan dapat menembus $146 miliar pada 2025.

Upturn telah meluncurkan “Upturn Scale Program Batch I” pada 17 Mei 2022. Sebanyak 14 peserta terpilih dari 200 pendaftar untuk mengikuti kegiatan selama sepuluh minggu. Adapun, sekitar 15 mitra VC terlibat dalam kegiatan Demo Day. Melalui kegiatan Demo Day, pihaknya berupaya mendorong kesiapan peserta untuk memformulasikan pitch deck sehingga dapat menarik minat investasi bagi pengembangan bisnisnya.

Ke-14 peserta ini di antaranya adalah Jaramba, Flash Campus, Broiler X, Wiseree, Cari Mobil, Bengkel Mania, Bintang Kecil, Goritax, Kibble, Psikologimu, Rakamin Academy, Sgara, Stellar X, dan Belajar Lagi.

“Kami mendapat support dari Amazon Web Services (AWS), Xendit, GoWork, dan beberapa perusahaan tradisional yang ingin melakukan transformasi digital. [Melalui program ini] kami bantu startup untuk melakukan validasi [masalah],” ujarnya.

Tesis investasi

Saat ini, Upturn mengincar sektor agnostik. Namun, mengingat para Partner Upturn punya sejumlah core expertise tertentu, ada beberapa sektor yang dinilai masih potensial di Indonesia, seperti agriculture, aquaculture, dan fintech; selain sektornya besar, fintech berkembang dinamis.

Selain itu, Partner Upturn memiliki pengalaman karier kombinasi, yakni pernah bekerja di perusahaan tradisional dan startup. Hal ini menjadi nilai tambah untuk berfokus pada fundamental bisnis dan unit economics. “Kami tidak ingin berinvestasi karena takut tertinggal [tren]. Malah, peserta di Batch I rata-rata sudah profitable dan bootstrapping. Contoh, platform Belajar Lagi,” ungkap Riswanto.

Sekadar informasi, Riswanto merupakan angel investor di startup agritech Eratani. Ia dan Bharat Ongso memiliki pengalaman karier kuat di sektor IT dan fintech. Sementara itu, Afi memiliki pengalaman karier kuat pada bidang people dan culture.

“Menurut tesis kami, saat dunia sedang krisis, orang akan kembali ke [hal] dasar. Orang butuh makanan, infrastruktur seperti logistik, dan modal melalui fintech. Maka itu, Upturn menawarkan value pada product development [berdasarkan pengalaman karier] dan business network yang kami miliki,” tambahnya.

Pihaknya meyakini masih banyak founder potensial dan bisnisnya berjalan baik di Indonesia, tetapi tidak memiliki know-how yang cukup untuk mencari pendanaan ke VC. Alih-alih berinvestasi karena tren, ia ingin menekankan komitmennya untuk mencari startup yang memiliki produk yang betul-betul dipakai pengguna dan membangun sustainable business.

Not every shiny founder [dengan latar pendidikan dari universitas ternama] can create a successful business. Sebaliknya, not every non-shiny founder tidak bisa membangun startup yang bagus.”

Kendaraan investasi

Riswanto menekankan bahwa pihaknya ingin mengambil peran di industri digital melalui dua wadah berbeda. Maka itu, usai debut program perdananya ini, Upturn berencana mendirikan entitas baru yang berfungsi sebagai kendaraan investasi. Sementara, program akselerator angkatan kedua akan digelar pada tahun depan.

Ia berujar, rencana tersebut sejalan dengan feedback positif yang diterima dari program akseleratornya. “Kami dapat banyak exposure sehingga ada ajakan untuk kolaborasi. Ini menjadi sinyal positif karena artinya banyak yang mulai vertical-focused,” ujar Riswanto.

“Kami pikir startup yang sudah menjalankan program akselerator pasti ingin mencari pendanaan. Di Batch I, ada startup yang kami coba hubungkan ke investor, dan ada yang sudah closing,” ucapnya.

Dalam beberapa bulan ke depan, pihaknya akan mengeksplorasi model yang dinilai cocok dengan visi-misi Upturn. Ia mempertimbangkan investasi lewat model kemitraan dengan VC atau perusahaan digital, seperti Grab Velocity Ventures (Grab) atau Sembrani Wira (BRI Ventures).