Tag Archives: achmad alkatiri

Bisnis Brand Aggregator

Thrasio Kolaps, Resiliensi Startup Roll-up E-commerce Lokal Dipertanyakan

Pengembang layanan roll-up e-commerce atau brand aggregator Thrasio beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat startup. Perusahaan yang telah mendapatkan $3,4 miliar funding dari 18 investor tersebut dikabarkan tengah melakukan restrukturisasi — bahkan pemberitaan WSJ, mengatakan mereka tengah bersiap untuk menyatakan kebangkrutan.

Isu utamanya karena masalah keuangan internal yang diakibatkan penurunan pesat penjualan pasca-pandemi.

Menjalankan model bisnis roll-up sejak 2018, Thrasio bekerja mengakuisisi brand dari bisnis pihak ketiga yang rata-rata sukses melakukan penjualan di Amazon. Saat ini ada sekitar 150 brand yang sudah diakuisisi dan diakselerasi oleh tim Thrasio. Dengan pendanaan terbarunya yang membawa perusahaan di valuasi lebih dari $5 miliar, mereka ingin menggandakan pendapatan tersebut 10x lipat.

Namun nasib kurang baik melanda startup yang didirikan Joshua Silberstein dan Carlos Cashman ini. Setelah krisis akibat Covid-19, terjadi penurunan pembelian online di platform Amazon. Di sisi lain, ada tren perubahan pola konsumen yang tadinya meningkatkan pembelanjaan online, lalu kembali ke mode offline seperti sebelum pandemi.

Efisiensi bisnis pun sempat dilakukan Thrasio, tahun lalu 20% tenaga kerja telah dirumahkan.

Performa penjualan Amazon sempat menurut setelah pandemi / FT
Performa penjualan Amazon sempat menurut setelah pandemi / FT

Sebenarnya ini bukan cerita kegagalan pertama dari platform roll-up e-commerce. Sebelumnya Benitago Group, agregator Amazon lainnya, mengajukan kebangkrutan dua tahun setelah mengumpulkan pendanaan sebesar $325 juta. Kondisi ini turut mempengaruhi iklim investasi di sektor ini mencapai 88% pada tahun 2022.

Pandangan pemain lokal

Bisnis roll-up e-commerce turut dikembangkan di Indonesia. Saat ini ada sejumlah pemain di vertikal ini, dua di antaranya adalah Hypefast dan Tjufoo. Keduanya berkembang cukup pesat dalam dua tahun terakhir dan mendapatkan dukungan dana ekuitas dari investor.

Untuk menggali pandangan para pelaku industri terkait fenomena yang terjadi dengan Thrasio, DailySocial.id berkesempatan untuk diskusi dengan Founder sekaligus CEO dari kedua startup tersebut, yakni Achmad Alkatiri (Mad) dan TJ Tham.

Mad berpendapat, berbagai platform roll-up e-commerce punya strategi masing-masing. Namun jika melihat apa yang terjadi dengan Thrasio, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran.

Pertama, akuisisi brand yang dilakukan terlalu  banyak dan terlalu cepat. Menurut Mad, ini mengakibatkan proses onboarding dari brand tersebut tidak begitu maksimal, karena untuk tak jarang tantangan yang cukup menantang muncul dalam pengelolaan portofolio, mengingat masing-masing brand kadang perlu perlakukan khusus. Pada akhirnya ini berdampak langsung pada growth yang kurang baik—karena tanpa sinergi dan optimasi biaya.

Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad) / Hypefast
Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad) / Hypefast

Faktor kedua, Thrasio dinilai lebih condong mengakuisisi “hero product“, bukan “hero brand“. Ini membuat tantangan yang semakin berat ketika ada pemain lain yang muncul menawarkan varian produk yang sama dan dihargai lebih murah, seperti Amazon Basics. Di sana tidak ada loyalitas, karean tidak ada proses “brand building“.

Faktor berikutnya terkait dengan keputusan founder menggalang terlalu banyak utang. Mad mengatakan, “Too much debt raised when the capital was cheap, and with that, paid too high multiples on brand acquistion because of assets competition on acquistion.”

Misalnya per tahun 2021, Thrasio telah mengumpulkan pendanaan debt senilai $650 juta. Dalihnya dengan dana utang tersebut, founder meyakini Thrasio akan memiliki fleksibilitas dan likuiditas tambahan seiring dengan targetnya mengakuisisi lebih banyak merek di lintas negara. Faktanya suku bunga yang terus naik tanpa diimbangi peningkatan penjualan membuat perusahaan kesulitan untuk melakukan pembayaran debt yang dimiliki.

Faktor terakhir, Thrasio terlalu fokus berjualan di Amazon—kontribusi penjualan di sana bisa sampai 95%. Dengan menempatkan revenue utamanya di satu keranjang, dinilai berpotensi mendapatkan turbulensi kencang ketika pemilik platform merilis kebijakan baru (misal terkait algoritma atau produk) yang berdampak langsung pada brand terkait.

Selain poin yang diungkapkan Mad di atas, TJ juga menambahkan “Brand aggregator atau D2C apa pun tidak hanya dapat dipertahankan tetapi juga berkembang jika ada fokus pada profitabilitas berkelanjutan, distribusi omnichannel, dan pengembangan ekuitas merek jangka panjang, bukan sekadar mengejar pendapatan.”

Yang membuat roll-up e-commerce lokal berbeda

Pemain lokal seperti Tjufoo dan Hypefast memiliki pendekatan berbeda dengan Thrasio. Dan menurut TJ, secara pasar juga memiliki karakteristik berbeda. Di Indonesia dan Asia Tenggara, ekosistem e-commerce terfragmentasi yang memaksa setiap brand untuk melakukan diversifikasi saluran penjualan. Belum lagi jika berbicara di Indonesia, ritel 90% lebih masih didominasi offline.

“Di sinilah Tjufoo sejak awal berdirinya memiliki pendekatan distribusi omnichannel, 70% penjualan dihasilkan secara offline,” ujar TJ.

Seperti baru-baru ini Dapur Coklat, salah satu portofolio Tjufoo, mengumumkan pembukaan outlet baru. Didirikan sejak 2001, kini Dapur Cokelat telah memiliki 32  gerai dan 56  titik pengiriman di sejumlah kota besar di Indonesia.

Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham (tengah) bersama dua pendiri brand yang diakuisisi Heri Hertanto (ACMIC) dan Andre Susilo (Cypruz) / Tjufoo
Co-Founder & CEO Tjufoo TJ Tham (tengah) bersama dua pendiri brand yang diakuisisi Heri Hertanto (ACMIC) dan Andre Susilo (Cypruz) / Tjufoo

Untuk mendesain bisnis yang berkelanjutan, sejumlah strategi juga digencarkan oleh pemain lokal. TJ merangkum strategi tersebut ke dalam tiga poin utama. Pertama, fokus membangun merek dan menjual produk. Kedua, bermitra dengan para pendiri brand dan meningkatkan keterampilan mereka.

Dan yang ketiga, menyuplai dengan talenta berkualitas di berbagai lini operasional untuk mendorong lebih dalam penetrasi bisnis mereka.

Tjufoo sendiri mengklaim sudah profitabel sejak awal tahun 2023 ini dengan 5 merek dengan pengalaman gabungan lebih dari 46 tahun. Untuk mengakselerasi bisnisnya lebih lanjut, perusahaan juga tengah melakukan finalisasi ronde pendanaan berikutnya  — dikatakan penutupan pendanaan ini tidak akan lama lagi.

Pengelolaan terpadu

Sementara menurut yang keterangan Mad, Hypefast menghasilkan pendapatan bersih sebesar $43 juta pada 2022, hampir 2x lipat pendapatan mereka pada tahun 2021 ($22 juta), tanpa akuisisi merek baru dan murni dari pertumbuhan organik merek yang sudah ada. Hypefast juga sudah dalam kondisi profitabel.

Dalam wawancara sebelumnya Mad bercerita, meskipun Hypefast beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal.

Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Proses operasionalnya tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.

Cross border facility kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat investasi ke brand, kami ini upgradingtheir business fundamental.”

Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.

Kerja sama mendalam dengan e-commerce lokal juga dipertajam. Hypefast belum lama ini menandatangani kerja sama Joint Business Plan (JBP) bersama Lazada Indonesia. Kerja sama ini akan membantu brand portofolionya melalui berbagai kegiatan kolaboratif seperti exclusive launch products, joint event, marketing barter, training and development, hingga inovasi lainnya.

Startup brand aggregator Hypefast menandatangani kerja sama eksklusif dengan Lazada Indonesia untuk mendorong pertumbuhan brand lokal

Hypefast dan Lazada Teken “Joint Business Plan”, Mudahkan Brand Lokal Jual Produk

Startup brand aggregator Hypefast menandatangani kerja sama eksklusif dengan Lazada Indonesia untuk kolaborasi jangka panjang mendorong pertumbuhan brand lokal.

Konkretnya dituangkan melalui Joint Business Plan (JBP) antara Lazada Indonesia dengan brand yang dinaungi Hypefast, termasuk di antaranya exclusive launch products, joint event, marketing barter, training and development, hingga inovasi lainnya untuk mendukung pertumbuhan brand lokal.

Dalam kesempatan yang sama, Hypefast juga memperkuat kerja sama dengan Cosmax Indonesia, perusahaan maklon untuk produk health and beauty. Bentuk konkretnya juga mirip, brand di bawah Hypefast memiliki akses untuk transfer teknologi melalui penelitian dan pengembangan produk.

Langkah ini diambil dalam rangka menyambut antusiasme masyarakat terhadap kehadiran brand lokal yang terus meningkat. Data Ipsos Global Trends 2023 menyebut, sebanyak 51% masyarakat meyakini kualitas brand lokal mampu bersaing dengan brand global. Artinya, saat ini brand lokal memiliki peran yang kian signifikan dan mampu berkontribusi lebih besar untuk membangun perekonomian nasional.

“Kepercayaan masyarakat terus meningkat terhadap brand lokal saat ini unprecedented, dan diprediksi akan terus meningkat, seiring penetrasinya yang meluas dan menjangkau hingga pelosok negeri. Momentum ini adalah kesempatan emas untuk mendorong dominasi brand dan produk lokal,” ujar Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri, Rabu (29/11).

Menyabut komitmen bersama ini, CEO Lazada Indonesia James Chang menyampaikan, pihaknya menyambut baik inisiatif dari Hypefast untuk memajukan brand lokal secara bersama-sama. Di Lazada sendiri sudah ada lebih dari 500 brand lokal ternama yang sudah bergabung di platformnya.

Chang juga menyampaikan, ekosistem penunjang juga sangat dibutuhkan oleh bisnis lokal agar mereka dapat terus bertumbuh. Saat ini, ekosistem e-commerce di Indonesia kian matang, makanya tak heran semakin banyak bisnis lokal yang menampakkan diri.

“Kami percaya, komitmen kerja sama ini menjadi penguat ekosistem bisnis lokal untuk dapat terus tumbuh bersama, terutama dengan berbagai fasilitas dan fitur yang Lazada sediakan untuk brand lokal yang bergabung ke Lazada,” kata Chang.

Terkait alasan kerja sama dengan Cosmax, Mad, panggilan akrab dari Achmad, menuturkan berangkat dari data internal Hypefast yang dihimpun dari lebih dari 3000 brand lokal Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam bisnis brand lokal adalah supply chain, product development, dan proses produksi yang membutuhkan profesionalisme dengan standar kualitas tinggi –khususnya untuk kategori health and beauty.

Oleh karenanya, dibutuhkan kemitraan dengan Cosmax yang memiliki fasilitas produksi berstandar internasional. President Director Cosmax Indonesia, Cheong Min-Kyoung menyampaikan, perusahaan berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk health and beauty berkualitas dan relevan dengan kebutuhan pasar Indonesia.

“Keterlibatan mitra lokal memegang peranan penting dalam mewujudkannya; melalui kolaborasi dengan brand lokal dalam mengembangkan produk yang tidak hanya memenuhi standar global kami, tetapi juga merespons secara langsung preferensi dan kebutuhan pasar lokal.”

Prediksi tren bisnis

Mad melanjutkan, dari hasil riset internal perusahaan bersama pemain industri, diprediksi bahwa produk kategori mom and kids, terutama personal care akan unggul pada dua hingga tiga tahun mendatang. Alasannya, kategori health and beauty yang mulai jenuh dengan pertumbuhan yang tidak sefantastis sejak awal.

Di industri, pasar ini memang tergolong memiliki margin tebal walau butuh riset yang berbulan-bulan. Dari laporan Hypefast, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan produk health and beauty mencapai 4-6 bulan dan modal minimal Rp50 juta. Kendati demikian, laba kotor yang bisa diperoleh rata-rata 65% dan pembelian berulang hingga 58%.

“Produk health and beauty mulai saturated, sekarang mulai terjadi shifting kategori mom and kids, terutama personal care. Kami proyeksikan [kategori ini] akan unggul pada dua tahun mendatang.”

Tren ini juga tercermin dari kinerja Hypefast. Dalam data terakhir yang dipublikasi, kategori mom and kids berkontribusi terhadap 49% dari total pendapatan perusahaan. Lalu disusul, beauty (34%) dan fesyen (17%). Bila dilihat berdasarkan EBITDA, urutannya juga sama, yakni mom and kids (62%), beauty (35%), dan fesyen (3%).

Kanal penjualan kini didominasi oleh jalur offline (52%) dan online (48%). Salah satu brand di bawah Hypefast, Luxcrime, mencatat kanal offline terus catatkan pertumbuhan. Angkanya dari 12% di 2020 menjadi 48% pada 2023.

Diklaim, Hypefast mencapai pendapatan bersih sebesar $43 juta pada 2022, tumbuh dari $22 juta pada 2021. Disebutkan perusahaan telah berinvestasi untuk lebih dari 15 brand lokal dengan nilai mencapai Rp 434 miliar. Beberapa brand tersebut antara lain, Luxcrime, Roughneck, Bonnels, Soleram, Nyonya Nursing Wear, Adeola Scarf, Fabil Natural, dan Bohopana.

Application Information Will Show Up Here
Startup brand agregator Hypefast merumahkan (PHK) 30% karyawan yang tersebar di Asia Tenggara (Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, Bangkok)

Hypefast PHK 30% Karyawan Demi Kejar Target Profit

Startup brand agregator Hypefast mengonfirmasi telah merumahkan 30% karyawan, termasuk kontrak dan tetap dengan posisi yang tumpang tindih. Perusahaan berdalih langkah ini diambil demi mengejar pertumbuhan berkelanjutan, ditandai dengan profitabilitas yang lebih baik dan arus kas yang positif.

Tak hanya itu, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri menyampaikan langkah tersebut juga diambil sebagai bentuk respons perusahaan menghadapi beberapa tantangan yang diperkirakan terjadi pada tahun depan, termasuk peningkatan biaya penjualan seperti biaya merchant yang lebih tinggi yang ditetapkan berbagai channel, biaya logistik dan biaya terkait lainnya, serta kondisi makroekonomi.

“Kami telah memperoleh EBITDA yang menguntungkan sejak awal tahun 2022, namun ini adalah upaya kami untuk merespons dan bersiap menghadapi beberapa tantangan yang diperkirakan terjadi tahun depan [..] Tujuannya adalah untuk terus menghasilkan keuntungan dan mencapai arus kas bebas yang positif sambil meningkatkan pendapatan kita,” ucap dia dalam keterangan resmi, Rabu (23/8).

Dalam data terakhir yang diungkap perusahaan, tercatat jumlah karyawan Hypefast mencapai lebih dari 350 orang yang tersebar di Asia Tenggara (Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, dan Bangkok). Dengan demikian, diestimasi karyawan terdampak mencapai 105 orang.

Kepada karyawan terdampak, ia memastikan akan terus mendukung mereka dengan penempatan kerja dan peluang karier di masa depan semaksimal mungkin. Berikut benefit yang akan diberikan:

  • Karyawan yang terkena dampak akan menerima pesangon yang sepenuhnya sesuai dengan peraturan Indonesia;
  • Asuransi kesehatan lanjutan untuk seluruh keluarga sampai akhir tahun;
  • Norma ESOP yang dilonggarkan;
  • Dukungan pekerjaan:
    • Daftar Bakat Alumni — Hypefast akan meluncurkan situs web untuk membantu talenta yang terkena dampak menemukan pekerjaan baru. Terdapat halaman profil karyawan, resume, dan contoh pekerjaan yang dapat diakses oleh calon pemberi kerja.
    • Tim Penempatan Alumni — Selama beberapa bulan ke depan, sebagian besar tim perekrutan akan diubah menjadi Tim Penempatan Alumni untuk memberikan dukungan kepada karyawan yang akan berangkat guna membantu mereka menemukan pekerjaan berikutnya.
    • Dukungan Alumni yang Ditawarkan Karyawan — Hypefast juga mendorong semua karyawan yang tersisa untuk ikut serta dalam program ini guna membantu talenta yang keluar menemukan peran mereka selanjutnya.

“Setiap pemberi kerja akan beruntung memiliki para alumni Hypefast karena kualitas, dedikasi, dan anti-kerapuhan mereka yang telah terbukti. Para talenta ini bekerja bersama kami untuk menskalakan dengan cepat sambil membangun bisnis yang menguntungkan, dan kami berkomitmen untuk membantu mereka menemukan pemberi kerja yang ingin memiliki bakat seperti itu,” tutup Achmad.

Diklaim, Hypefast mencapai pendapatan bersih sebesar $43 juta pada 2022, tumbuh dari $22 juta pada 2021. Kinerja tersebut dicapai tanpa adanya akuisisi merek baru pada portofolionya, sehingga sebagian besar didorong oleh pertumbuhan organik pada merek-merek utama sekaligus mendiversifikasi kehadiran saluran ritel.

Perusahaan telah berinvestasi untuk lebih dari 15 brand lokal dengan nilai mencapai Rp 434 miliar. Beberapa brand tersebut antara lain, Luxcrime, Roughneck, Bonnels, Soleram, Nyonya Nursing Wear, Adeola Scarf, dan lainnya.

Survei Hypefast: Tren Belanja Offline Kembali, Aksesibilitas di Daerah Jadi Perhatian

Startup rollup e-commerce Hypefast mengungkap terjadi tren channel shifting atau peralihan penggunaan kanal belanja oleh pembeli produk brand lokal sejak beberapa tahun terakhir.

Dalam sesi paparan “Mengupas Tren Brand Lokal 2023” yang diambil dari 5.000 sampel brand lokal di Indonesia, terungkap konsumen mulai kembali berbelanja di toko offline karena sejumlah marketplace mulai menaikkan platform fee pada transaksi hingga mengurangi subsidi gratis ongkos kirim. Menurut surveinya, strategi tersebut ditempuh karena marketplace tengah mengejar profitabilitas.

“(Konsumen) berpotensi shifting ke marketplace kompetitor atau belanja di toko offline. Konsumen di daerah pun enggan belanja online. Makanya, toko offline tengah dilirik brand lokal untuk masuk ke kota tier 2 dan tier 3. Begitu mulai masuk distribusi offline, masuk ke convenient store, aksesibilitas menjadi jauh lebih luas dibanding online presence,” tutur Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri (Mad), Rabu (21/6).

Tren ini juga terlihat pada pendapatan akumulasi grup Hypefast. Mad menyebut pendapatan dari penjualan online Hypefast menyumbang porsi 88% pada sepuluh bulan lalu. Namun, sekarang pendapatan online dan offline perusahaan masing-masing mengambil porsi 50%. “Kami melihat tren belanja offline kembali lagi,” tumbuhnya.

Sebagai tambahan, saat ini Shopee disebut masih menjadi kanal utama penjualan brand lokal, terutama brand lokal yang sejak awal memasarkan produknya lewat kanal online. Shopee disebut memiliki basis pembeli loyal bagi brand lokal.

Lantas, lanjut Mad, pihaknya tak serta-merta akan menambah toko offline. Untuk saat ini di level grup, Hypefast belum berencana menambah toko baru. Namun, pemilik brand berpotensi untuk membuka toko offline apabila menunjukkan kinerja penjualan yang baik di toko flagship.

Saat ini, Hypefast punya multibrand store sebagai toko flagship untuk berbagai portofolio brand. Toko flagship dibidik sebagai branding channel, bukan revenue channel. Adapun, Hypefast telah memiliki lebih dari 15 portofolio brand lokal, termasuk di segmen fashion dan beauty.

Tak hanya channel shifting, survei ini juga menemukan tren transisi brand atau brand shifting sejak 3-4 tahun lalu. Brand lokal yang utamanya didorong oleh segmen fashion, kini mulai beralih ke health & beauty. Pemilik brand menilai persaingan di fashion semakin ketat. Berbeda dengan segmen beauty yang punya barrier-to-entry besar karena butuh modal usaha yang besar juga.

Menurutnya, pelaku usaha bisa membangun brand fashion dengan modal Rp3 juta. Di segmen ini, potensi pembeli berulang mencapai 32% dengan laba kotor rata-rata sebesar 32%. Namun, pergerakan tren fashion sangat cepat yang mana perlu ada SKU baru setiap dua minggu.

Sementara, produk beauty perlu modal sekitar Rp50 juta dengan potensi pembeli berulang sebesar 58% dan laba kotor rata-rata 65%. Produk beauty juga memiliki expiration date lebih lama. Segmen ini tengah berkembang pesat karena manufakturnya mulai banyak dibuka di Indonesia. Situasinya berbeda dengan dulu di mana riset produk kecantikan bisa memakan waktu dua tahun.

Melihat tren ini, ia bilang bahwa perusahaan akan fokus ke segmen health & beauty karena menyumbang EBITDA terbesar ke kinerja perusahaan. Hypefast mengklaim sudah EBITDA positif sejak 2021, serta mencapai EBITDA positif dan net income positif di 2022. Pendapatan akumulasinya (semua brand di bawah entitas Hypefast) diklaim mencapai Rp1 triliun, mayoritas dari organik, bukan acquired revenue.

“Untuk strategi top line dan bottom line kami, lini fashion menyumbang top line paling besar, sedangkan beauty berkontribusi paling besar ke EBITDA dan bottom line Hypefast–yang mana ini normal karena gross margin profile berbeda,” ungkapnya.

Tahun ini, Hypefast membidik pertumbuhan double digit sambil melihat potensi akuisisi brand, terutama di kategori health & beauty dan mom & kids. Untuk memperkuat posisinya sebagai house of brand, ia juga mengungkap minatnya untuk masuk ke ekosistem penunjang, tidak hanya di ekosistem brand saja.

Disinggung soal rencana penggalangan dana baru, ia menutup, “we’re lucky enough to be a profitable business. Ini belum urgent sekarang. Kami masih menunggu.”

Hypefast, mengusung konsep rollup e-commerce, telah berinvestasi ke 25 merek lokal dan didukung 250 talenta di empat negara.

Mengenal Konsep “Rollup E-Commerce” yang diusung Hypefast

Umumnya di satu titik sebuah bisnis online sering terhambat untuk bertumbuh. Isunya cukup beragam, ada yang kesulitan mencari talenta yang tepat, tambahan modal, meningkatnya operasional, dan sebagainya, sehingga dibutuhkan mitra yang tepat agar mereka dapat eskalasi bisnisnya dengan baik. Kebutuhan tersebut disadari Achmad Alkatiri saat bekerja di beberapa perusahaan sebelum akhirnya merintis Hypefast pada Januari 2020.

Konsep yang dianut Hypefast disebut sebagai rollup e-commerce. Kurang lebih serupa apa yang dikembangkan Thrasio, sebuah startup unicorn Amerika Serikat. Thrasio bekerja dengan mengakuisisi merek penjual di Amazon yang sukses, memberi founder-nya jalur exit yang menguntungkan, lalu meningkatkan skala produknya dengan ekosistem yang telah mereka bangun.

Mengapa rollup e-commerce hadir

Template Thrasio cukup sukses diterapkan berbagai startup di sejumlah negara. Thrasio, yang memasuki usianya ketiga, kini menjadi unicorn bervaluasi $6 miliar yang berhasil mengelola portofolio global 100 merek. Mereka menghasilkan pendapatan $500 juta dan laba $100 juta sepanjang tahun lalu.

Startup sejenis adalah Perch, Branded Group, dan Elevate Brands. Di India, kondisinya lebih riuh. Ada Mensa Brands, GlobalBees, 10Club, Upscalio, Evenflow, Powerhouse91, dan GOAT Brands Lab.

Di skala Asia Tenggara ada Una Brands dari Singapura yang juga telah memiliki tim di Indonesia. Di Indonesia, selain Hypefast, terdapat OpenLabs yang baru mengumumkan kehadirannya.

Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep rollup e-commerce ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.

Sumber: Pixabay

Tak mengherankan, rollup e-commerce mendapat popularitas karena memberikan peluang unik bagi bisnis yang mencari jalan exit lebih awal tanpa kerumitan penggalangan dana dan penilaian. Startup yang didukung VC sering menunggu lama untuk mendapatkan harga terbaik atau pengembalian yang baik bagi investor.

Banyak penjual online dan merek D2C kecil-menengah menghadapi kendala karena mereka tidak memiliki strategi pertumbuhan yang kohesif meskipun menjual produk yang bagus. Semua bisnis ini dapat dengan mudah mendapatkan keuntungan dari model rollup e-commerce.

Suresh melanjutkan, merintis bisnis adalah proses berkelanjutan yang melewati beberapa fase. Dari menyiapkan operasi hingga menemukan produk-pasar yang cocok untuk meningkatkan dan berkembang, setiap fase adalah bagian dari evolusi yang mencakup tiga pilar mendasar —orang, proses, dan produk.

Ketiga pilar ini berfungsi dalam mengembangkan bisnis. Misalnya, ketika sebuah perusahaan dimulai, bagian “orang” pada dasarnya melibatkan tim founder. Pada tahap ini, individu menangani banyak peran dan tujuannya untuk menemukan product-market fit.

Ketika bisnis berkembang dan operasi menjadi lebih terspesialisasi, setiap unit akan membutuhkan profil yang tepat untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Menurut Suresh, sebuah bisnis akan mandek dan gagal mencapai potensi sebenarnya jika tidak mampu membuat keputusan perekrutan yang efektif.

Pilar kedua adalah “proses”. Untuk merek D2C, ini biasanya mencakup manufaktur, pemasaran, logistik, keuangan, dan dukungan teknis. Tetapi, ketika bisnis meningkat dan tumbuh, penting untuk menyiapkan proses baru dan mengoptimalkan yang sudah ada. Kegagalan untuk menempatkan semua proses yang diperlukan pada tempatnya akan membuat pekerjaan menjadi sulit.

Akhirnya, datanglah “produk”, pilar pertumbuhan ketiga. Suresh menyoroti perlunya “perubahan” untuk menjelajahi area/pasar baru dan tetap relevan dari waktu ke waktu.

Mengawasi dengan tajam tren baru atau bahkan tidak aktif sangat penting untuk bisnis karena perlu beradaptasi dengan cepat untuk mempertahankan basis pelanggannya. Menggunakan pandangan ke depan yang strategis untuk mengidentifikasi peluang bisnis juga penting bagi merek D2C yang beroperasi di pasar konsumen yang cepat berubah dan sangat kompetitif.

Memelihara ketiga pilar pertumbuhan ini adalah kunci untuk mengoptimalkan bisnis seseorang, tetapi pertumbuhan akan sulit dicapai tanpa akses ke pendanaan yang sesuai. Sekali lagi, investasi modal dalam bisnis telah mengalami evolusi dari waktu ke waktu.

Pada awalnya, ada kekayaan individu untuk mengembangkan usaha seseorang. Berikutnya datang segala macam pinjaman institusional, terutama pembiayaan utang, diikuti oleh pendanaan VC, rute yang lebih mudah untuk modal. Pembayaran terjadi melalui ekuitas.

“Hari ini datang pilar keempat untuk pertumbuhan — model rollup. Tapi itu hanya datang ketika ada ekosistem yang berkembang. Dan ini adalah bukti meningkatnya ekosistem D2C di India yang memungkinkan pemain seperti kami untuk masuk,” kata Suresh.

Perkembangan Hypefast

Mad, sapaan akrab dari Achmad, menjelaskan lebih sederhana bagaimana Hypefast bekerja. Dia sendiri lebih lebih suka menggunakan istilah house of ecommerce brand atau e-commerce brand aggregator.

Di industri ritel terdapat P&G dan Unilever yang membuat merek di bawahnya dari nol, lalu ada MAP yang melisensi merek global untuk dikelola di bawah MAP untuk beroperasi di pasar lokal. Hypefast bekerja seperti demikian, mengakuisisi merek potensial untuk dikembangkan lebih jauh dengan ekosistem yang sudah dibangun.

“Saat kita raise pre-seed round di Q4 2019, banyak investor tanya siapa benchmark Hypefast di luar negeri, ya saya jawab setau saya enggak ada karena saat itu Thrasio masih stealth mode. Tapi kita tetap go with that, sampai akhirnya Thrasio muncul dan menjadi unicorn, ini menjadi validasi yang kuat dan good timing for us untuk tumbuh lebih kencang,” ucap Mad saat dihubungi DailySocial.

Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri / Hypefast

Meskipun beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal. Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Diklaim perusahaan telah mencapai titik profitabilitas.

Meski tidak dirinci, Mad menyebut pembagian hasil antara Hypefast dengan merek telah dibuat seadil mungkin.

Sesudah mengakuisisi suatu merek, mereka akan masuk ke dalam ekosistem Hypefast untuk ditingkatkan pendapatannya dengan cara yang paling rasional, bukan dengan meningkakan anggaran marketing dan bakar uang dengan memberikan subsidi.

Playbook kami adalah selalu menumbuhkan growth by the book, menumbuhkan revenue dengan cara yang sustainable. Ini bentuk kedisiplinan kami untuk selalu menjaga P&L dan revenue positif karena tujuan utama kami bukan hanya bangun scalable bisnis, tapi juga profitable.”

Daripada menyebut Hypefast sebagai salah satu rollup e-commerce/growth builder/venture builder, Mad lebih sepakat untuk memberi identitas Hypefast sebagai growth partner untuk e-commerce native brands.

Saat mengincar merek baru, tim Hypefast akan melihat merek mana yang sudah mencapai product-market fit dan memiliki potensial yang tinggi untuk dijual di luar negeri. Syarat berikutnya, merek tersebut memiliki pendapatan bulanan minimal Rp500 juta perbulan dan sudat peroleh laba, minimal margin 15% dari pendapatan dan mayoritas omzet datang dari channel online.

Cakupan merek yang diincar ini tak hanya dari Indonesia, namun juga sudah merambah ke Malaysia, Singapura, dan Thailand, mengingat Hypefast sudah memiliki tim lokal di sana. Nantinya, tim lokal tersebut akan bertanggung jawab untuk seluruh transaksi yang terjadi di dalam portofolio Hypefast, yang memanfaatkan platform digital populer yang dipakai konsumen di negara tersebut.

“Untuk membuktikan bahwa merek tersebut sudah kuat, kita juga melihat apakah pendapatannya mereka mulai stabil minimal dalam 12 bulan terakhir. Tak hanya itu, fokus mencari founder yang punya level ambisius untuk tumbuh bersama-sama karena kami ini cari partnership untuk grow the growth.”

Ticket size yang diberikan Hypefast untuk masing-masing portofolionya hingga $10 juta. Tak hanya dana segar, founder juga akan terhubung dengan ekosistem ritel Hypefast secara end-to-end. Proses operasionalnya akan tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.

Cross border facility ini kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat invest ke brand, kami ini upgrading their business fundamental.”

Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.

Rencana berikutnya

Merek lokal D2C ke depannya akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasi e-commerce terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

“Kita lihat semakin banyak brand baru yang mulai bermunculan, enggak hanya dari angka jumlah pemainnya yang meningkat, tapi jumlah konsumennya juga ikut naik. Hal ini terjadi karena mereka itu membawa sesuatu yang dicari-cari konsumen dan tentunya ini bedampak positif.”

Bisnis yang diincar Hypefast untuk diakuisisi saat ini bergerak di kategori gaya hidup, seperti fesyen, kesehatan dan kecantikan, personal care, dan aksesori. Sejauh ini mayoritas portofolionya bergerak di industri fesyen, jumlahnya ada lebih dari 25 merek.

Beberapa nama di antaranya adalah Noore, Bonnels, Motiviga, Monomom, Nona, dan Nona Nara. Baru-baru ini perusahaan mengumumkan kemitraan dengan Cosmax Indonesia, menandai masuknya perusahaan ke industri kecantikan dan kesehatan.

Cosmax Indonesia memiliki kekuatan di bidang inovasi dan riset kecantikan, didukung dengan tim riset dan pengembangan produk, kapasitas produksi yang menjangkau hingga 110 juta unit, dan fasilitas manufaktur seluas 13.890 meter persegi. Mereka bekerja sama dengan merek kecantikan lokal dan perusahaan multinasional dengan jaringan terintegrasi, kemampuan infrastruktur yang memberikan solusi responsif dan ribuan formulasi inovatif.

“Untuk brand di luar Indonesia, masih dalam tahap diskusi final. Ada beberapa yang sudah tahap signing, masih banyak juga yang masih dalam diskusi. Semuanya ini adalah kategori lifestyle sebagai core kami.”

Perusahaan untuk berinvestasi setidaknya ke 15 merek lokal kesehatan dan kecantikan pada tahun depan, dengan target pendanaan hingga Rp50 miliar per merek.

Dalam mendukung target perusahaan, Hypefast akan menambah jumlah talentanya hingga 1.000 orang sampai satu sampai dua tahun mendatang. Saat ini talenta perusahaan berjumlah 250 orang tersebar di empat negara.

“Talenta itu adalah faktor penting dalam pertumbuhan kami. Hypefast mencari individu yang passionate di e-commerce brand, terutama di Indonesia. Banyak hal yang akan kita kerjakan bersama-sama,” tutup Mad.

Hingga kini, Hypefast telah memperoleh pendanaan ekuitas sebesar $22 juta serta tambahan pendanaan debt dengan jumlah yang tidak disebutkan dari kalangan investor terkemuka di Asia Tenggara dan dunia. Investor-investor yang mendukung Hypefast termasuk Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, dan Strive.

Hypefast Reportedly Secures Additional Funding, Entering the Centaur List

Hypefast online retail group startup reportedly secures an additional $5.5 million funding (over 78 billion Rupiah). According to DailySocial.id sources, this round was participated by Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, and several others. Those investors previously participated in a $14 million series A round in July 2021.

Through this funding, Hypefast is going strong into the ranks of the next centaur (aspiring unicorn) startup in Indonesia. Centaur is a term for startups that have reached a valuation of over $100 million and under $1 billion. One of these valuations is measured based on the total funding obtained from investors.

Hypefast is yet to officially confirm the two rounds of fresh funding. Until this news was published, the company’s representatives have not responded.

As a retail company, Hypefast’s focus is slightly different. They invest and acquire startups that focus on “digital & e-commerce native brands” with potential to be developed into global brands.

Aside from capital support, Hypefast helps brand owners gain marketing, production and operational support, to use data to help business analysis. Thus, the brand can grow significantly in a short time.

The brand categories Hypefast have acquired come from fashion, beauty, health, and lifestyle – which are produced, marketed, and sold directly to consumers through various online channels, such as each brand’s website, social media, marketplace platform, and Buiboo offline store.

To date, Hypefast has managed more than 20 brands in its network with a total team of more than 150 people in Southeast Asia. Some of these brands are BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, and Bonnels.

Hypefast previously targeted to bring local brands to the global market in a more effective and scalable way by the end of 2022. “Currently our focus is on preparing infrastructure and access, therefore, it can be a long-term solution,” said Hypefast’ Founder and CEO, Achmad Alkatiri in an official statement.

New economy startup momentum

According to CBInsights, D2C startup funding performance has decreased globally in 2020. One of the reasons is the pandemic. However, in Indonesia, it is gaining momentum, due to the presence of a massive generation of young entrepreneurs.

Marketing creativity through digital channels, such as social media, allows brand developers to get attention and profit from the local market. The strategies vary, some collaborate to present limited products with well-known influencers, create viral marketing strategies, and others.

Another important factor is the high interest of consumers to shop on online platforms. According to e-Conomy 2020, Indonesia’s e-commerce GMV reached $32 billion, the largest in the region.

In addition, according to a survey conducted by Facebook, there is a tendency for consumers in Indonesia to buy new brand products, which is the highest percentage compared to neighboring countries in Southeast Asia. This makes market competition more dynamic, compared to a customer base that is loyal to only certain products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan lanjutan Hypefast

Hypefast Dilaporkan Kantongi Pendanaan Tambahan, Masuk ke Jajaran Centaur

Startup grup ritel online Hypefast dilaporkan mengantongi tambahan dana segar sebesar $5,5 juta (lebih dari 78 miliar Rupiah). Menurut sumber DailySocial.id, putaran ini diikuti oleh Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, dan beberapa lainnya. Jajaran investor tersebut sebelumnya berpartisipasi dalam putaran seri A sebesar $14 juta pada Juli 2021.

Dengan pendanaan ini, mengokohkan Hypefast ke dalam jajaran startup centaur (aspiring unicorn) berikutnya di Indonesia. Centaur adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta dan di bawah $1 miliar. Valuasi ini salah satunya diukur berdasarkan total pendanaan yang didapat dari investor.

Hypefast belum memberikan konfirmasinya secara resmi terkait dua putaran dana segar ini. Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons yang diberikan dari perwakilan perusahaan.

Sebagai perusahaan ritel, fokus Hypefast sedikit berbeda dengan kebanyakan. Mereka berinvestasi dan mengakuisisi startup yang memiliki fokus pada “digital & e-commerce native brands” yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi brand global.

Selain dukungan kapital, Hypefast membantu pemilik merek mendapat dukungan pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis. Dengan demikian, brand dapat tumbuh secara signifikan dalam waktu yang singkat.

Kategori brand yang diakuisisi Hypefast datang dari fesyen, kecantikan, kesehatan, dan gaya hidup -yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual langsung ke konsumen melalui berbagai kanal online, seperti website masing-masing brand, media sosial, platform marketplace, dan toko offline Buiboo.

Sejauh ini Hypefast telah mengelola lebih dari 20 brand di dalam jaringannya dengan total tim lebih dari 150 orang di Asia Tenggara. Beberapa brand tersebut adalah BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, dan Bonnels

Hypefast sebelumnya menargetkan dapat membawa brand lokal ke pasar global dengan cara yang lebih efektif dan scalable pada akhir 2022 mendatang. “Saat ini fokus kami mempersiapkan infrastruktur dan akses sehingga bisa menjadi solusi jangka panjang,” kata Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri dalam keterangan resmi.

Momentum startup new economy di Indonesia

Menurut data CBInsights, secara global performa pendanaan startup D2C mengalami penurunan di tahun 2020. Salah satunya diakibatkan oleh pandemi. Namun di Indonesia tengah mendapatkan momentum, lantaran kehadiran generasi pengusaha muda yang cukup marak.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Faktor penting lainnya adalah tingginya minat konsumen untuk berbelanja di platform online. Menurut e-Conomy 2020, GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk keluaran brand baru adalah tertinggi secara persentase dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Hypefast Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri A Senilai 203,5 Miliar Rupiah (UPDATED)

*Pembaruan per 23 July 2021: Pihak Hypefast mengoreksi bahwa perusahaannya mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” alih-alih “Direct to Consumer”. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal distribusi brand produk, yakni melalui e-commerce dan kanal sendiri.

Hypefast dikabarkan telah membukukan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 203,5 miliar Rupiah. Dari data yang kami peroleh, putaran ini dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures dengan partisipasi Jungle Ventures, Strive, dan Amand Ventures.

Ketika dihubungi, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri memilih tidak memberikan komentar terkait pendanaan ini.

Ia menyampaikan, saat ini perusahaannya sedang fokus untuk menumbuhkan merek yang ada dalam portofolionya. Sampai saat ini, sudah ada lebih dari 20 brand yang ada dalam jaringannya, mengelola lebih dari 150 tim di seluruh Asia Tenggara. Dengan model bisnis yang dijalankan, Hypefast juga mengaku sudah profitable sejak tahun pertamanya.

Seperti diketahui, Hypefast berinvestasi dan mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi brand global. Selain dukungan kapital, di dalamnya pemilik merek juga mendapatkan banyak dukungan mulai dari pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis.

Brand yang diakuisisi seperti pengembang produk busana, makanan, perawatan tubuh, dan lain sebagainya — yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual secara langsung ke konsumen melalui berbagai kanal, khususnya online marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dll. Dua contoh startupnya adalah Boonles dan NOORE Sport Hijab.

D2C mendapat momentum

Startup D2C atau new economy memang tengah menjadi perhatian di tengah perkembangan digital saat ini.  Di Indonesia juga mulai ada beberapa investor yang mulai menjamah secara serius startup D2C, di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

Di kancah global, khususnya Amerika Serikat, putaran investasi ke startup D2C sudah cukup kencang sejak beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, menurut data CBInsights, secara global performanya menurun di tahun 2020, salah satunya diakibatkan oleh pandemi.

Di Indonesia D2C justru seperti tengah mendapatkan momentum di tengah kehadiran [yang cukup marak] generasi entrepreneur baru. Faktor penting yang menjadi penyokong adalah tingginya minat konsumen dalam berbelanja di platform online marketplace – setiap tahun trennya mengalami pertumbuhan pesat membukukan GMV yang signifikan. Data terbaru dari Google, Temasek, dan Bain&Company per tahun 2020 GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk dari banyak brand. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Raksasa digital di Indonesia juga memiliki perhatian khusus ke startup D2C. Misalnya yang dilakukan decacorn Gojek, mereka memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem layanannya.

Noore tawarkan berbagai produk fesyen olahraga untuk muslimah / Hypefast

Grup Ritel D2C Hypefast Kembali Berikan Pendanaan ke Pengembang Brand Lokal, Giliran NOORE Sport Hijab

Grup ritel direct-to-consumer (D2C) Hypefast kembali mengumumkan pendanaannya untuk pengembang brand lokal. Dengan nominal yang tidak disebutkan, perusahaan berinvestasi ke NOORE Sport Hijab. Startup fesyen olahraga mulsimah tersebut didirikan sejak tahun 2017 di Bandung oleh Adidharma Sudradjat.

Mengadopsi model bisnis D2C, NOORE fokus mengakomodasi penjualan melalui kanal online langsung ke konsumen. Saat ini mereka juga telah memiliki kehadiran di Malaysia, yang menjadi pasar prioritas selanjutnya setelah Indonesia.

“Sejak awal, kami telah mengagumi ambisi Hypefast untuk mendorong brand Indonesia menjadi brand regional bahkan global, dengan segala support system yang dimiliki untuk mempercepat pertumbuhan bisnis. Selain itu, kesamaan visi antara NOORE dan Hypefast menjadi pendorong yang kuat untuk kerja sama ini,” ujar Adidharma.

Selanjutnya Adidharma akan bergabung ke tim Hypefast dan terus aktif untuk mengembangkan NOORE.

Sementara itu, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri menambahkan, “NOORE adalah brand yang inovatif dan disruptif di kategori activewear, karena dirancang khusus dalam memberikan kenyamanan maksimal untuk muslimah berhijab ketika berolahraga, dengan tetap menjunjung nilai kesopanan melalui desain yang stylish dan cutting yang longgar.”

NOORE menawarkan koleksi sportwear hijab yang cukup lengkap, mulai dari hijab, atasan, celana, outerwear, hingga berbagai pilihan baju renang dan aksesoris dalam harga yang relatif terjangkau.

Akhir Desember 2020 lalu, Hypefast juga baru mengumumkan pendanaannya untuk Bonnels (brand produk kesehatan dan kecantikan) besutan Denny Santoso. Sehingga secara keseluruhan perusahaan telah berinvestasi pada 14 pengembang brand lokal dari berbagai kategori.

Bisnis Hypefast adalah mengembangkan tim, ekosistem, dan dana untuk membantu brand berkembang dan berekspansi dengan cepat. Selain modal usaha, layanan yang diberikan termasuk membantu dari sisi pemasaran, produksi, operasi, hingga pengelolaan data melalui teknologi.

Pertumbuhan sektor D2C

D2C atau new economy, mulai mewarnai industri startup di Indonesia beberapa waktu terakhir. Beberapa brand produk bermunculan, mulai dari makanan, kopi, kesehatan, kecantikan dan lain-lain. Beberapa pemodal ventura pun juga mulai melirik sektor tersebut.

Pemain besar seperti Gojek juga mulai melirik sektor tersebut. Pendekatannya sedikit berbeda, mereka memilih memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem Gojek.

Selain Hypefest, di Indonesia ada beberapa kalangan investor yang juga sudah mulai menjamah startup D2C, beberapa di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

D2C “Group Retail” Company Hypefast Pours Investment to Bonnels

Hypefast, a direct-to-consumer (D2C) group retail company, announced an undisclosed amount of investment in Bonnels, an online brand that sells natural products for mothers and children.

The participation of Bonnels adds to the Hypefast portfolios. The Founder and CEO, Achmad Alkatiri said to DailySocial that the company currently has 12 portfolios and Bonnels is their first portfolio in the health and beauty sector. Achmad ensures to double their investment in this sector.

Even though he can’t breakdown in details, Achmad said Hypefast’s business is growing a team, ecosystem, and funds to help brands develop and expand quickly. Hypefast’s target brands are those with an annual profit of more than Rp500 million and online-based for its major business.

Hypefast was founded by people with long-time experience in the industry, especially Rocket Internet alumni. Apart from Achmad, who was once Lazada Indonesia’s CMO, the company advisors are Florian Holm (former CEO of Lazada Indonesia), Ioann Fainsilber (Co-Founder of Pintek), and Jakob Rost (Co-Founder and CEO of Ayoconnect).

In his release, Bonnels’ Brand Founder Denny Santoso said, “Along with Bonnels’ journey, we need partners with strong backgrounds, experience, and resources to support my mission of bringing Bonnels to be the biggest retail brand for natural products for babies, children, and mothers in Southeast Asia. Hypefast with all its resources and ecosystem is the best choice to drive the growth of Bonnels. I am very happy to be joining the Hypefast family.”

Bonnels, apart from selling on its own e-commerce platform, also has channels in a number of leading online marketplaces.

Denny himself is not a stranger in the startup industry and has been involved in this ecosystem from the beginning. Apart from Bonnels, he also developed the Tribelio platform to make it easier for companies to build and market community-based products.

Achmad added, “Hypefast and Bonnels have the same vision and mission, namely to build an ecosystem for local Indonesian brands, therefore, they can compete not only in Indonesia but also in various other countries. I see Bonnels has enough potential and the quality of its products can compete with brands from abroad.”

The growth of the D2C sector and the new economy will decorate the Indonesian startup industry this year. Starting from coffee brands, investment in this sector also includes health, beauty, and F&B products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian