Pembuatan Torchlight berawal dari keinginan mantan developer Diablo, Max Schaefer dan kawan-kawan sesama pengembang veteran menciptakan MMO. Saat itu, Runic Games yang baru mereka dirikan hanya diperkuat oleh belasan orang developer. Sebelum memulai proyek besar itu, Runic memutuskan untuk melakukan sedikit pemanasan, yaitu lewat pengerjaan game berskala kecil dengan formula action-RPG.
Torchlight memperoleh respons positif dari gamer dan mendorong penggarapan Torchlight II. Di tengah pengerjaan sekuel tersebut, studio diakuisisi oleh Perfect World Entertainment. Meski sukses secara komersial dan merangkul jutaan fans, Schaefer ternyata masih berambisi menciptakan MMO. Pada akhirnya, ia mengundurkan diri dari Runic dan mendirikan studio Echtra Games. Karena ditinggalkan begitu banyak staf inti, Runic Games akhirnya ditutup.
Proyek pertama Echtra Games ialah Torchlight Frontiers, permainan shared world yang dibangun berlandaskan franchise Torchlight. Selain berbasis MMORPG dan menyuguhkan gameplay hack and slash, Frontiers rencananya akan disajikan sebagai judul free-to-play seperti banyak permainan Perfect World lain. Namun arahan tersebut tiba-tiba dirombak total. Baru saja, developer mengumumkan transisi Torchlight Frontiers menjadi Torchlight III.
Bergantinya judul tentu saja menandai perubahan pada desain permainan. Torchlight III dihidangkan layaknya judul premium, dan developer berupaya mengembalikan game ke akarnya, membangunnya sebagai sekuel sejati dari Torchlight I dan II. Permainan akan dilepas di PC lebih dulu lewat Steam. Via platform tersebut, Echtra Games juga berencana buat melangsungkan uji coba beta – fase tes alpha-nya sendiri telah dilangsungkan sejak game masih bertajuk Frontiers.
Dengan begini, konten Torchlight III diracik secara lebih tradisional. Petualangan Anda dimulai di sebuah tempat bernama Imperial Outpost yang diserbu oleh gerombolan goblin. Pemain ditugaskan untuk menyelidiki dan menghentikan sumber serangan ini. Saat menciptakan karakter, Anda bisa memilih mode offline dan online. Anda dipersilakan bermain sendirian di mode offline, tapi juga dapat menggunakan karakter itu di multiplayer online.
Banyak elemen di Frontiers yang dibongkar. Sistem progres di Torchlight III dibuat lebih familier dan sederhana (tak lagi bersifat horisontal berdasarkan item), kemudian mayoritas zona dirancang secara ‘tertutup’ sehingga pengalaman bermain jadi lebih baik. Kita tetap bisa bertemu pemain lain di wilayah kota jika Anda memilih mode online. Selanjutnya, Echtra Games turut menghapus store in-game yang transaksinya menggunakan uang sungguhan.
Torchlight III dijadwalkan untuk meluncur di tahun ini, namun developer belum memberikan tanggal pastinya. Konten yang sudah ada di versi closed alpha; seperti fitur, item-item koleksi dan pilihan kelas tetap dipertahankan. Belakangan, panggung action-RPG kembali memanas karena selain Torchlight III, kita tahu Diablo IV dan Path of Exile II juga akan hadir.
Belakangan pasar smartphone Indonesia dibanjiri dengan banyak device kelas menengah. Mereka menawarkan kinerja yang sebenarnya sudah cukup baik dalam menangani beragam kebutuhan standar sehari-hari dengan harga lebih hemat.
Namun beberapa kalangan punya kebutuhan spesifik yang menuntut hardware dengan spesifikasi terbaik saat ini, misalnya bermain game kompetitif. Sayangnya, hanya ada sedikit pilihan smartphone flagship yang tersedia dan harganya tergolong mahal.
Bagaimana bila akan datang sebuah smartphone yang memang dirancang untuk bermain game, ditenagai dengan chipset paling gahar saat ini, dan kemungkinan harganya di bawah Rp10 juta? Ya, Black Shark 2 Pro lah yang sedang kita nantikan.
Setelah pada awal bulan September lalu dirilis di Malaysia, smartphone gaming keempat Black Shark tersebut juga seharusnya sudah dekat di Indonesia. Namun belum ada kepastian kapan, tapi Black Shark 2 Pro kini sudah mampir lebih awal di Dailysocial dan berikut review singkatnya setelah mencoba sekitar dua minggu.
Desain Black Shark 2 Pro
Berlabel ‘smartphone gaming‘, Black Shark 2 Pro memiliki konsep desain yang tidak biasa. Body-nya dirancang seergonomis mungkin dengan konstruksi yang solid dari material premium, yakni frosted metal dan glass.
Desain beraninya ini terinspirasi dari supercar formula one (F1). Kelihatannya memang cukup kompleks, sudut dan bagian sampingnya agak membulat, dan sedikit menonjol di tengah.
Saat memegangnya dalam posisi landscape seolah jemari kita ditopang olehnya. Terasa sangat grippy, desain sedemikian rupa ini dibuat untuk kenyamanan bermain game dalam durasi waktu lama.
Unit Black Shark 2 Pro yang saya review berwarna iceberg grey yang justru menyuguhkan kesan futuristis. Saya membayangkan ‘pesawat luar angkasa masa depan seperti di film-film sci-fi’, begitulah gambaran yang saya dapat.
Selain desain yang ergonomis, Black Shark 2 Pro juga dilengkapi lima buah LED RGB yang menambah kental nuansa gaming-nya. Ada tiga di belakang meliputi logo S yang terlihat mencolok, diapit oleh Shark Eyes atas bawah. Sisanya berada di sisi samping kanan dan kiri dengan bentuk memanjang.
Ada opsi khusus di pengaturan untuk menyesuaikan pola dan warna dari LED RGB ini. Untuk yang dibelakang tersedia tiga lighting effect mode, yaitu always on, breathing, dan rainbow.
Yang unik justru LED RGB yang berada di sisi samping, sebab fungsinya beragam termasuk sebagai LED notification dan memiliki pilihan sepuluh lighting effect mode.
Untuk kelengkapan atributnya, di sisi kanan ditemui tombol switch khusus untuk ke mode gaming; Shark Space dan tombol power di bawahnya. Sedangkan, tombol volume berada di sisi kiri. Sisi atas kosong, port USB Type-C dan SIM Tray ada di sisi bawah.
Tidak ada jack audio 3.5mm, sebagai gantinya Black Shark menyisipkan earphone dengan colokan Type-C dan adaptor Type-C ke 3.5mm. Video unboxing-nya bisa Anda saksikan di bawah ini.
Layar AMOLED
Beralih ke bagian layar, Black Shark 2 Pro menggunakan panel AMOLED, lengkap dengan beberapa teknologi seperti TrueView Display technology dengan image DSP independen dari Pixelworks dan hardware DC Dimming 2.0.
True View mode dan DC Dimming bisa ditemukan di Setting > Display > Color. True View mode berguna untuk menghasilkan warna yang lebih akurat, meningkatkan ketajaman, dan membuat pergerakan terlihat lebih mulus. Sementara, DC Dimming berguna untuk mengurangi efek flicker saat menggunakan tingkat kecerahan rendah.
Beberapa opsi lain yang tersedia antara lain cinema mode, natural mode, eye care mode, video HDR mode, dan super cinema mode. Layarnya sendiri berukuran 6,39 inci beresolusi Full HD+ dalam rasio 19.5:9 dan punya dukungan DCI-P3 dengan color gamut sebesar 108,9 persen.
Sistem Kontrol
Masih berhubungan dengan layarnya, Black Shark 2 Pro diklaim memiliki respon terhadap sentuhan layar dengan latensi terendah di dunia. Report rate sentuhannya 240Hz sehingga menghasilkan response time 34,7 ms dan punya tingkat akurasi layar sentuh 0,3 mm. Ditambah lagi fitur Master Touch, di mana kepekaan layar terhadap sentuhan bisa disesuaikan.
Selain itu, dalam paket penjualannya Black Shark menyematkan Gamepad versi 2.0 sebelah kiri yang terdiri dari tombol analog fisik, empat tombol arah yang bisa disesuaikan fungsinya, satu tombol untuk key mapping, dan dua tombol LT dan LB di sisi atas. Sementara, di sisi bawah ada tombol quick connect dan port USB Type-C. Black Shark juga menyediakan Gamepad 2.0 sebelah kanan, untuk memasangnya kita akan membutuhkan case khusus.
Hardware & Performa
Saat tulisan ini dibuat, masih belum ada smartphone yang ditenagai dengan chipsetSnapdragon 855+ di Indonesia. Tercatat hanya ada satu smartphone yang menjajakan Snapdragon 855 versi standar yaitu OPPO Reno 10x Zoom yang saat dirilis dibanderol Rp13 juta.
Tentu saja, kehadiran Black Shark 2 Pro sangat ditunggu-tunggu. Sebab mungkin akan menjadi smartphone pertama dengan Snapdragon 855+ yang dirilis di Indonesia dan ada kemungkinan harganya di bawah Rp10 juta (setidaknya untuk varian dasarnya).
Snapdragon 855+ sendiri merupakan chipset Qualcomm paling canggih saat ini. Dibanding dengan Snapdragon 855 versi standar, versi ‘plus’-nya ini diciptakan untuk mobile gaming. Dengan kecepatan clock CPU hingga 2.96GHz (sedikit lebih cepat) dan kemampuan GPU Adreno 640 pada Snapdragon 855+ meningkat sebesar 15 persen.
Chipset Snapdragon 855+ tentunya bukan satu-satunya penompang kinerja Black Shark 2 Pro, smartphone gaming ini menggunakan media penyimpanan UFS 3.0 yang secara signifikan lebih cepat dari UFS2.1 dan membuat kecepatan transmisi data meningkat sebesar 82 persen. Kapasitasnya tersedia dalam pilihan 128GB atau 256GB tanpa slot microSD, dengan RAM sebesar 8GB atau 12GB.
Selain itu, fitur kunci lainnya pada Black Shark 2 Pro ialah teknologi sistem pendingin Liquid Cooling 3.0+ yang diklaim mampu meredam suhu panas smartphone hingga 14 derajat celcius. Sehingga memungkinkan Snapdragon 855+ bekerja maksimal secara terus-menerus tanpa terjadinya overheat.
Verdict
Black Shark 2 Pro sangat layak untuk ditunggu dan jelas akan menjadi smartphone idaman bagi para hardcore mobile gamer atau mereka yang bermain game-game kompetitif. Dengan kombinasi desain unik yang ergonomis, layar responsif, sistem kontrol yang unggul, dan jaminan performa Snapdragon 855+. Yang pasti smartphone gaming ini tidak mudah diabaikan begitu saja.
Meskipun dibekali segudang fitur gaming, Black Shark 2 Pro juga tetap ideal bagi yang butuh smartphone dengan performa kencang untuk menopang produktivitas. Contohnya buat para fotografer, saya sendiri punya ratusan foto dalam format Raw yang menanti untuk diedit dan nggak punya cukup waktu untuk mengedit di laptop – makanya saya alihkan ke smartphone.
Semoga saja, Black Shark 2 Pro segera meluncur ke Tanah Air dengan harga yang tak jauh berbeda seperti di Malaysia yakni RM 2.499 atau sekitar Rp8,4 juta untuk varian RAM 8GB dan storage 128GB. Serta, RM 2.999 atau Rp10 jutaan untuk varian RAM 12GB dan storage 256GB.
Sparks
Desain unik yang ergonomis
Panel AMOLED dengan respon terhadap sentuhan layar paling cepat
Sistem kontrol yang unggul dengan dukungan aksesori gamepad
Chipset Qualcomm tercanggih saat ini;Snapdragon 855+
Forza Motorsport ialah franchise yang Microsoft siapkan untuk berduel dengan seri Gran Turismo milik Sony Interactive Entertainment. Dan buat merangkul gamer pencinta balap secara lebih luas, sang publisher memperkenalkan Forza Horizon di tahun 2012 sebagai spin-off permainan ber-genre simulasi itu, mengandalkan gameplay yang lebih mudah dan pilihan kendaraan lebih banyak.
Tim Playground Games yang terdiri dari mantan staf Codemasters, Ubisoft, Criterion dan Slightly Mad Studios, dan Sony itu dipercaya Microsoft untuk menangani seri Horizon. Tapi meski mengemban tanggung jawab besar itu, Playground Games masih memegang status indepenen. Dan setelah menikmati kesuksesan Forza Horizon 3, mereka kabarnya siap menggarap permainan baru.
Di bulan Februari silam, Playground Games mengungkap rencana pembuatan studio kedua untuk mengembangkan game-game non-racing, dan akhirnya info terkait proyek tersebut pelan-pelan mulai terkuak. Via Games Industry, developer dilaporkan mulai menyewa para talenta berpengalaman yang pernah berpartisipasi dalam pengerjaan berbagai game blockbuster.
Individu pertama ada Will Kennedy, bergabung bersama Playground di bulan Juli 2017. Kennedy adalah chief designer di tim baru Playground Games, sudah pernah bekerja untuk Rockstar North selama delapan tahun. Ia memegang peranan penting dalam pengembangan Grand Theft Auto V sebagai game designer dan flow designer, sampai perancang misi di Grand Theft Auto Online.
Tak lama, Juan Fernandez di Simon menyusul. Pria ini ialah desainer senior di studio independen Ninja Theory, punya andil dalam terciptanya Hellblade: Senua’s Sacrifice. Sebelumnya, Simon menghabiskan tiga tahun bekerja untuk tim pembuat Rime, Tequila Works.
Anggota terbaru Playground Games adalah Sean Eyestone. Ia baru saja meninggalkan posisinya di EA DICE sebagai senior producer Star Wars Battlefront II. Dahulu, Eyestone juga sempat berkarier selama 10 tahun di Kojima Productions dan mengerjakan sejumlah permainan Metal Gear, termasuk Metal Gear Solid V: Ground Zeroes serta The Phantom Pain. Di Playground, ia terpilih jadi production director.
Studio kedua Playground Games akan didirikan di lahan seluas 1.600 meter persegi di St Albans House, Inggris. Tempat itu disiapkan untuk menjadi rumah bagi lebih dari 200 orang karyawan.
Belum ada detail lebih lanjut mengenai game yang akan digarap Playground, termasuk judul ataupun perkiraan waktu rilis. Studio hanya mendeskripsikannya sebagai permainan action role-playing berformula open-world.
Nioh ialah salah satu action-RPG terbaik di tahun 2017, dipuji karena Team Ninja berhasil memadukan formula ala Dark Souls, atomosfer mirip Onimusha, dan serunya mengumpulkan loot seperti Diablo – sehingga menghasilkan gameplay yang unik dan menyegarkan. Sayangnya, Nioh sejauh ini hanya tersedia eksklusif untuk console PlayStation 4.
Meski demikian, Koei Tecmo sebagai pemilik Team Ninja sudah lama menyadari tingginya potensi ekosistem PC gaming. Beberapa game mereka, seri Dead or Alive atau Romance of the Three Kingdoms misalnya, telah hadir di sana; dan Nioh menjadi judul berikutnya yang turut hijrah ke platform Windows. Pengumumannya dilakukan secara mendadak, dibarengi kemunculan page Nioh: Complete Edition di Steam.
Nioh: Complete Edition menawarkan seluruh konten versi PS4, ditambah tiga expansion pack, satu level ekstra, dan bonus ‘eksklusif’ khusus gamer Steam – berupa helm Dharmachakra Kabuto. Tambahan-tambahan ini memang menyenangkan, kompensasi yang sepadan atas keterlambatan kehadiran selama kurang lebih sembilan bulan. Tentu saja, versi PC juga menawarkan kualitas grafis yang lebih superior.
Munculnya page Nioh di Steam dilengkapi pula oleh pengungkapan daftar kebutuhan hardware buat menjalankan game ini. Batasan paling rendahnya tidak terlalu menuntut, dan Anda hanya memerlukan GeForce GTX 1060 atau Radeon R9 380X agar visual Nioh tersuguh maksimal. Namun ada satu hal ‘kecil’ yang menuntut perhatian: agar bisa memainkan Nioh di PC, Anda harus mendedikasikan ruang penyimpanan sebesar 100GB.
Itu berarti, Nioh: Complete Edition menjadi salah satu permainan yang paling lapar terhadap storage, melampaui X-Plane (90GB) dan menyamai Call of Duty: Black Ops III (100GB). Saya berasumsi, hal ini terkait dukungan resolusi 4K dan pemakaian audio high resolution 16-bit 48KHz.
Versi PC Nioh dapat dinikmati dalam dua mode, yaitu Action Mode dan Movie Mode. Action Mode difokuskan untuk menyuguhkan gameplay stabil di 60-frame rate per detik, sedangkan Movie Mode siap menghidangkan pengalaman ‘sinematik’ dengan resolusi 4K. Expansion pack yang turut dibundel di Complete Edition meliputi Dragon of the North, Defiant Honor dan Bloodshed’s End.
Meski sudah ada di Steam, Nioh: Complete Edition belum bisa di-pre-order dan belum diketahui harganya. Semoga saja nanti ada penyesuaian harga sehingga game ini tidak semahal Nier: Automata. Nioh rencananya akan dirilis di PC pada tanggal 7 November 2017, kurang lebih lima minggu lagi.
Dark Souls III akan dirilis secara global minggu depan, namun gamer Jepang dan media-media video game terkemuka sudah mulai menikmatinya sejak tanggal 24 Maret silam. Director Hidetaka Miyazaki kembali memimpin pengembangannya, dan tak sulit ditebak, segala hal yang Anda sukai (atau benci) mengenai Dark Souls kembali hadir di permainan terbarunya.
Action-RPG ini kembali menyuguhkan formula serupa sang pendahulu, mengusung gameplay super-sulit, menuntut Anda untuk menerima kekalahan dan ‘merangkul’ kematian. Sisi positif dari perbedaan waktu rilis ialah kita diberikan kesempatan buat mencari tahu apakah Dark Souls III layak dimainkan atau tidak berdasarkan review-review yang telah dipublikasi. Dan fans Souls dapat bernafas lega karena Dark Souls III memperoleh respons sangat positif.
Dalam ulasan tanpa skor, Adam Smith via Rock Paper Shotgun menuliskan, jika Dark Souls III merupakan game terakhir di franchise tersebut, maka ia dengan bahagia mengucapkan selamat jalan. Meski bukan game Dark Souls terbaik, Dark Souls III menyempurnakan permainan sebelumnya, dan bahkan dapat dinikmati oleh mereka yang sama sekali belum pernah menyentuh Dark Souls.
ReviewIGN juga selaras dengan Rock Paper Shotgun. Mereka memuji gerakan-gerakan baru dalam permainan yang memperkaya sistem pertempuran, serta segi visual dari lokasi-lokasi di kerajaan Lothric – tempat Anda bertualang dan menghadapi lawan-lawan mematikan. Beberapa aspek memang butuh polesan, namun IGN setuju bahwa Dark Souls III layak jadi penerus seri ini.
Mike Mahardy dari GameSpot sendiri melihat sejumlah kesalahan arah dalam desain, contohnya cuma ada satu solusi spesifik untuk mengalahkan bos, ditambah pola permainan repetitif saat menghadapi musuh tangguh. Terlepas dari itu, GameSpot mengapresiasi banyak hal dalam Dark Souls III: desain level yang apik, pertempuran menegangkan, serta setting game yang cantik.
Salah satu ulasan dengan nilai paling rendah dipublikasi oleh Polygon, hanya 70. Reviewer Philip Kollar menyampaikan, Dark Souls 3 tetap menjadi sebuah pengalaman menakjubkan, namun di game teranyar itu, kelemahannya lebih terlihat. Ia kecewa karena game hanya menyimpan sedikit kejutan. Menakar dari desain, penyajian momentum, serta teknologi penopang permainan, Dark Souls III gagal memuaskan penggemar terberatnya.
Bertolak belakang dari Polygon, PC Gamer memuji sisi desain, pertempuran, serta penyampaian ceritanya. James Davenport bilang, “Dark Souls III adalah game Dark Souls terbaik, menetapkan sebuah standar baru bagi genre action RPG secara keseluruhan.”
Berikut skor sementara berdasarkan situs agregator:
Memang ada banyak alasan kuat mengapa orang menjaga jarak dari platform distribusi Origin serta praktek bisnis Electronic Arts. Metode online pass, DLC, dan penutupan server dini ialah beberapa yang paling tidak disukai. Mengetahui hal itu, tentu saja sang publisher berusaha mengembalikan kepercayaan gamer. Selain merevisi sejumlah kebijakan, EA turut menyajikan On the House.
Dimulai sejak Maret 2014, On the House merupakan program bagi-bagi game gratis – tanpa syarat dan efek samping, bukan demo ataupun versi trial. Begitu permainan sudah masuk dalam library, maka ia selamanya jadi milik Anda. prakarsa One the House diawali oleh Dead Space, lalu diikuti oleh kira-kira 15 judul lain. Dan EA baru saja meng-update daftarnya dengan action RPG kontemporer bertema mitos Oriental ciptaan BioWare, Jade Empire.
Dari deretan panjang kreasi BioWare, Jade Empire boleh dibilang sebagai judul yang paling kurang dikenal, apalagi dikomparasi dengan Mass Effect, Baldur’s Gate atau Star Wars: Knights of the Old Republic. Namun tidak berarti ia jelek. Pers memuji Jade Empire karena setting orisinil, narasi dan jalan cerita istimewa, dan diisi karakter-karakter mengagumkan. Banyak di antara mereka setuju, Jade Empire ialah salah satu game terbaik di console Xbox.
Permainan mengambil setting Wuxia (genre fiksi Tiongkok, umumnya fokus pada kisah para pendekar kuno), mengisahkan perjalanan seorang anak yatim piatu yang diasuh oleh Master Li, seorang ahli dan pendiri sekolah bela diri. Anda diberi kebebasan untuk menciptakan karakter utama dan menentukan keahliannya – termasuk gaya bertarung, senjata, dan kemampuan sihir.
Layaknya ciri khas permainan BioWare, Jade Empire tidak hanya menyuguhkan aksi pertarungan. Ia menawarkan sistem dialog dan quest komprehensif, mirip Knights of the Old Republic. Anda dapat berbincang-bincang dengan tokoh NPC; dan setiap pilihan akan memengaruhi cerita, serta berdampak pada karakter-karakter yang menemani Anda dan dunia game. Tergantung dari keputusan kita, pemain bisa mengikuti filosofi ‘Open Palm’ atau ‘Closed Fist’.
Untuk segera menikmati Jade Empire, Anda tinggal berkunjung ke laman On the House di website Origin. Alternatifnya, silakan buka app clientEA Origin lalu dari Store, gerakkan kursor mouse ke Deals and Free Games. Menu akan terbuka, lalu pilih On the House. Di page selanjutnya, klik Download Now.
Seperti biasa, Electronic Arts tidak menginformasikan secara gamblang kapan program On the House Jade Empire akan berakhir. Anda tidak perlu mengunduhnya sekarang, tapi buat amannya, pastikan saja ia masuk ke My Games.
Di era yang dipenuhi beragam jenis permainan, rasanya sulit mencari celah konsep game yang belum terpikirkan. Mayoritas judul saat ini adalah penyempurnaan dari sebelumnya, beberapa developer sepuh bahkan beralih ke formula klasik, menggunakan elemen nostalgia sebagai tenaganya. Menariknya, hal itu malah memicu orang untuk berkreasi lebih liar lagi. Continue reading Little Devil Inside Ajak Anda Menyelidiki dan Betualang di Dunia Lain→
Berkat antisipasi tinggi terhadap film Avengers: Age of Ultron, Marvel Studios sukses mengumpulkan keuntungan kotor senilai US$ 1,149 miliar. Satu-satunya pengalaman interaktif yang paling mendekati aksi dalam Age of Ultron masih belum tersedia, sebuah game berjudul Lego Marvel’s Avengers. Jika tak sabar menunggu, alternatifnya juga tidak kalah mengasikkan. Continue reading Hadirkan Para Jagoan Marvel, Future Fight Pecahkan Rekor Download Baru→
Bagi penggemarnya, game adalah medium virtual tempat kita melupakan sejenak kehidupan atau sebagai lapangan pekerjaan. Beberapa gamer ingin pengalaman lebih menantang, dan dari sanalah muncul istilah permadeath – di mana karakter yang Anda mainkan hilang selamanya jika ia tewas. Tapi developer Robot Loves Kitty membawa konsep itu ke level lebih ekstrim. Continue reading Kalah Dalam Game Upsilon Circuit, dan Anda Tidak Bisa Memainkannya Lagi→