Tag Archives: adakami

Aturan Fintech Lending

Membahas Aturan Main Fintech Lending

Beberapa waktu terakhir, industri fintech lending di Indonesia kembali menjadi sorotan. Gara-garanya kasus gagal bayar yang viral di media sosial, menyeret nama salah satu platform terdaftar di OJK yakni AdaKami (PT Pembiayaan Digital Indonesia). Baik AdaKami, OJK, maupun AFPI sebagai asosiasi yang menaungi bisnis fintech lending di Indonesia sudah memberikan keterangan, yang intinya masing-masing tengah mendalami kasus ini.

Di tengah popularitasnya, industri fintech lending memang dihadapkan pada sejumlah isu menahun. Mulai dari eksistensi platform ilegal [yang terus-menerus diberantas, namun juga tetap berdatangan], pelanggaran SOP proses bisnis yang tertera dalam aturan [penagihan dengan intimidasi dll], hingga yang paling miris yakni soal literasi finansial rendah para konsumennya.

Menurut rilis terbaru OJK, per 9 Maret 2023 ada 102 pemain fintech lending berizin. Secara akumulasi, per Juli 2023 para pemain telah menyalurkan Rp657.854,73 miliar pinjaman melalui lebih dari 435 juta transaksi pendanaan, baik yang bersifat konsumtif maupun produktif. Adapun saat ini ada lebih dari 117 juta rekening pinjaman terdaftar.

Latar belakang munculnya fintech lending karena adanya funding gap di tengah masyarakat. Menurut data IMF, secara total ada kebutuhan kredit senilai Rp1.600 triliun setiap tahunnya. Sementara lembaga keuangan konvensional (bank/multifinance) baru bisa melayani sekitar Rp600 triliun saja.

Isu yang ramai di media sosial

Dari yang ramai diperbincangkan di media sosial, ada tiga kasus utama yang disoroti: dugaan korban bunuh diri akibat gagal bayar, teror penagihan, dan tingginya bunga/biaya pinjaman. Kendati AdaKami mengelak pihaknya melakukan hal tersebut, namun netizen yang menyebarkan informasi ini turut menyertakan bukti-bukti berupa tangkapan layar aplikasi dan beberapa rekaman proses penagihan yang kurang beradab.

Terkait kasus bunuh diri, sebenarnya ini bukan baru kali ini terjadi. Beberapa kasus bunuh diri yang dilatarbelakangi gagal bayar pinjaman online sudah mulai diberitakan sejak beberapa tahun lalu. Misalnya pada Februari 2019, ada sopir taksi berinisial Z (35 tahun) ditemukan tewas di kamar indekos. Dari sepucuk surat yang ditemukan polisi, korban meminta ke OJK atau pihak berwajib untuk memberantas pinjol yang menurutnya seperti ‘jebakan setan’.

Kasus serupa juga terjadi di tahun-tahun berikutnya. Lebih dari 10 kasus bunuh diri yang sama diberitakan media selama 3 tahun terakhir.

Motif bunuh diri karena para korban merasa tertekan dan dipermalukan atas proses penagihan yang dilakukan secara intimidatif — tidak hanya pada dirinya, tapi ke orang-orang di sekitarnya. Mengingat banyak aplikasi [khususnya yang ilegal] turut meminta akses  ke kontak ponsel pelaku.

Padahal OJK maupun AFPI sudah memiliki aturan yang sangat rinci terkait skema penagihan ini, baik saat dilakukan secara in-house ataupun lewat pihak ketiga. Tidak dimungkiri karena keterbatasan area operasional, banyak pemain fintech lending menyewa jasa pihak ketiga untuk proses collection, untuk melakukan penagihan via ponsel maupun mediasi secara langsung kepada para nasabahnya.

Skema penagihan yang ditentukan

Dalam Peraturan OJK No. 10 tahun 2022, tertera bawhwa penyelenggara pinjol hanya boleh menagih dalam waktu 90 hari dan selebihnya hangus. Mekanismenya lalu didetailkan dalam ketentuan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia).

Terkait tata cara penagihan yang diatur AFPI poinnya sebagai berikut:

  1. Perusahaan wajib memiliki dan menyampaikan prosedur penagihan apabila terjadi gagal bayar.
  2. Langkah-langkah yang dianjurkan: pemberian peringatan, penjadwalan restrukturisasi, korespondensi jarak jauh via telepon/email/lainnya, kunjungan/komunikasi dengan tim penagihan, dan penghapusan pinjaman.
  3. Karyawan internal penagihan dari perusahaan fintech lending diwajibkan mendapatkan sertifikasi Agen Penagihan dari AFPI/OJK.
  4. Perusahaan fintech wajib menginformasikan kepada penerima pinjaman secara detail mengenai risiko jika tidak melakukan pelunasan.
  5. Dilarang melakukan penagihan dengan intimidasi, kekerasan fisik dan mental ataupun cara-cara yang menyinggung SARA atau merendahkan harkat, martabat serta harga diri penerima pinjaman — entah itu di secara langsung maupun lewat dunia maya baik terhadap diri peminjam, harta benda, kerabat, rekan dan keluarganya.

Pun jika penagihan dipasrahkan kepada pihak ketiga, AFPI juga sudah memiliki ketentuan khusus, sebagai berikut:

  1. Pihak ketiga harus terdaftar di AFPI dan memiliki sertifikat untuk melakukan penagihan pinjaman online.
  2. Seluruh karyawan penagihan dari perusahaan jasa pelaksanaan penagihan diwajibkan memperoleh sertifikasi Agen Penagihan.
  3. Perusahaan fintech pendanaan menggunakan pihak ketiga untuk tagihan yang telah melewati batas keterlambatan yaitu lebih dari 90 hari dihitung dari tanggal jatuh tempo pinjaman.
  4. Selain menggunakan pihak ketiga untuk menagih pinjaman lebih dari 90 hari, perusahaan fintech lending juga bisa melakukan beberapa hal ini, yaitu:
    • Menunjuk kuasa hukum dan mengajukan upaya hukum yang tersedia atas nama pendana kepada penerima pinjaman tentunya harus sesuai dengan UU yang berlaku.
    • Untuk pemberian pinjaman kepada peminjam dengan skema kerja sama (misalnya kerja sama supply chain atau distributor financing), penagihan bisa dilakukan oleh business partner
  5. Perusahaan fintech lending dilarang menggunakan pihak ketiga perusahaan jasa penagihan yang masuk ke dalam daftar hitam OJK/AFPI.

Ketentuan terkait bunga

Kasus yang disoroti juga terkait biaya layanan yang sangat besar, mendekati 100% dari nilai pinjaman. Sebenarnya praktik ini ilegal, faktanya OJK mengatakan bahwa batas tingkat bunga termasuk biaya lainnya untuk fintech lending yang ditetapkan oleh AFPI yaitu sebesar maksimal 0,4 persen per hari dan lebih ditujukan untuk pinjaman jangka pendek. Angka ini turun, beleid sebelumnya mengisyaratkan bunga maksimal 0,8 persen per hari.

Sebelumnya bunga fintech lending memang bisa dibilang relatif tinggi jika dibandingkan dengan produk kredit perbankan. Menurut AFPI ada beberapa faktor, pertama karena fintech lending memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi akan kredit macet dari nasabah. Kedua, terkait berbagai kemudahan yang ditawarkan lewat digitalisasi dari proses onboarding sampai pencairan dana. Dan ketiga, tenor pinjaman online ini relatif pendek.

Kabar dijalankan oleh entitas luar

Isu lain yang turut viral dibahas adalah keterlibatan entitas luar terhadap bisnis pinjaman online di luar, lantaran dalam perjanjian menyebutkan ada perusahaan nonlokal yang menjadi pihak pemberi dana. Secara aturan dalam POJK, untuk mendapatkan izin dari otoritas fintech lending harus berupa entitas dan kepemilikan lokal, sehingga harus berbadan hukum (PT) di Indonesia. Dan saat ini 100% entitas yang terdaftar di OJK memiliki PT terdaftar.

Terkait keterlibatan entitas luar ini, DailySocial.id mencoba menelusurinya, bertanya langsung dengan pihak yang terkait. Narasumber kami, mantan CEO dari perusahaan fintech lending berlisensi OJK bercerita. Kebanyakan penyaluran pinjaman fintech lending memang berasal dari super lender di luar negeri — untuk yang konsumtif paling banyak dari Tiongkok atau Hong Kong yang berbadan hukum di Singapura.

Namun praktik ini dinilai memang umum dilakukan dan tidak melanggar aturan. Dalam debutnya, salah satu KPI perusahaan fintech lending adalah menyalurkan dana pinjaman sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai hal tersebut maka memerlukan talangan dana yang besar. Jika hanya mengandalkan pendana ritel, nilainya akan sangat kurang. Untuk itu para perusahaan melakukan penggalangan pinjaman (debt/loan channeling) ke super lender institusi.

Narasumber kami juga menjelaskan, biasanya skema kerjanya adalah super lender tersebut akan membuat entitas di lokal atau di Singapura, bertujuan untuk bisa memantau langsung proses bisnis dari perusahaan fintech yang dibantunya. Terkait penyaluran dana, super lender terlebih dulu mentransfer ke perusahaan fintech, lalu fintech tersebut yang meneruskan ke konsumen akhir. Jika dalam perjanjian pinjaman, biasanya super lender dilibatkan menjadi pihak kedua sebagai pemilik dana.

Sebagai informasi, di perjanjian peminjaman dana, ada tiga pihak yang dilibatkan: peminjam/konsumen, pemberi dana, dan platform/penyalur.

Di sisi lain, memang tidak sedikit perusahaan fintech lending lokal yang menjadi perpanjangan tangan (ekspansi) dari perusahaan dari luar.

Seperti dikutip dari Katadata, Peneliti Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati mengatakan bahwa dirinya tidak yakin bahwa fintech itu 90% lokal. Ia mencontohkan platform seperti OVO, Gopay, ShopeePay, dan lainnya yang menjadi penguasa pasar sebagian besar dananya dari para investor yang berasal dari India, Tiongkok, dan negara lainnya.

Sumber kami juga tidak mengelak tentang kondisi ini. Karena memang banyak fintech lending lokal yang bisnis (utamanya) turut dioperasikan dari luar negeri.

Kami pun mencoba melakukan penelusuran, salah satunya dengan mengidentifikasi perusahaan operator di balik aplikasi fintech lending yang beredar di Indonesia. Caranya dengan mengidentifikasi perusahaan yang mengiklankan aplikasi tertentu melalui AdSense. Ditemukan tidak sedikit entitas luar — kendati banyak juga yang dioperasikan PT dari Indonesia — yang berupaya memasarkan layanan tersebut.

Literasi finansial masyarakat

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Nilai ini meningkat dibanding hasil SNLIK 2019 yaitu indeks literasi keuangan 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.

Proposisi tersebut artinya menunjukkan akses ke layanan keuangan saat ini lebih mudah, dibanding kompetensi terkait produk keuangan itu sendiri.

Literasi keuangan adalah pengetahuan seseorang terhadap produk-produk finansial. Sementara inklusi keuangan merujuk pada kondisi kepemilikan akun bank atau lembaga keuangan lainnya oleh kalangan penduduk usia produktif.

Sebagai gambaran, dari statistik OJK, paling banyak pemilik akun pinjaman online ada di rentang usia 19-34 tahun dengan pembagian yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Sementara penyalurannya 81% masih di area Jawa. Atas dasar ini, aturan baru POJK mulai mendorong para pemain untuk memberikan porsi lebih kepada peminjam di luar Jawa. Ini menjadi misi yang mulia, kendati PR untuk edukasi pengguna juga relatif akan lebih menantang.

Regulasi finetch lending memang sudah selayaknya dibuat sangat ketat dan disiplin. Termasuk upaya pemberantasan pemain ilegal dan sanksi terhadap pelanggaran. Toh sedari dulu sektor keuangan memang high-regulated. Namun yang tak kalah penting adalah upaya edukasi ke masyarakat terkait produk keuangan dan risiko secara mendalam. Karena pada akhirnya, kasus viral tersebut tidak akan terjadi jika dari awal masyarakat terkait sudah memahami betul ketentuan produk pinjaman yang dilanggan tersebut.

Dalam POJK, sebenarnya juga sudah diatur kewajiban pemain industri melakukan edukasi kepada masyarakat. Di beleid lama tertera di pasal 33 POJK 77/2016, berbunyi penyelenggara mendukung pelaksanaan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.

Bentuk dukungan tersebut dituangkan dalam bentuk sosialisasi dan edukasi. Bagi penyelenggara yang sudah terdaftar wajib 12 kali sosialisasi di 12 kota dan provinsi berbeda dengan proporsi 6 di Pulau Jawa dan 6 di luar Pulau Jawa. Sedangkan Penyelenggara berizin rutin 3 kali dalam satu tahun dengan proporsi 1 kali di Pulau Jawa dan 2 kali di luar Pulau Jawa.

Pada intinya, seluruh stakeholder yang terlibat dalam industri fintech lending harus saling mendukung. Pemerintah mengawasi ekosistem industri; industri memberi memberikan layanan dan edukasi yang baik ke masyarakat; masyarakat juga harus cermat dalam menjadi nasabah dan berperan aktif membantu regulator untuk mengawasi.

Kinerja penyaluran p2p lending di AdaKami hingga Februari 2023 menyalurkan lebih dari Rp21,1 triliun kepada lebih dari 3,1 juta peminjam

AdaKami Pertimbangkan Seriusi Pembiayaan Produktif, Potensi Masih Besar

Masih besarnya kesenjangan UMKM yang belum layak mendapat pinjaman dari perbankan, membutuhkan dukungan dari ekosistem bisnis keuangan untuk turut serta mengatasi isu tersebut. Besarnya potensi dari pembiayaan produktif ini turut membuat startup p2p lending AdaKami mulai mempertimbangkan untuk menyeriusi sektor yang belum menjadi fokus utamanya pada saat ini.

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, Business Development Manager AdaKami Jonathan Krissantosa menyampaikan sejak perusahaan berdiri hingga kini, mereka hanya bergerak di bisnis pinjaman konsumtif dengan jenis cash loan. Namun tidak menutup kemungkinan, penggunaan pinjaman di AdaKami bisa bergeser ke pinjaman produktif.

“Hal ini dikarenakan dari data internal perusahaan sepanjang tahun lalu, terdapat kenaikan penggunaan pinjaman untuk modal usaha sebesar di atas 40% meskipun pinjamannya terkategori konsumtif,” terangnya.

Strategi ini sejalan dengan rencana perusahaan dalam jangka panjang. Secara terpisah, Direkur Utama AdaKami Bernardino Moningka Vega menyampaikan, sejak awal beroperasi, perusahaan membawa visi besar dalam mendukung ekonomi Indonesia semakin inklusif. Karena itu, diperlukan rencana strategis jangka panjang untuk mewujudkan hal tersebut.

“AdaKami terus berupaya untuk mempersempit gap literasi dengan ragam inovasi teknologi serta langkah strategis untuk membuka akses keuangan digital yang semakin mudah, aman, dan dekat dengan masyarakat,” kata dia dalam keterangan resmi yang disampaikan baru-baru ini.

OJK menyebutkan hingga Oktober 2022, lebih dari 130 juta individu masih tergolong dalam kelompok unbanked. Untuk itu, diperlukan dukungan dari para pemangku kepentingan untuk mengkomunikasikan peran strategis p2p lending dalam menjangkau ratusan juta individu unbanked di Indonesia yang sekaligus akan membantu menjawab stigma masyarakat.

“Membahas mengenai penetrasi pasar p2p lending di Indonesia, sejauh ini AdaKami melihat bisnis ini masih dalam proses mengusahakan sesuai dengan target regulator dan pemain industri. Target AdaKami sendiri sebagai salah satu fintech p2p lending di Indonesia ialah inklusi keuangan yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat underserved dan unbanked,” tambah Jonathan.

Fintech Report 2021: Penetrasi pemain lending cash loan di Indonesia pada 2021 / DSInnovate

Disebutkan, hingga Februari 2023, perusahaan menyalurkan lebih dari Rp21,1 triliun kepada lebih dari 3,1 juta peminjam. Adapun berdasarkan total akumulasi pinjaman sepanjang tahun berjalan sebesar Rp3,24 triliun dengan total outstanding Rp2,29 triliun.

Perusahaan tidak membuka lender dari kalangan ritel untuk bergabung di AdaKami, sejauh ini sepenuhnya diisi dari kalangan institusi perbankan sebagai super lender. Salah satunya adalah Bank OCBC NISP dengan nilai kerja sama awal Rp100 miliar pada Oktober 2022.

“Saat ini, AdaKami masih berfokus funding dari sisi operasional. Funding dari sisi operasional ini nantinya akan disalurkan kepada user-user AdaKami yang underserved dan unbanked sehingga mereka dapat mengakses keuangan secara inklusif.”

Mengenai komitmen perihal menjaga kualitas pinjaman, Jonathan menjelaskan kunci awalnya terletak dari proses KYC yang memegang peranan penting untuk menentukan kualitas konsumen yang mengajukan di AdaKami.

Menurutnya, AdaKami sendiri baru melakukan optimisasi scoring sejak tahun lalu. Optimasi scoring ini diharapkan Adakami mampu mendukung lebih banyak konsumer yang berkualitas tinggi. Tak hanya itu, tim collection juga memegang peranan penting dalam menjaga TKB90.

“Memang salah satu tantangan di industri ini adalah literasi keuangan di kalangan masyarat termasuk kesadaran untuk membayar pinjaman.”

Data regulator juga menyebutkan terdapat lebih dari 100 pelaku fintech P2P lending yang secara resmi beroperasi di Indonesia, yang mana Tingkat Keberhasilan Bayar 90 hari (TKB90) p2p lending telah meningkat hingga 97,25% per Januari 2023. Di AdaKami sendiri, TKB90 berada di angka 99,88%.

Jumlah para pelaku p2p lending dengan skala TKB90 sebagai dasar operasionalnya juga diyakini akan terus bertumbuh, sehingga diperlukan dukungan dari para pemangku kepentingan untuk mengkomunikasikan peran strategis P2P Lending. Sekaligus akan membantu menjawab stigma masyarakat dalam menjangkau ratusan juta individu unbanked di Indonesia.

Pertumbuhan industri p2p Lending ini juga terlihat dari total penyaluran pinjaman yang terus mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu. Pada November 2022, tercatat penyaluran pinjaman hingga Rp18,97 triliun, naik 1,30% dari bulan sebelumnya. Nilai tersebut juga lebih tinggi dibandingkan November 2021, yang hanya mencapai Rp12,98 triliun dan Rp8,59 triliun pada November 2020.

Application Information Will Show Up Here
Fintech Lending AdaKami

AdaKami Andalkan “Channeling” dengan Mitra Digital, Mulai Fokus Pinjaman Produktif

AdaKami merupakan salah satu pemain fintech lending yang telah beroperasi di Indonesia sejak 2018 dan kini masuk sebagai salah satu jajaran teratas untuk penyaluran pinjaman berdasarkan volume. Perusahaan akan kembali meneruskan pencapaian tersebut dengan bekerja sama dengan lebih banyak mitra digital dalam rangka meningkatkan utilitas plafon pinjaman dan masuk ke sektor produktif.

AdaKami percaya kalau setiap orang Indonesia pasti punya mimpi atau tujuan yang ingin diraih di setiap kehidupan mereka, di antaranya untuk bisa mencapai mimpi tersebut memang membutuhkan dukungan secara finansial,” ucap VP AdaKami William Guo kepada DailySocial.id.

AdaKami memiliki dua produk pinjaman, yakni, Pinjaman Harian dan Pinjaman Cicilan. Perbedaan antara keduanya ada di pilihan metode pembayaran. Untuk Pinjaman Harian, dengan metode pembayaran 21 hari atau 28 hari, sementara Pinjaman Cicilan metode pembayaran dicicil per bulan hingga tiga kali.

Perusahaan bekerja sama dengan berbagai mitra digital dalam rangka meningkatkan utilitas limit plafon. Salah satu yang sudah diumumkan adalah JD.id. Pengguna JD.id dapat menggunakan limit yang diterima dari AdaKami —setelah proses verifikasi, sebagai alternatif metode pembayaran saat belanja berbagai kebutuhan di platform JD.id.

Ke depannya, akan ada lebih banyak kerja sama yang akan diumumkan. Pasalnya, ia menyebut perusahaan ingin hadir di berbagai aspek kebutuhan pengguna yang perlu didukung oleh alternatif pembiayaan/pembayaran. “AdaKami ingin menjawab kebutuhan dan tren yang ada saat ini di mana kolaborasi dengan lebih banyak platform digital lainnya, seperti e-commerce, e-wallet, dan platform digital lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.”

Secara akumulatif hingga Oktober 2021, AdaKami sudah menyalurkan hampir ke 3 juta orang peminjam dengan peminjam aktif di angka hampir 1 juta orang melalui aplikasi. Untuk nilai penyalurannya mencapai Rp5,5 triliun.

Adapun untuk lender, sejauh ini baru memanfaatkan lender institusi atau sering disebut super lender. William menyebut salah satu di antaranya adalah Bank Jago yang menaruh komitmen untuk menyalurkan dana sebesar Rp100 miliar sejak pertengahan 2021. “Hingga hari ini AdaKami juga tengah berdiskusi dengan beberapa pihak super lender yang harapannya bisa kami umumkan kolaborasi antara akhir 2021 atau awal 2022.”

Secara terpisah mengutip dari Bisnis.com, berawal dari pinjaman konsumtif, kini AdaKami mulai mendukung sektor produktif. Menurut survei internal yang dilakukan perusahaan, kendati dominasi penyaluran terbesar masih di sektor konsumtif, sekitar 23% pengguna memanfaatkan pinjaman untuk usaha mandiri. Sebanyak 47% pengguna di dalamnya menggunakan dana tersebut untuk pinjaman modal, dan kebanyakan pengguna berada di rentang usia 20-39 tahun.

CEO AdaKami Bernardino M. Vega mengatakan, perusahaan mematok target yang agresif pada tahun ini karena ditopang oleh strategi masuk ke sektor tersebut, terutama usaha mikro rumahan. “Jadi kalau kami perhatikan pada masa pandemi kemarin, tak jarang tipe borrower yang statusnya punya pekerjaan, dia mengajukan pinjaman multiguna dan menggunakan nama pribadi, bukan usaha. Nah, dia bukan menggunakan dana buat kebutuhan harian, justru menggunakannya untuk membuka usaha sampingan.”

Strategi yang akan dilakukan untuk mendukung rencana tersebut adalah memperbesar ticket size, membuat tingkat bunga yang semakin rendah dengan meningkatkan profil user, mengakomodasi tenor lebih panjang, dan memberikan kemudahan persetujuan.

VP AdaKami William Guo / AdaKami

Perketat mitigasi risiko

William melanjutkan, belakangan citra industri fintech lending terus tercoreng karena aksi pemain ilegal. Menurutnya, dari sisi transparansi dan akuntabilitas, yang perlu diketahui adalah bahwa salah satu faktor yang membedakan antara fintech legal dan ilegal adalah keterbukaan informasi terkait biaya pinjaman.

Perusahaan selalu menampilkan seluruh rincian biaya pinjaman, sebelum pengguna mengajukan pinjaman, sehingga pengguna dapat mempertimbangkan total biaya yang harus mereka bayarkan. Sedangkan dari sisi keamanan data privasi dan teknologi informasi, AdaKami telah tersertifikasi ISO 27001:2013 terkait keamanan informasi digital.

“Maraknya terkait pinjol ilegal juga menjadi perhatian AdaKami, di mana kami secara aktif melalui platform resmi melakukan komunikasi edukasi dan menyediakan saran-saran praktis kepada pengguna dan publik secara luas mengenai penggunaan fintech lending yang aman dan bijak.”

AdaKami juga melakukan serangkaian langkah untuk mitigasi risiko demi mencegah risiko gagal bayar. William menjelaskan, dalam proses pendaftaran awal, AdaKami memanfaatkan teknologi AI untuk mempelajari dan mendeteksi kemungkinan penipuan berdasarkan data dan informasi yang disertakan pengguna.

“Hal ini juga didukung oleh big data, salah satunya PEFINDO dan juga kelengkapan sistem keamanan yang AdaKami gunakan dalam menentukan credit scoring.”

Penilaian kredit merupakan parameter kredit yang dapat merepresentasikan atau mencerminkan karakter, serta kemampuan calon peminjam untuk bertanggung jawab atas pengajuan pinjamannya. Tinggi atau rendahnya penilaian kredit juga dapat memberikan gambaran prediksi probabilitas keberhasilan bayar dari calon peminjam di masa depan.

“Posisi TKB kami saat ini tergolong baik dan sehat, seperti yang dapat diakses melalui halaman website kami, per September 2021 TKB90 ada di 99,7%.”

Per 5 November 2021 mendatang, biaya layanan AdaKami akan mengikuti aturan baru yang dikeluarkan oleh AFPI menjadi maksimal 0,4% per hari dari sebelumnya 0,8% untuk produk sekali bayar, dan 0,3% hingga 0,4% per hari untuk produk cicilan. Sementara untuk limit pinjaman yang diberikan maksimal Rp10 juta untuk setiap pengguna.

William enggan menyebut rencana penggalangan dana perusahaan untuk mendukung langkah ekspansi berikutnya. Sebagai catatan, AdaKami adalah perusahaan patungan dari FinVolution, perusahaan pembiayaan terbesar dari Tiongkok, dengan kepemilikan 80% saham dan PT Paraduta Satya Wahana, yang merupakan bagian dari Northstar.

Tren pembiayaan konsumtif menurun

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 penyelenggara syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai Rp4,1 triliun. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana Rp13,8 triliun.

Dominasi porsi pinjaman konsumtif masih mendominasi dari total portofolio penyaluran di industri. Bila melihat selama 2020 kemarin, penyaluran konsumtif memakan porsi sebanyak 62,04% dari total new loan Rp74,41 triliun. Akan tetapi trennya, perlahan turun karena dorongan OJK untuk pemain lending turun menggarap pembiayaan produktif di dalam portofolionya.

Menurut laporan DSResearch dan AFPI, rata-rata pinjaman konsumtif yang dicairkan oleh para platform adalah di bawah Rp2,5 juta (70,1%), lalu disusul Rp2,5 juta-Rp25 juta (20,8%), dan Rp25 juta-Rp100 juta (1,3%). Adapun dari total penyaluran pinjaman, tercatat ada 46,8% perusahaan yang menyalurkan pinjamannya hingga Rp50 miliar, lebih dari Rp1 triliun (23%). Selain itu, ada 5 pemain yang sudah menyalurkan lebih dari Rp3 Triliun kepada peminjamnya: Pendanaan.com, Asetku, UangMe, Kredivo dan Kredit Pintar.

Application Information Will Show Up Here