Pagi ini (21 Februari 2020), Bandai Namco mengumumkan daftar kompetisi yang masuk ke dalam rangkaian Tekken World Tour 2020 (TWT 2020). Menariknya, dari jajaran kompetisi yang ada di dalamnya, terselip satu kompetisi di Indonesia. Gelaran tersebut adalah IFGC MAX (Indonesia Fighting Game Championship), sebuah kompetisi Fighting Game yang dibesut oleh salah satu dedengkot tournament organizer Fighting Game di Indonesia, Advanced Guard.
Gelaran tersebut termasuk ke dalam Challengger Tournaments, yang artinya gelaran ini merupakan salah satu gelaran besar di dalam rangkaian Tekken World Tour. Dalam Challengger Tournaments ada juga gelaran besar seperti Thaiger Uppercut atau TGU yang diadakan di Thailand, atau Summer Jam yang diadakan di Amerika Serikat.
Satu hal menarik lainnya, gelaran Challenger Tournament tidak hanya diadakan di Indonesia, tapi juga di beberapa negara yang jarang terdengar menjadi lokasi gelaran esports. Contohnya seperti Cape Town Showdown yang diadakan di Afrika Selatan, Clash of the Olympians yang diadakan di Yunani, Takra Cup yang diadakan di Pakistan, atau Tekken Round Pro yang diadakan di Columbia.
Menurut pengumuman, IFGC MAX akan diadakan pada 4 – 5 Juli 2020 mendatang di Indonesia. Terkait ini, Bram Arman co-founder Advanced Guard memberikan komentarnya. “Saya sangat excited bisa kembali menjadi bagian dari TWT 2020. Saya berharap bisa memberikan yang terbaik, dan semoga gelaran ini akan menjadi persembahan terbaik bagi komunitas Tekken di Indonesia.”.
Memang, gelaran IFGC MAX tergolong sebagai “Returning Location” di dalam pengumuman ini. Hal ini mengingat, IFGC Indonesia memang sudah pernah diadakan sebelumnya, tepatnya delapan tahun yang lalu, pada tahun 2012. “EVO memang kiblat kita sedari dulu. Pada mulanya niatan bikin EVO lokal saat tahun 2012 dan akhirnya terciptalah IFGC. Setelah IFGC 2012 selesai, Advanced Guard baru dibuat yang berisikan teman-teman dengan visi yang sama untuk mengembangkan FGC di Indonesia.”. Bram menceritakan.
Tak hanya itu, sejak dulu, IFGC juga bisa dibilang sudah memahat namanya menjadi turnamen Fighting Game bergengsi di Indonesia. “Pada tahun itu, ada semacam Road to EVO, kita apply dan dapet. Berkat itu, IFGC jadi kompetisi bergengsi. Ada player Malaysia datang. Belum lagi kita dari komunitas juga mengundang 5 pemain dari Singapura ketika itu.”. Bram melanjutkan ceritanya.
IFGC lalu terselenggara secara konsisten sejak itu, dan kerap menjadi bagian dari sirkuit kompetisi Fighting Game seperti sirkuit Capcom Pro Tour untuk Street Fighter, atau sirkuit Tekken World Tour untuk Tekken 7.
Selain itu, Bandai Namco juga mengumumkan bahwa TWT Finals 2020 akan diadakan 12 – 13 Desember 2020 mendatang di New Orleans Amerika Serikat.
Kehadiran kembali IFGC tentu akan menjadi angin segar bagi para petarung Tekken 7 di Indonesia. Apalagi dengan pesatnya pertumbuhan ekosistem esports kini, IFGC bisa menjadi ajang unjuk gigi FGC Indonesia kepada para pegiat esports ataupun khalayak umum.
Seiring dengan perkembangan esports secara umum di Indonesia, komunitas fighting game atau Fighting Game Community (FGC) ternyata juga turut “kecipratan” perkembangannya. Salah satu alasan terbesarnya mungkin datang dari SEA Games 2019, yang turut mempertandingkan Tekken 7, membuat fighting game (FG) mendapat perhatian yang lebih besar. Dampaknya? Turnamen fighting game kini jadi semakin marak.
Sepanjang tahun 2019, setidaknya ada 6 turnamen figthing game di Jabodetabek. Ini saja kita baru menghitung turnamen yang diadakan oleh salah satu tournament organizer tertua di skena FGC Indonesia yaitu Advanced Guard. Belum lagi turnamen-turnamen lainnya seperti Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight, atau mungkin turnamen di luar Jabodetabek yang diselenggarakan oleh komunitas seperti Drop the Cap.
Namun demikian, banyaknya turnamen fighting game memunculkan beberapa dampak. Salah satunya adalah penerapan rules yang tidak standar antar kompetisi satu dengan yang lain. Karena perkembangan skena fighting game sudah cukup terasa, saya jadi berpikir bahwa kini sudah saatnya turnamen fighting game, apapun itu menggunakan peraturan standar kompetitif yang berlaku. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan terkait hal ini.
Belajar dari EVO 2008
Anda pecinta FG mungkin sudah tidak asing dengan gelaran Evolution Championship Series atau yang lebih dikenal dengan nama EVO. Berjalan sejak tahun 1996 lalu, EVO selama ini dianggap sebagai turnamen paling bergengsi di kalangan Fighting Game Community (FGC). Selama ini posisi EVO berhasil mempertahankan tradisi kompetisi pada zaman arcade, sampai sekarang menjadi sebuah fenomena global.
Menjadi satu gelaran yang sangat berkaitan erat dengan komunitas pemain fighting game, tak heran jika gelaran ini sangat dihormati oleh komunitas. Tak heran agar EVO bisa mempertahankan nama baiknya, ia harus menggunakan peraturan sesuai standar pada setiap cabang game yang dipertandingkan.
Tapi bukan berarti EVO selalu tanpa celah. Pada EVO 2008, mereka sempat melakukan satu kesalahan yang cukup penting. Kesalahan ini memperuncing pertikaian antara komunitas FG secara umum dengan komunitas Smash. Masalah ini muncul pada saat EVO mengikutsertakan Super Smash Bros. Brawl (Wii) sebagai bagian dari kompetisi EVO 2008.
Dalam pertandingan tersebut, EVO menggunakan satu ruleset yang tidak sesuai standar, yaitu memperkenankan Items di dalam pertandingan. Items dalam Brawl merupakan sebuah benda yang muncul dalam waktu, bentuk, serta efek yang acak. Penambahan ruleset ini mengakibatkan jalannya pertandingan jadi semakin sulit untuk diduga, karena menambah faktor keberuntungan dari kemenangan seorang pemain.
Mengutip dari Red Bull Esports, dikatakan bahwa setelah kejadian tersebut Brawl segera menjadi bahan tertawaan oleh peserta cabang game lain EVO. Penerapan ruleset tersebut berdampak kepada cara pandang FGC terhadap Brawl. Memperuncing hubungan antara FGC dengan komunitas penggemar seri Super Smash Bros (SSB). SSB dianggap bukan bagian dari fighting game oleh komunitas karena anggapan bahwa memenangkan kompetisi SSB tidak selamanya karena jago, tapi bisa jadi karena keberuntungan.
Beberapa tahun berlalu, hubungan antara FGC dengan SSB sudah membaik. EVO Japan 2020 kembali melibatkan komunitas SSB lewat seri terbarunya, Super Smash Bros. Ultimate. Walau sempat menjadi kontroversi karena kompetisinya hanya berhadiah sebuah kontroler saja, namun kemenangan Shutton di sana tetap dihormati oleh komunitas karena kemampuan yang ia tunjukkan.
Kasus EVO 2008 sebenarnya bisa menjadi pelajaran berarti bagi penyelenggara turnamen fighting game di Indonesia. Mengingat fighting game bersifat individual, usaha penyelenggara untuk menjunjung tinggi sportivitas pastinya akan sangat diharapkan. Demi kompetisi yang dianggap adil ataupun demi gengsi yang didapatkan sang juara setelah memenangkan kompetisi tersebut.
Tanpa peraturan yang sesuai standar, mereka yang kalah kompetisi mungkin bisa saja nyinyir, menganggap kompetisi tersebut tidak adil karena peraturannya tidak sesuai standar. Buntut panjangnya, mungkin turnamen tersebut bisa menjadi dipandang buruk oleh komunitas.
Kata Komunitas Fighting Game Indonesia
Seakan tak lengkap jika kita membicarakan hal ini tanpa melibatkan Bram Arman co-founder Advanced Guard, ke dalam perbincangan. Bram mungkin bisa dibilang sebagai dedengkot komunitas fighting game di Indonesia yang menurut saya patut untuk dihormati. Salah satu alasan saya pribadi adalah, karena usahanya untuk terus mengasuh komunitas fighting game di Indonesia yang sudah ia lakukan sejak dari tahun 2012 lalu.
Ia mengatakan, permasalahan ini memang punya pro dan kontra tersendiri, apalagi mengingat jumlah massa FGC di Indonesia tidak sebesar di luar negeri. “Semua pasti ada sisi pro and cons, termasuk jika kita bicara soal turnamen fighting game yang semakin banyak, namun memiliki peraturan yang tidak sesuai standar. Melihat hal ini, pro-nya adalah, exposure buat FGC jadi tambah banyak, terutama Tekken yang belakangan memang marak turnamen. Cons-nya kalau menurut pendapat saya personal, saya merasa miris melihat kejadian seperti ini. Apalagi saya sendiri merasa sudah meluangkan banyak waktu untuk membuat turnamen fighting game sesuai standar dan dengan kualitas yang memadai.” Ucap Bram.
Terkait soal hal tersebut, kami juga menanyai komunitas Cross Gathering, salah satu komunitas fighting game yang berdomisili di Surabaya, Jawa Timur. Komunitas ini kerap kali membuat turnamen berbagai macam fighting game untuk para penggemarnya yang berada di domisili Jawa Timur dan sekitarnya. Saya pun menanyai pendapat Eko Gunawan sebagai seseorang yang bisa dibilang sebagai salah satu tetua dari komunitas Cross Gathering.
Eko juga punya pandangannya sendiri terkait permasalahan ini. “Menurut saya pribadi, mempertandingkan suatu game dengan peraturan internasional itu banyak untungnya kok bagi penyelenggara. Karena jadinya komunitas tidak ada yang protes, panitia juga harusnya jadi tidak terlalu direpotkan. Mengapa jadi tidak direpotkan? Karena peraturan internasional pasti sudah melalui pertimbangan serta persetujuan dari developer ataupun komunitas. Jadi penyelenggara tinggal pakai saja.” Ucapnya.
Memang apa saja yang membuat turnamen fighting game bisa dikatakan sesuai standar? Menurut saya yang paling minimal adalah turnamen tersebut menggunakan game versi terbaru, pemainnya dibebaskan menggunakan controller apapun, dan menggunakan format best-of-3.
Pertama-tama soal versi game yang digunakan. Sebagai perwakilan pemain, saya menanyai pendapat Jovian (Cobus) dari DRivals. Cobus yang merupakan seorang pemain Tekken 7, merasa kehadiran peraturan atau sistem permainan yang tidak standar sedikit-banyak mempengaruhi mentalitas pemain.
“Kalau ditanya pendapat, pasti kecewa kalau peraturannya tidak sesuai standar. Satu yang paling fatal dan beberapa kali gue temukan adalah penggunaan Tekken 7 versi lama untuk kompetisi. Walau ini tidak mempengaruhi level kompetitif dalam turnamen tersebut, tapi gue merasa hal ini mempengaruhi level kompetitif pemain Tekken Indonesia secara keseluruhan. Menurut saya ini membuat pemain Tekken Indonesia tidak terbiasa melatih mental dan skill untuk tingkat lebih tinggi, terutama untuk kompetisi yang menggunakan peraturan standar internasional.” Cobus mengatakan.
Lalu bagaimana kalau bicara soal controller? Bram lalu mengutarakan pendapatnya. “Kalau bicara dalam lingkup FGC, controller itu sangat fatal. Sejak awal, FGC tidak pernah menyamaratakan controller yang harus digunakan dalam sebuah turnamen. Setiap pemain diperkenankan menggunakan controller-nya masing-masing, entah itu Joystick, Arcade Stick, Mixbox, ataupun Keyboard. Kalau sampai dipaksa menggunakan satu jenis controller saja, menurut saya turnamen tersebut malah jadi kurang sportif.”
Jika bicara controller, saya juga setuju dengan pendapat bram. Pemilihan controller ibarat seperti pemilihan sepatu pada pemain bola. Anda tidak bisa mengharuskan semua pemain menggunakan satu jenis sepatu di dalam pertandingan sepak bola. Karena masing-masing pemain punya karakteristik permainannya sendiri, misalnya pemain sayap butuh sepatu yang optimal untuk gerak lincah, sementara pemain tengah butuh sepatu yang optimal untuk mengontrol serta mengumpan bola dengan tepat sasaran.
Kembali membahas fighting game, kenyamanan dan kebiasaan adalah alasan utama dalam pemilihan controller pesertanya. Pemain yang pakai Arcade Stick biasanya sudah mengenal fighting game sejak masih ada di Arcade, jadi mereka tidak bisa dipaksa harus menggunakan Joystick, begitupun sebaliknya. Jadi adil dalam pemilihan controller di fighting game adalah dengan dibebaskan menggunakan apapun. Toh, perbedaan controller tidak mempengaruhi kemampuan Anda bertarung di dalam pertandingan fighting game. Pada EVO saja, banyak juga kok pemain Tekken atau Street Fighter yang masih menggunakan Joystick untuk bertanding di tingkat dunia.
Terakhir adalah soal format best-of-3. Ini juga menjadi penting dalam sebuah pertandingan fighting game. Bram punya pendapatnya sendiri terkait hal ini. “Memang best-of-3 itu menurut saya wajib di dalam fighting game. Kenapa? Karena best-of-1 rentan memunculkan faktor keberuntungan. Kalau skill gap antara pemain satu dengan yang lain sangat jauh, mungkin best-of-1 masih tidak masalah. Tapi bagaimana jika sama-sama jago? Di sini yang tadi saya sebut, rentan memunculkan faktor keberuntungan.” ucap Bram.
Apa yang Harus Komunitas Lakukan
Menghadapi masalah yang kian terasa ini, apa yang sebetulnya harus dilakukan oleh FGC Indonesia? Tidak, saya tentunya tidak akan menyuruh komunitas untuk “memboikot” turnamen yang peraturannya kurang jelas. Karena saya merasa pasti ada solusi yang lebih bijak atas masalah tersebut.
Saya lalu kembali mengutip pendapat Eko dari Crossgathering untuk membahas ini. Eko juga sedikit cerita, bahwa fenomena seperti ini juga beberapa kali terjadi di Surabaya. “Kalau bicara turnamen FG, seperti di Jakarta, paling banyak tetap Tekken. Walau pesertanya mungkin lebih sedikit dibanding Jakarta, namun turnamen Tekken pasti minimal memiliki 32 peserta. Soal turnamen dengan peraturan yang tidak standar? Sudah pasti ada juga di Surabaya.” ucapnya.
Eko lalu melanjutkan apa yang biasa ia lakukan menghadapi masalah tersebut. “Kalau saya sebagai perwakilan komunitas yang peduli dengan game-nya, biasanya akan menghubungi panitia, lalu menawarkan bantuan serta saran agar turnamen bisa berjalan dengan lancar. Beberapa ada yang terbuka, beberapa ada yang tidak mau menerima. Kalau tidak terbuka, biasanya mereka juga yang kerepotan. Akhirnya peserta banyak yang protes karena panitia tidak berpengalaman. Belum lagi kalau turnamen tersebut dibahas secara buruk oleh komunitas, tentunya pihak penyelenggara juga yang rugi.” Tukasnya.
Namun demikian Eko juga merasa bahwa masalah tersebut nyatanya di luar kendali komunitas. “Jika kita bicara soal organizer besar yang menyelenggarakan turnamen fighting game dengan hadiah besar tapi peraturannya tidak mengikuti standar, saya merasa itu kembali lagi menjadi hak mereka. Tapi hal ini tentu sangat disayangkan. Kalau saja mereka mau merangkul dan menerima bantuan komunitas, jalannya turnamen tentu akan jadi lebih mulus. Kenapa? Komunitas sudah pasti paham dengan FG yang dipertandingkan serta perangkat mereka juga lebih update. Jadi pada akhirnya jika mau bekerja sama, ini menjadi simbiosis mutualisme kok antara penyelenggara dengan komunitas.” ucap Eko.
Lalu bagaimana jika dari sisi pemain? Apa yang bisa dilakukan oleh para pemain? Seperti tadi yang sudah saya bilang pada awal, “memboikot” rasanya bukan cara yang bijak untuk dilakukan. Perkembangan komunitas mungkin malah terhambat, jika misalnya tindakan tersebut dilakukan. Skenario terburuknya, memboikot mungkin akan menyebabkan perpecahan. Muncul perbedaan kubu antara pemain pro peraturan standar dengan pemain yang tidak terlalu peduli dengan peraturan standar. Akhirnya FGC Indonesia yang belum sempat menjadi lebih besar, malah terpecah belah terlebih dahulu.
Jovian lalu menyatakan pendapatnya. “Menurut saya, satu-satunya langkah yang patut dicoba memang adalah dengan edukasi kepada panitia tersebut setiap kali turnamen. Supaya ke depannya mereka bisa membuat turnamen yang punya peraturan sesuai standar. Karena kalau dari sisi pemain, jujur saja, kami tentunya ingin bisa mendapat kemenangan, ingin mendapat sesuatu dari hasil latihan yang kami lakukan. Jadi mau tidak mau, banyak turnamen juga menjadi keuntungan tersendiri bagi pemain kompetitif seperti saya dan kawan-kawan DRivals.” ucapnya.
Bicara soal turnamen, Hybrid juga selalu mencoba menunjukkan bahwa turnamen fighting game harus sesuai dengan standar yang ada. Hybrid Cup, sudah hadir beberapa kali dengan mempertandingkan beberapa macam fighting game, dan selalu menggunakan peraturan sesuai dengan standar kompetitif masing-masing game. Hasilnya adalah komunitas mempercayai turnamen yang diadakan oleh Hybrid, dan puncaknya adalah gelaran Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament yang diikuti oleh hampir 200 peserta.
Bicara soal apa yang harus dilakukan komunitas, Bram memiliki pendapat yang kurang lebih serupa dengan Eko. Menurutnya, kehadiran banyak turnamen dengan rules yang bervariasi ini memang sudah tidak bisa dibendung lagi. “Nyatanya, turnamen seperti ini juga tidak akan sepi.” kata Bram.
“Pemain-pemain fighting game sudah pasti haus kompetisi. Jadi, pemain juga pasti realistis saja, mengapa tidak untuk ikut turnamen seperti ini? Walau peraturannya mungkin tidak nyaman bagi pemain, tetapi mereka pasti punya sisi oportunis, ingin mengejar hadiah, ingin mendapatkan pengakuan, atau sesederhana ikut karena dekat dengan lokasi acara dan ingin jajal kemampuan. Menurut saya hal itu juga tidak salah, karena motivasi masing-masing pemain tentunya berbeda-beda.” Bram menyatakan pendapatnya.
“Pada dasarnya, turnamen fighting game yang merebak memang menguntungkan player. Kalaupun mereka ikut, para player dari komunitas biasanya sharing tips kepada sang penyelenggara, karena mereka sebenarnya juga punya kepedulian yang sama. Cuma, jika bicara dari sudut pandang saya sebagai Tournament Organizer, saya cuma bisa bilang saya berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas.”
“Maka dari itu saya sejujurnya sangat bersyukur terhadap beberapa pihak yang masih percaya dengan saya, karena kepercayaan tersebut menjadi kesempatan bagi saya dan FGC Indonesia untuk unjuk gigi community effort yang sesungguhnya. Pada akhirnya, passion komunitas bisa berjalan bersamaan kok dengan keinginan pihak-pihak terkait.” Bram memberi pendapatnya seraya menutup perbincangan kami soal standar turnamen fighting game.
—
Turnamen yang tidak sesuai standar memang kerap kali menjadi masalah bagi komunitas game, tak terkecuali komunitas fighting game. Saya sendiri setuju dengan pendapat para narasumber yang telah membantu saya melengkapi artikel ini, yaitu edukasi tanpa henti dan terus memberi saran kepada penyelenggara yang sudah membuat turnamen fighting game untuk komunitas.
Mengawali tahun 2020, Hybrid mencoba hadir dengan berbagai variasi baru lewat gelaran yang diadakan. Contohnya kemarin, Hybrid sempat bekerja sama dengan komunitas Smash lewat Batavia Gamers untuk mengadakan Batavia Brawl: Pre-Season. Selain itu, ada juga Road to Hybrid Cup, yang menjadi gelaran turnamen sebagai bentuk persembahan Hybrid bagi komunitas Rainbow Six Siege Indonesia, R6 IDN.
Rentetan gelaran ini tentu tidak berhenti sampai di situ saja, karena untuk selanjutnya akan ada Hybrid Cup Series – Play on PC bertemakan Fighting Game Tournament. Untuk kali ini, Hybrid bekerja sama dengan salah satu dedengkot di dunia esports fighting game Indonesia, Advanced Guard.
Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament menghadirkan 3 cabang game, yaitu Tekken 7, Street Fighter: V, dan Soul Calibur VI sebagai pendatang baru. Selain itu, dalam hal Tekken 7, Hybrid Cup Series kali ini hadir sedikit beda karena mempertandingkan para petarung tingkat rookie.
Untuk itu, Hybrid Cup kali ini akan menggunakan daftar Advanced Player Tekken 7 milik Advanced Guard untuk menentukan kelas pemain. Pemain yang masuk dalam daftar tersebut adalah pemain-pemain yang aktif mengikuti berbagai turnamen yang diselenggarakan oleh Advance Guard selama tahun 2019 di regional Jabodetabek, dan tidak boleh mengikuti Hybrid Cup Series – Play on PC Fighting Game Tournament. Pemain yang masuk daftar tersebut adalah pemain yang berhasil mendapatkan peringkat 16 besar pada turnamen dengan partisipasi 64 orang, atau pernah masuk 32 besar di turnamen dengan partisipasi 128 orang.
Wiku Baskoro selaku Co-Founder Hybrid.co.id memberikan pandangannya terkait hal ini. “Tekken untuk rookie diadakan pada Hybrid Cup kali ini karena kerja sama dengan Advanced Guard yang punya rank list untuk Tekken. Rencananya Tekken rookie ini akan jadi babak awal untuk turnamen Tekken yang berkelanjutan. Ke depan, semoga akan ada turnamen Tekken lainnya dengan kategori yang berbeda-beda.”.
Bram Arman selaku Co-Founder Advanced Guard juga menambahkan. “Berhubung Hybrid Cup kali ini adalah hasil kerja sama antara Advanced Guard dengan Hybrid, jadi saya usulkan untuk bikin multiple turnamen. Bicara soal pilihan game, kalau Tekken sudah jelas, pemain-pemaninya banyak yang haus kompetisi. Tapi, berhubung Tekken sudah banyak kompetisi, makanya saya dan mas Wiku setuju untuk membuat Tekken rookie di kompetisi ini dan berharap nantinya bisa berjalan secara berkelanjutan dengan kategori yang lain.”.
“Kalau Street Fighter dan Soul Calibur dipilih karena saya sendiri kepingin perkembangan FGC bisa lebih merata di Indonesia. Soul Calibur mungkin terbilang baru muncul di Hybrid Cup. Namun demikian, saya dan mas Wiku sepakat memilih game ini karena sejak awal rilis, saya lihat pergerakan komunitas cukup solid. Maka dari itu saya juga dengan senang hati membantu komunitas Soul Calibur.” Bram melanjutkan.
“Untuk Hybrid, saya sendiri berharap semoga Hybrid Dojo semakin dikenal banyak pihak. Supaya nantinya kompetisi seperti Hybrid Cup Series ini bisa jadi lebhi heboh lagi, lebih besar lagi.” Bram menutup komentarnya sambil mengatakan harapannya terhadap Hybrid Dojo.
Pendaftaran Hybrid Cup Play on PC dibuka sejak tanggal 15 Januari 2020 kemarin sampai 31 Januari 2020 mendatang. Untuk mendaftar, Anda dapat langsung pergi ke tautan bit.ly/hybridfight. Informasi lebih lanjut seputar Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament, Anda dapat mengunjungi tautan yang satu ini.
Pertandingan Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament akan diadakan pada 8 Februari 2020 mendatang di Hybrid Dojo, Kemang, Jakarta Selatan. Persiapkan diri, dan tunjukkan kemampuan Anda di Hybrid Dojo!
Tekken World Tour 2019 Finals (TWT Finals 2019) telah usai digelar. Kini, semua perjuangan dan pertarungan hanya tinggal cerita saja. Selain dari cerita manis kemenangan Chikurin dan Jepang di kompetisi Tekken 7 paling bergengsi ini, ada juga cerita lain yang datang dari komunitas Tekken Indonesia.
Berhubung lokasi acara Tekken World Tour 2019 Finals di Thailand, alhasil beberapa pemain komunitas Tekken Indonesia memutuskan untuk bertandang untuk menghadiri, juga menjajal kemampuan di Last Chance Qualifier TWT Finals 2019. Total ada 15 orang yang turut hadir dan meramaikan gelaran TWT Finals 2019. Sebanyak 11 pemain mengikuti Last Chance Qualifier, sementara 4 sisanya hadir untuk menyaksikan keseruan pertarungan jago Tekken dari berbagai belahan dunia, berikut daftarnya:
Pemain Indonesia Peserta LCQ:
Alter Ego | R-tech
MYTH | Jinrei aka MrV
DRivals | Retardo
UwU | Clice
UwU | Arfear
UwU | nafilo
Advance Guard | buramu
M45T4Z
ManggaDuaPlayer
Rakun Ratrickz
Sableng-sama
Komunitas Tekken Indonesia yang turut hadir di TWT Finals 2019
Abuget Gaming | Kontoru
Arcade Stick Indonesia | Wazwuz
Lee_yo
Sbyrazor
Last Chance Qualifier (LCQ), seperti namanya, adalah kesempatan terakhir bagi jago Tekken berbagai belahan dunia untuk dapat bertarung di panggung utama TWT Finals 2019. Berhubung ini adalah kesempatan terakhir, tentu saja fase ini diikuti oleh pemain-pemain berpengalaman tinggi. Diikuti oleh 256 pemain, hanya ada satu pemain saja yang bisa lolos ke TWT Finals 2019. Kalau bisa dibilang, pertarungan LCQ TWT Finals 2019 mungkin lebih terasa seperti Battle Royale dibanding dengan PUBG itu sendiri. Semua pemain hanya akan bergantung pada dirinya sendiri. Setiap lawan adalah lawan yang mengerikan.
Banyak nama besar juga bertanding dari fase ini. Pemain-pemain Korea seperti Jeondding dan EyeMusician contohnya, pemain Jepang seperti Pekos dan Kagemaru, bahkan juga diikuti oleh kontingen SEA Games dari Filipina dan Thailand, yaitu AK, Doujin, dan Book. Tak lupa, para pemain Pakistan seperti Atiff Butt dan Bilal juga turut berpartisipasi. Segitu banyak peserta yang mengikuti kualifikasi dibagi jadi dua gelombang pertandingan, dengan masing-masing gelombang berisikan 128 pemain yang dibagi menjadi 8 grup.
Pemain-pemain Indonesia, secara realistis sebenarnya cukup sulit untuk mengejar ini, bahkan untuk setidaknya mendapat 8 besar saja. Maka dari itu, gelaran LCQ ini dijadikan sebagai ajang jajal kemampuan sambil mencari pengalaman.
Tak lengkap rasanya jika bicara fighting game tanpa menyertakan pengalaman personal dari sosok “sepuh” di komunitas FGC Indonesia, yaitu Bramanto Arman. Mengikuti kompetisi dengan menggunakan nama AdvanceGuard.Buramu, ia mengakui bahwa memang ada jurang perbedaan kemampuan yang jauh antara dirinya dengan lawan yang dihadapi.
“Saya ketika itu melawan dua pemain Jepang, yaitu Gen dan SHUDY. Ketika itu saya merasa memang ada perbedaan kemampuan yang cukup jauh, terutama saat lawan Gen. Kalau lawan SHUDY, saya masih bisa memberi sedikit perlawanan, walau akhirnya kalah juga.” Bram menceritakan pengalamannya kepada saya.
“Soal perbedaan kemampuan atau skill gap, saya merasa permainan yang dilakukan Gen memang sangat solid. Maksudnya solid adalah dari pressure yang dilakukan hampir tidak pernah terlalu sembrono. Dia juga bisa whiff punish atau membalas gerakan yang tidak kena dengan tepat sasaran. Gambaran awamnya mungkin begini, dia sudah bisa menebak apa yang akan saya lakukan dan selalu punya jawaban atas gerakan saya yang berisiko. Sementara di sisi saya, saya kehabisan akal atas apa yang dilakukan Shaheen dari Gen.” ujar Bram.
Sorotan cerita yang tak kalah menarik dalam kisah percobaan Indonesia di LCQ TWT Finals 2019 ini adalah keberanian para newcomers dari tim UWU menjajal kemampuan senior-senior kelas dunia. Penasaran dengan pengalamannya, saya menanyakan salah satu pemain UWU, Olifan Okto “Nafilo” Pradana .
“Jujur gue sih dapat banyak sekali pelajaran selama perjalanan gue bertanding di sana.” jawab Olifan membuka pembahasan. Dalam ceritanya dia menyoroti soal dua hal, yang pertama soal kemampuan jago-jago Tekken Pakistan. Belakangan pemain-pemain Tekken asal Pakistan sedang menjadi sorotan setelah beberapa kali memberi perlawan berarti kepada jago Tekken Korea Selatan, bahkan sempat memenangkan beberapa kompetisi.
Walau komunitas menganggap ini sebagai kebenaran, namun tak lengkap sepertinya jika tidak menjajal sendiri kemampuan para pemain Paksitan. “Gue sempat mengikuti sesi latih tanding pada H-1 LCQ dan melawan pemain Pakistan. Ketika melawan mereka, kesan pertamanya adalah mereka main seperti robot! Whiff punish selalu tepat sasaran, block punish atau serangan balasan setelah bertahan juga selalu tepat sasaran. Jadi, permainan mereka itu betul-betul next level sih, setidaknya buat gue.” ujar Olifan.
Cerita berikutnya adalah soal perjalanannya selama LCQ. Ketika itu ia sempat menghadapi peman asal Jepang, Jyotaro, yang dikenal jago memainkan Noctis. “Kesan pertama gue adalah, gue langsung merasa bahwa ada yang salah dengan metode bermain gue selama ini.” Jawabnya.
“Misal, waktu akan melakukan whiff punish, gue biasanya memilih melakukan gerakan lebih berisiko demi damage besar ketimbang memberi sedikit damage dengan gerakan yang sudah pasti kena. Pelajaran itu berasa banget buat gue. Walau cuma main selama sekitar 6 menit, tapi gue dapat pengalaman berharga yang bisa mengubah cara pandang gue terhadap cara main Tekken.” Olifan menjelaskan lebih lanjut.
Pengalaman bermain mungkin hanya satu dari banyak pengalaman berharga yang dinikmati oleh komunitas Tekken Indonesia selama gelaran TWT Finals 2019 di Thailand kemarin. Tak lupa, momen foto-foto, meet and greet dengan Katsuhiro Harada sang kreator Tekken, ajang kumpul dengan para jago Tekken dari berbagai belahan dunia jadi pengalaman lain yang tak kalah berharga.
Semoga segala pengalaman tersebut bisa menambah kemampuan para pemain dari komunitas Tekken Indonesia. Semoga juga, pengalaman ini bisa membawa Indonesia menunjukkan taringnya di peta kekuatan pertarungan Tekken internasional masa depan!