Tag Archives: aftech indonesia

FintechSPACE is Ready to Support Indonesia's Fintech Startups

FintechSPACE is Ready to Support Indonesia’s Fintech Startups

After launching its service in early 2018, UnionSpace coworking operator (previously Cre8) marked its presence by establishing FintechSPACE at Satrio Tower, Jakarta.

Consistent with the main mission, to provide a place for idea exchange on fintech policies and to implement new innovations and concept in fintech industry, FintechSPACE partners with fintech startups also financial institutions, such as DBS Bank, Midtrans, and Kejora VC, Gan Kapital, and Fenox.

The rapid growth of digital financial services along with massive interest from related parties leading fintech startups to have a unique landscape in Indonesia. Albert Goh, UnionSPACE’s CEO, mentioned that fintech startup has become an aggressive digital economy energy of Indonesia which capable to make a faster and easier transaction.

“The contribution is high, in addition, fintech has various innovations and technologies. Starts with peer-to-peer lending, payment system, cashless, Software as a Service (SaaS) and many more. This is a moment to continue acceleration and expansion of fintech business.”

Connecting startups with related parties

Aside from the coworking space in Satrio Tower, UnionSPACE has four other branches in Jakarta, includes the space in PIK Avenue, Metropolitan Tower, Barito Pacific Guesthouse, and also Harton Tower, with some other places in Bangkok, Manila, and Kuala Lumpur.

Some of the facilities are providing comprehensive business services, such as coworking space, private office, virtual office, corporate establishing, and many more. Currently, FintechSPACE occupies 3 floors and 55 suits that soon to be increased to 200 suites.

In supporting the startup community which targets are fintech services, FintechSPACE will hold some activities to support startup and fintech key players to develop, by connecting them with official partners as FintechSPACE commitment to make a contribution for Indonesia’s fintech development.

“FintechSPACE’s focus is to invite and serve some financial-based companies in Indonesia, to gather and facilitate the collaboration, also supporting Indonesia’s economy,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

FintechSPACE adalah coworking space untuk layanan fintech di indonesia

FintechSPACE Siap Bantu Startup Fintech Indonesia

Setelah mengumumkan kehadirannya awal tahun 2018, operator coworking space UnionSpace (sebelumnya bernama Cre8) meresmikan kehadirannya di Indonesia dengan mendirikan FintechSPACE di Satrio Tower, Jakarta.

Masih konsisten dengan misi utamanya, yaitu menyediakan wadah untuk bertukar pikiran merumuskan kebijakan-kebijakan fintech serta menerapkan gagasan dan konsep baru di bidang fintech, FintechSPACE menjalin kemitraan dengan startup layanan fintech hingga institusi keuangan seperti DBS Bank, Midtrans, serta venture capital Kejora VC, Gan Kapital dan Fenox.

Besarnya pertumbuhan layanan finansial keuangan digital serta minat yang cukup masif dari pihak terkait, menjadikan startup fintech memiliki lanskap yang terbilang unik di Indonesia. Menurut CEO UnionSPACE Albert Goh, perusahaan startup fintech disebut menjadi penggerak ekonomi digital Indonesia yang cukup agresif karena dapat mempercepat dan mempermudah transaksi.

“Kontribusinya tinggi, ditambah lagi, fintech itu punya inovasi dan teknologi yang beragam. Mulai dari peer-to-peer lending, payment system, cashless, Software as a Service (SaaS) dan masih banyak lagi. Ini jadi momentum untuk bisa terus mengakselerasi dan memperluas bisnis fintech.”

Menghubungkan startup dan pihak terkait

Selain coworking space yang terletak di Satrio Tower, UnionSPACE juga memiliki empat cabang lain di Jakarta, seperti di PIK Avenue, Metropolitan Tower, Wisma Barito Pacific, dan juga Harton Tower serta beberapa lokasi lain di Bangkok, Manila dan Kuala Lumpur.

Fasilitas yang disediakan di antaranya adalah, memberikan layanan bisnis menyeluruh seperti coworking space, ruang kantor pribadi, virtual office, pendirian PT dan masih banyak lagi. Saat ini total space yang dimiliki FintechSPACE sebesar 3 lantai dan tersedia 55 ruangan suites yang akan bertambah lagi menjadi 200 ruangan suites.

Untuk mendukung komunitas startup yang menyasar layanan fintech, nantinya FintechSPACE juga akan menggelar kegiatan-kegiatan yang mendukung para pelaku startup dan fintech key players untuk berkembang, dengan mendekatkan mereka bersama mitra resmi, sesuai dengan komitmen FintechSPACE memberikan kontribusi untuk kemajuan fintech di Indonesia.

“Fokus FintechSPACE ingin terus mengajak dan melayani beberapa pelopor perusahaan berbasis keuangan di Indonesia, agar bersama dapat membantu mempermudah kolaborasi dan turut membangun perekonomian Indonesia,” kata Albert.

Mengawal Geliat Industri Fintech dengan Payung Hukum

Geliat industri fintech yang terus membara, kian menunjukkan posisinya sebagai salah satu industri yang patut diperhitungkan eksistensinya di Indonesia. Negara dengan populasi 250 juta jiwa dengan penetrasi pengguna internet yang terus bertambah ini, menjadikan Indonesia semakin dilirik oleh berbagai pemain asing untuk turut serta bermain di sektor tersebut.

Saat ini, OJK mendata ada sekitar 130 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia dengan total transaksi senilai US$3,6 miliar. Diperkirakan pada tahun ini jumlahnya tumbuh dua kali lipat jadi 250 perusahaan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah pemain fintech, otomatis regulator harus selalu siaga menjaga ekosistem dengan menerbitkan sejumlah regulasi dan bekerja sama dengan asosiasi. Tujuannya agar industri fintech tetap berjalan sesuai koridor.

Pendekatan yang dilakukan regulator sebelum menerbitkan regulasi kini agak berbeda. Regulator tak lagi “galak” dalam menertibkan pelaku bisnis, tetapi lebih mengayomi dengan membiarkan perusahaan baru untuk tumbuh terlebih dahulu seiring memantau inovasi seperti apa saja yang perlu diatur.

Setelah OJK mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis p2p lending “off balance sheet”, langkah berikutnya OJK mewacanakan penerbitan regulasi berikutnya untuk p2p lending “on balance sheet”. Kabarnya terakhir menyebut regulasi ini akan terbit pada akhir tahun ini.

OJK akan atur pemasaran asuransi digital

Perhatian OJK tidak hanya fintech yang bergerak di p2p lending. Saat ini OJK tengah mewacanakan regulasi lainnya terkait pemasaran asuransi digital. Hanya saja, pengaturan akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awalnya, OJK akan mengatur soal pemasaran asuransi lewat situs masing-masing perusahaan asuransi, dalam bentuk surat edaran (SE), yang saat ini masih disusun regulator.

Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly Pardede mengatakan penerbitan aturan lewat SE sifatnya tidak bakal seketat POJK. Dia bilang aturan tersebut nantinya akan lebih berisi pedoman untuk para pelaku usaha asuransi.

Beberapa poin yang bakal dimuat dalam SE tersebut mulai dari identitas perusahaan asuransi, nama produk, jenis proteksi, serta nilai pertanggungan harus jelas.

“Asuransi yang punya fintech itu kan sama saja dengan perusahaan asuransi biasa, tidak ada bedanya dari sisi permodalan, syaratnya sama. Tapi kalau distribusi digital itu tidak perlu dibuat regulasi, nanti ada semacam guideline saja lewat SE yang akan memuat identitas perusahaan, nama produk, nama pemasaran,” katanya saat ditemui DailySocial, Rabu (3/4).

Regulator juga akan mulai memikirkan aturan main untuk pemasaran produk asuransi lewat lembaga lain seperti fintech yang bertindak sebagai agregator. Dumoly mengatakan saat ini ada beberapa perusahaan yang menyebut dirinya sebagai agregator pemasaran asuransi digital, seperti PasarPolis, CekAja, CekPremi, dan RajaPremi.

Rencana OJK ini diamini oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor. Asosiasi akan membuat pemetaan hal apa saja yang perlu dipertimbangkan regulator sebelum membuat regulasi, apa saja yang perlu diatur, dan kapan sebaiknya aturan diterbitkan. Pasalnya, asosiasi ingin melindungi dua unsur, yakni konsumen dan pelaku usaha itu sendiri.

“Bisnis asuransi itu berbicara tentang trust, sementara kalau digital itu mengenai jalur pemasaran. Dua unsur tersebut yang harus dijaga. Kami akan bantu regulator dalam merumuskan aturannya dengan membuat pemetaan dan sebaiknya regulator untuk melakukan assessment sendiri,” ucap Julian.

Menanggapi hal tersebut, pihak Pasar Polis menuturkan bahwa pihaknya akan selalu senantiasa mengikuti arahan dari regulator bila sudah ada titik terang mengenai kejelasan aturan. “Kami terus berupaya untuk comply dengan apa yang diinginkan regulator,” kata CMO PasarPolis Elia Wijaya.

Pengamanan dari sisi asosiasi

Menyambut perusahaan fintech yang diprediksi akan terus bertambah, perlindungan tak hanya dari sisi regulator, tetapi juga dari asosiasi terkait sebagai lapis pertama sebelum mendapat izin usaha dari regulator.

Terlebih, perusahaan fintech, yang kebanyakan berasal dari perusahaan rintisan (startup), sangat identik dengan jatuh bangunnya bisnis. Sehingga, diperlukan kepastian komitmennya saat berbisnis di Indonesia.

Dari sisi Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia), sebelum terdaftar menjadi anggota, pelaku usaha diharuskan menempuh tahap self assessment berdasarkan kuesioner yang sudah disusun sendiri oleh asosiasi bersama salah satu multinasional konsultan manajemen.

“Pada dasarnya ini untuk melihat apakah perusahaan tersebut merupakan fintech atau bukan. Dalam assessment, kami juga dibantu oleh perusahaan konsultan tersebut sebagai pihak ketiga independen,” terang Direktur AFTECH Indonesia M Ajisatria Suleiman kepada DailySocial.

Aji melanjutkan secara kepatuhan, pihaknya juga meminta perusahaan pendaftar sudah operasional dan berbadan hukum, memiliki atau sedang dalam proses perizinan resmi regulator. Menurutnya, apabila kegiatan usahanya tidak membutuhkan izin, maka perlu diberikan penjabaran disertai alasan.

“Kami juga bekerja sama dengan BI dan OJK apabila ada perusahaan yang terindikasi berbahaya, misalnya melakukan investasi bodong sehingga tidak akan diterima sebagai anggota.”

“Fokus kami adalah hubungan dengan pemerintah dan regulator. Jika ada yang belum bergabung, mungkin belum siap untuk berkomunikasi dengan regulator,” lanjut Aji.

Saat ini total anggota AFTECH Indonesia sebanyak 74 perusahaan startup dan 18 lembaga keuangan.

OJK Akan Undang Kominfo Terkait Sertifikat Elektronik Sebelum Keluarkan “Surat Bukti Telah Mendaftar” untuk P2P Lending

Dua hari setelah Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mengadakan konferensi pers terkait lambannya pergerakan OJK pasca menerbitkan aturan p2p lending, OJK pun akhirnya memberikan respons. Rupanya akar permasalahan yang menjadi perhatian regulator adalah pemberian sertifikat sistem elektronik (teknologi informasi/IT) yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mereka dinilai memiliki keahlian untuk menilainya.

Dalam Pasal 8 ayat e di POJK Nomor 77/2016 disebutkan bahwa penyelenggara perlu menyertakan bukti kesiapan operasional kegiatan usaha berupa dokumen terkait sistem elektronik yang digunakan dan data kegiatan operasional. Hanya saja, dalam pasal tersebut tidak disebutkan siapa pihak yang memiliki kapabilitas untuk mengukur sistem elektronik.

“Kami ingin berhati-hati sebelum terjadi masalah di depannya, untuk pihak yang mengeluarkan sertifikat sistem elektronik kami menilai bahwa Kominfo punya kapabilitas untuk mengukur itu. Untuk itu kami akan segera undang Kominfo,” ucap Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Edy Setiadi, Jumat (24/3).

Edi menilai, sikap OJK yang sangat hati-hati memperlihatkan keinginan regulator untuk mengurangi seluruh potensi kejahatan yang bakal terjadi di kemudian harinya. Pasalnya, Kominfo dinilai lebih paham dari OJK mengenai batas sistem IT yang dibutuhkan untuk platform p2p lending, teknologi yang digunakan, bagaimana pengamanannya dan lainnya.

Setelah koordinasi dengan Kominfo selesai, Edi memastikan bahwa pemberian surat bukti telah mendaftar akan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya yakni enam bulan setelah POJK diberlakukan.

“Karena sekarang kami sudah tahu permasalahannya, pemberian surat bukti tidak akan melewati batas yang telah ditentukan. Kami ingin memastikan koordinasi dengan Kominfo membuat hubungan antar kelembagaan tetap diutamakan, jangan sampai terlangkahi sebab ini yang bisa membuat suatu usaha jadi tidak sustain seperti halnya terjadi antara Go-Jek dengan Blue Bird.”

OJK pun meminta kepada AFTECH Indonesia untuk bekerja sama dalam hal menyaring perusahaan p2p lending yang berminat untuk mendaftarkan diri. Diharapkan asosiasi dapat mengidentifikasi setiap intensi yang ditujukan setiap perusahaan sebelum mengajukan pendaftaran, apakah benar-benar ingin membantu inklusi keuangan atau lainnya.

Edi menerangkan, saat ini sudah ada 23 perusahaan p2p lending yang sedang melakukan proses pendaftaran. Semuanya bergerak di bisnis p2p lending off balance sheet. Di luar itu, ada satu perusahaan yang sudah resmi terdaftar. Hanya saja perusahaan tersebut belum mengantongi sertifikat IT dari Kominfo. Edi pun enggan menyebut identitas perusahaan tersebut.

Pendaftaran melalui sistem satu pintu

Di sisi lain, Wakil Ketua AFTECH Indonesia Adrian A Gunadi meminta regulator untuk menyediakan sistem satu pintu agar pelaku usaha tidak kebingungan saat mendaftar. Menurutnya dengan adanya sistem satu pintu, akan memudahkan pelaku usaha, OJK, maupun Kominfo.

“Dengan adanya satu pintu akan memudahkan kami sebagai pelaku usaha, prosesnya jadi lebih efisien jika sertifikat IT nantinya diberikan dari Kominfo melalui OJK. Pelaku hanya berkoordinasi saja dengan OJK, tanpa harus menghubungi sendiri Kominfo,” katanya.

Asosiasi Fintech Desak OJK Keluarkan “Surat Pernyataan Telah Mendaftar”

Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih serius menunjukkan komitmennya dalam membangun industri fintech, khususnya usaha p2p lending. Tiga bulan sejak dikeluarkannya POJK Nomor 77/2016 belum ada perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan fintech yang mendapat izin usaha dari OJK.

Hingga Maret 2017, baru tercatat 27 perusahaan fintech dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya baru menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar. Belum adanya respon dari OJK menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya.

Berdasarkan salah satu poin POJK Nomor 77/2016, disebutkan bahwa dalam waktu enam bulan setelah POJK diberlakukan, perusahaan diwajibkan mengajukan pendaftaran dengan syarat memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar untuk perusahaan fintech yang sudah berbentuk PT atau koperasi.

Setelah itu, modal disetor dinaikkan jadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan saat perusahaan telah mengantongi surat pernyataan telah mendaftar maksimal satu tahun setelah penyelenggara terdaftar di OJK.

“OJK memberikan batas waktu enam bulan sejak dikeluarkannya POJK No.77/2016 bagi perusahaan P2P lending untuk melakukan pendaftaran. Pelaku usaha tinggal memiliki waktu sebentar lagi untuk memenuhi aturan ini. Untuk itu diharapkan OJK bisa segera memberi kejelasan terkait aturan ini,” ucap Direktur Eksekutif Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Suleiman, Rabu (22/3).

Ketidakjelasan ini berdampak pada kinerja perusahaan. Pasalnya, membuat gerak bisnis perusahaan fintech p2p lending jadi sedikit terbatas ketika ingin ekspansi ke luar Jakarta. Contohnya, terjadi dalam rencana ekspansi yang ingin dilakukan Investree ke Jawa Tengah.

CEO Investree Adrian A Gunadi mengatakan karena perusahaan belum mengantongi surat keterangan telah mendaftar, membuat pihaknya harus mengundur rencana ekspansinya tersebut.

“Saat kami ingin ekspansi ke Jawa Tengah, kami melakukan koordinasi dengan OJK setempat. Namun rupanya koordinasi belum dengan OJK pusat belum selesai, akhirnya Investree harus hold rencana ekspansi sampai ada arahan yang jelas. Kami sebenarnya bisa saja ekspansi, namun spirit awalnya adalah comply dengan regulasi,” terang Adrian yang juga merupakan Wakil Ketua AFTECH Indonesia.

Solusi yang ditawarkan AFTECH Indonesia kepada OJK terkait hal ini adalah menerbitkan Surat Edaran OJK (SE OJK) untuk memperjelas alur pendaftaran dan perizinan.

Ajisatria menegaskan bahwa pelaku usaha p2p lending memiliki komitmen yang penuh untuk mematuhi peraturan dari OJK, termasuk mematuhi iuran tahunan sebagaimana yang berlaku di sektor jasa keuangan lainnya.

Secara industri, Adrian diperkirakan total outstanding dari seluruh pemain bisnis p2p lending dari 2016 hingga Maret 2017 kisaran Rp300 miliar. Sementara itu, secara year-to-date (ytd) dari Januari-Maret 2017 sekitar Rp100 miliar. Adrian menargetkan sepanjang tahun ini, total pinjaman yang disalurkan dapat mencapai kisaran Rp400 miliar.