Kebutuhan inovasi IT diprediksi menjadi urgensi baru bagi perusahaan usai pandemi Covid-19 mereda. Temuan ini disampaikan dalam laporan Mulesoft Connectivity Benchmark 2021 berdasarkan hasil wawancara dengan 800 pemimpin IT di dunia, baik dari perusahaan publik maupun swasta, yang memiliki sekitar 1.000 karyawan.
Dalam laporan ini, ada lima temuan besar yang menarik bagi para Chief Information Officer (CIO) maupun orang IT. Pertama, pandemi memunculkan tipping point terhadap kebutuhan IT. Penerapan kerja remote maupun Work From Home (WFH) akibat pandemi memicu kebutuhan IT yang lebih besar.
Perusahaan mengandalkan IT untuk mempercepat proses pengalihan kerja remote. Kondisi ini justru memberikan tekanan luar biasa bagi tim IT untuk bergerak lebih gesit. Karena upaya ini menyita sebagian besar waktu mereka, pelaku IT banyak tertinggal atau gagal menyelesaikan proyeknya. Laporan menyebutkan hanya 37% perusahaan mampu menyelesaikan proyek yang diminta di 2020 atau 4 dari 10 tim IT dapat memenuhi seluruh komitmen proyek.
Tantangan lainnya adalah pertumbuhan budget IT tidak selaras dengan urgensi kebutuhan. Rata-rata anggaran IT diestimasi naik tipis ke 5,84% di 2021 dari 5,62% di 2020. Menurut responden, pihaknya diminta menyelesaikan 30% proyek tahun ini, tetapi anggarannya diestimasi hanya naik tak sampai 6%.
Tantangan integrasi memperlambat transformasi
Kedua, pandemi memberi tekanan pada perusahaan untuk mengintegrasikan sistem, aplikasi, dan data. Sayangnya, 87% responden menilai upaya integrasi memunculkan tantangan yang dapat memperlambat transformasi. Padahal integrasi merupakan faktor kritikal dalam menentukan kecepatan transformasi digital bagi seluruh industri.
Alhasil, perusahaan terpaksa menghabiskan waktu dan biaya untuk mengatasi tantangan integrasi. Rata-rata perusahaan menghabiskan rata-rata sebesar $3,5 juta untuk tenaga kerja IT baru, di mana lebih dari sepertiga waktu dihabiskan untuk menyelesaikan integrasi.
Selain itu, sebanyak 77% responden juga menilai bahwa kegagalan transformasi digital bakal berdampak pada pendapatan perusahaan. Hal ini karena transformasi digital diyakini dapat berdampak terhadap pendapatan perusahaan di masa depan.
“Ambil contoh di sektor jasa keuangan di mana telah terjadi pergeseran perilaku konsumen yang cukup signifikan ke layanan mobile dan online selama 12 bulan terakhir. Dalam konteks ini, 89% responden mengaku akan ada pengaruh negatif terhadap pendapatan,” ungkap laporan tersebut.
Sistem lama menyulitkan transformasi secara agile
Ada tiga tantangan utama yang dihadapi perusahaan yang melakukan transformasi digital. Sebanyak 34% responden menilai bahwa warisan infrastruktur IT lama (legacy) menjadi tantangan terbesar yang dapat menghalangai perusahaan untuk menciptakan inisiatif digital baru.
Kemudian, 30% responden menyebut risk management, compliance, dan legal implication sebagai tantangan terbesar kedua. Di urutan ketiga, alokasi budget dan SDM menjadi tantangan utama selanjutnya.
Selain itu, silo data menurut 90% responden dan warisan infrastruktur IT yang lama (legacy) bagi 60% responden, dinilai mempersulit integrasi ke teknologi baru dan membuat perusahaan sulit bertindak secara agile. Sebanyak 70% responden bahkan menilai legacy IT menjadi tantangan sulit bagi industri healthcare dan 68% di asuransi.
Di balik itu semua, transformasi digital diyakini dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan engagement dan inovasi pelanggan, serta penyelesaian proyek yang lebih cepat.
API menghasilkan pendapatan baru
Temuan keempat, sebanyak 96% responden dilaporkan telah mengimplementasi API, yang mana sebagian besar digunakan untuk melakukan integrasi dan menjalankan proyek baru. Dengan kebutuhan tersebut, setidaknya 27% responden menyebut telah meraup pendapatan dari implementasi API.
Laporan ini juga menemukan bahwa penggunaan API dapat berpengaruh terhadap sejumlah aspek penting bisnis. Misalnya, peningkatan produktivitas (59%), self-service (48%), dan peningkatan inovasi (46%). Selain itu, API juga memberikan manfaat lain, yaitu penurunan biaya operasional, peningkatan keterlibatan karyawan, dan pertumbuhan pendapatan (28%).
Terakhir, laporan ini juga menyebutkan bahwa data menjadi aspek penting dalam proses integrasi. Dari berbagai peran yang dibutuhkan untuk melakukan integrasi besar, data scientist berada di urutan teratas bagi 47% responden, naik dari 38% di 2020.
“Data menjadi jantung dari setiap rencana investasi. Maka itu, data scientist dan proyek yang berfokus pada big data dan analitik diperkirakan menjadi fokus utama perusahaan ke depannya,” ungkap laporan ini.
Laporan ini merekomendasikan tim IT untuk dapat memenuhi kebutuhan integrasi dari tim bisnis. Menurut surveinya, banyak perusahaan kini mulai mengembangkan tools sendiri untuk memperlengkapi tim bisnisnya melakukan integrasi aplikasi dan sumber data.
Selain cloud (57%) dan sistem keamanan (53%), sebanyak 45% responden menyebut analitik data dan 43% responden pada integrasi big data sebagai prioritas investasi perusahaan di 2021.
Masa pandemi ini merupakan masa-masa yang sulit bagi para startup, tanpa terkecuali. Hal-hal yang terjadi sepanjang tahun ini mungkin sangat berbeda dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Mau tidak mau, startup harus menyusun ulang rencana bisnisnya dan segera beradaptasi dengan cepat. Agility kini menjadi kunci utama bagi startup untuk mempertahankan bisnisnya.
Adaptasi yang lebih cepat ini di satu sisi sebenarnya memang dibutuhkan oleh berbagai jenis perusahaan, terutama sektor-sektor bisnis yang secara langsung terdampak oleh pandemi seperti pariwisata, retail, entertainment, serta food and beverages. Para pelaku bisnis di sektor ini kini adu cepat untuk mengadopsi transformasi digital, agar dapat tetap terhubung dengan pelanggan karena bisnis mereka belum pulih seutuhnya. Selain itu, sektor pendidikan dan kesehatan juga kini telah menggunakan berbagai solusi digital yang belum pernah digunakan sebelumnya.
Lewat adaptasi ini, masa pandemi juga bisa dimanfaatkan oleh para startup di sektor manapun untuk mencari peluang dari mitra maupun konsumen baru. Produk ataupun fitur baru yang hadir dari proses adaptasi startup tersebut dapat menjadi senjata utama bagi startup untuk mempertahankan bisnisnya, terutama bila inovasi yang dihadirkan dapat menjawab tantangan baru yang hadir setelah pandemi. Fitur baru ini, dapat hadir dalam bentuk penambahan dan peningkatan layanan ataupun sebagai bentuk pivot untuk mencari peluang di area bisnis yang belum dijangkau sebelumnya. Kesempatan ini juga didukung oleh meningkatnya penggunaan layanan digital oleh para konsumen secara umum. Kebiasaan baru dalam berinteraksi dengan layanan digital ini juga dapat dimanfaatkan oleh para startup untuk menghadirkan pengalaman penggunaan produk dan layanannya secara digital.
Akan tetapi, bertindak agile dan bergerak cepat sebenarnya hanyalah langkah awal. Di tengah situasi sulit, startup juga harus bisa mencari cara untuk melakukan efisiensi anggaran, mencari peluang bisnis baru, dan memastikan sumber daya manusianya tetap terus mengembangkan keterampilan baru. Bila hal-hal tersebut dilakukan dengan baik, startup tersebut mungkin tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang dalam kondisi new normal ini.
Cloud Sebagai Solusi Efektif dan Efisien Ciptakan Peluang Baru
Hal tersebut juga dilihat oleh Amazon Web Services (AWS) sebagai challenge yang dapat dijawab oleh para startup melalui produk-produknya. AWS memungkinkan penggunanya untuk memiliki sumber daya teknologi yang dibutuhkan. Salah satunya membuat startup dapat menggunakan ratusan hingga ribuan server hanya dalam hitungan menit. Kemudahan cloud ini dapat membantu startup yang ingin bereksperimen dengan ide-ide baru selama pandemi ini. Selain hanya perlu membayar fitur cloud yang digunakan (pay-as-you-go), serta jika percobaan ide bisnis baru tersebut gagal, dapat dibatalkan dengan mudah, tanpa perlu khawatir risiko pengeluaran yang membengkak.
Salah satu startup Indonesia yang merespon perubahan kondisi bisnisnya menggunakan solusi cloud dari AWS adalah Halodoc. Contohnya Halodoc, startup healthtech yang merespon perubahan kondisi bisnisnya bersama AWS. Selama COVID-19, Halodoc bekerja sama dengan lebih dari 20 rumah sakit di Jabodetabek dan Karawang, Jawa Barat. Kolaborasi ini memungkinkan penggunanya untuk pemesanan tes COVID-19 lewat aplikasi.
Halodoc sendiri telah menggunakan beberapa layanan AWS, seperti Amazon EC2 Reserved Instances, Amazon RDS, Amazon S3, Amazon CloudFront, Amazon Route 53, dan AWS Lambda. Hasilnya, sejauh ini Halodoc berhasil melakukan penghematan anggaran IT sebesar 20-30%. Penghematan ini didapat dari sistem pembayaran pay-as-you-go yang dimiliki AWS sehingga mereka dapat mengatur anggaran dalam menggunakan produk cloud dengan lebih efektif. Selain itu, Halodoc juga berhasil meluncurkan fitur aplikasi baru yang 30% lebih cepat dari versi sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan waktu respons pasien-dokter di dalam aplikasinya.
Ikut Bantu Startup Berkembang lewat Berbagai Kegiatan
Selain melalui produk dan layanannya, AWS juga turut aktif untuk membantu para startup dalam mengembangkan bisnisnya selama pandemi ini. Contohnya kursus online AWS Training and Certification, AWS Innovate conferences, AWS Builders Online Series, serta program akselerasi baru yang bekerja sama dengan DailySocial.id, yaitu DSLaunchpad 2.0. Program DSLaunchpad 2.0 ini juga menjadi salah satu upaya AWS dan DailySocial.id untuk membantu startup dalam mengakselerasi idenya melalui mentoring bersama para expert secara intensif selama empat minggu penuh.
Dengan memiliki mindset agile, startup dapat beradaptasi dengan lebih cepat bila terjadi perubahan yang memberikan dampak pada bisnisnya. Namun, selain dengan menggunakan produk yang mendukung agility-nya, para founders juga harus dapat memanfaatkan peluang dalam meningkatkan kapabilitas tim dan startupnya. Sehingga startup tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga terus berkembang meski harus melewati banyak tantangan di masa pandemi ini.
—-
Artikel asli ditulis oleh Gaurav Arora, Head of Startup Ecosystem, Asia Pacific-Japan, Amazon Web Services. Ditulis dalam bahasa Inggris, serta diterjemahkan dan diolah kembali oleh Ilham Sanjaya.
Sudah hampir dua bulan terakhir, ekosistem digital di Indonesia mulai beradaptasi terhadap kondisi “new normal” ini. Startup mulai melakukan manuver dengan mengembangkan fitur atau layanan baru demi menyesuaikan diri terhadap perubahan perilaku konsumen.
Dari sisi investasi, DailySocial melihat aktivitas pendanaan masih terlihat cukup normal. Bahkan ada beberapa startup yang mengumumkan pendanaan baru di sepanjang April ini. Namun, kita belum dapat memastikan apakah kondisi ini dapat tetap berlanjut dalam tiga bulan ke depan.
Kami tidak bilang bahwa startup di fase growth atau later stage terdampak minimal dari situasi ini. Namun, kita bisa sepakat bahwa 2020 menjadi tahun yang sulit bagi para pelaku startup tahap awal (early stage) yang baru memulai membangun bisnisnya.
Mengapa demikian? Menurut Founder dan CEO Startup Spider Beatrice Kessler, startup di fase ini umumnya masih mengandalkan pendanaan dari kantong sendiri, dana keluarga, atau dari crowdfunding. Bisnisnya belum stabil karena masih mencari traction dari produk/layanan yang dirilis.
Dengan likuiditas terbatas, sulit bagi pelaku bisnis untuk bertahan dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Malah, founder pemula bisa jadi tidak menggaji diri sendiri demi efisiensi. Ruang gerak startup untuk membangun bisnisnya juga semakin sempit karena minim SDM dan jaringan bisnis.
Paparan di atas juga diperkuat oleh survei yang dirilis 500 Startups bertajuk “The Impact of COVID-19 on the Early-Stage Investment”. Sebanyak 32,2 persen responden melihat dampak negatif akan sangat terasa bagi startup early stage.
Bahkan sebanyak 62,6 persen responden memprediksi pandemi COVID-19 bahkan berdampak pada iklim investasi dan bisnis startup early-stage selama 1-2 tahun, sedangkan 20,1 persen responden meyakini dampaknya bakal terasa hanya 0-1 tahun.
Untuk menghadapi situasi ini, responden merekomendasikan sejumlah strategi bernavigasi bagi startup pemula. Cara yang paling banyak diusulkan adalah (1) mengurangi biaya, diikuti (2) meningkatkan runway, (3) fokus pada customer rentention, (4) membatasi ekspansi pasar, (5) menutup deal pendanaan dalam 3 bulan atau sebelumnya, dan (6) membatasi penggunaan tim non-core.
Langkah mitigasi startup early-stage Indonesia
Cara-cara di atas, sebagian besar juga direkomendasikan oleh Founder dan CEO Qlue Rama Raditya untuk bisa bertahan di situasi saat ini. Meskipun Qlue sudah masuk dalam growth stage, upaya berikut sebetulnya juga berlaku bagi startup di fase apapun.
Paling utama adalah disiplin keuangan. Langkah ini sangat krusial mengingat startup pemula memiliki runway yang pendek. Maka itu, sebaiknya pelaku bisnis jangan terburu- buru menghabiskannya di awal. Sisihkan pendanaan dalam bentuk alokasi bulanan.
Rama juga merekomendasikan diversifikasi produk untuk memudahkan startup melakukan manuver lebih lincah. Pada kasus Gojek dan Grab, mereka tetap dapat mengoperasikan kategori layanan lain meski layanan utamanya, yakni ride-hailing, ditutup sementara.
Lalu, bagaimana soal tantangan produktivitas dengan keterbatasan SDM dan ruang gerak?
Startup early stage Legalku melakukan sejumlah langkah mitigasi untuk meningkatkan efisiensi pendanaan tanpa mengurangi target traction. Langkah mitigasi ini berfokus pada dua hal, yakni pengembangan produk dengan timeline cepat dan deliverable jasa tetap on-time.
Founder dan CEO Legalku Muhamad Philosophi mengungkap, pihaknya memprioritaskan pengembangan produk/layanan yang dapat segera dijual ke konsumen korporasi. Bagi layanan yang bersifat complementary, pihaknya akan menunda pengembangannya hingga beban kerja tim teknologinya berkurang.
“Untuk mengefisiensikan pengelolaan, kami menunda pengembangan beberapa fitur atau layanan yang tidak in line dengan pendapatan,” paparnya kepada DailySocial.
Kemudian, perusahaan juga meningkatkan deliverable jasa supaya tetap on-time karena situasi ini memaksa koordinasi dilakukan secara remote dan banyak institusi pemerintahaan tutup. Dengan pembatasan sosial ini, pihaknya berupaya mengurangi waktu perjalanan dokumen untuk mendapatkan persetujuan dari klien melalui pengembangan fitur e-signature.
“Tadinya kami memprioritas pengembangan aplikasi mobile, baru lanjut pada fitur e-signature yang ditargetkan meluncur bulan Mei ini. Namun, untuk menyesuaikan di situasi ini, akhirnya pengembangan e-signature kami dahulukan,” ujar pria yang karib disapa Philo ini.
Sementara itu, startup early-stage di bidang P2P Lending Akseleran mengungkap bahwa produktivitas pada pengembangan produk tetap berjalan sesuai rencana sehingga perusahaan dapat langsung berlari cepat ketika situasi sudah pulih.
Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Tambunan menyebut ada beberapa strategi untuk mendisiplinkan pengeluaran, antara lain selektif dalam menambah SDM baru selama belum ada urgensi, menghentikan layanan yang tidak banyak digunakan untuk mengoptimalkan pengelolaan, dan selektif mengeluarkan budget marketing hanya yang dapat memberikan nilai Customer Lifetime Value to Customer Acquisition (LTV:CAC) yang baik.
“Kami berupaya megefisiensikan operasional dan tetap sustain aktivitas yang kami lakukan. Fokus kami saat ini bukan lagi pada ekspansi, tetapi mempertahankan bisnis,” ujar Ivan.
Era digital yang dinamis, menuntut perusahaan untuk cepat berinovasi membuat produk yang dapat menjawab kebutuhan konsumen dan dirilis dalam waktu singkat. Cara ini untuk menjawab bupaya perusahaan agar tetap terdepan dibandingkan kompetitor.
Ada banyak metodologi yang dapat dipakai untuk mengakomodasi proses pembuatan produk tersebut hingga sampai ke tangan konsumen. Ini disebut fase delivery, setelah proses design thinking selesai.
Dalam fase ini, Anda akan menghadapi tantangan bagaimana mengimplementasikan produk dengan cepat, efisien, atau dikenal dengan teknik agile. Teknik ini sekarang kian tenar karena dipakai untuk proyek kompleks, disebut dengan istilah scrum.
Scrum dibuat oleh Jeff Sutherland dan Ken Schwaber yang merupakan seorang pengembang pada medio tahun 1990-an di Amerika. Berkat temuannya ini, bisa menggiring perusahaan teknologi seperti Amazon, Google, dan Facebook menjadi raksasa sampai sekarang.
Kepada DailySocial, Head of Department Digital Growth Asset Telkomsel Wisnu Ario Supadmono memaparkan, scrum adalah tahap lanjutan dari design sprint. Bedanya, design sprint adalah fase penemuan (discovery) dari ide yang cepat hingga menjadi prototipe.
Sementara, scrum adalah fase delivery dari prototipe hingga menjadi produk yang bisa digunakan konsumen. Ia dikenal sebagai kerangka kerja yang memungkinkan perusahaan mengawal pembuatan produk yang kompleks, tapi adaptif dengan perubahan pasar sehingga punya nilai tinggi bagi konsumen.
“Scrum ini adaptif terhadap perubahan, tapi dengan kualitas yang bagus, developer pun happy karena enggak akan bingung. Teknik ini mengakomodir success fast fail fast,” terang dia.
Dalam era yang dinamis, sambungnya, tidak ada produk yang langsung sempurna. Maka yang bisa dilakukan adalah meluncurkan minimum viable product (MVP), tetapi yang sudah bisa memecahkan masalah terbesar dari konsumen. Proses iterasi secara bertahap dari waktu ke waktu agar dapat selalu mengikuti kemauan pasar yang bergerak cepat.
Dia mencontohkan, implementasi scrum yang dapat dilihat jelas adalah revolusi Gojek. Dari awalnya hanya menyediakan layanan ojek online, kini sudah menyentuh vertikal bisnis lintas industri.
Pemahaman awal tentang scrum
Mengapa harus scrum? Apakah ada metode lain yang bisa digunakan. Tentu saja ada, contohnya adalah kanban dan waterfall. Keduanya masih dapat dipakai tergantung kompleksitas proyeknya.
Kerangka kerja scrum lebih banyak digunakan untuk proyek kompleks dengan dinamika perubahan yang dinamis. Sebab ia adaptif dengan perubahan, sehingga bisa menyesuaikan apabila ada syarat (requirement) yang perlu ditambahkan. Scrum membutuhkan waktu paling lama sebulan hingga MVP siap dipakai konsumen.
Sedangkan waterfall, misalnya, seluruh syarat sudah dikunci sejak awal perancangan tidak boleh berubah sampai ia jadi. Apabila inovasi di ubah di tengah jalan, ia tidak seadaptif scrum, malah membuat pengembang jadi kelimpungan sebab harus mengubah dari awal.
Tapi kondisi ini tidak serta merta membuat scrum lebih unggul daripada waterfall. Ada kondisi tertentu, kalau memakai scrum justru jadi lebih makan waktu. Waterfall cenderung lebih cocok untuk proyek simpel dengan syarat yang fixed.
“Di tempat kami, waterfall masih dipakai, kita kombinasikan karena metode ini enggak salah juga buat project-project yang requirement-nya fixed. Memang bagusnya pakai waterfall, contohnya seperti sesuatu yang sudah menjadi rutinitas.”
Dari revolusi layanan Gojek, menjadi gambaran jelas. Apabila suatu perusahaan membuat aplikasi yang kompleks seperti super apps, maka akan sulit mendapatkan syarat yang pasti. Ini bukan karena kesalahan pengembang atau pemilik produk (product owner) karena tidak bisa membuatnya, melainkan mengikuti kebutuhan pasar yang dinamis.
“Biasanya developer kalau di tengah jalan tiba-tiba berubah, mereka akan pusing. Tapi scrum menganulir itu, mau berubah kapanpun tidak masalah, meski banyak yang diubah, kualitas akan tetap baik.”
Mengambil dari ilustrasi di atas, membuktikan ada perbedaan kerangka kerja antara scrum dan waterfall. Ada solusi yang ingin diberikan moda transportasi yang cepat buat konsumen.
Perjalanan untuk menjawab solusi di atas ada perbedaan cara. Untuk waterfall, syarat yang diminta pemilik produk sudah jelas, ialah membuat mobil. Tahapan awalnya adalah dengan menyusun posisi ban mobil, kerangka mobil, hingga jadi mobil yang bisa dipakai.
Tapi, di dalam scrum justru tidak langsung membuat mobil, melainkan membuat skateboard sebagai MVP dengan maksud mempermudah konsumen sampai ke tempat yang dituju. Pengembangan berikutnya adalah membuat setang, perlahan berkembang jadi sepeda, motor, hingga akhirnya mobil setelah berkali-kali meminta masukan dari konsumen.
“Kita enggak tahu di tengah jalan ternyata maunya konsumen bukan mobil tapi cukup sepeda. Kita bisa berhenti di situ, bila konsumen kasih masukan, bisa belok buat sepeda listrik.”
“Kalau waterfall, setelah mobil jadi baru bisa terima masukan, padahal prosesnya sudah lama. Tapi di scrum, dari MVP bisa langsung dicoba konsumen, kalau gagal bisa berhenti,” sambungnya.
Proses kerja dalam scrum
1. Nilai penting scrum
Dalam kerangka kerja scrum, ada lima nilai penting yang harus dijunjung tinggi oleh tim. Kelima itu adalah komitmen, keberanian, fokus, keterbukaan, dan menghormati. Ketika ini dijunjung, maka tiga pilar penting dalam scrum, yakni transparansi, inspeksi, dan adaptasi bisa lebih hidup dan rasa percaya antar anggota tim lebih terjaga.
2. Susunan tim
Tim scrum biasanya terdiri dari pemilik produk (product owner), tim pengembang, dan scrum master. Sama seperti design sprint yang memerlukan sprint master sebagai fasilitator, memastikan supaya proses scrum terjadi. Minimal satu tim terdiri dari enam sampai sembilan orang.
Disarankan juga, sebaiknya scrum master harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan lembaga resmi, seperti Scrum Alliance. Apabila tidak ada, agak disangsikan karena kemungkinan memberikan hasil yang berbeda. Semangat scrum itu sendiri adalah memastikan bahwa maksimal dalam waktu satu bulan produk MVP bisa dirilis ke pasar.
Sertifikat ini bersifat terpisah dari sprint master. Artinya, tidak perlu mengambil sertifikat jadi sprint master sebelum mengajukan scrum master, sebab keduanya ini adalah dua hal yang berbeda.
“Bisa dipilih, kalau sekop pekerjaannya end to end dari fase discovery sampai delivery, sebaiknya iya. Tapi kalau hanya salah satunya scoop-nya, cukup ambil salah satu tergantung kebutuhan dari pekerjaannya.”
Orang yang menjadi scrum master setidaknya disarankan punya pengalaman sebagai pengembang agar dia paham bagaimana cara tim pengembang bisa bekerja secara optimal.
Kembali soal tim, mereka bekerja secara mandiri dan lintas fungsi (cross function). Bebas untuk memilih cara terbaik dalam menyelesaikan pekerjaannya tanpa diperintah orang lain di luar tim. Lintas fungsi ini maksudnya semua anggota tim punya semua keahlian yang dibutuhkan tanpa bergantung pada orang lain di luar tim.
Pemilik produk
Ia adalah orang yang bertanggung jawab untuk memaksimalkan nilai bisnis dari produk yang dihasilkan tim pengembang. Ia juga adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab dalam pengelolaan product backlog. Tanggung jawab tersebut meliputi, menyampaikan isi product backlog item secara jelas, memilih prioritasnya untuk mencapai misi dengan cara terbaik.
Berikutnya, mengoptimalkan nilai bisnis dari pekerjaan yang dilakukan tim pengembang, memastikan agar product backlog dapat dilihat, transparan, dan jelas untuk semua pihak, dan memastikan tim pengembang memahami product backlog item hingga batas tertentu.
Wisnu juga menyarankan sebaiknya pemilik produk punya kemampuan discovery selayaknya dalam design sprint. Ini berguna untuk membantunya dalam mengambil keputusan yang lebih mantap atas produk apa yang ingin dibuat.
Tim pengembang
Di dalam tim ini berisi front end engineer, back end engineer, UI/UX engineer, quality assurance, system analyst, dan software tester. Mereka bekerja secara mandiri, diberi wewenang oleh tim untuk menyusun dan mengelola pekerjaan mereka sendiri. Hasil sinergi dari tim ini akan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas secara keseluruhan.
Meski produk yang akan dirilis adalah punya pemilik produk, tapi tim pengembang bisa mempertanyakan apakah prioritas yang ia ingin penting atau tidak. Diskusi ini diharapkan membuat kedua belah pihak saling transparan satu sama lain.
Karakteristik yang diberikan scrum untuk tim pengembang adalah mereka kerja mandiri, tidak ada satu orang pun, termasuk scrum master, yang mengarahkan bagaimana memanifestasikan product backlog menjadi gabungan fungsionalitas yang berpotensi untuk dirilis.
Mereka juga bersifat lintas fungsi, punya semua keahlian yang diperlukan untuk membuat increment; tidak ada jabatan dan pengelompokkan, terlepas dari jenis pekerjaan yang mereka kuasai; setiap orang bisa saja memiliki keahlian khusus di bidang tertentu, tapi tanggung jawab adalah milik seluruh anggota tim.
Idealnya jumlah tim ini tidak kebanyakan atau terlalu sedikit, demi memastikan tim tetap lincah. Pastikan jumlah anggota cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara signifikan. Kalau kurang dari tiga orang maka interaksi semakin berkurang dan tingkat produktivitasnya lebih rendah. Pada akhirnya berdampak pada hasil increment.
Scrum master
Scrum master adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengenalkan dan memandu proses, teori, praktik, aturan, dan tata nilai scrum agar berkualitas dan memberikan hasil maksimal. Ia bisa dikatakan sebagai ahli scrum yang direkrut oleh perusahaan, jika tidak ada talenta di bidang scrum, untuk memandu proses scrum yang digelar oleh mereka.
Scrum master bisa disebut juga sebagai agile coach atau servant leader karena menjadi penengah untuk pihak-pihak yang ia layani. Mulai dari pemilik produk. Scrum master memastikan tujuan, ruang lingkup, dan ranah produk dipahami sebaik mungkin oleh semua orang di dalam tim; menemukan teknik yang paling efektif untuk mengelola product backlog.
Membantu tim scrum memahami perlunya product backlog item yang jelas dan padat; memastikan product owner paham bagaimana mengelola product backlog yang memaksimalkan nilai bisnis; memahami dan mempraktikkan agility; dan memfasilitasi acara-acara scrum.
Berikutnya untuk melayani tim pengembang, membimbing tim agar dapat mandiri dan lintas fungsi; membantu tim menghasilkan produk bernilai bisnis tinggi; menghilangkan hambatan yang memperlambat perkembangan pekerjaan tim; membimbing tim pengembang di organisasi, di mana scrum belum sepenuhnya dipraktikkan dan dipahami.
Terakhir, melayani perusahaan, untuk memimpin dan membimbing organisasi dalam penggunaan scrum; merencanakan implementasi scrum dalam organisasi; membantu karyawan dan pemilik kepentingan untuk memahami dan menggunakan scrum dan pengembangan produk secara empiris, dan sebagainya.
3. Proses scrum
Scrum memiliki beberapa kerangka kerja yang wajib dilaksanakan untuk menciptakan keberlanjutan dan mengurangi gesekan lain yang bukan bagian dari scrum. Setiap prosesnya punya batasan waktu maksimal. Ketika sprint dimulai, durasinya tidak bisa dipersingkat ataupun diperpanjang. Berikut urutannya:
Pembuatan product backlog
Proses pembuatan product backlog untuk informasi produk adalah daftar yang sudah diurutkan semua hal yang telah diketahui hingga saat ini. Isi, ketersediaan, dan urutan dari product backlog merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemilik produk.
Product backlog berisi pengalaman cerita konsumen yang sudah dirumuskan terlebih dahulu supaya terbayang interaksi yang akan dilakukan. Karena berbasis pengalaman konsumen dan perubahan pasar, isi product backlog terus berevolusi mengikuti arah.
Oleh karenanya, sebuah product backlog ini tidak pernah tuntas. Selama produk masih ada, maka product backlog juga akan selalu ada.
Di samping itu, product backlog terdapat daftar dari seluruh fitur, fungsi, kebutuhan, peningkatan, dan perbaikan yang perlu diterapkan terhadap produk pada perilisan mendatang.
Ia juga dilengkapi informasi penting deskripsi, urutan, estimasi, dan nilai bisnis. Deskripsi meliputi keterangan pengujian produk yang akan menjadi bukti ketuntasan ketika product backlog item dinyatakan selesai.
Sprint planning
Sprint planning adalah perencanaan sebelum sprint yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh anggota tim scrum. Kisaran waktu kerjanya bervariasi ada yang delapan jam sehari atau lebih, untuk sprint yang berdurasi satu bulan. Untuk sprint yang lebih singkat, maka alokasi waktunya juga akan lebih singkat.
Scrum master bertugas untuk memastikan tahap ini dilakukan dengan baik agar peserta paham tujuannya. Ia juga memberitahu tim untuk menjaga sprint planning tetap dalam batasan waktunya.
Sprint planning berguna untuk menjawab berbagai pertanyaan penting. Misalnya, apa yang dapat dimasukkan ke dalam increment dari sprint? dan bagaimana tim menyelesaikan pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghantar increment?.
Biasanya tim pengembang mulai merancang sistem dan apa saja yang perlu dikerjakan untuk mengubah product backlog menjadi increment yang berfungsi. Saat sprint planning, tim scrum juga menentukan objektif atau sprint goal.
Sprint goal akan dicapai selama sprint melalui implementasi product backlog dan menyediakan panduan untuk tim pengembang dalam mengembangkan increment. Pada akhirnya, sprint planning akan menghasilkan sprint backlog, yakni daftar pekerjaan dan bobotnya yang akan dikerjakan oleh tim pengembang saat sprint.
Sprint
Proses ini adalah jantung dari seluruh rangkaian scrum. Sprint adalah proses pembuatan produk atau layanan sampai digunakan konsumen dan berpotensi untuk dirilis dengan batasan waktu maksimal satu bulan. Sprint memiliki durasi yang konsisten sepanjang daur hidup pengembangan produk.
Satu sprint dapat langsung dimulai setelah sprint sebelumnya selesai. Sehingga, maksimal dalam satu bulan, perusahaan bisa merilis produk yang dibuat melalui proses scrum.
Wisnu mengingatkan ada beberapa hal yang perlu diingat saat sprint. Diantaranya, tidak boleh ada perubahan yang mengancam sprint goal; tingkat kualitas tidak boleh menurun; ruang lingkup dapat diklarifikasi dan dinegoisasi ulang antara pemilik produk dan tim pengembang setiap ada hal baru yang mereka pelajari.
Karena waktu maksimal tiap sprint adalah satu bulan, peran tim scrum sangat penting untuk melakukan slicing produk mana yang masuk ke MVP, tapi bisa membawa dampak positif bagi konsumen. Ada kondisi anomali, jika sprint tiba-tiba dibatalkan, yang mana otoritasnya hanya dipegang oleh pemilik produk.
Daily meeting scrum
Di sini adalah kegiatan di mana tim pengembang dengan batasan waktu 15 menit dan wajib dilakukan setiap hari selama sprint berlangsung. Tujuannya adalah untuk mengetahui pembaruan yang akan dicantumkan di scrum board. Tim pengembang juga memberi tahu rencana kerja mereka untuk sehari ke depan.
Kegiatan ini dapat mengoptimalkan kolaborasi dan performa dari tim dengan melakukan inspeksi pada scrum sebelumnya. Selain itu, untuk mengetahui estimasi pekerjaan di tahap selanjutnya di dalam sprint.
Dengan demikian, product owner dapat secara langsung melihat progres produknya tanpa harus membebani tim pengembang dengan menghujani berbagai pertanyaan. Dampaknya apabila tim pengembang terlalu di-push adalah mereka tidak bisa memberikan hasil yang maksimal.
“Dari pengalaman saya, product owner mengatakan bahwa scrum ini jadi jelas, semuanya transparan. Developer bisa dapat transparansi apa yang diinginkan product owner, begitupun sebaliknya. Jadi no hidden agenda.”
Daily scrum berguna untuk meningkatkan kualitas komunikasi tim, mengeliminasi pertemuan lain yang tidak perlu, mengidentifikasi hambatan yang harus dihilangkan, menyoroti dan mendukung pengambilan keputusan secara cepat, dan meningkatkan tingkat pengetahuan dari tim pengembang.
Setiap daily scrum, biasanya tim pengembang akan memindahkan backlog di scrum board apabila ada progres yang signifikan.
Sprint review
Sprint review diselenggarakan di akhir sprint untuk menginspeksi increment dan mengadaptasi product backlog bila diperlukan. Saat sprint review, tim scrum dan pemegang kepentingan berkolaborasi untuk meninjau apa yang diselesaikan di sprint.
Berdasarkan hasil tinjauan tersebut dan perubahan product backlog di dalam sprint, seluruh tim berkolaborasi menentukan langkah selanjutnya untuk mengoptimalkan nilai bisnis. Biasanya pertemuan ini bersifat informal, bukan seperti daily scrum.
Presentasi increment diperlukan guna mendapat umpan balik dan mengembangkan kemampuan kolaborasi. Pertemuan ini dilakukan paling lama empat jam untuk sprint berdurasi satu bulan.
Di dalam sini, kegiatan yang dilakukan diantaranya penjelasan product backlog item yang sudah selesai dan yang belum selesai oleh product owner; lalu keadaan product backlog hingga saat ini; dan memproyeksikan target dan tanggal penghantaran produk berdasarkan perkembangan hingga hari ini apabila ditanyakan.
Dari sisi tim pengembang, mereka bertugas untuk menjelaskan apa yang berjalan baik sepanjang sprint, masalah yang mereka hadapi, dan solusinya; mendemostrasikan pekerjaan yang telah selesai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai increment.
Seluruh tim, dan hadirin lainnya yang diundang product owner seperti pemegang kepentingan utama, berdiskusi mengenai apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk sprint planning berikutnya; meninjau keadaan pasar atau potensi penggunaan produk yang mungkin telah berubah, dan hal apa yang paling bernilai untuk dikerjakan selanjutnya.
Sprint retrospective
Ini adalah acara bagi tim scrum untuk menginspeksi diri sendiri dan membuat perencanaan mengenai peningkatan yang akan dilakukan di sprint berikutnya. Acara ini dilakukan setelah sprint review dan sebelum sprint planning berikutnya maksimal empat jam.
Tujuan akhir yang ingin disasar dari sprint retrospective adalah wadah untuk mengeluarkan hal-hal yang mengganjal dalam melakukan proses sprint dengan nuansa positif demi perbaikan ke depannya.
Wisnu menerangkan di sini, semua orang boleh mengeluarkan unek-uneknya dan menyampaikan tidak suka sama siapa. Tapi uniknya dengan scrum, teknik penyampaiannya atau framing-nya dibuat terdengar positif.
“Di sini semua orang dipaksa untuk terbuka. Tapi sebelum diutarakan ke orang yang bersangkutan, harus di-brief terlebih dahulu oleh scrum master untuk diarahkan menjadi framing positif. Orang yang dituju bakal merasa tim care dengan dia karena diberikan solusi, bukan asal menyalahkan saja.”
Penutup
Seluruh rangkaian scrum, mulai dari pembuatan user journey, pembuatan product backlog, proses sprint planning untuk memilih prioritas product backlog yang akan menjadi sprint backlog, melakukan sprint maksimum satu bulan, daily scrum setiap hari selama 15 menit, sprint review, sprint restrospective, dan perilisan produk. Jam kerjanya pun masuk kategori normal, maksimal delapan jam setiap hari.
Wisnu menerangkan seluruh kerangka kerja ini harus dilakukan secara disiplin, tidak boleh satupun sesi yang dihilangkan demi memastikan perilisan produk tetap sesuai dengan target awal.
Meski tenggat maksimal sprint adalah satu bulan, ada kondisi anomali yang memaksa untuk ditoleransi hingga harus diperpanjang. Wisnu menyebut kondisi tersebut memang ada kemungkinannya bakal terjadi. Malah dari pengalamannya, pernah sampai diperpanjang tambahan satu bulan.
Toleransi ini penting karena saat sprint perdana dalam MVP harus punya fondasi yang kuat untuk keberlangsungan suatu produk, sehingga wajar bila ini adalah masa terberat. MVP adalah fondasi untuk menjawab pertanyaan dasar ‘Apakah benar solusi yang Anda tawarkan bisa memuaskan kebutuhan user yang paling dasar?.’
Selain perilisan produk dan inovasi bisnis bisa lebih cepat dan adaptif, metode scrum juga memiliki kemungkinan gagal yang lebih kecil dibanding kerangka kerja lainnya, seperti waterfall sebagai contoh yang paling familiar. Scrum memperkecil kegagalan produk dan inovasi saat diluncurkan ke pasar.
“Kalaupun ujung-ujungnya fail, ya enggak apa-apa kan ini terjadinya dalam waktu dua bulan saja. Ini success fast fail fast,” pungkasnya.
Industri Software-as-a-service (SaaS) yang awalnya hadir sebagai solusi teknologi kini telah menjadi kebutuhan bagi semua sektor bisnis. Perusahaan berlomba-lomba mengimplementasi teknologi ini, mulai dari pemasaran digital, optimalisasi proses bisnis, pengembangan produk, serta manajemen SDM.
Dalam lima tahun terakhir, Happy5, perusahaan SaaS asal Indonesia, mencoba mengatasi isu yang terjadi di sektor SDM dengan mengembangkan cara kerja agile. Mereka percaya bahwa solusi
Didirikan pada tahun 2014, Happy5 telah melakukan pivot sebanyak dua kali. Awalnya, mereka bertumpu pada Happiness, lalu bergeser ke ranah Kultur, dan saat ini fokus memantau performa. Setelah tahun ketiga, fakta yang mereka temukan adalah kebahagian pegawai bukanlah penawaran yang cocok di pasar Indonesia dan memutuskan untuk beralih pada platform transformasi kultur.
Co-Founder dan CEO Happy5 Doni Priliandi mengatakan, “Perusahaan sedang ramai sekali mencanangkan transformasi kultur. Namun, mereka menemukan isu dalam menyampaikan nilai dan agenda transformasi, mendapat insight terkini dari pegawai, serta mengukur demonstrasi sikapnya.”
Menemukan bisnis model yang tepat
Happy5 mengawali bisnis ini dengan fokus pada validasi pelanggan terhadap produk yang bisa mengukur kebahagiaan pegawai, komunikasi langsung, serta pengakuan. Sampai pada akhirnya mereka sadar model ini tidak menghasilkan uang lalu memutuskan pivot.
Produknya tidak berubah, hanya preposisi nilai yang bergeser dari mengukur kebahagiaan pegawai menjadi media social enterprise. Mereka mulai menaruh harga sebesar Rp10,000 / bulan / pengguna yang dibayarkan di awal. Pengguna kebanyakan datang dari bagian komunikasi internal, sayangnya itu saja tidak cukup.
Hal ini berlangsung sampai mereka mengubah preposisi nilai menjadi platform transformasi kultur, di mana mereka bisa menaikkan harga 4 kali lipat dengan basis pengguna yang lebih besar, mulai dari tim di bawah departemen SDM hingga langsung ke level CEO.
Aplikasi ini menawarkan platform serba ada mulai dari komunikasi hingga kultur. Platform ini terbagi menjadi 3 fitur utama, Enterprise Social Media; Employee Recognition, and Employee Survey. Saat ini, BCA, Kompas Gramedia, Telkomsel, Pegadaian, dan XL mengandalkan Happy5 Culture untuk mewujudkan transformasi kultur dalam perusahaan.
Pada tahun ke-4, perusahaan mulai menuai profit. Dengan Pendapatan Berulang Tahunan senilai US$708.000, yang meningkat sebesar US$456.000 atau hampir 3 kali lipat dari tahun sebelumnya. Tahun ini, mereka melipatgandakan pendapatan menjadi US$1,3 juta dan masih terus bertambah. Margin kotor mereka mencapai 91% serta margin bersih berada di angka 5% pada 2019.
Sementara itu, mereka telah mengembangkan solusi menyeluruh yang menggabungkan manajemen adaptif dengan tinjauan kerja serta manajemen proyek yang didesain sedemikian rupa. Setiap proyek dihargai Rp140,000/orang/bulan.
Sampai saat ini, BCA, Kompas Gramedia, Telkom (di tim Amoeba), Pegadaian (di beberapa kantor wilayah) telah mempercayakan tim mereka dengan Happy5 Performance untuk melaksanakan manajemen kinerja agile.
‘Kami merasa sangat istimewa karena berkesempatan untuk membantu organisasi terkemuka di Indonesia seperti BCA dan Telkomsel. Hal ini merupakan awal yang baik untuk mempelajari implementasi dan peningkatan produk. Setiap proyek juga memberi ide bagaimana untuk bisa scale-up,” sambung Doni.
Skema pasar AS
Menurut riset oleh Market Expertz, pasar perangkat SDM global kini telah mencapai $15,8 miliar dan Amerika Utara menjadi yang terbesar di dunia. Dengan pasar SaaS yang terbatas di Indonesia, Happy5 berambisi menyasar pasar AS.
Doni berencana untuk melebarkan sayap ke pasar AS pada Q3 tahun 2020, dengan harapan bisa menggalang dana di sana.
“Di tahun 2020, Happy 5 harus bisa menapakkan kaki di AS, dengan atau tanpa pendanaan.”
Prioritas lainnya adalah untuk membangun tim teknisi yang lebih baik serta meningkatkan kualitas tim manajemen. Doni juga mengungkapkan target mereka selanjutnya untuk tumbuh dua kali lipat, mencapai angka $2,8 juta.
“Dengan pendanaan lanjutan, kami bisa bertumbuh hingga tiga kali lipat penjualan,” tambahnya.
The SaaS (software-as-a-service) industry that started as technological innovation has become a necessity for businesses. Companies are trying to implement this technology in various sectors, from digital marketing, business process optimization, product development, and HR management.
For the last 5 years, Happy5, an Indonesian-based Software-as-a-Service (SaaS) company, has been trying to solve the problem in the HR sector by empowering agile ways of working. They believe the HR software company as the most fitting way to scale high performing culture in any organization.
Founded in 2014, Happy5 has pivoted its business twice. At first, they’re focused on Happiness, then switched a little bit to Culture and now to measure Performance. After the third year, they’ve finally found that employee happiness as the value proposition was not fit to Indonesia market and decided to change it into the Culture Transformation Platform.
Doni Priliandi, Founder & CEO of Happy5, said, “Companies are now doing a lot of culture transformation. But they have painful problems with communicating new values and transformation agenda, getting fast insights from employee and measure behavior demonstration.”
Fixing the value proposition
The early days of Happy5 are all about customer validation on a product that can measure employee’s happiness, direct communication, and recognition. Until they realize it’s not making money and here comes the first pivot.
The product doesn’t change, only the value proposition shifted from Measuring Employee Happiness into Enterprise Social Media. They started to charge Rp10,000 / user / month annually with advance payment. Some of the buyers come from internal communication, but that was not enough.
It’s not until they changed the value proposition into a culture transformation platform, that they can multiply the price by 4 times with a larger user base from the culture team under HR Department or directly to CEO.
The app offers an all-in-one communication and culture platform. It consists of 3 main groups of features, Enterprise Social Media; Employee Recognition, and Employee Survey. Currently, BCA, Kompas Gramedia, Telkomsel, Pegadaian, and XL are trusting Happy5 Culture as their platform of choice to do culture transformation.
In the 4th year, the company finally made some profit. With the Annual Recurring Revenue at $708,000, which is increased by $456,000 or nearly 3 times from the previous year. This year, they multiply the revenue to $1.3 million and still growing. They’ve hit 91% in gross margin and 5% of net margin in 2019.
Also, they have designed a holistic solution that seamlessly combines adaptive goal management (Objective Key Results) with high-configurable performance review and project management. The pilot costs Rp140,000 / user / month.
And as of now, BCA, Kompas Gramedia, Telkom (pilot at Amoeba Team), Pegadaian (pilot at a couple of regional offices) have chosen Happy5 Performance as their platform of choice to run agile performance management.
“We are super privileged to have a chance of helping reputable organizations in Indonesia like BCA and Telkomsel. And it’s a good start to learn both on implementation and product improvement. It gives ideas on how to scale too,” Priliandi said.
The US scenarios
According to the research by Market Expertz, the global human resource (HR) software market currently has a market value of $15.8 billion and North America holds the largest HR software market in the world. With the not-yet-sufficient market for the SaaS industry in Indonesia, Happy5 aims big for the US market.
Priliandi is planning to expand to the US market by Q3 2020, with possible fundraising from the US VCs.
“In 2020, Happy5 should have a presence in the US, regardless of how much money we have.”
The other priority is to build a better engineering team and improve the management team. Priliandi also shared his target to multiply sales by twice, projected to US$2.8 million.
“With extra funding, we can multiply at least three times our sales,” he added.
Masuknya Nadiem Makarim ke jajaran Kabinet Indonesia Maju memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang yang berkecimpung di industri teknologi (tech people) bisa memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat. Tentu Nadiem bukan satu-satunya orang teknologi yang mencoba jalan ini.
Pemilihan kandidat Presiden Partai Demokrat Amerika Serikat untuk tahun 2020 juga diramaikan dua kandidat muda yang yang sebelumnya pernah bersinggungan dengan dunia teknologi. Andrew Yang dan Beto O’Rourke, meskipun bukan dari kalangan milenial, memiliki eksposur serupa.
Andrew Yang di awal masa dotcom bubble pernah membangun startup dan kemudian menjadi CEO Venture for America, sebuah program untuk membantu lulusan perguruan tinggi yang ingin menjadi wirausahawan atau membangun startup.
Jika nantinya terpilih sebagai Presiden, Andrew ingin menciptakan posisi setingkat kabinet baru dalam bentuk Departemen Teknologi yang akan mengatur artificial intelligence dan teknologi baru lainnya.
Kandidat lainnya adalah Beto O’Rourke. Meskipun tidak memiliki latar belakang sebagai pendiri startup, ia diberitakan sempat menjadi hacker dan tergabung dalam kelompok terkenal dengan “hactivism” yang merupakan kelompok peretas komputer tertua dalam sejarah AS.
Meskipun tidak adanya indikasi O’Rourke pernah terlibat jenis peretasan yang paling canggih, seperti membobol komputer, keanggotaannya dalam kelompok tersebut dapat menjelaskan pendekatannya terhadap politik dengan cara yang berbeda. Latar belakangnya sebagai hacker tertuang dalam visi dan misi jika terpilih menjadi Presiden, yaitu merombak sistem yang ada dan memperbaikinya dengan ide-ide dan inovasi yang baru.
Tidak heran ketika inovasi, teknologi, dan disrupsi menjadi fokus utama tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.
Artikel berikut akan mengupas lima poin yang dimiliki kebanyakan tech people dan bagaimana mereka bisa melakukan perubahan terhadap sistem yang sudah ada sebelumnya.
Berani ambil risiko
Sebagai pendiri startup, Nadiem Makarim dan Andrew Yang memahami benar sulitnya membangun perusahaan rintisan. Tidak hanya membutuhkan modal dan sumber daya, namun juga kemampuan untuk berani mengambil risiko. Tidak banyak startup yang sukses saat menjalankan bisnis di awal. Dibutuhkan waktu dan effort yang cukup lama bagi startup untuk bisa sukses. Mereka dituntut untuk mencari solusi terbaik agar perusahaan tetap bertahan menjalankan bisnis dan meraup pendapatan.
Ketika masuk ke dalam pemerintahan, bisa dipastikan mereka mencoba memahami proses yang ada dan, jika memungkinkan, melakukan transformasi sesuai dengan value yang mereka miliki selama menjalankan startup.
Memangkas birokrasi
Salah satu kelebihan bekerja di startup adalah kebebasan dan suasana kerja yang lebih terbuka dibandingkan dengan gaya konvensional yang sarat birokrasi. Kecepatan mengambil keputusan, penentuan orang yang tepat untuk mengerjakan proyek, dan percepatan semua proses kerja merupakan jiwa startup.
Anti birokrasi ini akan menjadi tantangan bagi mereka yang masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Nilai-nilai tersebut akan coba diterapkan secara perlahan dan mereka berupaya memotong proses birokrasi yang rumit menjadi lebih sederhana dan efektif.
Kolaborasi
Keunikan lain yang hanya ditemui dalam dunia startup adalah konsep open collaboration. Tidak lagi mengusung ruang kerja dengan pembatas dan ruangan kantor terpisah, startup mulai banyak menerapkan ruangan kerja terbuka yang memudahkan kolaborasi antar pegawai.
Kolaborasi dan kultur perusahaan tidak hanya menjadi tanggung jawab pegawai level awal. Setiap level harus bisa memberikan kontribusi dan bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan.
Adopsi cepat dan agile
Agile merupakan istilah yang paling banyak digadang-gadang penggiat startup. Agile di sini berarti kemudahan semua pihak untuk melakukan perubahan, transformasi, dan tidak fokus ke satu mindset saja. Fleksibilitas dan wawasan yang lebih terbuka juga merupakan konsep agile yang ingin dicapai startup.
Sebagai pihak yang mengedepankan teknologi, tech people juga cenderung lebih cepat mengadopsi perubahan demi menciptakan inovasi dan solusi yang lebih baik. Konsep ini pada akhirnya akan sangat masuk akal diterapkan dalam pemerintahan, sehingga tidak terjebak dalam rutinitas dan fokus ke masa depan.
Inovasi adalah raja
Dunia startup sarat dengan inovasi dan bagaimana inovasi yang tercipta bisa menjadikan solusi yang tepat. Inovasi pada akhirnya akan menjadi kunci utama bagi tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.
Inovasi melibatkan aplikasi informasi, imajinasi, dan inisiatif yang demi mewujudkan nilai yang lebih besar atau berbeda dari sumber daya.
Mendorong pegawai untuk lebih kreatif dan agresif akan menciptakan ide-ide baru yang lebih baik dan bermanfaat, dengan didukung teknologi dan berbagai tools yang ada.
Agile Indonesia Conference 2017 akan segera dilaksanakan, menghadirkan banyak ahli perencanaan pengembangan perangkat lunak “Agile” baik dari Indonesia ataupun luar negeri. Salah satu pemateri yang akan hadir adalah Renee Troughton, Founder Unbound DNA dan Enterprise Agile Coach.
Dalam sebuah kesempatan, Renee memberikan pandangannya tentang ragam metodologi dan pendekatan yang ia sering ajarkan dalam pengembangan produk perangkat lunak.
“Saya adalah seorang polymath yang penuh gairah. Saya ingin membuat dunia lebih baik melalui menemukan cara kerja baru dan membagikannya kepada orang lain. Saya tidak akan mengatakan bahwa saya hanya seorang pelatih Agile, saya menggunakan banyak metodologi dan pendekatan yang berbeda, mencoba untuk fokus pada sains dan apa yang terbukti bekerja dalam kenyataan,” ujar Renee memperkenalkan dirinya.
Dalam konferensi mendatang, scaling adalah salah satu tema pembahasan yang akan dibawakan Renee. Akan cukup menantang, pasalnya dalam konsep pengembangan masalah skalabilitas belum populer di Indonesia. Dalam blog tentang Agile yang sering ditulis, Renee membahas secara mendetail “Scaling Agile Tricks”.
Dari tulisan tersebut disimpulkan empat prinsip utama dalam scaling, yaitu: (1) mengurangi handoff dan dependensi, (2) memperbaiki arus proses, (3) memvalidasi dan memperbaiki hingga menjadi sesuatu yang benar, dan (4) terakhir mengintegrasikan Agile, Lean dan Desain Thinking. Namun demikian, Renee menggarisbawahi, empat prinsip dasar tersebut harus mampu berjalan beriringan untuk terciptanya sebuah hasil proses yang utuh.
Antara Scrum dan Kanban
Di Indonesia, khususnya di kalangan korporasi, Scrum menjadi pendekatan primadona. Di sisi lain, Kanban adalah salah satu pendekatan yang didalami oleh Renee. Ia menjelaskan karakteristik dan perbedaan di antara keduanya.
“Mungkin perbedaan utama antara Scrum dan Kanban akan berada pada pendekatan dasarnya. Di Scrum, tim merasa bahwa proses tersebut menggantikan proses pengembangan yang ada. Di Kanban, adopsi dimulai dengan apa yang dilakukan sekarang dan menambahkan beberapa praktik dan prinsip ekstra,” jelas Renee.
Ia juga menambahkan, selain dari sudut pandang adopsi dalam memulai, perbedaan inti kedua adalah dalam timeboxing. Scrum memiliki timeline yang jelas dan teratur, sedangkan Kanban lebih berfokus pada arus yang terus menerus dan terkelola. Scrum cenderung memiliki manajemen visual yang sangat sederhana dengan pekerjaan dipecah menjadi “To Do”, “Doing”, dan “Done”. Di Kanban, pekerjaan tidak dipecah menjadi beberapa tugas, namun sebaliknya, pengelolaan visual merupakan representasi arus kerja menurut kelas pelayanan.
Lalu lebih baik yang mana untuk diterapkan di korporasi? Selengkapnya akan dibahas dan didemokan oleh Renee Troughton pada sesi Agile Indonesia Conference 2017. Selain membahas tentang Scrum dan Kanban, konsep Holacracy dari Brian Robertson turut akan disampaikan Renee.
Para profesional IT, manajer proyek perangkat lunak, manajer produk, programmer, tester dan komponen lainnya yang tertarik untuk mengikuti konferensi ini dapat segera mendaftarkan diri melalui laman resmi Konferensi Agile Indonesia http://2017.agileindonesia.org.
– Disclosure: DailySocial merupakan media partner Konferensi Agile Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Standish Group mengungkapkan bahwa sekitar 60% proyek pengembangan perangkat lunak mengalami kegagalan dan diragukan kualitasnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya proses yang sesuai dalam rangkaian proses pengembangan tersebut. Banyak penelitian yang mencoba memecahkan masalah tersebut, sehingga terlahir sebuah metode yang disebut Agile Software Development. Saat ini metode tersebut cukup umum digunakan, karena mampu menyajikan efektivitas dan hasil yang lebih terukur dalam proses pengembangan.
Untuk meningkatkan pemahaman tentang metodologi tersebut, Konferensi Agile pertama di Indonesia akan diselenggarakan. Tepatnya pada tanggal 12-13 Juli di Menara BTPN Jakarta. Puluhan pemateri ahli akan dihadirkan untuk berbagi tentang praktik terbaik dan strategi penerapan Agile Software Development dalam lingkungan bisnis. Konferensi ini juga memiliki visi untuk menyebarkan kesadaran, pengetahuan dan pengalaman tentang agile melalui perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.
Di hari pertama konferensi, pembahasan akan difokuskan pada tema “Enterprise Agility”. Tema ini akan mengupas tentang leadership dan management dalam proses pengembangan perangkat lunak. Sedangkan hari kedua akan memfokuskan pada “Practitioner Day”, menghadirkan para praktisi untuk menceritakan praktik terbaiknya. Termasuk membahas tentang manajerial produk, scrum master, testing dan sebagainya.
“Tujuan kami adalah untuk berbagi dan menyebarkan ilmu tentang agile dan scrum di Indonesia. Kami mengadakan meetup setiap bulan di berbagai daerah di Indonesia dan memiliki komunitas aktif di Facebook. Kami juga memiliki lingkaran agile (pertemuan yang lingkupnya lebih kecil) dan grup Slack,” sambut perwakilan komunitas Agile Indonesia selaku penyelenggara konferensi ini.
Konferensi dini diharapkan dapat menjadi ajang bagi para profesional industri teknologi informasi untuk mendiskusikan ragam proses pengembangan perangkat lunak yang berkualitas. Bagi para profesional IT, manajer proyek perangkat lunak, manajer produk, programmer, tester dan komponen lainnya yang tertarik untuk mengikuti konferensi ini dapat segera mendaftarkan diri melalui laman resmi Konferensi Agile Indonesia http://2017.agileindonesia.org.
– Disclosure: DailySocial merupakan media partner Konferensi Agile Indonesia.
Agile is a relatively new movement in Indonesia. Scrum adoption is accelerating and will spread through the IT and startup world in the upcoming years. I have been an agile fan since 2011 and saw the impact first hand on organizations in India, The Netherlands, and beyond. In mid 2016, I moved to Bali. As I noticed that agile was growing in popularity, I decided to start an agile agency. In November I did my first scrum training in Jakarta and since then I’ve been quite busy. In the past months, I have seen how agile and Indonesia match and where the challenges and opportunities are.
Challenges
First, some challenges. Most people know the Agile Manifesto. This manifesto was created in 2001 by 17 smart guys. What most people don’t know is that there’s 12 principles underlying the manifesto. For some strange reason, whenever I go to conferences, every slide deck has the manifesto in it. But I never see the principles, which I believe are crucial if you want to move your company culture towards agility. One of the principles is:
Build projects around motivated individuals.
Give them the environment and support they need,
and trust them to get the job done.
This is about ‘self organized teams’. Now the Indonesian culture is based on hierarchy. People are used to having a boss and wait for ‘instructions’. To me personally, the basis of this command and control style of management is a lack of trust. What a leader thinks is ‘I know what needs to be done’ and then gives his subordinates tasks. The agile principle above turns this upside down: a leader can give a problem or a challenge plus the resources the team needs. He then steps aside and lets the team figure out how to solve the challenge. If they need him, he’s there. But not to give orders, only to provide mentoring, so the team can get the job done. This is based on trust and assumes teams outsmart a single brain.
Habits are hard to change. Cultural habits maybe even harder, because everyone else is behaving the same way. When I started a software development office in India in 2008, I faced the same challenge. There are vast differences between Indian and Indonesian culture. But they share a high power distance. Geert Hofstede developed a measurement of hierarchy, called power distance. From this article you can see that India scores 77 and Indonesia 78. In comparison, Netherlands (I’m Dutch so that’s my reference point) scores 38. I refer to the article for explanation on the measurement and the exact meaning.
I have experienced first-hand that by creating a company that is flatly organized, supported by a set of strong values (potentially based on the agile principles), teams can get self-organized. A company creates its own culture and this culture can ‘beat’ habits that exist within a country. Of course it’s not easy.
Another challenge. One of the values of the scrum framework is ‘openness’. Last week, I organized a meetup in Yogyakarta. One of the topics we discussed was openness. I was facilitating a discussion with a group of about 25 people, all Indonesian. As is common in groups, there were a few outspoken people and most were quiet. Now there are many forces at play on the topic of openness: some people are shy and don’t like speaking up (are less open); some people are comfortable speaking English, some are not (so they appear less open, but might ‘pop open’ when they speak their own language); some might consider it rude to speak up because of their role within the group. As a person, I’m used to this (in India I have similar experiences and I work with different cultures for over a decade). Some of the participants suggested that people in Indonesia are ‘not open’. It’s not Indonesian to share one’s thoughts, because that might hurt someone else’s feelings.
One of the values my company has had since its inception in 2005 is ‘openness’ (I had never heard of the manifesto in that period). What I have described above already is that company culture can ‘beat’ country habits. In the case of openness, I have seen this work too. You can hire for openness. Once you have a team existing of mostly open people, they will attract more open people and openness can spread. You can have events to share thoughts openly. You can reward being open. You can tie back compliments to open behavior.
Opportunities
I believe the opportunities exist exactly in the transformation on the above two topics. Companies that move towards self-organization will beat other companies that stay with command and control. To make self organization possible, openness is key.
Command and control has it roots in the factory model. People who made pins had to be very efficient at making pins and needed strict instructions to do so. But in today’s knowledge economy, most people don’t create pins. They have creative jobs, making software or related smart products. If you want to win in the marketplace, you need smart people, using their smartness to continually improve what they do and to create new products. And that smartness will only come to fruition if people are empowered. They need to have freedom and authority to do what they believe is right. Once people have that authority, they realize growth. They stretch themselves and perform more than they (and their boss) thought they could.
Adopting agile helps realize the above. And scrum provides the framework to get started. Agile is ‘open’, it’s a mindset, a set of principles to guide behavior. I believe that for Indonesia we need more. Scrum is also very open, but at its core it has roles, events and artifacts that give people guidance on ‘what to do’. It doesn’t tell them what to do specifically in their role, but scrum gives enough to organize the work.
– This guest post is created by Hugo Messer, agile entrepreneur and scrum trainer. Hugo has been working in the software industry for more than a decade. Since june 2016 he moved to Bali and started an agile agency Ekipa Indonesia. He’s been an evangelist for the agile movement in Indonesia, organizing meetups, online groups and training programs.