Terra Drone Corporation, startup pengembang teknologi drone dan Urban Air Mobility (UAM) asal Jepang, mengumumkan akuisisi terhadap Avirtech, startup sejenis yang berfokus untuk keperluan pertanian di Asia Tenggara yang berbasis di Singapura.
Dalam tindak lanjut aksi korporasi ini, Terra Drone membentuk anak usaha Terra Drone Agri di Malaysia dan Indonesia dengan merek Terra Agri. Baik Terra Drone dan Avirtech memiliki cakupan bisnis di Asia Tenggara. Avirtech beroperasi di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Berdasarkan keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (21/9), semua pemangku kepentingan mengakui manfaat teknologi drone karena semakin banyak petani di seluruh dunia yang mengakuinya. Lantaran drone dapat meningkatkan keberlanjutan dengan penyemprotan pestisida yang efisien dan mengurangi jejak karbon.
Mengutip dari hasil riset yang diungkap oleh Drone Industry Insights, Terra Drone diakui sebagai salah satu penyedia layanan drone terkemuka di dunia. Terdapat lebih dari 3.000 proyek survei dan inspeksi yang berhasil diselesaikan di 10 negara. Anak usaha Terra Drone, Unifly, telah menciptakan solusi Unmanned Traffic Management (UTM) yang paling banyak digunakan di Amerika Utara, Eropa, dan Timur Tengah.
Selain Avirtech, di Indonesia sebenarnya ada sejumlah startup dengan solusi serupa, salah satunya ARIA.
Kembangkan drone penyemprot pestisida
Avirtech itu sendiri menyediakan sistem kecerdasan tanaman dan kontrol perkebunan untuk memantau kondisi situs melalui informasi udara dan darat, seperti topografi, kesehatan tanaman, kualitas tanah, curah hujan, aktivitas operasi pertanian, serta proses lain yang diperlukan untuk siklus produksi.
Melalui pertanian presisi dan wawasan berbasis data, Avirtech mempercepat digitalisasi perkebunan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan meningkatkan keberlanjutan jangka panjang. Solusi yang mereka berikan dinilai sangat membantu petani kelapa sawit dan perusahaan perkebunan dalam mengurangi kegagalan panen, serta menghemat biaya operasional hingga 30%.
Avirtech mengembangkan drone penyemprotan pestisida dengan teknologi gimbal yang diklaim pertama di dunia. Drone buatan Avirtech disebutkan mampu terbang hingga 4.000 kali dalam sehari. Perusahaan tersebut juga turut berkontribusi dalam pengembangan budidaya tanaman secara ilmiah untuk lebih dari 200 ribu hektar lahan yang tersebar di Indonesia dan Malaysia.
Kedua negara ini merupakan dua produsen terbesar untuk minyak kelapa sawit yang menguasai 80% dari produksi global. Meski begitu, masih terdapat serangkaian masalah serius yang dihadapi, misalnya deforestasi, dampak lingkungan, kesenjangan tenaga kerja, kelangkaan tenaga kerja, dan berbagai tantangan dalam bidang lingkungan.
“Lonjakan harga minyak kelapa sawit yang disebabkan oleh keterbatasan pasokan juga menjadi salah satu hambatan utama,” ujar manajemen Terra Drone.
Melalui lini bisnis Terra Drone, Avirtech berupaya mengatasi masalah keterbatasan tenaga kerja, meningkatkan keselamatan kerja, dan produktivitas di industri kelapa sawit. Avirtech juga berkomitmen untuk mendukung produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, serta memberikan nilai tambah sebagai investasi dalam ESG (Environmental, Social, and Governance).
“Dengan menggabungkan kepakaran Terra Drone sebagai pemimpin global dalam Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dengan teknologi drone Avirtech dalam pertanian presisi, Terra Agri optimis mengalami pertumbuhan pesat di pasar Indonesia dan Malaysia,” pungkas manajemen.
Startup food tech yang berkantor pusat di Singapura, Glife Technologies, mengumumkan telah mengakuisisi penuh PanenID (Indonesia) dan Yolek (Malaysia). Kedua akuisisi ini merupakan bagian dari rencana perusahaan untuk masuk ke Indonesia dan Malaysia pasca mengantongi pendanaan seri A pada November 2021.
Putaran ini bernilai S$11 juta ($8 juta) yang dipimpin oleh Heliconia Capital, anak perusahaan investasi yang dimiliki sepenuhnya oleh Temasek. Hibiscus Fund dana VC yang dikelola oleh RHL Ventures Malaysia dan KB Investment juga berpartisipasi dalam putaran tersebut.
Tidak disebutkan nominal transaksi dalam akuisisi ini. Namun bisa dipastikan, Glife menjadi pemegang saham tunggal terbesar di PanenID dan Yolek.
PanenID merupakan startup farm-to-table berbasis di Bali yang secara langsung menghubungkan hotel dan restoran dengan petani. Didirikan pada tahun 2017, PanenID mengkhususkan diri dalam manajemen rantai pasokan untuk pertanian berkelanjutan. Perusahaan mempelopori perdagangan yang adil untuk lebih dari 120 petani kecil di wilayah ini, yang secara langsung menghubungkan mereka dengan pelanggan akhir, restoran, dan hotel di Jakarta dan Bali.
Sementara Yolek adalah distributor B2B untuk produk kering, bebas daging beku dan produk nabati yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam industri distribusi makanan grosir, Yolek Vege Mart melayani lebih dari 600 pedagang di seluruh industri F&B yang mencakup pengecer makanan vegetarian dan organik, grosir dan bisnis HORECA di Klang Valley.
Sejumlah startup lokal juga tengah mengupayakan solusi supply chain produk pertanian ke segmen bisnis, di antaranya Tanihub, Agriaku, Eratani dan lain-lain. Bahkan karena besarnya potensi di B2B ini, Tanihub tahun lalu memilih untuk fokus ke segmen ini dan menutup model B2C yang sebelumnya turut dijalankan.
Ingin merevolusi rantai pangan pertanian
Co-founder & Deputy CEO Glife Caleb Wu menuturkan, misi utama perusahaan adalah merevolusi rantai pangan pertanian dengan meningkatkan efisiensi dalam prosesnya melalui adopsi teknologi yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara petani, pemasok, dan penjual. Menurutnya, baik Indonesia dan Malaysia adalah komunitas yang dinamis dalam bidang pangan dan pertanian. Perusahaan menyadari potensi besar untuk memanfaatkan pasar pertanian yang besar.
“Kemitraan strategis akan memungkinkan kami menghadirkan solusi teknologi terbaik Glife di luar batas Singapura dan kami sangat bersemangat untuk terhubung dengan lebih banyak petani dan restoran di kawasan ini. PanenID dan Yolek adalah mitra berharga dalam perjalanan kami, memanfaatkan pengetahuan lokal mereka untuk menjembatani kesenjangan dalam rantai nilai makanan dan memperkuat jaringan regional kami.”
Didirikan sejak 2018, Glife mendedikasikan diri untuk mengangkat petani, pemasok, dan pedagang di industri makanan dan pertanian karena bercita-cita untuk memberi makan Asia Tenggara secara berkelanjutan. Sebagai penyedia solusi layanan makanan yang terintegrasi secara vertikal, Glife memperluas layanannya pada 2021 dengan menyediakan berbagai teknologi digital restoran untuk merchant di industri HORECA.
Menurut Wu, kemitraan dengan kedua perusahaan ini nantinya akan mengimplementasikan GlifeWare, solusi Enterprise Resource Planning (ERP) yang dikembangkan internal di PanenID dan Yolek. Solusi ERP ini secara khusus bertujuan untuk meningkatkan layanan ujung ke ujung di seluruh rantai pasokan makanan termasuk Manajemen & Proses Pesanan, Sistem Manajemen Gudang, dan Sistem Manajemen Transportasi.
Keberhasilan implementasi GlifeWare di PanenID dan Yolek diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional sebesar 30% – 50%, diukur dari operasionalnya kapasitas dan tingkat pemenuhan. Terhitung, Glife telah melayani lebih dari 1000 petani dan lebih dari 900 pedagang di Singapura.
CEO PanenID Johannes Dwi Cahyo mengatakan, pihaknya menyambut dengan antusias atas bergabungnya perusahaan di Glife. Menurutnya, Glife memahami kebutuhan industri rantai pasokan makanan dan memiliki bertujuan untuk menjembatani kesenjangan di atasnya. “Dengan platform teknologi yang kuat dari Glife, kami sangat senang melihat bagaimana hal itu akan meningkatkan operasional secara signifikan dan efisiensi bagi PanenID untuk memenuhi kebutuhan produk dan bahan makanan hotel dan restoran,” kata Johannes.
Direktur Yolek Desmond Tan turut menambahkan, “Perangkat lunak inovatif Glife dikombinasikan dengan pengalaman dan pengetahuan lokal kami sebagai distributor HORECA lebih dari 30 tahun di bidang distribusi makanan nabati dan ritel, telah menciptakan landasan yang kokoh untuk menumbuhkan kemitraan ini. Kami sangat senang dengan peluang pertumbuhan Yolek yang akan muncul dari adopsi solusi digital dalam industri yang konvensional ini.”
Untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan ke depannya, Glife akan melanjutkan rencana ekspansi di kawasan Asia Tenggara dan secara bersamaan bergerak menuju putaran penggalangan dana Seri B yang dijadwalkan berlangsung pada paruh kedua tahun 2022.
Permintaan terhadap komoditas pertanian di Indonesia masih menjadi kendala. Hal ini dianggap sebagai peluang yang bisa diselesaikan melalui teknologi. Askara Daulat Desa mencoba menawarkan solusi dengan konsep Farming as a service (FaaS).
Kepada DailySocial, CEO Askara Daulat Desa David Setionegoro mengklaim Askara Daulat Desa menjadi platform pertama yang mengembangkan konsep FaaS kepada ekosistem pertanian di Indonesia.
“Konsep FaaS Askara Daulat Desa adalah kita melakukan the whole cultivation program, dari perencanaan penanaman, pembukaan lahan, eksekusi penanaman, dan pengiriman langsung ke klien,” kata David.
Untuk menemukan lahan tidur yang berpotensi digarap, Askara Daulat Desa menjalin kolaborasi dengan pihak ketiga, apakah itu pemerintah ataupun pihak swasta. Untuk menggarap lahan tersebut, Askara Daulat Desa menjalin kerja sama dengan serikat tani.
Konsep ini diklaim berbeda dengan platform agritech lainnya.
“Kita tidak menjalin kemitraan dengan petani kecil karena lanskap pertanian di Indonesia berbeda dengan petani di Amerika Serikat. Kebanyakan petani hanya memiliki lahan dalam skala yang kecil. Untuk itu kami menjalin kemitraan dengan pihak ketiga, apakah itu dari pemerintah hingga swasta, untuk memenuhi kebutuhan lahan tidur. Saat ini kita masih fokus di pulau Jawa,” kata David.
Bersama Co-founder lainnya yaitu Aditya Tirtatjahja (CTO), Stephen Angkiriwang (COO), dan Brian Yie (Chief Legal Officer), mereka ingin mengembangkan sektor hulu dengan lebih baik lagi. Menargetkan pasar segmen B2B, Askara Daulat Desa menggunakan strategi monetisasi berbasis komisi.
Saat ini mereka sudah melayani klien eksportir untuk penanaman komoditas ubi jalar dan ubi ungu. Tidak menutup kemungkinan ke depannya Askara Daulat Desa menambah pilihan komoditas lain, seperti kentang atau bawang merah.
“Kami memilih ubi [..] terutama untuk eksportir yang masih merasakan kesulitan. Selama ini masih sedikit pemasok di Indonesia yang menawarkan ubi dan biasanya tersentralisasi, misalnya hanya di Sumedang. Berangkat dari sana akhirnya kita mencoba untuk menggarap potensi tersebut,” kata David.
Askara Daulat Desa juga mengembangkan secara khusus capture data cuaca dan profil aktual tanah. Data ini masuk sebagai metrik big data mereka, karena masing-masing daerah memiliki karakteristik cuaca dan tanah yg berbeda.
“Big data tersebut kami olah dalam sebuah algoritma, disesuaikan dengan jenis komoditas apa yang akan ditanam. Output dari tahapan ini adalah perencanaan penanaman yang [lebih] presisi,” kata David.
Memperluas kolaborasi
Tahun ini ada sejumlah target yang ingin dicapai oleh Askara, di antaranya adalah memperbanyak kemitraan untuk akuisisi lahan dan melakukan digitalisasi semua proses agar lebih optimal.
Masih menjalankan bisnis secara bootstrap, Askara Daulat Desa juga belum memiliki rencana untuk melakukan kegiatan penggalangan dana.
Perusahaan mengikuti program TINC batch 7 yang diinisiasi Telkomsel. Askara Daulat Desa melihat program tersebut bisa membuka kerja sama strategis dengan Telkomsel.
Sebagai perusahaan teknologi, Askara ingin memanfaatkan jaringan dan konektivitas untuk mengembangkan teknologi IoT. Harapannya Telkomsel bisa membantu Askara Daulat Desa memperlancar jaringan yang ada di berbagai lokasi lahan.
“Telkomsel sebagai perusahaan BUMN, memudahkan kami untuk bekerja sama dengan perusahaan BUMN lainnya. Program ini membantu kita dalam hal pengembangan teknologi terkait jaringan dan konektivitas,” kata David.
“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur
There are various perceptions about the hardship of environmental impact business. First, it is difficult for startup players to generate inclome–let alone profit–and it obviously takes a long time. Second, these beliefs have limited investors’ interest. However, that doesn’t mean it doesn’t exist.
Many startups are carrying a mission to save the earth instead of earning profit beforehand. In Indonesia, you can count it on the finger of one hand. It includes a renewable energy startup Xurya and waste management startup Duitin. The objective is to make the earth greener and friendly to humans.
WLabku, a waste management startup backed by Gayo Capital impact investor, is carrying the same mission, which is to recycle bagasse into a valuable product in order to achieve zero carbon emission acceleration in Indonesia.
DailySocial had a discussion with two important figures at Gayo Capital, Jefri R Sirait as Co-Founder & Managing Partner and Eldo Wana Kusuma as Investment Principal about recycling development, business metrics, and environmental impact in this business segment.
WLabku’s profile
Founded in 2019, WLabku is a waste management startup that recycles sugarcane waste as animal feed (bagasse). In additiont, this recycled product can be used as biofuel (plant and animal based) to produce heat, energy, electricity, as well as manufacture of pulp and building materials. The quantity obtained ranges from 22%-36%, depending on the portion of fiber and cleanliness of the sugarcane supply.
Why sugarcane? Citing information on the Gayo official website, bagasse is a fibrous residue left after milling, containing a moisture content of 45%-50% with a mixture of soft and fine fibers and parenchyma tissue with high hygroscopic properties. Bagasse also contains cellulose, hemi cellulose, pentosan, lignin, sugar, wax, and minerals.
In Indonesia, sugarcane has been planted on a 450,000 hectares land. The average yield in community plantations (about 266,000 hectares) is less than 80 tons per hectare with a yield level below 8%. The potential market capitalization of recycled sugarcane is around 5% of old bagasse equivalent to IDR 2.2 trillion.
In 2020, WLabku secured an investment from Gayo Capital through two funding rounds. Based on Crunchbase data, WLabku received seed funding in January 2020 of $1 million, and a second round in July 2020 through convertible notes at $90,000.
Co-Founder & Managing Partner, Jefri R Sirait revealed, WLabku is one of Gayo Capital’s investment portfolios that offers added value as a biomass waster. He said, there are lots of unused materials that can actually be reused (circular economic) in the agricultural sector, livestock, and even the society.
He considered the recycling of used materials to be one of the important keys to strengthening food and energy security in Indonesia, as well as being able to produce carbon farming.
“From the beginning, Edward [Ismawan Chamdani] and I, as Founders of Gayo Capital, saw the Sustainable Development Goals (SDGs) as well as farmers, ranchers, fishermen, and MSMEs must be the epicenter in Indonesia. This is a strong basis for how rural areas can support the cities’ development. It is also fundamental in our investment and we bring the tech to them. WLabku will complete our portfolio ecosystem in the fields of waste management and agriculture,” Jefri said.
What’s on the pipeline?
There are two big agendas on WLabku’s pipeline. First, exporting bagasse that has been recycled into valuable products. For example, recycling into raw materials (feedstock). WLabku takes on the role of recycling and processing it into cattle feed, then exporting it to several countries, including Japan and possibly New Zealand.
The Investment Principal, Eldo Wana Kusuma said that one of his supplier’s clients was confused about processing bagasse waste that had accumulated for years. This waste can cause odor pollution in the surrounding environment, and trigger new costs to accommodate waste. Once burned, the process takes a long time. It means, more production results than the process of destroying the waste.
Without a processing plant, bagasse will be wasted as it will end up burning and losing its value. This will have a bad impact on the environment because it triggers the carbon production. WLabku plays a role in solving the above problems by turning waste into valuable products.
Based on a report from the Ministry of Environment and Forestry (KLHK), the amount of national waste generation reaches 175,000 tons per day or equivalent to 64 million tons per year (assuming that each person produces 0.7 kg of waste per day).
Regarding its composition, the major waste by 50% comes from organic (food and plant waste), plastic (15%), and paper (10%). The rest comes from metal, rubber, cloth, glass, and others. Based on the category, households generate the most waste (48%), followed by traditional markets (24%), commercial areas (9%), and the rest from public facilities, schools, offices, and roads.
Second, to accelerate the zero emission program. “The remaining filtered bagasse is not 100% able to be used as feedstock. The remaining residue can be compacted and used for co-firing fuel in the form of pellets to reduce carbon emissions from fossil combustion. This is what I mean by accelerating the zero emission program,” he said.
In 2030, Japan issued a policy prohibiting all factories using fossil fuels. Bagasse can be used as fuel in the form of pellets or feed ingredients compacted in such a way from concentrate or forage materials to reduce the nutritional properties of feed. Meanwhile, the pellets produced by WLabku can reach 4,300 calories.
Business Acceleration
With the various plans, what are Gayo Capital’s efforts to accelerate WLabku’s business?
Gayo Capital plays a role as a venture builder. They also provide assistance and connect business networks to the WLabku’s founder. Gayo is not only involved in terms of capital. Moreover, he said, the three partners at Gayo Capital have strong backgrounds in finance, operations, networking, and business partnerships. It becomes Wlabku’s added value to the society.
Furthermore, Eldo said WLabku’s business scalability can be improved as long as the mature business model is maintained. He said, it will be difficult to achieve this when the founder only considerate the aspect of ‘for the sake of humanity and mother earth’.
One of the challenges is that investing in the environmental sector requires more than one source of capital, it combines private capital and development funding. The distribution must be right on target. For example, a grant from foundations or CSR programs can be used for research, while investments from Venture Capital (VC) will be used for operational costs (opex) and working capital.
For WLabku, the company has conducted its own research, while funding source is led by Gayo Capital. “As long as it is right on target, I think everything can run smoothly. Most of the founders in impact business are too concerned with research and not business wise. Therefore, this is a pretty difficult challenge,” he said.
In order to answer the above question, Eldo is aiming for a strategic collaboration between WLabku and the portfolio ecosystem at Gayo Capital. Especially collaboration across products/services in the corridor of sustainability. For example, waste-to-energy or clean energy. This means that business scale up is not only limited to owners of a business model similar to WLabku.
“We cannot depend solely on fossil fuels and this has actually been our agenda for a long time. We hope that there will be collaboration between the portfolio and the penta-helix approach at Gayo Capital, and this should be accelerated even faster.”
Impact vs profit
Which comes first, impact or profit? A difficult question to address the challenges of various investors when making impact investing in the environmental or sustainability sector.
Eldo said that his team is currently trying to prove WLabku’s business model to be acceptable in the market, converting waste into valuable products to solve problems in the accumulation of factory waste. Once the idea is proven, Gayo will then talk about financial returns.
Meanwhile, he said that the average VC investment in general is around 3-5 times in a 5-10 year fund lifetime (ranging from 27%-30% return per year).
“Profit has yet to become our main focus, although investors will eventually seek for a return. In the initial stage, we aim for impact. Actually, thanks to the stakeholders, we have [started] aiming for both, both impact and financial return,” he said.
WLabku uses a number of metrics to measure business growth as well as impact on the environment. From business growth, Gayo uses such metric as the number of suppliers and buyers.
In parallel, he observed that the more supplies are supplied, the less waste factory waste will be. The more people who buy, the faster the acceleration to realize the zero carbon emission program.
Meanwhile, WLabku measures the amount of bagasse that is recycled and the environmental impact of their solutions. It can be measured by the level of reduction in odor pollution or environmental pollution. “To [measure] the impact, we use tools with the ESG Report,” he added.
On a general note, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports is a reference or formula for measuring the impact of environmental pollution. ESG reports operational data of various companies focusing on three areas, environmental, social, and corporate governance.
In Indonesia, the ESG has been implemented on the Indonesia Stock Exchange (IDX). In March 2021, IDX launched the new index IDX ESG to promote environmental, social and governance practices of issuers (listed companies on the capital market). In the long term, the implementation of ESG is expected to drive more capital flows to Indonesia.
One-for–all metric
DailySocial had a short discussion with Partner at Patamar Capital, Dondi Hananto, about the general metrics and scalability of impact investing in Indonesia. In terms of social impact, he said, currently there is no one-for-all metric that can be used to measure business growth, both equity and non-equity. It all depends on the business model and impact the startup is pursuing.
Meanwhile, in the environmental impact segment, Dondi said that his business development could not fully rely on commercial financing considering that the market in Southeast Asia is yet to mature. Therefore, it requires encouragement from other funding sources (blended finance), including foundations, CSR, or social funds.
It becomes one of the factors why business scalability at startups in environmental impact is difficult to accelerate. Not to mention the clash in the pursuit of ‘impact versus profit’ considering that both are hardly achieved at the same time. Dondi considers it difficult to withstand the impact in the long term if the business has been profit-oriented from the beginning.
“From a business model perspective, I haven’t seen [environmental startups] that can be quickly scalable. However, the trend is getting there,” said Dondi.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur
Ada berbagai persepsi yang menyebutkan bahwa tak mudah untuk berkecimpung pada bisnis di environmental impact. Anggapan pertama, sulit bagi pelaku startup untuk menghasilkan uang–apalagi keuntungan–dan realisasinya pun memakan waktu panjang. Kedua, anggapan ini membuat minat investor semakin terbatas. Namun, bukan berarti tidak ada.
Banyak startup di dunia yang membawa misi untuk menyelamatkan bumi alih-alih mengedepankan keuntungan. Di Indonesia, jumlahnya mungkin masih terhitung jari. Ada startup energi terbarukan Xurya dan startup pengumpulan sampah Duitin. Semua ini ingin membuat bumi menjadi lebih hijau dan ramah bagi manusia.
WLabku, sebuah startup waste management yang mendapatkan pendanaan dari impact investor Gayo Capital, memiliki misi yang sama, yaitu mendaur ulang ampas tebu menjadi produk bernilai demi mewujudkan akselerasi zero carbon emission di Indonesia.
DailySocial berkesempatan berbincang dengan dua sosok penting di Gayo Capital, yakni Jefri R Sirait selaku Co-Founder & Managing Partner dan Eldo Wana Kusuma sebagai Investment Principal tentang pengembangan daur ulang, metrik bisnis, hingga dampak lingkungan di segmen bisnis ini.
Mengenai WLabku
Berdiri sejak 2019, WLabku merupakan startup di bidang waste management solution yang mendaur ulang limbah tebu sebagai pakan ternak (bagasse). Tak hanya itu, hasil daur ulang ini dapat digunakan sebagai biofuel (bahan bakar dari materi tumbuhan dan hewan) untuk memproduksi panas, energi, listrik, serta manufaktur pulp dan bahan bangunan. Kuantitas yang diperoleh berkisar 22%-36%, tergantung porsi serat dan kebersihan dari pasokan tebu.
Mengapa tebu? Mengutip informasi di situs resmi Gayo, ampas tebu adalah residu berserat yang tersisa setelah penggilingan, mengandung kadar air sebesar 45%-50% dengan campuran serat fibre dan jaringan parenkim yang lembut dan halus dengan sifat higroskopis tinggi. Ampas tebu juga mengandung selulosa, hemi selulosa, pentosan, lignin, gula, lilin, dan mineral.
Di Indonesia, tebu telah ditanam dengan luas mencapai 450.000 hektar. Rata-rata hasil produksinya di community plantation (sekitar 266.000 hektar) tak sampai 80 ton per hektar dengan yield level di bawah 8%. Potensi kapitalisasi pasar daur ulang tebu berkisar 5% dari ampas tebu tua, yakni sebesar Rp2,2 triliun.
Pada 2020, WLabku memperoleh investasi dari Gayo Capital lewat dua putaran pendanaan. Berdasarkan data Crunchbase, WLabku mendapat pendanaan tahap awal (seed) pada Januari 2020 sebesar $1 juta, dan putaran kedua pada Juli 2020 melalui convertible note sebesar $90.000.
Co-Founder & Managing Partner Jefri R Sirait mengungkap, WLabku merupakan salah satu portofolio investasi Gayo Capital yang menawarkan value added sebagai biomass waster. Menurutnya, banyak sekali material tak terpakai (unused) yang sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali (circular economic) di sektor pertanian, peternakan, bahkan masyarakat Indonesia.
Ia menilai daur ulang material terpakai ini menjadi salah satu kunci penting untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di Indonesia, serta dapat memproduksi carbon farming.
“Sejak awal, saya dan Edward [Ismawan Chamdani] sebagai Founder Gayo Capital, melihat Sustainable Development Goals (SDG) serta petani, peternak, nelayan, dan UMKM harus menjadi epicentrum di Indonesia. Ini menjadi dasar kuat bagaimana pedesaan dapat memperkuat perkotaan. Hal ini juga menjadi fundamental dalam investasi kami dan we bring the tech ke mereka. WLabku akan melengkapi ekosistem portofolio kami di bidang waste management dan agriculture,” ujar Jefri.
Agenda WLabku
Ada dua agenda besar yang akan dilakukan WLabku. Pertama, mengekspor sampah ampas tebu yang sudah didaur ulang menjadi produk bernilai. Misalnya, daur ulang menjadi bahan baku (feedstock). WLabku mengambil peran untuk mendaur ulang dan mengolahnya menjadi makanan sapi, lalu mengekspornya ke beberapa negara, seperti Jepang dan kemungkinan Selandia Baru.
Investment Principal Eldo Wana Kusuma mengungkap, salah satu klien supplier-nya kebingungan untuk mengolah limbah ampas tebu yang telah menumpuk bertahun-tahun. Apabila limbah ini dibakar, prosesnya menghasilkan lebih banyak emisi karbon yang justru menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Artinya, metode pembakaran bukan lah solusi tepat untuk mengolah sampah organik.
Selain itu, prosesnya juga memakan waktu lama sehingga hasil produksi tidak seimbang dengan proses pemusnahan sampahnya. Ini belum lagi bicara potensi pengeluaran biaya baru untuk menampung sampah.
Tanpa pabrik pengolahan, ampas tebu akan terbuang sia-sia karena hanya akan berakhir di pembakaran dan kehilangan nilainya. Ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan karena memicu produksi karbon. WLabku memainkan peran untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas dengan mengubah sampah atau limbah menjadi produk bernilai.
Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun (asumsi sampah dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg)
Dirinci dari komposisinya, mayoritas sampah sebesar 50% berasal dari organik (sisa makanan dan tumbuhan), plastik (15%), dan kertas (10%). Sisanya berasal dari logam, karet, kain, kaca, dan lain-lain. Dari kategori sumber, rumah tangga paling banyak menghasilkan sampah (48%), diikuti pasar tradisional (24%), kawasan komersial (9%), dan sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, dan jalan.
Kedua, mengakselerasi program zero emission. “Sisa penyaringan ampas tebu tidak 100% bisa dijadikan feedstock. Sisa residu dapat dipadatkan dan dimanfaatkan untuk bahan bakar co-firing dalam bentuk pellet untuk mengurangi emisi karbon dari hasil pembakaran fossil. Ini yang saya maksud sebagai akselerasi program zero emission,” tuturnya.
Pada 2030, Jepang mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh pabrik menggunakan bahan bakar fossil. Ampas tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam bentuk pellet atau bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Adapun, pellet yang dihasilkan WLabku dapat mencapai 4.300 kalori.
Akselerasi bisnis
Dengan berbagai rencana di atas, bagaimana upaya Gayo Capital untuk mengakselerasi bisnis WLabku?
Gayo Capital turut berperan sebagai venture builder. Mereka ikut memberikan pendampingan dan menghubungkan jaringan bisnis kepada founder WLabku. Gayo tak hanya terlibat dari aspek permodalan saja. Apalagi, ungkapnya, tiga partner di Gayo Capital memiliki latar belakang kuat di bidang keuangan, operasional, jaringan, dan kemitraan bisnis. Ini menjadi nilai tambah yang ingin diberikan kepada WLabku.
Lebih lanjut, Eldo berujar skalabilitas bisnis WLabku dapat ditingkatkan selama memiliki model bisnis yang matang. Menurutnya, skalabilitas bisnis impact sulit dicapai apabila founder hanya memikirkan aspek ‘for the sake of humanity and mother earth‘.
Salah satu tantangannya adalah berinvestasi di sektor lingkungan membutuhkan lebih dari satu sumber permodalan, yakni menggabungkan private capital dan development funding. Penggunaannya pun harus tepat sasaran. Ambil contoh, dana hibah dari yayasan atau program CSR dapat digunakan untuk kebutuhan riset, sedangkan investasi dari Venture Capital (VC) dipakai untuk biaya operasional (opex) dan modal kerja.
Dalam kasus WLabku, perusahaan telah melakukan riset sendiri, sedangkan sumber pendanaan masih dipimpin oleh Gayo Capital. “Selagi penggunaannya tepat sasaran, saya rasa semua bisa berjalan lancar. Kebanyakan para founder yang bermain di ranah impact, terlalu mementingkan riset dan mengesampingkan bisnis. Jadi ini tantangan yang lumayan sulit,” ucapnya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Eldo mengincar kolaborasi strategis antara WLabku dan ekosistem portofolio di Gayo Capital. Terutama kolaborasi lintas produk/layanan yang masih dalam koridor sustainability. Misalnya, waste-to-energy atau clean energy. Artinya, scale up bisnis tak cuma terbatas pada pemilik model bisnis serupa dengan WLabku.
“Kami tidak bisa bergantung hanya dari fossil fuel dan ini sebetulnya agenda kami sejak lama. Kami berharap ada kolaborasi antara portofolio dengan pendekatan penta-helix di Gayo Capital, dan seharusnya hal ini bisa diakselerasi lebih cepat lagi.”
Impact vs profit
Mana yang perlu didahulukan, dampak atau keuntungan? Sebuat pertanyaan sulit menyikapi tantangan berbagai investor ketika melakukan impact investing di sektor environmental atau sustainability.
Eldo mengungkap, saat ini pihaknya tengah mencoba membuktikan model bisnis WLabku dapat diterima di pasar, yakni mengubah sampah menjadi valuable product untuk menyelesaikan masalah pada penumpukan limbah pabrik. Apabila berhasil, Gayo baru akan bicara soal financial return.
Adapun, ia menyebut rerata investasi VC secara umum berkisar 3-5 kali dalam 5-10 tahun fund lifetime (berkisar 27%-30% return per tahun).
“Profit belum menjadi fokus utama meski pada akhirnya investor pasti mengharapkan return. Untuk tahap awal, kami berharap pada impact. Sebetulnya, berkat bantuan stakeholder, kami sudah [mulai] mengarah ke dua-duanya, baik impact maupun financial return,” ujarnya.
WLabku menggunakan sejumlah metrik untuk mengukur pertumbuhan bisnis maupun dampak terhadap lingkungan. Dari pertumbuhan bisnis, Gayo memakai metrik, seperti jumlah supplier dan buyer.
Secara paralel, ia menilai semakin banyak yang suplai, semakin berkurang juga sampah limbah pabrik. Semakin banyak yang membeli, semakin cepat pula akselerasi untuk mewujudkan program zero carbon emission.
Sementara itu, WLabku mengukur lewat jumlah ampas tebu yang didaur ulang dan dampak terhadap lingkungan dari solusi yang mereka tawarkan. Dampak ini dapat diukur dari tingkat pengurangan polusi bau atau pencemaran lingkungan. “Untuk [mengukur] dampak itu, kami pakai tools dengan ESG Report,” tambahnya.
Sedikit informasi, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports merupakan acuan atau formula untuk mengukur dampak pencemaran lingkungan. ESG melaporkan data operasional berbagai perusahaan yang berfokus pada tiga area, yaitu lingkungan, sosial, dan corporate governance.
Di Indonesia, penerapan ESG mulai diberlakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada Maret 2021, BEI meluncurkan indeks baru IDX ESG untuk mendorong praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola emiten (perusahaan tercatat di pasar modal). Dalam jangka panjang, penerapan ESG diharapkan dapat menggerakan lebih banyak aliran modal ke Indonesia.
Metrik satu-untuk-semua
DailySocial berbincang singkat dengan Partner di Patamar Capital Dondi Hananto, bicara tentang metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Mengambil contoh pada social impact, menurutnya saat ini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat equity maupun non-equity. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.
Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.
Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit‘ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.
“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.
Sebagai kekuatan perekonomian Indonesia, pertanian menjadi salah satu sektor utama dalam agenda transformasi digital yang dibidik oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Perusahaan melalui unit bisnis Agreeculture (Agree) berupaya memecahkan berbagai masalah dan tantangan yang dialami oleh petani Indonesia dengan teknologi.
Agree adalah platform agregator untuk membantu digitalisasi pertanian yang menghubungkan pelaku, pembeli, pemodal, dan entitas pendukung ekosistem pertanian.
Berdasarkan laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia”, sektor pertanian di Tanah Air umumnya terhalang oleh akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan, pengetahuan budidaya, dan hingga kemampuan bercocok tanam petani. Belum lagi bicara soal risiko gagal panen di sektor budidaya akibat faktor cuaca dan hama.
Rendahnya latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani turut berkontribusi terhadap tantangan pelaku usaha budidaya. Badan Pusat Statistik (BPS) di 2018 mencatat hanya 4,5 juta dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur yang terhubung dengan internet.
Bagaimana perjalanan dan peta bisnis Agree dalam memecahkan sejumlah masalah di atas?
DailySocial mendapat kesempatan untuk berbicara lebih dalam mengenai pengembangan platform Agree bersama Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama dan Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari.
Ide, pivot, dan model bisnis
Hikmatullah, yang akrab disapa Hikmat, mengungkap ide mengembangkan Agree baru tercetus di 2017. Agree berdiri sejalan dengan visi Telkom untuk berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional, salah satunya melalui digitalisasi sektor pertanian.
Usai melalui masa inkubasi ide sekitar satu tahun, layanan Agree komersial di 2018. Saat itu, Agree baru menawarkan produk pinjaman modal usaha kepada petani lepas, mirip konsep platform P2P lending TaniFund dan iGrow. Namun, Hikmat berujar, dalam dua tahun perjalanannya, produk pinjaman ini tidak memperoleh product-market fit dikarenakan banyak petani gagal bayar dan rasio Nonperforming Loan (NPL) bengkak hingga 10%.
Hikmat yang baru bergabung pada Maret 2020 memutuskan untuk mem-pivot Agree dengan mengubah segmen pasarnya, dari pemberian modal usaha ke petani lepas ke petani yang sudah bekerja sama dengan perusahaan agribisnis. Model ini diadopsi untuk menjamin produk petani dibeli dan memastikan harga jual di awal. Dengan model ini, ia meyakini lembaga keuangan mau memberikan pinjaman.
Agree mulai go to market pada Januari 2021 setelah melewati proses uji coba pasar sejak September 2020. Menurut catatannya, perusahaan telah menyalurkan Rp826 miliar ke 47.362 petani dengan 80 miliar transaksi pembelian 88 perusahaan agribisnis. Perusahaan membantu menyalurkan modal usaha dari startup Alami Sharia dan sepuluh lembaga keuangan lainnya.
“Perusahaan agribisnis yang bergabung di Agree diharapkan dapat meningkatkan demand. Untuk mendapat demand, platform kami menawarkan dua skema, yakni mempertemukan perusahaan agribisnis dan buyer, serta mencarikan buyer untuk perusahaan agribisnis. Baru lah perusahaan agribisnis membuat kontrak dengan petani. Jadi, rantai ekosistem ini akan sampai ke buyer,” ungkap Hikmat.
Untuk memitigasi risiko, Agree menyiapkan sejumlah langkah, yaitu mengembangkan dashboard agar bank dan lembaga keuangan dapat memonitor kegiatan petani, serta memanfaatkan perangkat IoT dan field assistant untuk memastikan pemanfaatan modal usaha. Agree bekerja sama dengan asuransi Jasindo untuk memitigasi risiko gagal bayar.
Struktur organisasi
Agree merupakan unit bisnis yang berada di bawah naungan Direktur Digital Business Telkom M Fajrin Rasyid. Ekosistem ini dipimpin langsung oleh Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama.
Hikmat membawah tiga tribe leader, yang terdiri dari pertanian, perikanan, dan smart city. Adapun, Agree menawarkan lima layanan antara lain Agree Partner, Agree Modal, Agree Market, Agree Pedia, dan Smart Farming. Kelima layanan ini disiapkan untuk mendigitalisasi kegiatan pertanian dan menghubungkan berbagai stakeholder.
Menurut Hikmat, Agree diamanatkan untuk mengembangkan digitaliasi pada sektor pertanian, tetapi kapabilitasnya juga dipakai untuk mendukung ekosistem peternakan dan perikanan karena sekop bisnisnya sangat luas. Adapun, total orang yang mengelola ekosistem digital di pertanian, peternakan, dan perikanan mencapai 100 orang (pro hire), ditambah tujuh orang Telkom.
Mengingat pengembangan bisnis digital di lingkup korporasi akan selalu dikaitkan dengan growth culture, agilitasnya tentu akan berbeda dalam lingkup startup. Dalam hal ini, Hikmat mengaku bahwa Telkom memberikan kewenangan sepenuhnya kepada tribe leader yang mengelola Agree untuk mengembangkan produk, strategi, hingga marketing. Bahkan Direktur Digital Business M Fajrin Rasyid turut memberikan pendampingan.
Pengembangan ide hingga eksekusi Agree dilakukan dari scratch dengan mengambil sejumlah pelajaran dan pengalaman dari startup-startup lain. Namun, untuk meningkatkan kapabilitasnya, Agree akan dikembangkan sebagai open platform sehingga dapat membuka peluang kemitraan dengan startup atau perusahaan lain.
Metrik, target unicorn, dan spin-off
Selain growth culture, lanjut Hikmat, Agree juga diberikan keleluasaan untuk menentukan metrik bisnis, seperti jumlah transaksi, jumlah mitra perusahaan agribisnis, dan Monthly Active User (MAU).
Menurutnya, ini menjadi landasan utama Agree dibentuk dalam divisi terpisah dan dipimpin oleh Direktorat Digital Business. Agree ingin memisahkan diri dari nature business telekomunikasi yang identik dengan investasi besar dan dituntut untuk balik modal.
“Agree tidak dituntut menghasilkan pendapatan di tahap awal. Targetnya adalah mengantongi traction, bahkan target jangka panjang harus dapat mencapai unicorn. Dengan cara ini, rule di Telkom berbeda dengan Agree. Key Performance Indicator dihitung dari pendapatan, benefit, dan valuasi. Bagi [bisnis] yang belum menghasilkan pendapatan, misal IoT, kami akan divaluasi dari internal dan eksternal.
Dengan melihat pertumbuhan ekosistem agritech yang mulai mature, Agree juga mempertimbangkan rencana untuk spin off sehingga dapat bergerak lebih cepat sebagai perusahaan digital. Dengan posisi saat ini, Agree masih harus mengikuti cara kerja sesuai aturan Telkom dan negara sebagai pemilik saham perusahaan.
Untuk saat ini, Hikmat belum dapat mengelaborasi rencana spin off tersebut dalam waktu dekat.
Rencana bisnis
Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari menambahkan, ada sejumlah rencana ekspansi yang disiapkan di tahun depan, mengingat saat ini Agree baru meluncurkan dua layanan ke pasar, yakni Agree Modal dan Agree Partner.
Pertama, Agree akan memperluas segmen pasar komoditas yang lebih besar dan tidak terbatas pada sektor pertanian dan perikanan saja. Misalnya, kopi dan produk hortikultur. Kemudian di Agree Modal, perusahaan akan memperluas target pasar pembiayaan, tak cuma pelaku budidaya saja, tetapi juga ke pembiayaan buyer (invoice financing).
Pada layanan Agree Partner, pihaknya akan meningkatkan kolaborasi dengan sejumlah penyedia solusi IoT untuk mendorong kegiatan pertanian berbasis data (data driven). “Data ini diolah untuk menghasilkan rekomendasi bagi petani bercocok tanam, misalnya kondisi tanah. Selain itu, data-data analitik ini nantinya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia dari hulu ke hilir,” ujar Danang.
Terakhir, Agree akan mendorong digitalisasi pasar basah di Indonesia sebagai sumber utama petani untuk menyuplai hasil panen melalui Agree Mart. Melalui platform ini, Agree berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi buyer lebih luas.
Pertanian menjadi salah satu sektor penting yang menyokong perekonomian nasional di Indonesia. Di tengah pertumbuhan industrinya, diyakini masih menyimpan banyak peluang yang dapat dieksplorasi — baik dalam kaitannya dengan peningkatan produktivitas ataupun penemuan berbagai peluang baru. Tak terkecuali ketika berbicara tentang teknologi, dalam satu dekade terakhir terminologi agritech (agriculture-technology) menjadi populer di tengah perbincangan inovasi teknologi dan startup digital.
Jika ditelisik lebih lanjut, keberadaan agritech memiliki misi untuk mendemokratisasi berbagai proses bisnis yang ada dalam ekosistem pertanian. Kehadiran teknologi didesain menghasilkan efektivitas dan efisiensi, sehingga memberikan keluaran yang lebih baik. Ini sekaligus membuka peluang bagi para inovator di Indonesia, termasuk kawula muda yang bersemangat mengembangkan bisnis lewat startup. Karena pada kenyataannya, masih banyak isu dan tantangan spesifik yang dapat dibenahi bersama, termasuk dengan digitalisasi.
Dalam rangka melihat sejauh mana agritech memberikan dampak positif di Indonesia, CROWDE dan DSInnovate merilis sebuah laporan riset bertajuk “Driving the Growth of Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia”. Ada lima fokus pembahasan yang dirangkum dalam publikasi ini, meliputi:
Lanskap pertanian di Indonesia
Tantangan dalam industri pertanian
Inovasi yang mendorong pertumbuhan industri pertanian
Masa depan pertanian dalam impact investment
Studi kasus agritech di Indonesia
Banyak temuan menarik yang terungkap dalam laporan, salah satunya mengenai poin-poin penting yang layak disorot oleh inovator yang ingin memberikan solusi untuk memajukan industri pertanian. Mulai dari peningkatan produktivitas hasil tani, akses ke pinjaman modal produktif untuk para petani, penanganan regenerasi sumber daya manusia, pembenahan rantai pasokan produk pertanian, infrastruktur, dan regulasi.
Disampaikan juga tentang studi kasus, bagaimana impact investment diterapkan untuk membantu masalah permodalan petani. Termasuk bagaimana model pembiayaan tersebut memberikan risiko yang lebih minim untuk pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, turut disampaikan berbagai data tentang pertumbuhan industri — termasuk sebaran lahan produktivitas pertanian, dan tantangan spesifik yang dihadapi oleh stakeholder di ekosistem.
Disclosure: Laporan ini didukung oleh CROWDE, sebuah startup platform pembiayaan produktif yang mengkhususkan diri di sektor pertanian. Melalui pendekatan impact investment, selain memberikan dan modal, CROWDE juga memberikan bimbingan budidaya oleh ahli kepada mitra petani untuk memastikan hasil olahan lahan yang maksimal.
An agri-tech startup, TaniHub Group, introduces TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) focused on solving issues related to the supply chain. The firm was established in September, 19th 2019.
As a sidenote, TaniHub (e-commerce platform), TaniFund (p2p lending), and TaniSupply (supply chain) are operated under TaniHub Group. Each of them is working on different focuses with different regulators, yet one vision to accelerate a positive impact on the agriculture industry.
TaniSupply Director, Vincentius Sariyo explained the maneuver under its own entity will be more aggressive in order to develop supply chain business in agriculture. In fact, the license of TaniSupply stands under a different department with TaniFund (Financial) and TaniHub (Communication and Informatics).
In the warehouse, TaniSupply team makes purchasing from farmers. Next, the grading process for fruit and vegetables, measuring sweetness, quality control (QC), and quality assurance (QA). Lastly, a logistics team to ensure product quality until it’s safely delivered to the customers.
“We’re now in the middle, we have TaniHub upfront and TaniHub in the back for online distribution. TaniSupply will take care of purchasing from farmers, and the function of a chain, warehouse, last-mile delivery, quality control, and others,” Sariyo explained on Wed (11/20).
The current warehouses are installed with a certain-standard cooler to keep the product from deteriorating. Warehouses can also be used, in terms of rent, by other parties to store food products for a certain period of time.
Investment in storage machines such as blast freezers will also be prepared to complement market needs. He even mentioned that TaniSupply is applying for certification for ISO 22000 related to food safety and halal warehouses. It is also possible to export to neighboring countries.
As a result, plans are to be developed from TaniSupply in the future, not only for the ecosystem within the group but also for the sustainability of the overall agricultural ecosystem.
The distribution of the TaniSupply warehouse will be focused outside of Java for the more integrated agricultural ecosystem. This includes shortening the distribution chain from farmers before being distributed to consumers.
To date, the company has some warehouses or distribution centers located in four cities (Bogor, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya) and some other locations.
TaniSupply is targeting more locations around Bali, Sulawesi, and Balikpapan. The latest one will be located in Cikarang for 10 thousand square meters.
“In 2021, we’re to open new locations in all over the cities throughout Indonesia.”
Last-year issues with the agriculture supply chain in Indonesia
Sariyo explained the first initiative in building TaniSupply is to create an end-to-end agriculture ecosystem. There are more issues on the field to be solved with technology.
Each business unit from TaniGroup has different issues with a red needle to improve the agriculture technology that is currently a mess.
All this time, there’s always been a mismatch in the composition of supply and demand in agriculture. It is due to the crops in different grades, not every off-taker (buyers, including middlemen) wants.
The rest of the low-rated crops forced to be sold way cheaper than the cost of goods sold (COGS). This is causing a loss for the farmers. Many more issues come from the old paradigm that imprisons local farmers, making it very difficult for them to grow.
TaniHub is said to cultivate 35 thousand farmers and agri-communities, providing 800 business certificates more or less. The majority of goods are fruits, vegetables, fish, chicken, eggs, and rice. Only, 90% of those are trading farmers or free trade.
“In order to fulfill the demand for TaniHub, 90% comes from trading farmers. Only 10% comes from TaniFund, so they [TaniFund] still have a lot of homework to do,” TaniHub’s VP of Corporate Services, Astri Purnamasari said.
The offline sales on TaniHub still leading with 80% than the offline service. Most of the offline consumers are supermarkets, Horeca, F&B industries, retails, and startups.
“Previously, TaniHub was directly focused on B2C through an application. As time goes on without scale-up, we finally switch to B2B.”
The company also distributes some private label to the offline partners. For example, SommerVille for fruit-only goods; VIS for fish products; Fowler for chicken, duck, and eggs; GoldFarm for organic vegetables; and Lentik for rice.
With TaniSupply, TaniHub Group is tightening its position as the end-to-end agri-tech service. To date, there is no agri-tech player to serve end-to-end service in the agricultural ecosystem.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Startup agritech TaniHub Group memperkenalkan TaniSupply (PT Tani Supply Indonesia) yang bergerak khusus mengatasi isu di rantai pasokan. Perusahaan baru berdiri secara resmi pada 19 September 2019.
Sebagai catatan, TaniHub (platform e-commerce), TaniFund (p2p lending), dan TaniSupply (supply chain) bernaung di bawah agritech TaniHub Group. Ketiganya bergerak di bidang yang berbeda dengan regulator yang berbeda pula, namun dengan satu visi mempercepat dampak positif dalam pertanian.
Direktur TaniSupply Vincentius Sariyo menjelaskan, manuvernya di bawah entitas sendiri akan jauh lebih agresif dalam mengembangkan bisnis rantai pasokan pertanian. Pasalnya, izin usaha dari TaniSupply ini berdiri di bawah payung kementerian yang berbeda dengan TaniFund (OJK) dan TaniHub (Kemenkominfo).
Di gudang, tim TaniSupply melakukan proses pembelian dari petani. Lalu memroses grading buah dan sayur, mengukur tingkat kemanisan, melakukan quality control (QC), dan quality assurance (QC). Terakhir, ada tim logistik untuk mengunci kualitas produk yang sampai ke tangan pelanggan tetap terjaga.
“Kita ada di tengah-tengah, di depan ada TaniFund dan di belakang kita ada TaniHub untuk channel penjualan online-nya. TaniSupply akan mengurus pembelian dari petani, ada fungsi chain, gudang, last mile delivery, quality control, dan lainnya,” terang Sariyo, Rabu (20/11).
Saat ini gudang perusahaan diinstalasi dengan pendingin berstandar khusus untuk menjaga produk agar tidak mengalami penurunan kualitas. Gudang juga bisa dipakai, dalam artian sewa, oleh pihak lain untuk menyimpan produk makanan untuk jangka waktu tertentu.
Investasi mesin penyimpanan seperti blast freezer juga bakal disiapkan untuk melengkapi kebutuhan pasar. Bahkan dia menyebut TaniSupply sedang mengajukan sertifikasi untuk ISO 22000 terkait keamanan pangan dan gudang halal. Terbuka juga kemungkinan untuk ekspor ke negara tetangga.
Alhasil, banyak rencana yang bisa dikembangkan dari TaniSupply ke depannya, tidak hanya untuk ekosistem di dalam grup saja, juga buat keberlangsungan ekosistem pertanian secara keseluruhan.
Persebaran gudang TaniSupply akan difokuskan ke luar Jawa untuk perkuat ekosistem pertanian agar semakin terintegrasi. Termasuk di antaranya untuk persingkat rantai distribusi dari petani sebelum didistribusikan ke konsumen.
Saat ini perusahaan memiliki gudang atau distribution center yang terletak di empat kota (Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya), serta sejumlah titik distribusi di berbagai area.
Lokasi tambahan yang akan disasar TaniSupply di antaranya Bali, Sulawesi, dan Balikpapan. Gudang terbaru TaniSupply akan berada di Cikarang seluas 10 ribu meter persegi.
“Tahun 2021 kami targetkan hadir di seluruh kota di seluruh Indonesia.”
Isu lama soal rantai pasokan di pertanian Indonesia
Sariyo menjelaskan inisiasi mendirikan TaniSupply sebenarnya karena keinginan untuk membentuk ekosistem pertanian yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Masih banyak isu di lapangan yang bisa diselesaikan dengan teknologi.
Masing-masing unit bisnis dari TaniGroup memiliki permasalahan berbeda dan punya benang merahnya, ingin memperbaiki ekosistem pertanian yang hingga kini belum tertata rapi.
Selama ini komposisi antara supply dan demand di pertanian selalu ada mismatch. Lantaran, hasil tani yang terbagi ke dalam beberapa grade, tidak semuanya mau diserap oleh off taker (pembeli, salah satunya tengkulak).
Hasil tani sisaan dengan grade rendah akhirnya terpaksa dijual jauh dari harga pokok penjualan (HPP). Kondisi ini tentunya membuat petani merugi. Masih banyak isu lainnya yang berkaitan dengan paradigma lama yang masih mengekang petani lokal, sehingga sulit untuk berkembang.
TaniHub terhitung telah membina sekitar 35 ribu petani dan kelompok tani, menyediakan sekitar 800 SKU. Mayoritas adalah buah-buahan, sayur, ikan, ayam, telur, dan beras. Hanya saja, 90% dari petani ini adalah petani trading atau jual lepas.
“Untuk memenuhi demand di TaniHub, 90% disuplai oleh petani trading. Baru 10% datang dari TaniFund, jadi PR-nya di TaniFund masih banyak,” tambah VP of Corporate Services TaniHub Astri Purnamasari.
Penjualan offline lewat TaniHub masih mendominasi sekitar 80%, ketimbang jalur online. Mayoritas konsumen di offline ini adalah supermarket, Horeca, industri F&B, peritel, hingga startup.
“Awalnya bisnis TaniHub itu, diarahkan ke B2C via aplikasi. Tapi seiring waktu tidak scale up, akhirnya kita switch ke B2B.”
Perusahaan mendistribusikan beberapa private label saat mendistribusikan ke mitra offline. Misalnya, SommerVille untuk brand khusus buah; VIS untuk produk ikan; Fowler untuk daging ayam, bebek, dan telur; GoldFarm untuk sayur organik; dan Lentik untuk beras.
Dengan kehadiran TaniSupply, TaniHub Group makin memantapkan diri sebagai layanan agritechend-to-end. Sejauh ini, kebanyakan pemain agritech belum ada yang bermain dari hulu ke hilir dalam ekosistem pertanian.
Pak Tani Digital merupakan startup yang mencoba mengambil peran untuk menghubungkan petani dengan seluruh pemain di industri pertanian dari hulu ke hilir, mulai dari supplier hingga ke pelanggan rumah tangga. Startup ini sudah dua tahun berjalan secara bootstrap dan terus berupaya mengembangkan bisnisnya.
“Pak Tani Digital sudah beroperasi sejak November 2017, hingga saat ini kami punya lebih dari 28 ribu pengguna aplikasi. Tidak hanya itu, program Pak Tani Digital Goes To Campus sudah mengunjungi berbagai daerah, baik di kampus-kampus pertanian di Sumatera Utara maupun di luar Sumatera,” jelas CEO Pak Tani Digital Kris Pradana kepada DailySocial.
Startup yang berkantor di Medan ini diprakarsai oleh Mahendara Sitepu, Yosephine Natalia Sembiring, dan Nador Darojad Iwa Brahmana. Ketiganya memiliki visi menyelesaikan permasalahan pertanian di Indonesia, seperti kurang fasihnya para petani menggunakan teknologi untuk mendapatkan informasi dan terhubung dengan pasar.
Usia petani yang rata-rata sudah tidak muda lagi membuat mereka jauh dengan teknologi digital. Sementara pemanfaatan teknologi berpotensi untuk membantu mengembangkan bisnis cocok tanam mereka. Untuk itu Pak Tani Digital aktif mengedukasi para petani dengan cara mendekat ke petani muda dan kelompok tani untuk melakukan sosialisasi.
Tim Pak Tani Digital juga berusaha membangun sebuah ekosistem marketplace pertanian yang mampu menyediakan informasi. Melalui sistem itu diharapkan petani dapat dihubungkan dengan para stakeholder industri. Misinya memangkas banyak biaya, salah satunya terkait distribusi.
“Semua orang pasti membutuhkan makanan, sehingga pertanian sudah pasti sangat menjanjikan. Di samping itu, kita melihat nasib petani kita belum membaik sepenuhnya, sehingga peran kita adalah empowering mereka dan menantang mereka bersemangat menjadi petani dengan prospek yang tidak diragukan lagi,” imbuh Kris.
Saat ini mungkin konsep yang diusung Pak Tani Digital bukanlah hal baru. Untuk itu mereka berusaha mengembangkan fitur-fitur yang bisa bermanfaat bagi seluruh stakeholder di ekosistem pertanian. Seperti, fitur “Pasar Online”, memungkinkan petani menjual komoditi pertanian secara langsung.
Ada juga fitur “Supplier” yang disiapkan untuk memudahkan para supplier menjual alat dan bahan pertanian. Fitur “Cek Harga” untuk memudahkan memantau harga komoditas pertanian di Indonesia. Dan fitur “Transporter” untuk memudahkan siapa saja menyewakan armada angkut yang mereka miliki.
Tahun ini Pak Tani Digital akan melanjutkan program “Pak Tani Digital Goes to Campus” untuk mengajak para mahasiswa menjadi pionir pertanian memanfaatkan pendekatan digital. Selain itu mereka juga aktif mencari mitra untuk bersama-sama membantu petani dalam menjual hasil panen.