Tag Archives: Alex Budiyanto

Ekosistem Platform as a Service di Indonesia masih didominasi pemain hyper-scale. Beberapa pemain lokal sudah mulai menambahkan produk di layanan ini

Perkembangan Ekosistem “Platform as a Service” di Indonesia

Ketika dunia semakin dikuasai oleh perangkat lunak, pengembangan aplikasi dan alat juga semakin besar dan kompleks. Hal ini mempengaruhi beban kerja para pengembang atau developer yang juga semakin banyak ketika mengelola sebuah aplikasi. Platform as a Service atau PaaS merupakan salah satu layanan yang ditawarkan oleh komputasi awan atau cloud computing selain Software as a Service (SaaS) dan Infrastruktur as a Service (IaaS) yang fokus membantu para pengembang dalam pengelolaan aplikasi.

Platform as a Service (PaaS) menyediakan komponen cloud dalam bentuk platform yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk membuat aplikasi di atasnya. Layanan ini memudahkan pelanggan untuk mengembangkan, menjalankan, dan mengelola aplikasi tanpa kompleksitas membangun dan memelihara infrastruktur terkait dengan pengembangan dan peluncuran aplikasi.

Menurut pemaparan Microsoft Azure, ada beberapa skenario penggunaan layanan PaaS, seperti menyediakan kerangka kerja yang dapat dibangun oleh pengembang untuk mengembangkan atau menyesuaikan aplikasi berbasis cloud; menyediakan alat yang memudahkan organisasi dalam melakukan analisis atau mengambil keputusan bisnis. Juga sebagai layanan pendukung untuk pengelolaan aplikasi.

Sumber: Microsoft Azure

Penggunaan layanan ini bisa menekan biaya dan dan menghemat waktu dalam pengelolaan lisensi perangkat lunak, infrastruktur aplikasi dan middleware, orkestra kontainer seperti Kubernetes, atau alat pengembangan dan sumber daya lainnya. Pengembang tidak perlu melakukan manajemen sumber daya penunjang pengembangan aplikasi yang mereka kembangkan, karena semuanya telah disediakan oleh layanan ini.

Di Indonesia, layanan PaaS lazim digunakan untuk pengelolaan microservices atau layanan mikro pada aplikasi. Arsitektur layanan mikro membuat aplikasi lebih mudah diskalakan dan lebih cepat berkembang, memungkinkan inovasi dan mempercepat penetrasi pasar untuk fitur baru.

Ekosistem PaaS di Indonesia

Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengatakan, perkembangan ekosistem cloud computing di Indonesia berangkat dari IaaS, yang pada dasarnya merupakan landasan infrastruktur dari layanan PaaS dan Software as a Service (SaaS).

Ia menyampaikan, di Indonesia sendiri, belum banyak pemain lokal yang fokus merambah keseluruhan lini bisnis PaaS. Namun, beberapa pemain yang sudah lebih dulu mengembangkan solusi cloud computing mulai menawarkan produk dari layanan PaaS ini. Dua di antaranya adalah Datacomm dan Lintasarta.

Didirikan pada 8 Okt 2015, Datacomm Cloud Business (DCB) adalah divisi bisnis PT Datacomm Diangraha yang berfokus pada peluang cloud di Indonesia. Di awal tahun 2021 ini, Datacomm baru saja meluncurkan produk PaaS baru berbasis Kubernetes. Teknologi ini diyakini mampu membuat perusahaan dapat bergerak menjadi lebih lincah dalam menjawab tantangan teknologi, khususnya dalam pembuatan sistem aplikasi.

Perwakilan Datacomm menyampaikan, layanan PaaS memiliki potensi besar, karena untuk bisa bersaing dengan perusahaan lain yang di bidang internet, perusahaan harus semakin cepat. PaaS memberikan kemungkinan untuk  pengembangan yang lebih cepat dan terkelola.

PaaS sendiri bersifat high-scalability atau memiliki skalabilitas tinggi dimana ketika aktivitas dalam aplikasi mulai padat, secara otomatis layanan ini akan menskalakan aplikasi dengan lebih baik dalam melayani pengguna. Hal ini membuat target market dari PaaS sendiri merupakan perusahaan yang membutuhkan layanan 24/7 serta memiliki aktivitas padat dalam aplikasinya.

Senior Manager Cloud Product Development Lintasarta Reski Rukmantiyo mengungkapkan, “Saya melihat adopsi yang cukup besar untuk produk PaaS di ranah yang erat dengan B2C seperti industri fiansial perbankan atau asuransi yang membutuhkan koneksi dan workload tinggi, selain itu juga telco.”

Sebagai salah satu pelopor internet pertama di Indonesia, Lintasarta yang merupakan anak perusahaan PT Indosat Tbk, fokus menyediakan solusi korporat melibatkan Komunikasi Data, Internet dan Layanan TI. Timnya mengklaim sudah menawarkan produk dari layanan PaaS yang berbasis kontainer sejak dua tahun yang lalu.

Dalam menyediakan layanan PaaS, kedua perusahaan di atas bekerja sama dengan RedHat – OpenShift, salah satu penyedia layanan PaaS global yang menawarkan berbagai opsi untuk pengembang yang terdiri dari hostingproject PaaS private atau open source.

Persaingan dengan pemain hyper-scale

Melihat persaingan layanan PaaS di Indonesia, saat ini masih didominasi pemain global atau hyper-scale. Selain karena belum ada pemain lokal yang menawarkan solusi PaaS menyeluruh, para pengembang juga cenderung memilih solusi yang memiliki cakupan besar dan sesuai dengan kebiasaan.

Perusahaan hyper-scale identik dengan high-availability karna memiliki banyak data center yang tersebar di berbagai belahan dunia. Hal ini membuat kemungkinan server untuk downtime kecil, itu menjadi salah satu keunggulan para pemain global.

Consultant Engineer Datacomm Kevin Haryono mengatakan, “Sebagai pemain lokal, yang bisa kita andalkan adalah layanan yang sesuai dengan rekomendasi kominfo, dimana seluruh data krusial itu wajib. Mengenai keamanan, data center lokal juga sudah mengupayakan untuk sertifikasi ISO dan berusaha mencapai standar internasional.”

“Pemain global juga memiliki harga yang kompetitif serta kepercayaan masyarakat bahwa solusi yang datang dari luar lebih baik. Selain itu, dari sisi native, ketika pengembang sudah terbiasa menggunakan salah satu solusi lalu yang ditawarkan pihak luar sesuai dengan kebiasaan di sini,” tambahnya.

Terkait persaingan, Alex menutup diskusi dengan menyampaikan, “Kita perlu mendorong kecintaan masyarakan ke produk dalam negri, di samping itu produk lokal juga harus meningkatkan kualitas layanannya supaya bisa berkelanjutan. Karena jika diminta head-to-head tanpa ada kepercayaan masyarakat semua akan jadi sulit.”

Pemerintah kerap menyebut pajak digital untuk menyetarakan arena kompetisi pemain lokal dan asing. Hal itu dianggap belum selama belum ada insentif

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

PP PTSE Kominfo

PP 71/2019 tentang PTSE Sudah Berlaku, Pelaku Industri Pusat Data Lokal Khawatir

Pemerintah sudah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Kalangan pelaku industri lokal menanggapi dingin regulasi baru tersebut. PP 71/2019 ini merupakan hasil revisi dari PP 82/2012 yang sebelumnya berlaku. Peraturan ini sejatinya sudah resmi sejak 10 Oktober lalu.

Namun sebelum melihat pandangan pelaku industri lokal, berikut adalah beberapa poin penting dalam PP 71/2019 dengan perubahan signifikan dari aturan sebelumnya.

  1. PSTE dibagi menjadi dua yakni; publik dan privat.
  2. PSTE terbebas dari tanggung jawab jika dalam keadaan terpaksa atau berasal dari kesalahan pengguna.
  3. PSTE tunduk terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia termasuk soal konten informasi yang tak sesuai ketentuan negara.
  4. Pengakuan hak right to be erased dan right to delisting dari mesin pencari atau platform informasi elektronik lainnya.
  5. PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri.

Dari sekian poin dalam aturan baru tersebut, pasal 21 ayat 1 menjadi sorotan utama bagi pelaku industri lokal. Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto mengatakan, pihaknya mengaku kaget ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika era Menteri Rudiantara meloloskan pasal tersebut.

Alex menilai pasal 21 ayat 1 itu berlawanan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan kedaulatan data. Namun pada kenyataannya, pasal itu justru mengizinkan sektor privat memiliki pusat data di luar negeri.

“Pada prinsipnya kami kecewa karena apa yang kami harapkan dari implementasi janji Presiden Jokowi pada pidato tanggal 16 Agustus 2019 di depan MPR soal pentingnya perlindungan data, kedaulatan data, tapi ternyata hasilnya malah bertentangan,” ujar Alex.

Alex mengaku tak mempersoalkan perusahaan OTT asing. Namun ketika pemerintah justru melonggarkan peraturan pusat data lewat regulasi ini, ia menilai negara bakal kena imbas negatif terutama dari aspek kedaulatan.

“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” ucap Alex penuh protes.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Industri 4.0 Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Teguh Prasetya. Namun dalam hal ini, Teguh lebih khawatir oleh potensi ekonomi yang hilang dengan berlakunya PP ini.

Investasi pusat data di Indonesia diperkirakan mencapai US$850 juta (sekitar Rp12 triliun) pada 2020 nanti. Teguh bahkan memperkirakan uang yang masuk dari investasi pusat data bisa sampai US$1 miliar (Rp14 triliun). Namun dengan berlakunya PP 71/2019 ini, negara kemungkinan akan kehilangan pendapatan.

“Dengan ada relaksasi ini, artinya penyedia layanan privat tidak harus ada di Indonesia, enggak harus pakai server lokal, dan berarti investasi penyedia data center lokal akan berkurang,” tutur Teguh.

Sejauh ini, pasal 21 ayat 1 menjadi sumber kontroversi dari PP 71/2019 ini. Kendati demikian, perlu diperhatikan juga dalam pasal 21 ayat 3 terdapat klausul yang mewajibkan penyelenggara layanan memberikan akses kepada pemerintah dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.

“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 3.