Tag Archives: Alfatih Timur

KitaBisa Shuts Down Saling Jaga Crowdinsurance Platform Due to Permission Issue

After decided to continue with the registered donors, Saling Jaga crowdinsurance service by Kitabisa is now officially shutdown. Previously, the Investment Alert Task Force (SWI) asked Kitabisa to stop operating the platform as it was yet to obtain license from OJK.

DailySocial tried to confirm on this closure, but the team directed us to the official website which contains information on the closure and the next process for the donors involved.

“The statement said, “Saling Jaga is a mutual cooperation innovation product initiated by KitaBIsa Foundation. The Foundation and its programs, including Saling Jaga, are intended as a donation-based social program under the Money and Goods Collection Law (PUB). Ministry of Social Affairs. However, as an innovation product, we understand and respect the decision of the Financial Services Authority to re-evaluate the form of Saling Jaga licensing. Therefore, after considering various issues, and respecting the OJK’s direction in May 2021, it is with a heavy heart that we decide Saling Jaga to stop the operation. See you in another good will innovation program.”

The website also mentioned the return process for donors to send back the fund to their respective account. This application process will be opened from July 16 to July 31, 2021 and will be distributed on August 16 to 30, 2021. The balance distributed is the remaining balance as of August 16, 2021 (the current balance).

Permission issue

In a previous interview, Kitabisa’s Co-Founder & CEO, Alfatih Timur, revealed to DailySocial that Saling Jaga product has been registered with the OJK regulatory sandbox and currently waiting for further direction from the authorities. This service alone has been introduced to the public since April 2021.

“Kitabisa as a donation crowdfunding platform will still be held under the Money and Goods Raising Permit (PUB) of the Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia,” Alfatih said.

Licensing issues became an obstacle which then triggered the closure of Saling Jaga service. Although it has registered with OJK’s regulatory sandbox, the concept, which resembles crowdinsurance and involves many people in the form of mutual cooperation, has gained regulator’s attention.

As of March 2021, Kitabisa noticed that there were more than 650 thousand members who had joined Saling Jaga and had distributed a total donation of Rp. 2 billion to 500 members who were diagnosed with Covid-19 or critically ill.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kitabisa Saling Jaga

Terkendala Perizinan, Kitabisa Hentikan Platform Crowdinsurance Saling Jaga

Setelah sebelumnya memutuskan untuk tetap menjalankan donatur terdaftar, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh Kitabisa saat ini resmi ditutup. Sebelumnya Satgas Waspada Investasi (SWI) meminta Kitabisa untuk menghentikan operasi platform tersebut karena belum mengantongi izin dari OJK.

DailySocial mencoba untuk mendapatkan konfirmasi terkait penutupan ini, namun pihak mereka mengarahkan ke situs resmi yang berisikan informasi penutupan dan proses selanjutnya untuk para donatur yang terlibat.

Tertulis dalam pernyataan tersebut, “Saling Jaga merupakan bentuk produk inovasi gotong royong yang diinisiasi oleh Yayasan KitaBIsa. Yayasan Kita Bisa dan program-programnya, termasuk Saling Jaga, diniatkan sebagai program sosial berbasis donasi yang bernaung di bawah UU Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial. Namun demikian, Sebagai produk inovasi, kami paham dan menghormati arahan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengevaluasi kembali bentuk perizinan Saling Jaga. Untuk itu setelah mempertimbangkan berbagai hal, serta menghormati arahan OJK pada bulan Mei 2021, dengan berat hati Saling Jaga kami putuskan untuk selesai beroperasi. Sampai jumpa di program inovasi kebaikan selanjutnya.”

Disampaikan juga dalam situs tersebut proses yang bisa dilakukan oleh donatur untuk mengembalikan dana ke saldo rekening masing-masing. Proses pengajuan ini akan dibuka mulai tanggal 16 Juli s/d 31 Juli 2021 dan akan disalurkan pada 16 s/d 30 Agustus 2021. Saldo yang disalurkan adalah saldo yang tersisa per tanggal 16 Agustus 2021 (jika ada).

Terkendala perizinan

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas. Layanan ini sendiri telah diperkenalkan kepada publik sejak bulan April 2021.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Persoalan perizinan menjadi kendala yang kemudian memicu penutupan layanan Saling Jaga ini. Meskipun telah mendaftarkan diri ke regulatory sandbox OJK, namun konsepnya yang menyerupai crowdinsurace dan melibatkan orang banyak dalam bentuk donasi gotong royong, menjadi perhatian dari regulator.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

Kitabisa Saling Jaga

Belum Kantongi Izin OJK, KitaBisa Hentikan Penerimaan Donatur Baru di Saling Jaga

Setelah sebelumnya diperkenalkan kepada publik awal bulan April 2020 lalu, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh KitaBisa diminta oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) untuk dihentikan operasinya karena belum mengantongi izin dari OJK.

Seperti yang dilansir dari Detik, program ini diduga merupakan kegiatan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 2014, sehingga harus mendapatkan izin usaha perasuransian dari OJK.

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun KitaBisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

Menghentikan penerimaan donatur baru

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

Untuk saat ini sesuai dengan permintaan dari regulator, perwakilan KitaBisa menyebutkan bahwa mereka memutuskan untuk menghentikan penerimaan donatur baru dan menghormati himbauan OJK.

Tapi lainnya untuk donatur terdaftar tetap berjalan, karena menurut mereka pengaplikasian program Saling Jaga sudah mendapatkan izin dari Kemensos. Saat ini pihak KitaBisa masih melakukan koordinasi dengan pihak terkait dan akan memberikan informasi lebih lengkap terkait layanan Saling Jaga selanjutnya minggu depan.

Application Information Will Show Up Here
Kitabisa Saling Jaga

Kitabisa Luncurkan “Saling Jaga”, Layanan Perlindungan Kesehatan Berbasis Sedekah

Bertujuan untuk menghadirkan layanan yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna saat dihadapkan kepada kondisi yang mendesak, Kitabisa luncurkan “Saling Jaga”. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, sejak tujuh tahun berdiri sudah ada jutaan pengguna Kitabisa menolong ribuan penggalangan dana, khususnya untuk kategori kesehatan.

“Namun kalau sebelumnya tolong-menolong menunggu ada yang butuh bantuan baru kita berdonasi/menolong, sekarang sebelum ada yang butuh kita sudah berdonasi untuk saling menjaga satu sama lain agar saat butuh bantuan bisa langsung tertolong. Itulah kenapa kami membuat Saling Jaga,” ujar Alfatih.

Konsep ini juga bukan hal baru untuk masyarakat Indonesia. Berbagai praktik serupa sudah berjalan lama sebagai budaya masyarakat, seperti budaya Marsialapari di Sumatera Utara, Sambatan di Gunungkidul Yogyakarta, dan Liliuran di Jawa Barat.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Kitabisa Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

“Setiap anggota donasi minimal Rp10.000 untuk menjadi saldo Saling Jaga, lalu saldo tersebut dikumpulkan dengan saldo anggota lainnya sehingga menjadi uang kas bersama. Saat ada anggota yang butuh, bisa mengajukan bantuan, dan saldo seluruh Anggota akan terpotong merata,” kata Alfatih.

Dicontohkan olehnya, jika ada yang mendapatkan bantuan Rp50.000 dan anggota berjumlah 500.000 orang, maka masing-masing anggota saldonya akan terpotong Rp100. Dalam hal ini jika awalnya Rp10.000 menjadi Rp9.900. Proses ini ditampilkan secara digital dan transparan di Saling Jaga.

Berada di bawah naungan Kementerian Sosial

Konsep yang serupa dengan crowd insurance ini, bisa juga dikategorikan layanan fintech untuk umum. Menanggapi hal tersebut Alfatih menegaskan produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK, dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

“Target kami melalui Saling Jaga adalah, menyediakan solusi perlindungan dengan konsep gotong royong atau patungan berbasis digital, yang secara konvensional sudah marak dilaksanakan oleh masyarakat luas di Indonesia. Dengan demikian upaya edukasi pada masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya memiliki perlindungan bagi diri dan keluarga dari Risiko  kesehatan yang tak diduga,” tutup Alfatih.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Talks: Behind The Notion of “Fintech is Boring”

Talking of fintech (financial technology) industry in Indonesia, one thing that comes to mind will be its booming popularity. If you visit our website as of March 8th, 2021, the industry’s latest news is dominating the front page, including but not limited to (another) fresh funding, business update announcement from the government-owned e-money, the milestone of a P2P lending player, and editorial signature opinion on the fintech business for payment transactions.

The existence of the fintech industry in Indonesia is said to be crucial in supporting the digital startup ecosystem acceleration. The role is considered to support startup players, from facilitating payment services, converting cash to non-cash transactions, and unlocking financial access for unbanked societies in Indonesia. The significant role has created a chunk of potential for the fintech industry.

Behind every theory, there must be an anti-theory. It also applies in the fintech industry. Behind its notion of disruptive power and meteoric growth, there is an assumption that “fintech is boring”.

DailySocial.id, through DSResearch, released the annual report about the fintech industry in Indonesia at the end of last year. Stated in the report, facts of extraordinary positive achievements by fintech companies amid economic uncertainty during the pandemic. However, how come people still thought fintech is boring? What kind of factors are in play behind this assumption?

In a casual discussion at the currently-popular app, Clubhouse, we invited well-known startup founders and investors, including Ryu Suliawan (Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder), Antonny Liem (GDP Venture‘s Investment Partner ), Alfatih Timur (Kitabisa’s Co-Founder & CEO), Pamitra Wineka (TaniHub’s Co-Founder & President), and Aria Rajasa Masna (KaryaKarsa’s CTO) to explain the answer to these questions.

fintech-is-boring-clubhouse

“If we look at the system, regulations, and so on, it is only natural that fintech is considered boring because that is fintech. There are processes that tend to be tedious behind their roles which make it easier for startups and the market,” Liem said as he began the discussion.

From the fintech player’s perspective with experience in the payment gateways, instead of boring, Suiawan predicted that the current fintech industry will encounter a bubble moment as the finance industry is considered as a sexy business.

“In any era, when the finance industry is considered sexy, the bubble phenomenon [in the financial industry] will definitely occur and eventually explode. It has happened in the 80s, 90s, 2000s, and maybe it will also happen in this era, it [a bubble in the fintech industry] could happen soon,” he said.

The assumption does not necessarily mean that fintech is a fragile industry. The tedious process actually forms a reliable fintech industry to accelerate the digital startup ecosystem in Indonesia.

Aria said that the availability of fintech services is very much needed, even though the current business does not directly intersect with the fintech business.

“In my opinion, fintech is like infrastructure for an ecosystem. Its existence should first be built to move the industry. This is proven through KaryaKarsa. The fintech existence really helps us accelerate. For example, with the e-wallet service. Five years ago we still struggle with the manual transfer method,” Masna explained.

The above response is one of the reasons why fintech is flourishing in Indonesia. According to data compiled by the Fintech Report 2020, fintech services that serve the field of lending, both for productive and consumptive, currently have 152 players with a total loan distribution reaching 128.7 trillion Rupiah. No wonder the fintech industry is quite booming with the arrival of new players. However, what actually makes Indonesia an attractive market?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“We can start from the fact that Indonesia is one of the countries with the largest net interest margin (NIM) in the world. It is said that Indonesia’s NIM is phenomenal. I myself am not sure there isanother country with the same size that can achieve the very large NIM,” Suliawan said.

Agreed with Ryu, Pamitra Wineka, familiarly called Eka, has his own view on why fintech still holds enormous potential, even though its existence is getting saturated. As the founder of one of the leading agritech platforms, he thought the real potential area of the fintech market is far away from the downtown. As long as the infrastructure is well developed.

“We have large market potential for the fintech business, but infrastructure is the key. Currently, big players in e-wallets, such as GoPay, Ovo, LinkAja, seem to be busy competing in a small market, the big cities. Even though we know that the large market potential is in rural areas. We’ve found the fact that the area holds very large potential, but many transactions are still using cash. Therefore, it becomes potential if we can convert them to e-wallet services or similar,” he said.

Timur agreed. An important figure behind Kitabisa social platform, who is familiarly called Timmy revealed that the existence of fintech could provide a solution for the platform he founded.

“For me, fintech is important. Looking at the habit of donating which is quite driven by emotional factors than a necessity, we see that the payment issue is quite crucial. If the process is inefficient, untrusted, it can hold the benefactors. Initially, we only had a bank transfer facility with a unique code which was quite a hassle. As we implemented the e-money service, it was very helpful and the benefactors like it,” Timmy said.

Indonesia is one of the country with the largest net interest margin (NIM)  in the world. It is considered phenomenal. i myself am not sure there is other country with the same size can achieve the very large nim.

Ryu Suliawan
Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder

By implementing fintech services, he admitted to found two interesting things. First, fintech opens up the possibility for micro-donations that drives transactions number to increase significantly. The second interesting thing, he said, is that the implementation of fintech is able to deliver a new segment of the Kitabisa platform. Electronic money services are able to invite young people to become philanthropic as the more efficient donation process.

Observing the development of fintech innovation in such a way, is it still relevant if we think fintech is boring?

“I think fintech will become boring if we only focus on building infrastructure in big cities, without focusing on developing services in villages, rural areas, and so on,” Eka explained.

Eka’s opinion serves as a warning to the fintech industry about a potential market that should be a new innovation focus.

Moreover, how should the fintech industry move forward? Both Ryu, Antonny, Aria, Timmy, and Eka agree that the future of the fintech industry depends on the support of various parties.

“In my opinion, in order to not be boring, fintech also needs support. For instance, the e-commerce industry also needed prior support from fintech, therefore, the ecosystem is getting mature. Meanwhile, in fintech, the necessary support comes from infrastructure, government regulations, and so on,” Eka concluded.

After a long discussion, I came to the conclusion that maybe fintech should be stable and be mistaken for “boring”. Fintech is infrastructure, the foundation on which many creative services of various types can focus on delivering value to their users, without busy taking care of things such as payments, consolidation, provision of capital. Also, as an infrastructure, fintech must be stable. It may seem boring at first, but to me, fintech future potential is actually wide open, very broad, and very inspiring.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup fintech Indonesia membosankan?

Bincang Fintech: Alasan Di Balik Anggapan Industri Ini “Membosankan”

Bicara soal industri financial technology (fintech) di Indonesia, rasanya salah satu hal yang bakal muncul di benak pertama kali adalah industri ini tengah booming. Jika Anda mengunjungi situs kami per tanggal 8 Maret 2021 kemarin, kabar teranyar yang datang dari para pemain fintech mendominasi halaman depan, seperti kabar tentang (lagi-lagi) pendanaan terbaru, pengumuman pembaruan layanan dari platform uang elektronik “plat merah”, berita milestone dari salah satu pemain P2P lending, hingga sajian opini khas editorial mengenai potensi bisnis fintech di ranah pembayaran tagihan.

Kehadiran industri fintech di tanah air bisa dikatakan krusial dalam mendukung akselerasi pertumbuhan ekosistem startup digital. Perannya diyakini bisa menggenjot bisnis para pelaku startup, mulai dari memfasilitasi layanan pembayaran, mengonversi transaksi tunai ke non-tunai, hingga membuka akses keuangan bagi unbanked society yang masih umum dijumpai di Indonesia. Perannya yang sedemikian rupa membuat industri fintech sarat potensi.

Di balik sebuah teori pastilah ada anti-teori. Begitu juga di industri fintech. Di balik kedigdayaannya mendisrupsi industri finansial konvensional, terselip anggapan bahwa “fintech itu membosankan”.

DailySocial.id, melalui DSResearch, akhir tahun lalu merilis laporan tahunan industri fintech di Indonesia. Di dalam laporan itu ada fakta pencapaian yang luar biasa positif di tengah ketidakpastian ekonomi di tengah pandemi. Lalu bagaimana fintech itu bisa dianggap membosankan? Faktor apa saja yang bisa membuat hal itu terjadi?

Di sesi bincang santai di Clubhouse tanggal 5 Maret 2021 lalu, kami mengajak para founder startup dan investor ternama seperti Ryu Kawano Suliawan (Head of Merchants Gojek & Midtrans Founder), Antonny Liem (Investment Partner GDP Venture), Alfatih Timur (Co-Founder & CEO Kitabisa), Pamitra Wineka (Co-Founder & President TaniHub), dan Aria Rajasa Masna (CTO KaryaKarsa) untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

fintech-is-boring-clubhouse

“Kalau kita lihat dari sistem, regulasi, dan sebagainya, wajar saja jika fintech dianggap membosankan, karena memang fintech seperti itu. Ada proses-proses yang cenderung membosankan dibalik perannya yang memudahkan bagi para pelaku startup dan pasar,” ujar Antonny membuka diskusi.

Dari sudut pandang pelaku fintech yang berpengalaman di bidang payment gateway, alih-alih membosankan, Ryu justru mewanti-wanti jika industri fintech saat ini bakal menemui momen bubble tatkala industri finance dipandang sebagai lahan bisnis yang seksi.

“Kapan pun eranya, ketika industri finance dianggap seksi, fenomena bubble [di industri finansial] mungkin saja bisa terjadi seperti di era 80-an, 90-an, sampai 2000,” ungkapnya.

Anggapan di atas tidak serta merta mengartikan fintech merupakan industri yang rapuh. Proses yang membosankan justru membentuk industri fintech yang diandalkan untuk secara bersama mengakselerasi ekosistem startup digital di Indonesia.

Aria mengatakan, ketersediaan layanan fintech sangat dibutuhkan, meski bisnis yang dijalani tidak bersinggungan langsung dengan bisnis fintech.

“Menurut saya fintech bisa dikatakan seperti infrastruktur buat ekosistem. Eksistensinya harus dibangun dulu buat menggerakkan industri. Ini terbukti di KaryaKarsa. Keberadaan fintech sangat membantu mengakselerasi kami. Sebagai contoh dengan adanya layanan e-wallet sekarang. Lima tahun lalu kita masih struggle dengan metode transfer manual,” jelas Aria.

Tanggapan di atas menjadi salah satu alasan mengapa fintech bertumbuh subur di Indonesia. Menurut data yang dikompilasi Fintech Report 2020, layanan fintech yang melayani bidang peminjaman, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif, hingga saat ini memiliki 152 pemain dengan total distribusi pinjaman yang mencapai 128,7 triliun rupiah. Tak heran jika industri fintech kini tengah booming dengan terus kedatangan pemain baru. Namun, sesungguhnya apa yang membuat Indonesia dipandang sebagai pasar yang atraktif?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“Mungkin kita bisa mulai dari fakta yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki net interest margin (NIM) terbesar di dunia. Bisa dikatakan NIM di Indonesia sangat fenomenal. Saya sendiri tidak yakin ada negara dengan ukuran yang sama seperti Indonesia bisa memiliki NIM yang besar,” papar Ryu.

Senada dengan Ryu, Pamitra Wineka, yang akrab disapa dengan panggilan Eka, punya pandangan tersendiri mengapa fintech masih punya potensi raksasa, meski kini keberadaannya dirasa jenuh. Sebagai founder salah satu platform agritech terkemuka, dirinya menilai potensi pasar fintech yang sesungguhnya berada di area yang jauh dari pusat kota. Asal infrastrukturnya terbangun dengan baik.

“Kita punya potensi pasar yang besar buat bisnis fintech, tapi tetap infrastruktur adalah kuncinya. Karena kalau kita lihat saat ini, pemain besar di e-wallet, seperti GoPay, Ovo, LinkAja, seakan hanya sibuk berkompetisi di market yang sebetulnya kecil, yakni hanya di kota-kota besar. Padahal yang kita tahu potensi pasar yang besar itu ada di rural area. Fakta yang kita temukan, potensi di area itu sangat besar, tapi sebagian besar dari mereka masih bertransaksi lewat cash. Nah itu jadi potensial jika kita bisa convert mereka ke layanan e-wallet dan sejenisnya,” katanya.

Anggapan tadi diamini Alfatih, yang akrab disapa Timmy tersebut. Sosok penting di balik kehadiran platform sosial Kitabisa mengungkapkan, keberadaan fintech bisa memberikan solusi untuk platform yang didirikannya.

“Buat saya fintech itu penting ya. Melihat habit donating yang lebih didorong faktor emosional ketimbang kebutuhan, kita melihat payment issue ternyata cukup krusial. Kalau prosesnya kurang bagus, untrusted, membuat donatur jadi enggan. Awalnya kita cuma punya fasilitas transfer antar bank dengan kode unik yang cukup menyulitkan. Ketika kita implement layanan e-money, itu sangat membantu dan donatur suka,” ujar Timmy.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki net interest margin (NIM) terbesar di dunia. Bisa dikatakan NIM di Indonesia sangat fenomenal. Saya sendiri tidak yakin ada negara dengan ukuran yang sama seperti Indonesia bisa memiliki NIM yang besar

Ryu Suliawan
Head of Merchants Gojek & Midtrans Founder

Dengan mengimplementasi layanan fintech, ia mengaku menemukan dua hal menarik. Pertama, fintech membuka kemungkinan untuk micro-donation yang mendorong jumlah transaksi meningkat secara signifikan. Hal menarik kedua, menurutnya,  adalah implementasi fintech mampu melahirkan segmen baru terhadap platform Kitabisa. Layanan uang elektronik mampu mengajak generasi muda untuk menjadi filantropi karena kemudahan proses melakukan donasi.

Melihat inovasi fintech yang berkembang sedemikian rupa, lalu apakah masih relevan jika kita menganggap fintech itu membosankan?

“Menurut saya fintech akan jadi boring jika kita cuma fokus membangun infrastruktur di kota-kota besar saja, tanpa fokus mengembangkan layanan di desa-desa, rural area, dan sebagainya,” terang Eka.

Pendapat Eka menjadi peringatan bagi industri fintech tentang pasar potensial baru yang harus menjadi fokus inovasi.

Lalu bagaimana sebaiknya industri fintech melangkah ke depannya? Baik Ryu, Antonny, Aria, Timmy, maupun Eka sepakat bahwa nasib industri fintech di masa depan tergantung pada dukungan berbagai pihak.

“Menurut saya agar tidak membosankan, fintech juga butuh support. Seperti industri e-commerce misalnya, mereka juga di awal butuh support dari fintech agar ekosistemnya semakin matang. Begitu pun di fintech, support yang dibutuhkan bisa datang dari dukungan infrastruktur, regulasi pemerintah, dan lain sebagainya,” tutup Eka.

Setelah berdiskusi panjang lebar, saya mengambil kesimpulan bahwa mungkin fintech memang harus stabil dan disalahartikan sebagai “membosankan”. Fintech merupakan infrastruktur, pondasi dimana banyak layanan-layanan kreatif berbagai jenis bisa fokus mengantar value ke penggunanya, tanpa harus pusing mengurus hal-hal seperti pembayaran, konsolidasi, penyediaan modal / capital. Dan layaknya infrastruktur, fintech-pun harus stabil. Mungkin sekilas terlihat membosankan, tapi untuk saya, potensi fintech kedepannya sangat terbuka, sangat luas, dan sangat menggugah semangat.

Hampir seluruh platform menggelar proyek penggalangan dana untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19

Kekuatan Orang Baik, Kunci Tenarnya Platform “Social Crowdfunding”

Jaga jarak fisik akibat pandemi yang masih berlangsung, di satu sisi menjadi suatu ‘berkah’ buat pemain platform social crowdfunding. Selain lonjakan traffic yang tinggi, brand awareness mereka juga semakin dikenal di khalayak luas.

Pandemi yang merugikan banyak lapisan masyarakat, tak lantas mengurangi rasa solidaritas sosial. Justru kohesi sosial terbangun dengan kuat. Ini tercermin dari berbagai proyek penggalangan dana yang makin kencang diinisiasi oleh berbagai pihak.

Tak terhitung berapa banyak proyek penggalangan dana yang terjadi khusus untuk membantu sesama. Keberadaan platform online, dalam waktu singkat membantu lebih cepatnya dana terkumpul dalam jumlah yang fantastis.

Donasi yang digalang masyarakat adalah bentuk dari kekuatan orang-orang baik (good people’s power). Mereka terfasilitasi dengan kemudahan teknologi, dari internet, media sosial, dan smartphone.

Social crowdfunding

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang Sugeng Winarno menerangkan, sikap kesetiakawanan masyarakat merupakan perwujudan jiwa altruisme. Ia adalah sikap meninggalkan kepentingan diri sendiri demi memenuhi kepentingan orang lain.

Solidaritas sosial terbangun dengan baik melalui maraknya orang yang memberikan donasi lewat beragam cara. Dia melihat wabah corona ini bermakna sebagai musibah kolektif yang mampu membangun rasa kebersamaan.

Spirit good people’s power juga tumbuh melalui donasi yang digalang oleh sejumlah media massa. Beberapa media mengadakan penggalangan dana (filantropi) lewat beragam tajuk seperti Pundi Amal, Jalinan Kasih, Dompet Amal, dan judul lainnya. Kegiatan yang difasilitasi media sangat strategis mengingat media massa punya khalayak yang banyak,” ujarnya.

Fenomena donasi digital yang sedang marak ini sebenarnya adalah penjelasan dari konsep virtual Conspicuous Donation Behaviour (CDB). Ini adalah fenomena yang digalakkan melalui media sosial, terutama di kalangan muda. Konsep ini terserap beriringan dengan tren dan gaya hidup mereka di dunia teknologi informasi.

Salah satu pemain social crowdfunding lokal, Kitabisa, tercatat memiliki berbagai program donasi untuk menanggulangi bersama-sama pandemi. Mereka sedang menggalang dana yang diinisiasi sendiri.

Proyek tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari Rp21 miliar dan proyek tersebut belum ditutup hingga tulisan ini dimuat. Proyek lainnya yang diinisiasi oleh penggalang dari institusi atau perseorangan juga terus berlangsung melalui Kitabisa.

Menurut SimilarWeb, situs Kitabisa mengalami lonjakan traffic yang signifikan pada Maret 2020 sebanyak 3,5 juta kali kunjungan. Dibandingkan satu bulan sebelumnya sebanyak 2,1 juta kali. Menariknya kunjungan tersebut datang langsung (direct) sebanyak 47,28%, mesin pencari (search) 25,24%, dan media sosial 23,64%.

Melalui pencarian langsung, mayoritas datang secara organik 97,29%, anorganik (berbayar) 2,71%. Kalau melihat dari media sosial, Facebook jadi kontributor utama 45,38%, YouTube 22,23%, Twitter 19,3%, dan Instagram 11,91%.

Boleh saja, jika startup ini bisa mengklaim diri sebagai pemain social crowdfunding terbesar di Indonesia. Secara jaringan, Kitabisa memperluas kehadirannya berbagai platform di Gojek (untuk GoGive), Dana, LinkAja, Tokopedia, dan Shopee. Pun dari nominal donasi semakin terjangkau dimulai dari Rp10 ribu saja.

Gojek meresmikan layanan donasi online Go-Give, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa yang sudah dimulai sejak November 2018
Head of Third Party Platform Gojek Sonny Radhityo, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, dan CEO Kitabisa Alfatih Timur dalam peluncuran Go-Give / DailySocial

Di kesempatan sebelumnya, Co-Founder dan CEO Kitabisa Alfatih Timur menyebut partisipasi masyarakat dalam bergotong-royong melakukan donasi digital kian hari semakin menunjukkan tren yang terus meningkat. Terbukti hingga 2019, sudah lebih dari 2,5 juta orang yang menggunakan platform Kitabisa untuk berdonasi secara digital.

Platform sejenis lainnya

Di luar Kitabisa, banyak pemain sejenis yang ikut mewarnai di segmen ini. Mereka sama-sama ingin menularkan kemudahan berdonasi secara online melalui berbagai platform dengan menggaet berbagai pihak sebagai penggalang dana.

Sudah didukung pula dengan berbagai metode pembayaran, dengan menggaet para pemain e-money tersohor dan minimal donasi yang terjangkau. Berikut nama-namanya:

1. BenihBaik: diusung pada akhir tahun lalu oleh jurnalis senior Andy F Noya sebagai salah satu co-founder. Startup ini fokus pada pemberian bantuan untuk kegiatan sosial dan usaha yang berkaitan dengan kewirausahaan.

BenihBaik menyediakan opsi pembayaran dengan aplikasi e-money populer dan hadir di platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee.

BenihBaik
Para pendiri BenihBaik Andy F. Noya, Anggit Hernowo, dan Firdaus Juli

2. WeCare.id: memfokuskan diri khusus penggalanan dana bantuan kesehatan. Startup ini didirikan sejak lima tahun lalu oleh dr. Mesty Ariotedjo sebagai salah satu co-founder-nya.

Selain donasi online, startup ini membuat layanan Sehati yakni donasi rutin setiap bulannya sebagai pasien yang membutuhkan. Tak hanya donasi, donatur dapat merasakan manfaat untuk menjaga kesehatannya seperti kunjungan dokter gratis.

3. Ayopeduli.id, derma.id, YukBantu.com, IndoGiving, PeduliSehat dan masih banyak lagi platform social crowdfunding yang beroperasi di Indonesia.

4. Baznas, Dompet Dhuafa, Aksi Cepat Tanggap (ACT), Lazismu, Rumah Zakat, NU Care, PKPU Human Initiatives, dan Unicef Indonesia merupakan beberapa yayasan/lembaga yang sengaja dibentuk untuk menyalurkan bantuan berupa zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dan dana sosial lainnya melalui program pemberdayaan masyarakat.

Rata-rata mereka semua sudah hadir dalam platform digital dan bekerja sama dengan pemain digital dari e-money dan e-commerce agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat.

5. KoinDonasi: ini adalah situs yang sengaja yang dibuat oleh KoinWorks untuk menggalang dana proyek “Indonesia Pasti Bisa“. Itu adalah proyek East Ventures bersama portofolio startupnya untuk produksi alat tes Corona. Selain KoinWorks, penggalangan juga dilakukan oleh Komunal, StockBit, dan situs Indonesia Pasti Bisa.

Belum ada pertimbangan untuk menjadikan KoinDonasi sebagai produk baru perusahaan. Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyebutkan, “Kalaupun [jadi produk baru], saya rasa hanya case by case kalau ada bencana.”

Landasan hukum

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Berbeda dengan equity crowdfunding, regulasi platform social crowdfunding diatur Kementerian Sosial. Kitabisa mengaku sudah memiliki izin PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) untuk kategori umum dan bencana alam.

WeCare dan BenihBaik pun senada. WeCare bergerak sebagai yayasan, dengan nama resmi Yayasan Pelita Cakrawala Inspirasi. Begitupun BenihBaik, di bawah Yayasan Benih Baik Indonesia.

Yayasan dengan kegiatan pengumpulan uang berada di bawah aturan UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang juncto PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan junctis Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia.

kitabisa

Gojek Announces Online Donation Service Go-Give

Gojek announces an online donation service Go-Give, a collaboration with fundraising platform Kitabisa as exclusive partner. Go-Give allows users to donate, for alms, and calculate directly from Gojek app using Go-Pay.

Sonny Radhityo, Gojek’s Head of Third Party Platform said, Go-Give is a service for easier and simpler donation. The latest feature is part of Gojek’s ambition to become super app, allowing users to do anything through the app.

“We’ve been encouraged from the start to be scientist, through experiment to see user’s interest on the potential feature or service. Then, we decided to make its own tile as Gojek’s official service,” he added (5/8).

Before the launching, Go-Give held its first trial in November 2018 through donation for natural disaster victims with Kitabisa. It was only shuffle card, that needs to be scrolled of the app’s interface.

Within six months, this service is said to facilitate 343 goodwill campaign and collected Rp2.3 billion from 75 thousand contributors.

The tile version of Go-Give will be gradually distributed to all users. It’ll be among 22 Gojek’s official services, such as Go-Food, Go-Car, and Go-Send.

Kitabisa is an exclusive partner to sort all campaigns, to ensure all funds to be well distributed. While making the donation, users are required to provide full name and email or WhatsApp contact. Go-Give set Rp1,000 minimum donation to unlimited.

“The email and WhatsApp contact will be used to notify users of the fundraising progress,” Alfatih Timur, Kitabisa’s CEO said.

Based on Kitabisa report, the online donation trend has increased by two times in 2017-2018. Last Ramadhan, the online donation collected through Gojek’s app has increased by 12 times.

“Our first commitment is to give social impact, regardless its performance, we feel the need to facilitate Gojek’s users to donate. Therefore, Go-Give will sustain,” Radhityo said.

Third party services

The relaunched Gojek's third party services
The relaunched Gojek’s third party services

Radhityo opens to bring this along with other third party as Gojek’s official service in tile version. However, they haven’t decided on the next service.

“We’ll keep making innovation, whether our offering wanted by users, we’ll make it official like Go-Give.”

Gojek is getting enriched as an open platform by partnering with various parties to build up its ecosystem, in a form of shuffle card. Currently, there are Go-Mall (JD.id and Blibli), Go-News (Kumparan), Go-Travel (Tiket and Reddorz), Go-Komik (Comics), and Umma app following Ramadhan moment.

He didn’t explained the total visit from the latest content. It is said all the third party services have gotten positive response from public.

“It receives positive response of our internals, they feel so helped with our service that they can do anything through Gojek’s app,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Gojek meresmikan layanan donasi online Go-Give, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa yang sudah dimulai sejak November 2018

Gojek Resmikan Layanan Donasi Online Go-Give

Gojek meresmikan layanan donasi online Go-Give, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa sebagai mitra eksklusif. Go-Give memungkinkan pengguna untuk berdonasi, zakat, infaq, dan sedekah (ZIS), dan kalkulator zakat langsung dalam aplikasi Gojek dengan metode pembayaran Go-Pay.

Head of Third Party Platform Gojek Sonny Radhityo menerangkan, Go-Give adalah layanan yang menjawab kebutuhan masyarakat akan kemudahan dan kenyamanan dalam berdonasi. Layanan teranyar ini adalah bagian dari ambisi perusahaan menjadi super app, membuat pengguna bisa melakukan apapun lewat aplikasi Gojek.

“Sedari awal kita didorong untuk be scientist, biasanya eksperimen dulu mau lihat animo pengguna dalam menanggapi fitur atau layanan yang berpotensial. Akhirnya oke kita putuskan untuk buat jadi tile sendiri sebagai layanan official dari Gojek,” terang Sonny, kemarin (8/5).

Sebelum diresmikan jadi layanan resmi, Go-Give pertama kali diuji coba pada November 2018 lewat penggalangan dana untuk korban bencana alam bersama Kitabisa. Saat itu bentuknya masih shuffle card, yang harus di-scroll terlebih dahulu dalam tampilan muka aplikasi Gojek.

Dalam waktu enam bulan disebutkan layanan ini telah memfasilitasi 343 kampanye kebaikan dan mengumpulkan dana sejumlah Rp2,3 miliar dari 75 ribu donatur.

Versi tile dari Go-Give secara bertahap akan digulirkan ke seluruh pengguna. Nantinya fitur ini akan bersanding di antara 22 layanan resmi Gojek lainnya, seperti Go-Food, Go-Car, dan Go-Send.

Kitabisa menjadi mitra eksklusif yang akan menyortir seluruh kampanye yang dibuat, sehingga dipastikan seluruh dana masyarakat dapat tersalur dengan baik. Saat berdonasi pengguna akan dimintai nama lengkap dan email atau nomor WhatsApp. Minimal donasi di Go-Give mulai dari Rp1.000 sampai tidak terbatas.

“Email atau nomor WhatsApp itu dimaksudkan untuk memberi pengguna terkait progress dari penggalangan dana yang mereka pilih,” tambah CEO Kitabisa Alfatih Timur yang turut hadir.

Menurut laporan Kitabisa, tren donasi online meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2017-2018. Ramadan tahun lalu, jumlah donasi online yang terhimpun dengan memanfaatkan aplikasi Gojek tumbuh 12 kali lipat.

“Komitmen kita dari awal adalah memberikan social impact, regardless bagaimana performanya kita merasa ada kewajiban untuk permudah pengguna Gojek untuk berbagi. Sehingga Go-Give bakal terus ada ke depannya,” kata Sonny.

Layanan pihak ketiga lainnya

Layanan 3rd party Gojek yang telah dirilis / Gojek
Layanan third party Gojek yang telah dirilis / Gojek

Sonny membuka kemungkinan untuk membawa layanan bersama pihak ketiga lainnya untuk dibawa sebagai layanan resmi Gojek versi tile. Namun pihaknya belum menentukan layanan mana berikutnya yang akan dipilih.

“Kita bakal selalu berinovasi, kalau memang sesuatu yang kita tawarkan ini diinginkan oleh pengguna pasti bakal kita jadikan layanan resmi seperti Go-Give.”

Gojek semakin memperkaya diri sebagai open platform dengan menggandeng berbagai pihak untuk meramaikan ekosistemnya, dalam bentuk shuffle card. Terhitung saat ini ada Go-Mall (bersama JD.id dan Blibli), Go-News (bersama Kumparan), Go-Travel (bersama Tiket dan Reddoorz), Go-Komik (bersama para komika), dan aplikasi Umma dalam rangka menyambut bulan Ramadan.

Sonny tidak merinci seberapa banyak durasi kunjungan yang dihasilkan dari kehadiran berbagai konten baru tersebut. Diklaim seluruh layanan dengan pihak ketiga ini telah memberikan sentimen yang positif dari masyarakat.

“Sentimennya positif dari data internal kami, mereka terbantu dengan layanan kami sehingga dengan mudah bisa melakukan apapun dalam aplikasi Gojek,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Kitabisa Berhasil Galang Dana Masyarakat 7,2 Miliar Rupiah Sepanjang 2015

Sebagai salah satu portal penggalangan dana online (crowdfunding) di Indonesia, Kitabisa turut mendapatkan pencapaian tinggi di tengah bertumbuhnya netizen di Indonesia. Tercatat pada tahun 2015 terdapat 628 kampanye penggalangan dana yang berhasil dilaksanakan, melibatkan lebih dari 18 ribu donatur. Pencapaian tersebut berdampak langsung pada meningkatnya dana yang berhasil dikumpulkan. Dari semua Rp 1,4 miliar di tahun 2014 meningkat Rp 7,2 miliar di tahun 2015.

Kampanye penggalangan dana tahun ini didominasi oleh kegiatan tanggap bencana alam, darurat medis, masalah kesehatan, pendidikan dan lingkungan. Beberapa tokoh publik figur yang turut terlibat di dalamnya juga meningkatkan antusiasme masyarakat untuk terlibat sebagai donatur. Salah satu kegiatan yang cukup mendapatkan perhatian netizen adalah kapanye “Shave for Hope”, kampanye mencukur rambut untuk menggalang dana bagi anak-anak penderita kanker.

Kategori Terpopuler Kitabisa 2015

Ridwan Kamil dan pendukung PERSIB (Bobotoh) juga menjadi salah satu yang turut meramaikan penggalangan dana di Kitabisa untuk membantu korban asap di beberapa wilayah terdampak di Indonesia beberapa waktu lalu. Kekuatan komunitas menjadi salah satu kunci kesuksesan model kontribusi seperti ini. Kendati tidak terlibat dengan turun langsung ke lapangan, namun mereka tetap terlibat langsung dengan memberikan bantuan untuk merealisasikan berbagai kegiatan bantuan di lapangan.

Dituturkan Alfatih Timur, CEO Kitabisa, langkah penggalangan dana online menjadi cara baru bagi masyarakat untuk dengan mudah terlibat dalam gerakan sosial. Fatih mengatakan:

“Karena sifatnya yang online, ini menjadi cara baru netizen bisa berpartisipasi melakukan perubahan dengan menggalang dana untuk isu di sekitar mereka. Kami berharap platform Kitabisa dapat membantu membangun kembali rasa peduli dan gotong-royong masyarakat sebagai gaya hidup untuk menolong sesama dan membangun bangsa.”

Sebagai salah satu inisiator di penggalangan dana melalui platform Kitabisa, Pandji Pragiwaksono turut menyambut baik layanan ini. Ia mengatakan bahwa kini masyarakat sudah disediakan platform yang sangat mempermudah mereka untuk peduli, tidak ada lagi alasan atas kesulitas untuk terlibat langsung dalam sebuah gerakan sosial, yang kini dibutuhkan hanya diat dan kemauan. Pandji sendiri sempat melakukan kampanye penggalangan dana atas kasus pembakaran masjid di Tolikara, dalam 3 hari dana sebesar 300 juta berhasil dikumpulkan dari netizen.

Kampanye Terpopuler Kitabisa 2015

Kurang lebih dua bulan yang lalu, Kitabisa baru saja mendapatkan pendanaan dari ANGIN (jaringan investor besutan GEPI). Pendanaan tersebut menurut CMO Kitabisa Vikra Ijas difokuskan untuk menyempurnakan layanan, terutama dari sisi pembayaran dan kemudahan pengguna untuk berbagi. Ke depan Kitabisa masih akan terus mengembangkan layanan dan menjadi platform penggalangan dana online terbesar sekaligus teraktif di Indonesia.