PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) mencetak laba bersih sebesar Rp1,9 triliun di sepanjang 2022. Torehan ini berbanding terbalik dari kinerja tahun sebelumnya yang mencatatkan rugi sebesar Rp1,67 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan 2022, laba bersih ini diperoleh dari kenaikan pendapatan bersih sebesar 94% menjadi Rp3,61 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp1,86 triliun. Adapun, pertumbuhan pendapatan didorong oleh pendapatan Mitra yang naik 141% menjadi Rp1,96 triliu. Ini membuat kontribusi Mitra terhadap total pendapatan perseroan naik dari 44% menjadi 54%.
Sementara, laba operasional perseroan tumbuh 203% menjadi Rp1,7 triliun, naik pesat dari sebelumnya yang merugi Rp1,7 triliun. Faktornya disebabkan oleh laba nilai investasi market-to-market dari Allo Bank.
“Meskipun telah mencatat laba bersih di 2022, perseroan tetap memiliki fokus pada kinerja operasional. Oleh karena itu, manajemen perseroan tetap menggunakan adjusted EBITDA sebagai indikator kinerja,” tulis manajemen BUKA dalam keterangan resmi, Selasa (28/3).
Selanjutnya, Total Processing Value (TPV) dari Mitra menunjukkan tren positif sebesar Rp73,6 triliun atau tumbuh 31%. Faktor pertumbuhan ini dikarenakan berkembangnya variasi produk dan jasa yang ditawarkan perseroan kepada para mitranya. Dalam data terakhir, jumlah Mitra yang terdaftar mencapai 16,1 juta, naik dari 11,8 juta di 2021.
Tak hanya itu, BUKA juga mencatatkan adjusted EBITDA sebesar -Rp 235 miliar pada kuartal IV 2022. Rasio adjusted EBITDA terhadap TPV menunjukkan peningkatan dari -1,1% di kuartal I 2021 menjadi -0,6% di kuartal IV 2022.
Perseroan menyampaikan saat ini masih memiliki permodalan yang kuat dengan posisi kas, termasuk investasi lancar seperti obligasi pemerintah dan reksadana sebesar Rp20,3 triliun. Dengan rata-rata pendapatan bunga per kuartal dan meningkatnya EBITDA per kuartal, BUKA memiliki cash runway untuk lebih dari 50 tahun.
Kejar EBITDA positif di 2023
Tak hanya BUKA, perusahaan teknologi lainnya saling kejar target menuju EBITDA positif sebelum menutup tahun 2023. GOTO sebelumnya mengumumkan bahwa adjusted EBITDA ditargetkan positif pada kuartal IV 2023. Target ini lebih cepat dibandingkan perkiraan sebelumnya, serta konsensus analis yang sempat memperkirakan pencapaian ini bisa terealisasi pada 2024. Bahkan ada yang menyebut baru bisa positif pada 2025.
Sea Group juga menargetkan bisa positif pada akhir tahun ini. Induk Shopee ini mencatatkan laba bersih sebesar $4228 juta pada kuartal IV 2022, tumbuh positif dari rugi $616,3 juta secara year-on-year. Kinerja laba ini ditopang oleh Shopee dan SeaMoney.
Pada kuartal IV 2022, laba setelah adjusted EBITDA Shopee sebesar $196,1 juta, jauh lebih baik dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang cetak rugi $877,7 juta. Adjusted EBITDA di sepanjang 2022 masih merugi $1,7 miliar, tetapi membaik dari sebelumnya yang sebesar $2,6 miliar.
Berikutnya, Grab optimistis mencapai EBITDA positif pada periode yang sama dengan GOTO dan Sea Group. Pada 2022, Grab mencatatkan pendapatan $1,43 miliar, naik dari tahun sebelumnya $675 juta. Kenaikan ini membantu Grab memangkas kerugian EBITDA menjadi $1,74 miliar dari sebelumnya $3,56 miliar.
Akan tetapi, untuk mencapai EBITDA positif perusahaan harus mengorbankan pertumbuhan pesat. Terlihat dari total transaksi di platform Grab ‘hanya’ tumbuh 24%, lebih rendah dari sebelumnya 56%. Berbagai insentif juga dikurangi demi menekan laju cetak rugi, yang kini tercatat turun menjadi $391 juta dari sebelumnya $1,1 miliar.
PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) membidik pertumbuhan pendapatan sebesar 44%-61% menjadi sebesar Rp2,7 triliun-Rp3 triliun pada tahun ini. Sementara, Total Processing Value (TPV) Bukalapak juga diproyeksi naik sebesar 39%-47%.
Dalam public exposekinerja keuangan 1Q22 Bukalapak, Presiden Bukalapak Teddy Oetomo mengungkap bahwa target pendapatan 2022 telah terealisasi sekitar 28% dari capaian kuartal pertama 2022 sebesar Rp788 miliar.
Kemudian, TPV tahun ini tercapai 19% atau Rp34,1 triliun di periode sama dari target analis sebesar Rp170 triliun. Take rate konsolidasi juga tumbuh menjadi 2,31% di kuartal I 2022, utamanya ditunjang oleh peningkatan take rate Mitra Bukalapak sebesar 2,73%.
Menurut Teddy, pencapaian kinerja keuangan perusahaan saat ini masih terbilang on-track. Pihaknya fokus untuk mengejar profitabilitas dengan memonetisasi trafik, tak hanya dari lini bisnis utama, tetapi juga bisnis di luar Bukalapak, seperti Allo Bank, AlloFresh, dan Itemku.
Pihaknya optimistis dapat mempertahankan pertumbuhan secara sustain berkat mix strategy perusahaan untuk meningkatkan kontribusi produk/fitur dengan take rate tinggi. “Kontribusi marjin kami hampir positif. Artinya, kami kini berada di fase berikutnya, yakni bukan lagi memperbaiki kinerja melalui efisiensi seperti sales dan marketing, tetapi mendorong pertumbuhan pendapatan. Saat ini kami perlu mengkover fix cost dan G&A supaya adjusted EBITDA dapat positif,” tutur Teddy.
Memang adjusted EBITDA Bukalapak masih tercatat minus Rp372 miliar di kuartal I 2022, tetapi ini terbilang 5% lebih baik dari kuartal IV 2021. Selain itu, realisasi EBITDA ini juga dikarenakan investasi di AlloBank yang harus melakukan mark-to-market.
“Proyeksi adjusted EBITDA kami di tahun ini minus Rp1,4 triliun hingga minus Rp1,5 triliun. Ini mungkin dianggap sebagai melebarnya kerugian, tetapi target kami sebetulnya adalah mencapai adjusted EBITDA yang relatif flat 1% dibanding periode sama tahun lalu,” tambahnya.
Apabila Bukalapak dapat menjaga level adjusted EBITDA pada Juni-Desember pada posisi sama dengan realisasi per Mei, ada kemungkinan adjusted EBITDA dapat lebih baik daripada proyeksi minus Rp1,4 triliun.
Saat ini, posisi kas Bukalapak per 31 Maret 2022 mencapai Rp20 triliun. Menurut Teddy, Bukalapak memiliki cash runaway yang sangat panjang. Pihaknya juga masih mengevaluasi kebutuhan investasi ke depan setelah berinvestasi di Allo Bank dan Allo Fresh.
Strategi Bukalapak
Berdasarkan kategori bisnis, Mitra merupakan penyumbang pendapatan terbesar Bukalapak dengan porsi 60% atau Rp471,8 miliar di kuartal I 2022. Sementara, lini Marketplace menyumbang Rp278,5 miliar terhadap total pendapatan dengan pertumbuhan 9% secara tahunan.
Teddy menegaskan bahwa target bisnis Marketplace bukan menjadi pemain dominan di industri. Alih-alih memosisikan Bukalapak sebagai ‘marketplace for all‘, perusahaan kini lebih fokus me-leverage data yang dimiliki ke lini bisnis yang punya prospek pertumbuhan menjanjikan, yakni marketplace untuk gaming Itemku.
Saat ini, pendapatan Bukalapak disumbang oleh tiga lini bisnis utama yang terdiri dari Marketplace, Mitra Bukalapak, dan Buka Pengadaan. Bukalapak juga memperluas vertikal bisnisnya dengan berinvestasi di AlloBank dan AlloFresh. Ini menjadi jalan baru Bukalapak untuk memonetisasi trafiknya.
Melalui investasi di bank digital, lanjut Teddy, pihaknya berupaya memperkuat layanan keuangan sebagai tulang punggung dari keseluruhan lini bisnis Bukalapak. Salah satu misinya adalah meningkatkan inklusi keuangan pada pemilik warung atau UMKM di Mitra Bukalapak. Adapun, AlloFresh akan fokus pada penyediaan berbagai produk FMCG, baik bagi end user maupun pemilik warung yang tergabung di Mitra Bukalapak.
“Integrasi terus dilakukan secara menyeluruh pada Allo Bank dan AlloFresh agar mencakup 128 store di Trans Retail. Kami melihat aspek pengiriman tidak kalah penting dengan harga. Semakin cepat pengiriman, para Mitra tidak perlu keluar biaya banyak untuk mendapatkan inventory besar. Mereka bisa memesan lebih sering sehingga perputaran bisnis lebih tinggi.
Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.
Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?
Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.
Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.
Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.
Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.
Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.
Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.
Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?
J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.
Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.
Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.
Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?
J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.
Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.
Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.
Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.
Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?
J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.
Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?
J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.
Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.
Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.
Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.
Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.
Kecintaan Indra Utoyo terhadap teknologi, digital, dan inovasi tak pernah padam sekalipun ia berpindah haluan dari telekomunikasi hingga berlabuh ke perbankan. Alih-alih mencapai posisi kemapanan, ia justru mengaku ingin terus belajar dan menemukan hal-hal baru.
Belasan tahun ia habiskan untuk memperkuat pondasi Telkom sebagai penyedia konektivitas terbesar di Tanah Air sampai akhirnya ia dipercaya untuk memimpin transformasi digital bank BUMN BRI .
Pada gelaran program gagasannya Indigo enam tahun lalu, ia sempat mengatakan bahwa peran entreprenuer muda sangat penting dalam memecahkan masalah dengan cara baru di era digital yang laju perkembangannya sudah tak terbendung lagi.
Ia berharap legacy yang ia tinggalkan dapat terus dibagikan sehingga dapat melahirkan generasi-generasi entreprenuer bertalenta. Kini ia menikmati babak barunya untuk memupuk talenta serta mengorkestrasi layanan dan inovasi di Allo Bank.
Bagaimana Anda melihat perjalanan karier Anda dari sektor telekomunikasi sampai ke perbankan?
Jawab: Sebetulnya berkarier [di perbankan] tidak saya rencanakan. Saya bekerja di Telkom selama hampir 17 tahun, di mana 10 tahun terakhir menjadi direksi. Di Telkom, saya mengeksplorasi hal baru, baik itu inovasi, IT, hingga digital. Di situlah [perjalanan di dunia digital] saya dimulai. Saya juga mendirikan program inkubator dan akselerator Indigo.
Kemudian, saya pindah ke BRI yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Saat itu saya diminta untuk membenahi sistem IT dan memimpin transformasi digital supaya BRI bisa beradaptasi dan tetap relevan bagi nasabah di era digital. Saya melakukan inovasi, mengembangkan produk digital banking — ada PINANG dan CERIA — dan melakukan massive collaboration dengan pemain digital.
Alhadumdulillah, BRI kini sudah punya pondasi yang baik. Saya membangun digital BRI dengan future-ready IT dan arsitektur di masa depan. Saya siapkan agar dapat mengakomodasi volume yang besar. Itu legacy yang saya tinggalkan [di Telkom dan BRI]. Namun, yang terpenting adalah meninggalkan talent dan culture yang terus membaik.
Apakah kemampuan dan kapabilitas Anda selama ini di telekomunikasi menjadi lebih tereskalasi begitu masuk ke perbankan?
J: Ini pertanyaan bagus. Memang saya merasakannya ketika berkarier di perbankan. Yang membuat saya tertarik adalah bagaimana bank konvensional memadukan layanan banking dengan teknologi karena bisa emerge dengan sektor lain. Kita merasa tumbuh karena proses belajar terus berjalan.
Bank bicara segmen B2C, B2B, atau SME. Bank mendorong inisiatif bisnis untuk tumbuh. Apalagi ada mata rantai di belakangnya. Pemilik bisnis dibantu dengan layanan keuangan. Makanya bank agak berbeda karena lekat dengan semua sektor. Apapun bisnisnya pasti butuh layanan keuangan. Untuk simpan uang atau pembiayaan misalnya. Bank memahami business process. Itulah peran bank.
Ini yang membedakan telekomunikasi dengan perbankan karena sifatnya horizontal bukan vertikal. Sektor telekomunikasi fokus pada platform dan punya basis data kuat. Sebagai penyedia konektivitas dan penyimpanan data, perannya bagus. Selain itu juga mengakomodasi kebutuhan harian konsumen, misalnya pulsa atau paket data. Namun, telekomunikasi kurang dalam hal konteks [bisnis] sebuah sektor, kurang menguasai business process dari konsumen.
Di Telkom, ada misi [membangun] ekosistem digital. Saat itu saya mengembangkan [solusi digital], seperti health dan logistic. Namun, sebetulnya model bisnis Telkom adalah platform, infrastruktur. Sementara business process di sektor terkait bukan ranah Telkom. Artinya, butuh partner di sektor itu agar Telkom bisa engage dengan konsumennya.
Bagaimana Anda bertransisi dari BRI yang notabene fokus ke UMKM ke Allo Bank yang didukung mega ekosistem CT Corp?
J: Ini menarik. Saya menyadari bahwa kita perlu terampil berkolaborasi. Leadership akan berbeda, bukan lagi memimpin satu perusahaan, melainkan menyelaraskan dengan ekosistem. Kita mengorkestrasi ekosistem yang didukung frekuensi, kecepatan, dan pola pikir yang sama.
Misalnya, ada pertukaran value antara Allo Bank dengan Transmart. Belanja di Transmart cukup bahwa ponsel. Mungkin mereka akan merasa kolaborasi ini dapat menghasilkan data, jadi tahu apa yang disukai konsumen. Kita bisa lebih engage untuk memberikan hal baru. Konsumen bisa sering bertransaksi karena layanan lebih personalized. Jadi ke depan bisa semakin relevan. Ini semua menjadi value-driven.
Di awal, mungkin masih banyak PR. Pemahaman di ekosistem masih baru, produk perlu banyak di-improve. Perlu waktu untuk menguasai produk sampai di tahap ‘oh pakai Allo Bank bisa lebih tumbuh’, itu seninya. Tantangannya bagaimana bermain sebagai ekosistem dan melakukannya bersama dengan tim. Pada dasarnya, semua akan bicara value.
Dari BUMN kini ke perusahaan swasta, apakah Anda kini merasa lebih nyaman untuk deliver sebuah inovasi?
J: Mestinya lebih mudah karena [sebelumnya] sistemnya lebih rigid dengan tata kelola sedemikian panjang. Sementara, di sini kita lebih punya speed yang diseimbangkan dengan kualitas. Speed bisa lebih dominan. Namun, saya tidak suka kemapanan dan senang terhadap hal-hal baru. Sejak di Telkom, saya memang begitu. Kalau kamu tanya apa INDIGO punya KPI? Ya tidak ada. Itu saya bikin sendiri sehingga jadi lah sesuatu. Maka itu, kita harus memadukan entrepreneurship dan strategic management.
Untuk menghadapi hal-hal yang tidak pasti, butuh keberanian mencoba. Ini saya terapkan ketika di Telkom maupun BRI. Sementara CT Corp berawal dari entrepreneurial sehingga lebih mudah pada aspek kecepatan. Yang penting, arahnya jelas dan punya pondasi kuat untuk memanuver gerakan kita ke depan. Ini sedang saya bangun di Allo Bank, tentu didukung Pak CT dan grup. Bagaimana Allo Bank bisa siap ke depan, tak hanya kecepatan, tapi fokus untuk menciptakan value.
Sebagai seseorang yang passion terhadap teknologi dan digital, apakah ada yang ingin Anda eksplorasi maupun belum tercapai saat ini?
J: Perjalanan saya masih jauh dan masih tahap awal, tetapi saya punya aspirasi yang jelas, yakni bagaimana menghadirkan kehidupan dalam satu genggaman, all in one.
Ke depan arahnya ada AI, crypto, hingga blockchain. Sekarang kita bicara Web3, tapi Jack Dorsey (Co-founder Twitter) sudah bicara Web5. Artinya, kita harus adaptasi terus agar dapat memberikan value baru dengan model bisnis yang saya rasa akan terus berkembang dengan Web3.
Kita juga akan berhadapan dengan kompetitor yang membawa pendekatan baru. Ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan berhenti untuk beradaptasi dan bertransformasi supaya [implementasi] bisa semakin luas.
Konglomerat sekaligus pemilik CT Corp Chairul Tanjung resmi mengumumkan Indra Utoyo sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI). Indra Utoyo dipercaya untuk membawa Allo Bank bersaing di industri bank digital Indonesia.
Penunjukan Indra Utoyo disampaikan CT dalam konferensi pers, dan baru disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang juga diselenggarakan pada hari yang sama, Kamis (19/5).
Seperti diketahui, Indra Utoyo bukanlah sosok asing lagi industri telekomunikasi dan perbankan. Ia merupakan tokoh penting dan telah meninggalkan legacy signifikan pada transformasi digital dua perusahaan besar milik BUMN, yakni Telkom dan BRI.
Di Telkom, Indra berkarier selama 17 tahun dengan posisi terakhirnya sebagai Chief Innovation and Strategy Officer (CSO). Ia juga pelopor program Indigo Incubator yang meluncur pada 2016. Sementara di BRI, Indra menjabat sebagai Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi.
Melalui Allo Bank, Indra memiliki misi untuk membangun kapabilitas dan talent digital serta teknologi data sehingga dapat menghadirkan customer experience yang lebih personalized dan lekat dengan pengguna.
“Begitu juga dengan visi seperti disampaikan Pak CT, Allo Bank ingin dapat berkembang melalui ekosistem dan berkolaborasi dengan cepat dan aman. Secara bertahap, kami akan menghubungkan Allo Bank dengan ekosistem di bawah CT Corp nantinya, baru berkolaborasi dengan partner lain,” tutur Indra usai konferensi pers.
Sebagai informasi, CT mencaplok Allo Bank (sebelumnya bernama Bank Harda Internasional) dengan mengambil alih sahamnya sebesar 73,71% pada akhir 2020. Kemudian, Allo Bank melakukan right issue yang melibatkan perusahaan digital seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.
Target Allo Bank
Lebih lanjut, CT mengatakan aplikasi Allo Bank akan resmi mengudara pada Jumat (20/5). Ia menargetkan dapat mengantongi satu juta pengguna dalam satu minggu dan sepuluh juta dalam tahun pertamanya.
Untuk mencapai target tersebut, CT bilang akan memanfaatkan kekuatan ekosistem yang dimilikinya. Saat ini, CT Corp punya tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).
Ini pun belum termasuk dengan ekosistem dari mitra strategisnya, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka. Namun, integrasi dan kolaborasi dengan mitra strategis akan dilakukan secara bertahap.
“Kami percaya [dengan strategi] O plus O atau Offline plus Online–bukan O2O ya–sebagai sebuah keniscayaan. Semakin ke sini pasar tak cuma ingin jumlah customer saja, tetapi juga [startupnya] bisa profitable. Maka itu, kami terbuka terhadap kolaborasi untuk memperkuat ekosistem. Kami ingin menjadi layanan yang inklusif,” ujarnya.
Adapun, CT menyebut layanan pinjaman sebagai salah satu strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan Allo Bank. Pengguna nantinya dapat mengajukan pinjaman di aplikasi Allo Bank, yakni Paylater dan Instant Cash dengan limit hingga Rp100 juta.
“Saat ini kami belum fokus di fee based karena masih menggratiskan [biaya], tidak ada iuran bulanan. Tentu kami pikirkan strategi untuk dapat fee based dari sumber lain. Misal, Paylater tidak ada bunga, tapi ada fee based berupa biaya administrasi. Semua ada hitungannya. Jadi kami incar pertumbuhan signifikan dari produk pinjaman,” tuturnya.
Bank digital
Fenomena bank digital di Indonesia masih terus bergulir. Setelah Bank Jago, BNC, Seabank, dan BCA Digital, pasar akan menantikan beberapa pemain dengan identitas/wajah baru yang diyakini akan masuk ke bank digital maupun neobank.
Dalam catatan kami, BNI tengah merampungkan akuisisinya terhadap Bank Mayora. BNI menggandeng Sea Group, induk Shopee, sebagai mitra untuk menyusun model bisnis dan merancang infrastruktur IT.
Tak hanya bank besar, akuisisi bank kecil ini juga dilakukan oleh startup fintech. baru-baru ini, Investree juga mengumumkan akuisisi saham minoritas di Amar Bank sebesar 18,84% beberapa waktu lalu. Aksi korporasi juga dilakukan Grup Modalku bersama Carro untuk berinvestasi saham (co-investment) di Bank Index.
Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa aksi akuisisi bank kecil memungkinkan upaya rebranding dengan lebih mudah karena bank kecil tidak memiliki infrastruktur, kantor cabang, dan nasabah yang besar.
Dari sudut pandang pelaku fintech, akuisisi bank mini memungkinkan mereka untuk menawarkan plafon pinjaman yang lebih tinggi kepada nasabah dari batasan pinjaman fintech lending dengan maksimum sebesar Rp2 miliar.
Traveloka semakin intensif menjalin kerja sama dengan perbankan lokal. Pekan lalu, mereka baru saja mempererat hubungan dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kali ini kesepakatan tersebut berhasil membawa layanan OTA milik Traveloka masuk di aplikasi mobile banking BRImo.
Pengguna BRImo kini bisa memesan berbagai jenis akomodasi, mulai dari Pesawat, Hotel, sampai dengan Bus/Shuttle tanpa harus berpindah aplikasi lewat menu “Travel”. BRImo sendiri juga memiliki misi untuk menjadi financial super apps agar bisa melayani berbagai kebutuhan nasabah dalam satu aplikasi saja.
Direktur Bisnis Konsumer BRI Handayani mengungkapkan, kerja sama strategis bersama Traveloka diharapkan bisa menjadi solusi bagi nasabah yang ingin merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman.
“Dengan adanya kerja sama strategis dengan Traveloka, kami harapkan dapat memberikan value tambahan kepada nasabah dan hal ini merupakan bagian dari transformasi BRI untuk memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi melalui BRImo SuperApps yang sudah terintegrasi dengan Traveloka, sehingga nasabah tidak perlu lagi berpindah-pindah aplikasi untuk melakukan pembelian tiket,” ujar Handayani.
Sebelumnya kerja sama Traveloka dan BRI sudah terjalin sejak tahun 2019 lalu, ketika keduanya bersama-sama meluncurkan kartu kredit Paylater Card. BRI juga sempat dikabarkan tengah menjajaki investasi strategis ke Traveloka — namun ketika kami coba konfirmasi ke pihak terkait, mereka menolak untuk memberikan komentar.
Kerja sama dengan Bank Jago
Selang sepekan, Traveloka kembali mengumumkan kerja samanya dengan Bank Jago. Tujuannya untuk memperluas penyaluran kredit lewat Traveloka Paylater. Hal ini dilakukan di tengah pertumbuhan pesat layanan pembiayaan tersebut. Diklaim Traveloka Paylater telah tumbuh hingga 10x lipat sejak pertama diluncurkan tahun 2018 dan menyasar masyarakat underbanked yang terkendala masalah finansial.
“Kemitraan dengan Bank Jago telah memperluas peluang penyaluran kredit kepada masyarakat underbanked di Indonesia, khususnya pengguna Traveloka Paylater yang kerap kali mengalami kesulitan akses finansial untuk memenuhi kebutuhan perjalanan dan gaya hidup mereka […] Melalui kerja sama ini kami optimis untuk dapat memberikan kontribusi terhadap inklusi keuangan serta berharap dapat meningkatkan nilai bisnis kedua belah pihak,” ujar CFO Traveloka & Presiden PT Caturnusa Sejahtera Finance Doan Lingga.
PT Caturnusa Sejahtera Finance adalah perusahaan pembiayaan di bawah Traveloka yang memiliki lisensi untuk memberikan layanan pinjaman berbasis teknologi.
Dukung debut digital Allo Bank
Allo Bank awal tahun ini mendapatkan dukungan strategis dari berbagai pebisnis digital, termasuk Bukalapak, Carro, dan Grab. Tak mau ketinggalan, Traveloka pun turut terlibat mendukung debut produk bank digital yang akan segera diluncurkan ke publik oleh Allo. Dukungannya tidak berbentuk kapital seperti dari yang lain, namun ada kemungkinan integrasi dengan superapp lifestyle di ekosistem Traveloka.
Dalam sambutannya mengenai kerja sama dengan Allo Bank, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi berujar, “Saya antusias untuk menyambut Allo di Traveloka. Sebagai superapp lifestyle, kami adalah platform independen dengan beragam penyedia kredit di Indonesia dan kami akan bekerja sama dengan Allo untuk menyesuaikan produk-produk pinjaman ini dengan kebutuhan gaya hidup dan aspirasi para pengguna kami.”
Lini fintech berpotensi jadi bisnis besar
Lebih dari sekadar OTA, ambisi Traveloka untuk membangun aplikasi gaya hidup yang menyeluruh terus diperlihatkan. Tak terkecuali melalui inovasi fintech yang terus diperkuat untuk mendukung sistem transaksi. Selain tiga bank di atas, sebenarnya ada pihak lain yang sebelumnya turut memberikan dukungan khusus ke lini finansial Traveloka ini, sebut saja BNI yang turut mendukung produk paylater mereka.
Dalam sebuah kesempatan di akhir 2019, bahkan salah satu eksekutif Traveloka sempat sesumbar bahwa lini fintech Traveloka —termasuk di dalamnya paylater— telah mendekati menjadi bisnis bernilai $1 miliar.
Lewat PT Caturnusa Sejahtera Finance, Traveloka juga cukup leluasa berinovasi dengan layanan pembiayaan dan turunannya. Dalam POJK 35 Tahun 2018, OJK menjelaskan perusahaan pembiayaan diberi keleluasaan untuk menambah variasi produk pembiayaan yakni multiguna. Multiguna adalah jenis pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.
Dukungan lembaga finansial seperti bank jelas dapat memberikan kekuatan lebih bagi Traveloka untuk mengoptimalkan potensi bisnis fintech-nya. Karena kolaborasinya dengan perbankan juga bisa direalisasikan dalam berbagai bentuk, seperti yang sudah dilakukan sebelumnya termasuk perluasan akses kredit dan loan channeling.
PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) resmi menetapkan Willix Halim sebagai CEO Bukalapak, menggantikan Rachmat Kaimuddin yang mengundurkan diri pada akhir Desember 2021. Selain Willix, perusahaan juga mengumumkan penunjukan Victor Putra Lesmana dan Howard Nugraha Gani untuk masuk ke dalam jajaran direksi.
Dalam keterangan resminya, alasan penunjukan ini adalah baik Victor maupun Howard diyakini telah membawa pencapaian luar biasa bagi Bukalapak untuk memimpin digitalisasi UMKM di Indonesia. Adapun, Teddy Nuryanto Oetomo dan Natalia Firmansyah juga disebut akan tetap menjabat sebagai Direktur Bukalapak.
Hasil penunjukan Willix, Victor, dan Howard telah disetujui jajaran direksi, komisaris, dan pemegang saham Bukalapak dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
“Kami optimistis Willix Halim dapat meneruskan kepemimpinan Rachmat Kaimuddin dengan mengembangkan Bukalapak sebagai perusahaan publik yang kokoh secara finansial, berkembang secara berkelanjutan, dan membawa dampak signifikan bagi Indonesia,” tutur Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen Bukalapak Bambang Brodjonegoro.
Sebelumnya, Willix sempat ditunjuk sebagai CEO sementara karena Rachmat Kaimuddin mengundurkan diri untuk melanjutkan kariernya mengabdi ke pemerintahan. Willix bergabung dengan Bukalapak sebagai Chief Operating Officer pada 2016. Ia berperan penting dalam perjalanan perusahaan menjadi unicorn dan berkontribusi terhadap pengembangan Mitra Bukalapak hingga menjadi pemimpin pasar O2O.
“Tahun ini, kami berharap dapat semakin memperkuat posisi Bukalapak sebagai perusahaan teknologi yang menyediakan berbagai vertikal kepada pengguna kami. Dengan dukungan dari berbagai pihak, saya yakin transformasi ini akan terus berjalan dengan baik dan mencapai tujuan utama kami, yaitu menciptakan ‘A Fair Economy For All‘,” ungkap Willix.
Agenda transformasi Bukalapak
Dengan kepemimpinan baru ini, publik bakal mengantisipasi sejumlah langkah strategis yang akan diambil oleh jajaran direksi baru Bukalapak mengingat ada sejumlah agenda besar menanti. Terutama pada navigasi di lini bisnis Mitra Bukalapak yang menjadi penyokong kinerja keuangan Bukalapak tahun lalu.
Kami merangkum sejumlah aksi korporasi dan agenda besar yang mungkin dapat terealisasi di tahun ini. Menjelang akhir 2021, Bukalapak mengubah alokasi dana IPO sebesar Rp21,9 triliun. Rinciannya, 33% dari dana IPO akan digunakan untuk modal kerja, 34% untuk modal kerja anak usaha yang terdiri dari; Buka Mitra (15%), Buka Usaha (15%), serta Buka Investasi, Buka Pengadaan, Bukalapak, dan Five Jack masing-masing 1%.
Bukalapak memberikan alokasi baru sebesar 33% untuk pengembangan usaha perusahaan dan anak usaha, baik lewat skema pembelian saham dan/atau aset, dan/atau penyertaan saham pada satu atau lebih perusahaan termasuk joint venture, atau pelunasan fasilitas pinjaman yang digunakan untuk keperluan pertumbuhan dan/atau pengembangan usaha baik sekarang maupun yang akan datang.
Mengawali awal tahun ini, Bukalapak menjadi salah satu penyerap right issue Allo Bank milik CT Corp dengan mengambil alih 11,49% saham. Layanan Allo Bank ditargetkan komersial tahun ini. “Bagi Bukalapak, melalui bisnis Mitra dan konektivitasnya dengan vertikal vertikal baru di pasar UMKM, kerja sama ini dapat mengembangkan penawarannya serta aksesibilitas kredit bagi para pelaku usaha di area rural,” kata Willix beberapa waktu lalu.
Hingga tahun lalu, Bukalapak tercatat telah melayani lebih dari 100 juta pengguna, memiliki sebanyak 6,7 juta pelapak dan 10,4 juta Mitra Bukalapak.
Tak lama berselang, pemilik CT Corp Chairul Tanjung bahkan mengumumkan akan membentuk perusahaan online grocery patungan (joint venture) melalui PT Trans Retail Indonesia bersama Bukalapak. Komposisi kepemilikan Trans Retail akan sebesar 55% dan Bukalapak sebesar 45%,
PT Allo Bank Indonesia Tbk (IDX: BBHI) akan meluncurkan aplikasi mobile banking secara komersial pada Maret 2022. Untuk tahap awal, perusahaan membidik satu juta pengguna di minggu pertama peluncurannya.
Disampaikan pemilik CT Corp Chairul Tanjung, aplikasi Allo Bank baru tersedia untuk uji coba bagi kalangan karyawan di seluruh anak usahanya. Saat ini, Allo Bank telah dipakai sebanyak 43.000 pengguna.
“Di tahun pertama, kami membidik sebesar sepuluh juta pengguna, tetapi target ultimate kami sebesar 50 juta pengguna,” ungkap pria yang karib disapa CT ini dalam Jumpa Pers Allo Bank, Selasa (1/11).
CT juga menjelaskan bahwa pihaknya masih berupaya membentuk manajemen Allo Bank secara bertahap. Diketahui saat ini jajaran direksi Allo Bank baru terdiri dari Harry Abbas dan Yohanes.
“Kami masih dalam tahap pembentukan manajemen yang solid, kuat, dan menggabungkan talenta Indonesia dan global. Kami harap sudah dapat memiliki manajemen yang utuh pada Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS Allo Bank berikutnya. Mitra strategis kami dapat memberikan usulan terkait kemungkinan [menempatkan] orangnya di manajemen Allo Bank,” tambahnya.
Lebih lanjut, CT mengungkap bahwa Allo Bank ditopang oleh kekuatan teknologi dan ekosistem yang menjadi elemen kunci dalam mendirikan bank digital. Dari aspek teknologi, CT menyebut telah bekerja sama strategis selama dua tahun terakhir dengan bank digital terbesar di dunia untuk mengembangkan sistem teknologi, baik software dan hardware di Allo Bank.
Ia enggan menyebut nama bank ini, tetapi diketahui mitra strategis tersebut adalah WeBank, bank digital milik raksasa teknologi Tencent asal Tiongkok. WeBank memanfaatkan teknologi AI, blockchain, cloud, hingga big data untuk menawarkan berbagai produk keuangan ke segmen UMKM. Saat ini, WeBank telah memiliki lebih dari 200 juta pengguna.
“Demikian juga ekosistem. Meski merasa ekosistem kami sudah kuat, kolaborasi tetap diperlukan di era digitalisasi. Ekosistem digital punya kelemahan, begitu juga ekosistem fisik. Dengan menggabungkan keduanya, kami bisa ciptakan ekosistem solid. Maka itu, kami mengajak ekosistem lain berkolaborasi. Kami yakin platform kami dapat menjawab tantangan dan dapat besar, baik secara transaksi, nasabah, maupun profitability,” ungkapnya.
Ekosistem raksasa Allo Bank
Menurut CT, Allo Bank akan diperkuat dengan ekosistem raksasa yang dimilikinya. Tak hanya dari ekosistem dari anak usahanya saja, Allo Bank akan didukung oleh ekosistem dari sejumlah mitra strategis, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.
Sebagai informasi, CT Corp memiliki tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).
Pihaknya tengah mempersiapkan sejumlah produk/layanan Allo Bank yang terintegrasi dengan seluruh ekosistem di CT Corp. Sebagai contoh, pengguna Allo Bank dapat bertransaksi secara O2O di Transmart atau membuka rekening melalui media digital.
“Kami mengusung konsep one-for-all yang memungkinkan pengguna Allo Bank terhubung dan terintegrasi ke seluruh ekosistem kami. Harapan kami [semua ekosistem] dapat terhubung karena [integrasinya] bertahap dan pasti ada yang diprioritaskan,” paparnya.
Lebih lanjut, CT juga menambahkan bahwa seluruh mitra strategisnya, termasuk Mega Corp dan CT Corp, telah terikat locked up agreement selama tiga tahun terhitung dari tanggal pencatatan. Artinya, selama tiga tahun ini mereka tidak boleh menjual sahamnya demi melindungi kepentingan dari investor retail.
Di sisi lain, CT juga menegaskan bahwa tidak ada upaya untuk menggabungkan Allo Bank dengan anak usaha di bidang perbankan Bank Mega. Menurutnya, Allo Bank dapat berperan sebagai perpanjangan tangan digital dan inovasi bagi anak usaha Mega Corp, seperti Bank Mega, Bank Mega Syariah, serta kepemilikan saham minoritas CT di Bank Pembangunan Daerah.
Baru-baru ini Allo Bank juga mengumumkan aksi penawaran umum terbatas (right issue) senilai Rp4,8 triliun dengan melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI seharga Rp478 per saham. Terdapat enam perusahaan yang terlibat sebagai investor, termasuk Bukalapak, Traveloka melalui Abadi Investments, dan Carro melalui Trusty Cars.
Dalam pernyataan sebelumnya, Komisioner Allo Bank Ali Gunawan mengungkap antusiasmenya untuk meluncurkan layanan pinjaman ke masyarakat Indonesia yang kurang dan tidak terlayani oleh produk keuangan, seperti pinjaman, investasi, dan asuransi.
Setelah melakukan rebranding dari Bank Harda pada bulan Juni 2021 lalu, Bank Allo mengalami pertumbuhan positif. Berbagai aksi strategis terus digencarkan untuk mengakselerasi bisnisnya, termasuk menjalin kemitraan dengan CT Group, Salim Group, Bukalapak, Grab, Carro dan Growtheum Capital Partners melalui rights issue yang baru saja diumumkan.
Bank Allo diakuisisi oleh CT Corp melalui perusahaan induknya di bidang jasa keuangan PT Mega Corpora pada bulan Maret 2021 lalu. Misinya akan dijadikan sebuah aplikasi bank digital. Dalam fase awalnya, aplikasi Allo akan dihubungkan dengan berbagai merchant dan layanan di ekosistem CT Corpora. Namun sampai saat ini aplikasi tersebut belum secara resmi meluncur ke publik.
Bukalapak sendiri mengakuisisi jumlah persentase saham terbanyak dalam aksi tersebut, yakni setara 11,49%. Abadi Investment sendiri merupakan entitas yang dimiliki Salim Group. Sementara H Holdings terindikasi lengan investasi yang terafiliasi dengan Grab.
“Bagi Bukalapak, melalui bisnis Mitra dan konektivitasnya dengan vertikal vertikal baru di pasar UMKM, kerja sama ini dapat mengembangkan penawarannya serta aksesibilitas kredit bagi para pelaku usaha di area rural,” kata Pelaksana Tugas Direktur Utama Bukalapak Willix Halim.
Saat ini Bank Allo adalah bank berlisensi penuh yang menawarkan produk rekening pribadi, bisnis, dan rekening gabungan. Penambahan dana ini meningkatkan modal utama Bank Allo menjadi lebih dari Rp6 triliun dan membuat Allo menjadi salah satu bank digital dengan modal yang kuat di Indonesia.
“Kami antusias untuk meluncurkan layanan pinjaman kami di Indonesia, di mana terdapat hampir 280 juta jiwa, namun 50 persennya tidak memiliki rekening bank dan 15 persennya lagi masuk kategori underbanked dengan akses terbatas ke produk-produk pinjaman, investasi dan asuransi. Bank Allo berharap dapat menghadirkan akses yang mudah ke produk-produk finansial untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia melalui sebuah brand yang mereka ketahui dan percaya,” ujar Komisioner Bank Allo Ali Gunawan.
Traveloka juga masuk sebagai mitra strategis
Kemitraan antara sejumlah perusahaan ini juga dipandang oleh Managing Partner Growtheum Capital Partners Amit Kunal sebagai pendorong utama untuk membawa dampak positif bagi kebutuhan bisnis dan individu masyarakat Indonesia.
Kemitraan yang saling melengkapi antara perusahaan-perusahaan terpercaya seperti CT Corp dan Salim Group dengan pemain-pemain teknologi terdepan seperti Bukalapak, Carro, Grab, dan Traveloka akan memberikan Allo akses ke konsumen dan merchant dari semua kategori yang relevan yaitu retail, commerce, ride hailing, delivery, travel, dan auto.
“Kami antusias untuk bekerja sama dengan para manajemen dan pemegang saham untuk membuat produk-produk kredit sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia dan membantu mengembangkanbisnis-bisnis berkelanjutan hingga lintas siklus ekonomi dan generasi,” kata Amit.
Hal senada juga diungkapkan oleh Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi. Menurutnya pendekatan ekosistem terbuka dapat mengakselerasi digitalisasi industri finansial dan mendorong inklusi finansial di seluruh Indonesia. “Kemitraan ini akan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia, termasuk para pelaku usaha dan bisnis-bisnis kecil dengan membantu mereka bertumbuh bersama sejalan dengan perkembangan ekonomi digital.
Sementara itu Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi menceritakan tujuan mereka dalam kerja sama ini. “Saya antusias untuk menyambut Allo di Traveloka. Sebagai superapp lifestyle, kami adalah platform independen dengan beragam penyedia kredit di Indonesia dan kami akan bekerja sama dengan Allo untuk menyesuaikan produk-produk pinjaman ini dengan kebutuhan gaya hidup dan aspirasi para pengguna kami.”
Sebagai platform, Carro mengklaim selama ini selalu berupaya melakukan inovasi dan menciptakan produk-produk sesuai kebutuhan para mitra dan konsumen. Melalui kemitraan ini dilihat sebagai kelanjutan dari perjalanan Carro dalam menyediakan pengalaman digital first yang kuat serta menggunakan big data untuk memberikan manfaat bagi para konsumen.
“Kemitraan ini akan memberikan kami akses ke produk-produk perbankan digital yang menarik untuk memenuhi kebutuhan mitra dan konsumen kami di Indonesia,” kata Co-founder & CEO Carro Aaron Tan.
Bank digital dan dukungan startup teknologi
Dukungan startup atau perusahaan teknologi terhadap realisasi bank digital terus bergulir di Indonesia. Konsep open ecosystem menjadi salah satu ciri khasnya, agar memungkinkan layanan finansial yang diusung bank tersebut dapat diintegrasikan dan menjadi sistem pendukung di platform teknologi terkait.
Strategi ini juga dinilai menjadi jalan terbaik untuk merangkul basis nasabah besar. Dengan terintegrasi di aplikasi konsumer tertentu, para bank tersebut berpotensi menjaring lebih banyak adopter — terlebih proses on-boarding juga sudah sepenuhnya dapat dilakukan secara digital. Hal ini mulai terlihat dengan acaranya penyematan proses pendaftaran bank ke aplikasi digital tertentu.
Nama Bank
Mitra Strategis (Perusahaan Teknologi)
Allo Bank
Bukalapak, Grab, Traveloka, Carro
Upbanx
Ekosistem Fazz Financial
Bank Jasa Jakarta
WeLab
Bank Sampoerna
Koinworks
Bank Jago
Ekosistem GoTo, Bibit
Bank Bumi Artha
Ajaib
Bank Hijra
Alami
Neo Commerce
Akulaku
Bank Kesejahteraan Ekonomi
Ekosistem Sea Group
Bank Hana
LINE
Bank Bisnis
Kredivo
Investasi ke bank digital oleh platform teknologi juga memiliki alasan kuat, pasalnya platform finansial akan menjadi landasan penting dalam proses bisnis mereka. Di tren awal, semua itu masih cukup terakomodasi dengan layanan e-money, namun adanya potensi perputaran uang yang lebih besar, intergasi secara langsung dengan sistem perbankan dianggap lebih menjanjikan.
Allo Bank (IDX: “BBHI”) secara resmi telah mengumumkan rencananya untuk melakukan penawaran umum terbatas atau rights issue senilai Rp4,8 triliun, melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI seharga Rp478 per saham. Dalam keterbukaan yang disampaikan, 6 perusahaan turut andil di dalamnya sebagai investor, meliputi Bukalapak, Abadi Investments, Indolife Investama Perkasa, H Holdings, Trusty Cars, dan CT Corpora.
Bukalapak sendiri mengakuisisi jumlah persentase saham terbanyak dalam aksi tersebut, yakni setara 11,49%. Abadi Investment sendiri merupakan entitas yang dimiliki Salim Group. Sementara H Holdings terindikasi lengan investasi yang terafiliasi dengan Grab.
Pertajam misi menjadi bank digital
Aksi korporasi ini dinilai akan mempertajam rencana Allo Bank untuk mentransformasikan layanannya menjadi sebuah bank digital. Terlebih dengan masuknya Bukalapak sebagai salah satu pencaplok saham bernilai signifikan. Diketahui, memang saat ini Bukalapak belum memiliki atau terafiliasi strategis dengan penyelenggara bank digital – sementara para kompetitornya telah memiliki, misalnya Tokopedia dengan Bank Jago atau Shopee dengan SeaBank.
Tepatnya sejak Juni 2021, saat ini Bank Harda Internasional resmi melakukan rebranding menjadi Allo Bank Indonesia. Semangatnya adalah memberikan solusi aplikasi terpadu lewat Allo Apps, untuk memenuhi kebutuhan pengguna mulai dari segi finansial hingga hiburan. Di fase awalnya, aplikasi Allo akan dihubungkan dengan berbagai merchant dan layanan di ekosistem CT Corpora. Namun sampai saat ini aplikasi tersebut belum secara resmi meluncur ke publik.
Di sisi regulasi, pertengahan tahun lalu OJK mengeluarkan tiga aturan baru untuk mendukung industri perbankan agar lebih efisien, berdaya saing, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Salah satu poin menariknya, POJK Bank Umum mempertegas pengertian bank digital, yakni bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus bank digital menyeluruh (full digital banking).
Selain itu, POJK 12 tersebut juga meredefinisi pengelompokan bank berdasarkan modal inti (KBMI), tidak lagi menggunakan BUKU (bank umum kegiatan usaha). Redefinisi ini pada dasarnya tidak memengaruhi kinerja pemain existing, karena tidak mengurangi cakupan kegiatan usaha. Justru bagi bank kecil, KBMI ini menjadi pemulus rencana mereka yang ingin menjadi bank digital. Di aturan sebelumnya dalam BUKU 1, mereka tidak diperbolehkan masuk ke ranah digital. Asalkan mereka tetap menyesuaikan permodalan minimal Rp3 triliun untuk bank digital hasil konversi.
Pengelompokan
Modal Inti
KBMI 1
≤ Rp6 triliun
KBMI 2
Rp6 triliun s/d ≤ Rp14 triliun
KBMI 3
Rp14 triliun s/d ≤ Rp70 triliun
KBMI 4
≥ Rp70 triliun
Bank Digital
Wajib punya minimum satu kantor pusat
Pendirian bank
Modal disetor minimum Rp10 triliun
Sebelumnya, OJK mencatat ada beberapa bank dalam proses go-digital yakni BRI Agroniaga, Bank Capital, Bank Harda Internasional, dan Bank QNB Indonesia. Beberapa pemain lain seperti KEB Hana, BCA Digital, Neo Commerce dll sudah meresmikan layanannya sejak tahun lalu.
Kinerja Allo Bank
Per akhir Q3 2021, total aset Allo Bank mengalami peningkatan 166,70% di bandingkan tahun lalu, menjadi Rp6,89 triliun. Disokong peningkatan efek-efek (355,17%) dan kredit (63,24%).
Dalam periode Q3 2021, perseroan membukukan laba tahun berjalan Rp85,7 miliar, meningkat 77,16% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan laba sebelum beban pajak.
Adapun penghasilan yang didapat Allo Bank mencapai Rp191,5 triliun, meningkat 295,88% dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh keuntungan yang belum direalisasi dari efek yang diukur pada penghasilan komprehensif lain (tersedia untuk dijual) sebesar Rp105,6 miliar.
EMTEK telah akuisisi Bank Fama
Di lain sisi, EMTEK (yang tidak bisa dilepaskan jika berbicara tentang Bukalapak dan Grab), terlebih dulu melakukan akuisisi ke Bank Fama. Melalui anak usahanya PT Elang Media Visitama (EMV), EMTEK akan mengambil alih sebanyak 93% atau setara 9.089.503.800 lembar saham milik Bank Fama. Sebelumnya memang santer tersiar kabar bahwa EMTEK dan Grab tengah mendirikan bank digital, upaya tersebut turut didukung dengan perekrutan eks Presdir Bank CIMB Niaga Tigor M Siahaan. Bank ini dikabarkan akan terintegrasi dengan berbagai ekosistem digital, mulai dari commerce, online-to-offline (O2O), dan pembayaran digital.
Dalam pernyataannya, aksi korporasi ini menjadi jalan masuk taipan milik Sariaatmadja tersebut untuk meningkatkan literasi keuangan dan perbankan ke sektor UMKM. Selain itu, Bank Fama juga dapat memanfaatkan kekuatan finansial, jaringan bisnis, produk, dan keahlian sektoral EMV.
Belum memulai mode “Growth”
Dibandingkan dengan bank lain yang berada di pengelompokan yang sama, yakni KBMI 2, dan berambisi menjadi bank digital terdepan, posisi keuangan Allo memang masih hijau. Misalnya dibandingkan dengan Neobank yang masih merugi Rp264,7 miliar dan Bank Jago Rp32,9 miliar pada Q3 2021 lalu. Keduanya memang tengah gencar mengejar pertumbuhan pesat (growth) di tengah pasar bank digital yang dinilai masih hijau.
Hal tersebut membawakan hasil. Menurut data-data yang dikumpulkan DSInnovate dalam laporan “The Rise of Digital Banking in Indonesia“, sepanjang periode Agustus-September 2021 kedua bank mendapatkan performa yang paling dominan di antara aplikasi bank digital lain yang sudah meluncur. Gaya “ala startup” diimplementasikan untuk meningkatkan adopsi sekaligus traksi ke layanan – terlebih segmen utama yang ditargetkan memang kalangan usia produktif (milenial).
Tren yang dapat ditangkap, salah satu model bisnis yang diterapkan para pemain bank digital –selain menjadi consumer banking—adalah menjadi sebuah embedded services. Para pemain berlomba-lomba menghadirkan produk BaaS (Bank as a Services) dengan harapan dapat terintegrasi dengan aplikasi konsumer dengan basis pengguna besar. Tak ayal jika sekarang ini masing-masing pemilik aplikasi konsumer seperti memegang satu per satu bank digitalnya sendiri.
Masuknya Bukalapak dan Grab jelas meningkatkan proposisi nilai Allo Bank dalam konteks ini. Maka dari itu pekerjaan rumah berikutnya, bagaimana inovasi produk dapat diakselerasi sehingga fitur dan layanan yang dimiliki Allo Bank dapat segera dirilis dan diimplementasikan ke para mitra strategisnya. Percepatan pengembangan produk ini menjadi poin penting, karena faktanya pemain lain sudah satu-dua langkah lebih maju melakukan akuisisi pengguna dan integrasi layanan bersama ekosistem mitranya masing-masing.
Ketepatan strategi dan inovasi pada akhirnya akan menjadi kunci, apakah Allo Bank mampu mengimbangi performa pemain yang sudah ada. Atau justru sebaliknya, gagal memanfaatkan momentum pertumbuhan pasar yang tengah dieksplorasi banyak pihak.