Tag Archives: Alpha JWC

Pendanaan Seri A NOICE

NOICE Umumkan Pendanaan Seri A 316 Miliar Rupiah Dipimpin Northstar

Hari ini (22/4), NOICE mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $22 juta atau setara 316 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Northstar dan diikuti oleh para investor sebelumnya, yaitu Alpha JWC, Go-Ventures, dan Kinesys. Capaian ini akan mendukung ambisi perusahaan menjadi platform audio terbesar di Indonesia melalui percepatan akuisisi konten serta pengembangan platform teknologi audio kreator.

Sebelumnya NOICE telah menutup putaran pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan Go-Ventures pada 2021 lalu. Belum lama ini, perusahaan juga mendapat dukungan investasi strategis dari RANS Entertainment milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Menurut dari total perolehan yang ada, diperkirakan valuasi NOICE telah mencapai setingkat Centaur (di atas $100 juta).

Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand. NOICE berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Dalam persaingan dengan pemain lokal dan global di industri platform audio streaming, NOICE mengedepankan strategi hyperlocal sebagai bagian dari hipotesis perusahaan yang ingin menjadi rumah konten audio di Indonesia. Sebelumnya, perusahaan juga telah mengenalkan NOICE Live, fitur social networking dalam format audio yang memungkinkan interaksi real-time antara kreator, pendengar, musisi, fans, hingga expert.

“Investasi ini akan kami gunakan untuk mengembangkan komunitas kreator, platform teknologi, dan memperluas cakupan konten audio series untuk menghadirkan cerita-cerita terbaik Indonesia dari komunitas penulis lokal dan mengadaptasinya ke dalam format audio. Kami telah menguji coba format baru ini dan melihat hasil interaksi dan retensi yang sangat menjanjikan. Ini benar-benar ruang baru yang menarik untuk dijelajahi dan memiliki banyak sekali potensi,” ujar CEO NOICE Rado Ardian.

Meluncurkan Noicemaker Studio

Prospek industri konten di Indonesia kian populer dengan semakin menjamurnya kreator yang menciptakan ragam karya melalui berbagai platform. Di tengah pandemi Covid-19, saat banyak sektor usaha turun, ekonomi kreatif melalui kreator konten justru menjadi peluang bagi generasi muda untuk terus berkarya.

Hal ini dilihat sebagai peluang oleh NOICE, perusahaan rintisan teknologi asal Indonesia yang berfokus untuk menghadirkan platform konten audio terlengkap. Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand.

NOICE resmi menghadirkan “Noicemaker Studio”, sebuah ruang digital tanpa batas bagi para kreator untuk dapat mengoptimalkan karya mereka di industri konten audio tanah air. Melalui kanal ini, semua konten kreator dari seluruh daerah di Indonesia dapat menghadirkan karya mereka, khususnya podcast, ke dalam aplikasi NOICE dan menjangkau audiens secara lebih luas melalui jaringan ekosistem perusahaan.

Rado menjelaskan bahwa Noicemaker Studio memungkinkan para konten kreator (Noicemaker) memasukkan konten podcast mereka ke aplikasi NOICE dengan mudah, serta memiliki akses langsung ke dasbor akun kreator NOICE untuk melihat performa karya mereka secara detail. Hal ini secara langsung akan memudahkan mereka untuk mendapatkan berbagai insight menarik yang tentunya akan mendorong kualitas karya mereka ke depan.”

Platform Noicemaker Studio dapat diakses oleh semua kreator tanpa terkecuali. Akan dilakukan screening berkala setiap minggunya untuk memonitor kualitas konten podcast. Selain itu, untuk melindungi sekaligus memastikan kualitas konten tetap terjaga, NOICE juga menghadirkan fitur report bagi pengguna untuk melaporkan jika ada konten yang dirasa vulgar atau tidak layak tayang.

Untuk mulai menggunakan platform ini, kreator dapat mengakses Noicemaker Studio melalui halaman website dan mendapatkan akses untuk menghadirkan konten mereka di NOICE dengan cara memasukkan tautan RSS podcast mereka ke halaman website tersebut. Selain para kreator baru, Noicemaker Studio juga dapat dimanfaatkan oleh para kreator terdaftar untuk melihat performa dari berbagai konten yang mereka hadirkan.

Co-founder & CBO NOICE Niken Sasmaya mengungkapkan “Noicemaker Studio merupakan langkah awal yang kami hadirkan untuk mengembangkan potensi konten kreator yang bergabung dan tumbuh di dalam ekosistem NOICE. Noicemaker Studio sendiri merupakan bagian dari Noicemaker Club Program (NCP), sebuah program terintegrasi yang dihadirkan NOICE untuk mendukung para konten kreator untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan kesuksesan performa konten mereka.”

Program ini diharapkan bisa melampaui segala batasan bagi para kreator untuk memperkenalkan dan mempopulerkan karya mereka ke masyarakat secara luas. “Siapapun bisa jadi konten kreator dan podcaster. Dengan hampir 2 juta pendengar NOICE yang terus bertumbuh, kami yakin hal ini akan sangat membantu dalam mewujudkan komitmen NOICE untuk memajukan industri konten audio di tanah air, sejalan dengan posisi kami saat ini sebagai produsen IP (intellectual property) konten audio terbesar di Indonesia ,” ungkap Niken.

Application Information Will Show Up Here

Otoklix Bags 143.5 Billion Rupiah Series A Funding

After receiving $2 million seed funding or equivalent to 28 billion Rupiah in late 2020, the online-to-offline solution platform that digitizes the automotive aftermarket industry in Indonesia, Otoklix, has received another series A funding worth of $10 million or equivalent to 143.5 billion Rupiah.

This round was led by Alpha JWC Ventures and AC Ventures. The previous investors, including Surge (Sequoia Capital India), Astra International’s Ex-CEO, Prijono Sugiarto, YouTube’s Co-founder and Google’s Executives at XA Network, Steve Chen also participated in this funding.

The company will use the fresh funding to improve touchpoint technology by managing flagship workshops with the O2O concept throughout Indonesia.

Otoklix’ Co-founder & CEO, Martin Suryohusodo revealed to DailySocial that his team is trying to build an automotive ecosystem, not just as a platform. Therefore, Otoklix can provide an O2O Managed Flagship Workshop which is required as a customer experience guarantee.

“After we build a flagship workshop ecosystem with expected customer experience, that is the beginning for us to start using the ecosystem to expand to other adjacent markets. In every business, anyone with an ecosystem will become a market champion. That’s why Indomaret cannot be replaced until now,” Martin said.

In the past year, Otoklix claims to have grown from 100 to more than 1,900 partner workshops, providing services to more than 100,000 customers annually.

“Through an all-in-one application and an integrated ecosystem of manufacturers, distributors, retailers, and workshops, Otoklix provides answers to customers’ and workshops’ challenges at the same time. We are excited to join the Otoklix team to build the best company and product for the market,” Alpha JWC Ventures’ Co-founder & General Partner, Jeffrey Joe said.

Business in time of pandemic

Founded in 2019, Otoklix bridges the gap between automotive vehicle owners and Indonesia’s fragmented independent auto repair sector. They are trying to transform the vehicle maintenance experience for consumers and equip workshops with business software solutions and procurement savings. With the current business growth, Otoklix has the potential to become the largest after-sales service network in Indonesia.

During the pandemic, the automotive industry was one of the most affected markets. With reduced mobility, which resulted in many workshop closures during PPKM.

“To date, we have not only recovered business growth, we have grown even bigger. Our revenue has increased by 5x in November 2021 compared to November 2020,” Martin said.

He also said that due to the rapid recovery of the automotive industry, Otoklix aimed to grew even faster. Also, focus on strengthening the core. Therefore, in the first and second quarters of 2022 the company will focus on being top of mind in car maintenance. This will be Otoklix’s strategy playbook for penetration into other markets outside Jabodetabek.

“In 2022, we will develop from a platform to become a consumer brand. In 2022, we will establish Otoklix flagship workshop, launch private label products, seamless experience using technology for all consumers in all major cities in Java island,” Martin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan seri A Otoklix

Otoklix Kantongi Pendanaan Seri A Senilai 143,5 Miliar Rupiah

Setelah menerima pendanaan awal bernilai $2 juta atau setara 28 miliar Rupiah akhir tahun 2020 lalu, platform solusi online-to-offline yang mendigitalkan industri aftermarket otomotif di Indonesia “Otoklix” kembali menerima pendanaan seri A senilai $10 juta atau setara 143,5 miliar Rupiah.

Putaran ini dipimpin Alpha JWC Ventures dan AC Ventures. Turut berpartisipasi investor sebelumnya yaitu Surge (Sequoia Capital India), Ex-CEO Astra International Prijono Sugiarto, Co-founder YouTube dan Google Executives di XA Network Steve Chen.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk meningkatkan teknologi touchpoint dengan mengelola bengkel flagship dengan konsep O2O di seluruh Indonesia.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Otoklix Martin Suryohusodo mengungkapkan, pihaknya berusaha membangun sebuah ekosistem otomotif, bukan hanya sebagai platform. Maka dari itu, diperlukan O2O Managed Flagship Workshop yang Otoklix dapat berikan sebagai garansi customer experience.

“Setelah kita membangun ekosistem flagship workshop dengan customer experience yang kita harapkan, itu merupakan awal permulaan sebelum kita menggunakan ekosistem tersebut untuk ekspansi ke adjacent market lainnya. Di setiap bisnis, siapa pun yang mempunyai ekosistem akan menjadi market champion. Itulah sebabnya Indomaret sampai detik ini pun belum bisa tergantikan,” kata Martin.

Dalam satu tahun terakhir, Otoklix mengklaim telah berkembang dari 100 menjadi lebih dari 1.900 bengkel mitra, menyediakan layanan kepada lebih dari 100.000 pelanggan setiap tahunnya.

“Melalui aplikasi all-in-one dan terintegrasi ekosistem produsen, distributor, pengecer, dan bengkel, Otoklix memberikan jawaban untuk tantangan yang dihadapi oleh pelanggan dan bengkel sekaligus. Kami bersemangat untuk bergabung dengan tim Otoklix untuk membangun perusahaan dan produk terbaik untuk pasar,” kata Co-founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jeffrey Joe.

Pertumbuhan bisnis saat pandemi

Didirikan pada tahun 2019, Otoklix menjembatani kesenjangan antara pemilik kendaraan otomotif dan sektor bengkel mobil independen Indonesia yang terfragmentasi. Mereka mencoba mengubah pengalaman pemeliharaan kendaraan bagi konsumen dan melengkapi bengkel dengan perangkat lunak bisnis solusi dan penghematan pengadaan. Dengan pertumbuhan bisnis yang telah dicapai, Otoklix memiliki potensi untuk menjadi jaringan layanan purnajual terbesar di Indonesia.

Selama pandemi industri otomotif merupakan salah satu pasar yang sangat terdampak. Dengan penurunan mobilitas, yang mengakibatkan banyak penutupan bengkel selama PPKM.

“Namun saat ini, kami bukan hanya telah memulihkan pertumbuhan bisnis, bahkan telah bertumbuh lebih. Pendapatan kami telah meningkat sebesar 5x di bulan November 2021 jika dibandingkan dengan November 2020,” kata Martin.

Ditambahkan olehnya, melihat pemulihan industri otomotif yang cukup pesat, Otoklix ingin memastikan tumbuh lebih pesat lagi. Namun memfokuskan diri untuk strengthening the core. Maka di kuartal 1 dan 2 tahun 2022 perusahaan akan fokus untuk menjadi top of mind ketika melakukan servis mobil. Hal tersebut akan menjadi playbook strategi Otoklix untuk penetrasi ke pasar-pasar lainnya di luar Jabodetabek.

“Di tahun 2022 ini, kami akan berkembang dari sebuah platform menjadi sebuah consumer brand. Di tahun 2022, kami akan mendirikan Bengkel flagship Otoklix, peluncuran produk private label, seamless experience menggunakan teknologi bagi seluruh konsumen di seluruh kota besar di Pulau Jawa,” kata Martin.

Application Information Will Show Up Here

Noice On-Demand Audio Platform to Close Funding Round in Second Quarter of 2021

Noice’s audio-on-demand platform has received seed funding from several investors, including Kenangan Kapital, Alpha JWC, and Kinesys Group. This round will be used to accelerate the development of Noice’s local content and technology this year. Although the value is undisclosed.

In his interview with DailySocial, Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie revealed there’s another investor, claimed to be a unicorn startup, that is involved. He said this unicorn will provide opportunities for synergy between the two companies and greater technology transfer. “I can’t announce the name yet. We will push [closing] in the second quarter,” Adrian said.

Noice was first developed as a streaming radio platform. However, Adrian said this service is considered insufficient to the growing market. Meanwhile on-demand content is growing rapidly in some countries, including Indonesia.

“If it’s only streaming radio, it seems [lacking] for digital applications. Also, people can still access radio from other media. Therefore, we are looking forward to what will be attractive to consumers through this application, and then we will get to the podcast content,” he said to DailySocial.

With PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) strong position in the radio business, the company also formed a joint venture with PT Quatro Kreasi Indonesia to establish PT Mahaka Radio Digital, Noice’s parent company. Quatro is a consortium of four recording companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

This consortium, Adrian said, is linked to the common vision of each music label owner to develop applications that focus on local voice-based content.

Investors in tech

This year, Noice will focus on developing application platforms and content localization. Those two things had was not the company’s main focus at first, considering that Mahaka Radio Integra’s main business was producing content. Adrian also said that the Noice platform was not quite optimal at that time in terms of technology as it was developed by a third party.

“We are not a tech company. However, we are aware that we cannot develop from content alone in the future, technology is necessary. Therefore, we have two concerns, content and technology. Mahaka Radio Integra and Quatro are strong in content, and we try to find investors who can provide support in technology,” Adrian said to DailySocial.

Kenangan Kapital is an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder and CEO, Edward Tirtanata, which focuses on portfolios in consumer tech. Kopi Kenangan is also part of the Alpha JWC portfolio. Meanwhile, Kinesys Group focuses on early-stage startup funding.

“Currently, investors are yet to act as shareholders because [their investment] is in the form of convertible loans, which will then be converted into equity. We are looking for partners who can provide guidance in terms of technology and collaboration. For example, investors invest in other portfolios, to be synergized with Noice. We do it gradually as we focus on developing content,” he explained.

With this rank of investors, Noice has added new resources that will focus on the technology side. The company formed a special team from India to internally develop the platform.

Business roadmap 2021

Furthermore, Adrian said that Noice’s technology focuses divided into three phases. First, the launch of the Noice 2.0 beta platform with the new UI / UX this March. Second, the company will launch the 2.X version in May. In this phase, Noice starts to enter an open platform, aka content that can be uploaded individually or personalized content. Third, Noice will begin monetization, either with an advertising or subscription scheme.

With this platform, the company began to boost the number of podcast content this year targeting 4,000-5,000 episodes. As of December, Noice has more than 3,000 podcast episodes, 62 podcast content titles, and signed up to 80 podcasters.

Adrian said, entertainment content, especially comedy and horror, is currently the most popular genre in Indonesia. Nevertheless, Noice will continue to expand its content into various categories, such as education and business. “We produce 95% of the content on Noice ourselves. We hired an exclusive podcaster. We run the idea and podcaster execute the content,” he explained.

For now, Noice content can still be accessed for free. Monetization will only be discussed if the user base, monthly active users (MAU), and time spend increase. Regarding target, Noice is aiming for an increase in user base up to four times from its current position, total play up to eight times, and the amount of exclusive original content increased by two times.

“Currently, we have not focused on monetization as resistance is still an issue with the Indonesian market when talking about the subscription system. Of course, we will start to accelerate advertising and subscription schemes in the future, maybe later in the third stage.”

Based on Spotify data, Indonesia will dominate the most podcast consumption in Southeast Asia in 2020. As many as 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Noice telah memperoleh investasi dari Kenangan Kapital, Alpha JWC, dan Kinesys Group. Diklaim sebuah startup unicorn turut berpartisipasi

Platform Audio On-Demand Noice Targetkan Tutup Putaran Pendanaan di Kuartal II 2021

Platform audio on-demand Noice telah menerima perolehan pendanaan tahap awal dari sejumlah investor, yakni Kenangan Kapital, Alpha JWC, dan Kinesys Group. Investasi ini akan digunakan untuk menggenjot pengembangan teknologi dan konten lokal Noice pada tahun ini. Nilai investasinya sendiri tidak disebutkan.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap bahwa ada satu investor lagi, diklaim adalah startup unicorn, yang akan masuk ke pendanaan ini. Menurutnya, keterlibatan unicorn ini bakal memberikan peluang sinergi kedua perusahaan dan transfer teknologi yang lebih besar. “Saya belum bisa announce namanya. Kami akan push [closing] di kuartal kedua ini,” ujar Adrian.

Semula Noice dikembangkan sebagai platform radio streaming. Namun, menurut Adrian, layanan ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang kian berkembang. Sementara konten on-demand tumbuh pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Dengan posisi kuat PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) di bisnis radio, perusahaan pun membentuk joint venture dengan PT Quatro Kreasi Indonesia untuk mendirikan PT Mahaka Radio Digital yang menaungi Noice. Quatro merupakan konsorsium dari empat perusahan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Konsorsium ini, ujar Adrian, terjalin dari kesamaan visi dari masing-masing pemilik label musik untuk mengembangkan aplikasi yang fokus pada konten lokal berbasis suara.

Investor yang memberikan dukungan di teknologi

Tahun ini, Noice akan fokus pada pengembangan platform aplikasi dan lokalisasi konten. Kedua hal tersebut tadinya belum menjadi fokus utama perusahaan mengingat bisnis utama Mahaka Radio Integra adalah memproduksi konten. Adrian juga menyebut platform Noice belum optimal dari sisi teknologi karena saat itu dikembangkan oleh pihak ketiga.

“Kami memang bukan tech company. Namun kami sadar ke depannya tidak bisa berkembang dari konten saja, tetapi juga dari teknologi. Dari sini, kami punya dua concern, yakni konten dan teknologi. Karena Mahaka Radio Integra dan Quatro kuat di konten, kami coba cari investor yang bisa memberikan support di teknologi,” ungkap Adrian kepada DailySocial.

Kenangan Kapital merupakan angel fund milik Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang fokus pada portofolio di consumer tech. Kopi Kenangan juga merupakan bagian dari portofolio Alpha JWC. Sementara, Kinesys Group fokus terhadap pendanaan startup tahap awal.

“Saat ini, investor belum masuk sebagai pemegang saham karena [investasinya] masih dalam bentuk convertible loans, nanti baru dikonversi menjadi equity. Kami memang mencari partner yang bisa memberikan guidance dari sisi teknologi dan kolaborasi. Misal, investor berinvestasi ke portofolio lain, ini bisa disinergikan ke Noice. Kami lakukan bertahap karena kami fokus perkuat di konten,” paparnya.

Dengan keterlibatan investor ini, Noice telah menambah resource baru yang akan fokus dari sisi teknologi. Perusahaan membentuk tim khusus dari India untuk mengembangkan platform Noice secara internal ke depannya.

Roadmap bisnis 2021

Lebih lanjut, Adrian menyebutkan fokus pada pengembangan teknologi Noice terbagi dalam tiga fase. Pertama, peluncuran platform Noice 2.0 beta dengan UI/UX baru pada Maret ini. Kedua, perusahaan akan meluncurkan platform Noice versi 2.X pada Mei mendatang. Di fase ini, Noice mulai masuk ke jenis konten yang bisa open platform alias konten yang dapat diunggah sendiri atau personalized content. Ketiga, Noice akan mulai melakukan monetisasi, baik dengan skema iklan maupun berlangganan.

Dengan pengembangan platform ini, perusahaan mulai menggenjot jumlah konten podcast di tahun ini dengan target konten mencapai 4.000-5.000 episode. Per Desember, Noice telah memiliki lebih dari 3.000 episode podcast, 62 judul konten podcast, dan mengontrak sebanyak 80 podcaster.

Menurut Adrian, saat ini jenis konten hiburan, terutama komedi dan horor, masih menjadi genre paling diminati di Indonesia. Kendati demikian, Noice akan terus memperluas konten ke depan ke berbagai kategori, seperti edukasi dan bisnis. “Sebanyak 95% konten di Noice itu kami produksi sendiri. Kami kontrak podcaster secara eksklusif. Kami godok idenya dan podcaster yang eksekusi kontennya,” jelasnya.

Untuk sekarang, konten Noice masih bisa diakses secara gratis oleh pengguna. Monetisasi baru akan digodok apabila user basemonthly active users (MAU), dan time spend meningkat. Targetnya, Noice mengincar kenaikan user base hingga empat kali lipat dari posisinya sekarang, total play hingga delapan kali lipat, dan jumlah konten original eksklusif hingga dua kali lipat.

“Saat ini kami belum fokus monetisasi karena pasar Indonesia masih ada penolakan jika bicara sistem berlangganan. Tentu skema iklan dan berlangganan akan kami mulai genjot ke depan, mungkin nanti di tahap ketiga.”

Berdasarkan data Spotify, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Saturdays Boosts Omnichannel Network Expansion After Seed Funding

The direct-to-consumer startup, Saturdays, has just announced seed funding from three venture capitals, including Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, and Alto Partners. In fact, this round was closed in 2020, the announcement is just arrived. The fresh funds will be focused on expanding offline stores and strengthening the omnichannel network.

In a general note, Saturdays offers lifestyle products with eyewear as its main business. With the DTC model, Saturdays produced its own lens and frame materials, from design, manufacturing, to direct delivery to consumers. Saturdays was founded by Rama Suparta and Andrew Kandolha in 2016.

In terms of sales, Saturdays has adopted the online-to-offline (O2O) model through websites and retail stores. Its first flagship store is located at Lotte Shopping Avenue, Jakarta, which is integrated with a coffee shop for a lifestyle effect.

Today, Saturdays also announced a new online sales channel, the Saturdays Lifestyle. This application allows users to shop for eyewear products on an O2O basis. Users can now download it via iOS and Android devices.

In his statement, Saturdays’ Co-founder Rama Suparta said that there are some integrated O2O shopping features available for users, such as online purchases, then picking them up at offline stores. Saturdays also present several payment options, including Buy Now Pay Later from Kredivo.

“One of the best features in this application is the Home Try-On reservation. This is Saturdays’ breakthrough by presenting an at-home eyeglass trial program. Customers only need to set a date, select ten frames, set an address, and get selected Arabica coffee, all for free,” Rama said.

Furthermore, Saturdays will continue to add offline store chains with a lifestyle to other big cities this year. Currently, the company has eight offline stores spread across the Jabodetabek area.

According to Rama, since the beginning, Saturdays was inspired by the unicorn startup Warby Parker who kicked off the conventional eyewear industry, by creating products that were authentic, affordable, and easy. Thus, by cutting significant brokerage fees, the company shares a vision of offering high-quality eyewear at affordable prices.

“We want to provide an extraordinary shopping experience for customers who are used to shopping with conventional and boring models. In the future, we will continue to innovate to become the dominant market leader in Indonesia,” Rama concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Saturdays meluncurkan aplikasi O2O terintegrasi / Saturdays

Saturdays Gencarkan Ekspansi Jaringan Omnichannel Setelah Bukukan Pendanaan Awal

Startup direct-to-consumer Saturdays baru saja mengumumkan pendanaan seed dari tiga pemodal ventura, antara lain Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners. Sebenarnya putaran ini sudah ditutup sejak tahun 2020 lalu, hanya saja baru diumumkan sekarang. Investasi ini difokuskan untuk ekspansi toko offline dan memperkuat jaringan omnichannel.

Seperti diketahui, Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Dengan model DTC, Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen. Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016.

Dari sisi penjualan, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. 

Kali ini, Saturdays sekaligus mengumumkan channel penjualan online baru, yakni aplikasi Saturdays Lifestyle. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk berbelanja produk eyewear secara O2O. Kini pengguna sudah bisa mengunduhnya melalui perangkat iOS dan Android.

Dalam keterangannya, Co-founder Saturdays Rama Suparta mengatakan bahwa pengguna dapat menikmati sejumlah fitur belanja O2O yang terintegrasi, seperti melakukan pembelian online, lalu mengambilnya di toko offline. Saturdays juga menghadirkan beberapa opsi pembayaran, seperti Buy Now Pay Later dari Kredivo.

“Salah satu fitur terbaik di aplikasi ini adalah reservasi Home Try-On. Ini merupakan terobosan Saturdays dengan menghadirkan program coba kacamata di rumah. Pelanggan tinggal menentukan tanggal, memilih sepuluh bingkai, menetapkan alamat, dan mendapatkan kopi Arabica pilihan, semua secara gratis,” ujar Rama.

Lebih lanjut, Saturdays akan terus menambah jaringan toko offline dengan sentuhan lifestyle ke kota-kota besar lain di tahun ini. Saat ini, perusahaan telah memiliki delapan toko offline yang tersebar di area Jabodetabek.

Menurut Rama, sejak awal Saturdays terinspirasi oleh startup unicorn Warby Parker yang menggebrak industri kacamata konvensional, dengan menciptakan produk yang otentik, terjangkau, dan mudah. Maka itu, dengan memotong biaya jasa perantara yang signifikan, perusahaan memiliki visi yang sama untuk menawarkan kacamata berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

“Kami ingin memberikan pengalaman berbelanja luar biasa bagi para pelanggan yang terbiasa belanja dengan model konvensional dan membosankan. Ke depannya, kami akan terus berinovasi untuk menjadi pemimpin pasar yang dominan di Indonesia,” tutup Rama.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures’ Focus and Plans Amid Pandemic

With many VCs performing tight curation, even postpone their investment plans to startup during the pandemic, Alpha JWC Ventures claimed to be quite aggressive in pouring fresh funds into startups in Indonesia. Reportedly, they have announced follow-on funding on 3 of the portfolios. Those include Kopi Kenangan, GudangAda, and Bobobox.

The three startups are Alpha JWC’s preference, as the business model innovations in the industry engaged with people’s basic needs. For example, FMCG – daily-consumed products, yet the industry is still constrained by supply chain structures and traditional transaction processes.

When the pandemic strikes and business activities are limited, these items cannot reach the end consumer as expected. Such startups as GudangAda plays an important role in providing solutions for traders to carry out the transaction (trading) flows, at various levels of the supply chain, in a simplified way through their marketplace platforms and logistics service.

Bobobox is also quite interesting. When the occupancy rate in the hotel industry has dropped dramatically, they provide long-stay accommodation for people who need adequate work-at-home facilities, and also modify their pods into medical rest space.

“We are looking for a startup with a clear vision, a distinctive value proposition, and an agile organizational and cultural structure, therefore, they can adapt to various challenges. Such companies will be able to maintain relevance, develop according to their potential expectations, and eventually became a market leader,” Alpha JWC’s Partner, Eko Kurniadi said.

Alpha JWC is also conducting an assessment of new startups in various funding phases. On the other hand, the team internally focused on helping founders in the current portfolio, both strategically and financial support in the form of follow-on funding.

Business adjustment during pandemic

In particular, Alpha JWC eyes structural changes in the startup business model, as a result of a pandemic that caused changes in consumer consumption behavior and patterns. Businesses are then ‘forced’ to look for new ways to maintain their relevance among consumers – including changes in the customer acquisition process, user experience innovation, and the search for new sources for monetization.

Another thing worth highlighting is the importance of strong business and financial fundamentals. The term ‘growing at all cost’ is no longer the single important line for startups. Startups are now required to show healthy unit economics calculations and clear business plans to achieve profitability.

On the other hand, adjustments or corrections to valuation calculations will also occur through natural selection. The number of startups with funding demand will rise, especially in difficult times. On the contrary, most investors take a more cautious and selective approach in choosing which companies to invest. It is due to the mismatch between supply and demand, price correction (valuation) in the market arose.

The tech industry has helped accelerate digital adoption in traditional industries. This has been visible in some sectors and it is expected that the changes are to spread to other industries such as FMCG, F&B, finance, agriculture, entertainment, and others. Pandemics also create opportunities for many consumers, who were previously conservative, to try technology products offering more convenience.

“Looking at some of the more mature (later-stage) startups in the sectors we discussed earlier, I believe they have the right ingredients to maintain this momentum, even after the pandemic ends – then, it’s a matter of proper execution at the right time,” Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Jajaran manajemen dan tim Alpha JWC Ventures / Alpha JWC

Fokus dan Rencana Investasi Alpha JWC Ventures di Tengah Pandemi

Meskipun kebanyakan VC memilih untuk melakukan kurasi ketat, bahkan menunda, rencana investasinya ke startup, namun selama pandemi Alpha JWC Ventures mengklaim justru cukup agresif menggelontorkan dana segar kepada startup di Indonesia. Tercatat mereka telah mengumumkan pendanaan lanjutan (follow-on funding) bagi 3 dari portofolio. Di antaranya adalah Kopi KenanganGudangAda, dan Bobobox.

Ketiga startup tersebut menjadi pilihan Alpha JWC, dilihat dari inovasi model bisnis dalam industri yang justru merupakan basic needs dari masyarakat. Contohnya, FMCG — kebutuhan pokok masyarakat yang dikonsumsi sehari-hari, namun industri tersebut masih terkendala struktur supply chain dan proses transaksi yang masih tradisional.

Pada saat pandemi melanda dan berbagai kegiatan bisnis menjadi terbatas, barang-barang tersebut tidak dapat sampai ke pintu konsumen akhir seperti yang diharapkan. Startup seperti GudangAda memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi para pedagang agar tetap dapat menjalankan arus transaksi (jual-beli) mereka, di berbagai level supply chain, dengan jauh lebih mudah melalui platform marketplace dan layanan logistiknya.

Bobobox juga menjadi contoh menarik. Di saat occupancy rate di industri perhotelan menurun drastis, mereka menyediakan penginapan long-stay bagi masyarakat yang butuh fasilitas bekerja di rumah yang memadai, dan juga memodifikasi pods mereka menjadi tempat istirahat tenaga medis.

“Yang kami cari adalah startup yang memiliki visi jelas, value proposition yang distinctive, dan struktur organisasi dan culture yang agile, sehingga mereka dapat beradaptasi dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Perusahaan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan relevansi, berkembang sesuai harapan atas potensinya, dan akhirnya menjadi market leader,” kata Partner Alpha JWC Eko Kurniadi.

Alpha JWC juga sedang melakukan assessment kepada startup baru dalam fase proses pendanaan yang beragam. Di sisi lain, secara internal tim juga fokus untuk membantu founder dalam portofolio binaan, baik secara strategis maupun dukungan finansial dalam bentuk pendanaan lanjutan.

Penyesuaian bisnis startup saat pandemi

Secara khusus Alpha JWC melihat perubahan struktural pada model bisnis startup terjadi, akibat dari pandemi yang menyebabkan perubahan dalam perilaku dan pola konsumsi konsumen. Pelaku bisnis kemudian ‘dipaksa’ untuk mencari cara-cara baru untuk mempertahankan relevansi mereka di mata konsumen — termasuk perubahan dalam proses akuisisi pelanggan, inovasi user experience, dan pencarian sumber-sumber baru untuk monetisasi.

Hal lain yang kemudian menjadi perhatian adalah, pentingnya fundamental bisnis dan finansial yang kuat. Istilah ‘growing at all cost’ bukan lagi merupakan satu-satunya hal utama bagi startup. Startup kini dituntut untuk menunjukkan perhitungan unit economics yang sehat dan rencana bisnis yang jelas untuk mencapai profitabilitas.

Di sisi lain penyesuaian atau koreksi perhitungan valuasi juga akan terjadi melalui proses seleksi alam. Jumlah startup yang membutuhkan dana akan bertambah, terutama di masa sulit seperti ini. Namun sebaliknya, investor kebanyakan mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dan selektif dalam memilih perusahaan mana yang akan didanai. Karena adanya mismatch antara supply dan demand, koreksi harga (valuasi) di pasar pun terjadi.

Industri teknologi juga turut membantu mempercepat adopsi digital di industri tradisional. Hal ini sudah terlihat di beberapa sektor tersebut dan diharapkan perubahan ini akan terus cepat menyebar ke industri lainnya seperti FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, hiburan, dan lainnya. Pandemi juga menciptakan peluang bagi banyak konsumen, yang tadinya cenderung konservatif, untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan convenience. 

“Melihat beberapa startup yang lebih matang (later-stage) di sektor-sektor yang tadi kita bahas, saya percaya mereka memiliki ingredients yang tepat untuk menjaga momentum ini, bahkan setelah pandemi berakhir — dari situ, hanya tinggal masalah eksekusi yang benar di saat yang tepat,” kata Eko.

Keterbatasan "ticket size" dan belum banyak pengalaman di sektor digital menjadi kendala investor lokal untuk berpartisipasi di pendanaan tahap lanjut

Menyiasati Terbatasnya Investor Lokal di Pendanaan Tahap Lanjut

Meskipun makin banyak memberikan pendanaan di tahap awal (seed), jumlah investor lokal yang berpartisipasi di pendanaan tahap lanjut masih cukup terbatas.

Di Indonesia, mereka yang terlibat di pendanaan Seri B ke atas biasanya adalah Corporate Venture Capital (CVC) atau yang didukung keluarga konglomerat ternama.

Persoalan keterbatasan “ticket size”

Tentunya banyak alasan mengapa belum banyak investor lokal bermain di tahapan lanjutan. Salah satunya masih belum besarnya ticket size atau jumlah investasi yang bisa mereka gelontorkan untuk setiap startup. Biasanya perusahaan modal ventura lokal telah memiliki nominal yang sudah ditentukan.

“Saya melihat untuk melakukan pendanaan dengan nominal yang besar, misalnya $20 juta ke atas, agak sulit untuk venture capital lokal. Pada akhirnya yang bisa membantu adalah Corporate Venture Capital (CVC) atau Private Equity,” kata CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Hal senada diungkapkan CEO Akseleran Ivan Tambunan. Menurutnya, untuk tahapan Seri B ke atas, belum banyak venture capital lokal yang bisa memberikan nominal lebih besar.

Untuk ticket size pendanaan tahap awal rata-rata VC memberikan mulai dari $500 ribu hingga $1 juta. Jika startup mulai masuk ke tahapan lanjutan, jumlahnya bisa beragam sesuai kebutuhan dan perjanjian.

To be honest, aku selalu lihat values sih, bukan hanya besaran uang. Contoh jika ada investor asing mau invest $10 juta lalu ada investor lokal mau investasi $3 juta ditambah akses ke pemerintahan, akses ke media, akses ke grupnya dia yang merupakan potential client/partner bisnis kita. Kita akan ambil yang mana?,” kata CEO Telunjuk Hanindia Narendrata (Drata).

Nilai tambah, termasuk dalam bentuk jaringan dan akses, menjadi faktor penting di luar nominal uang yang ditawarkan.

Venture capital lokal maupun asing bisa dipertimbangkan selama relevan dengan strategi dan visi-misi perusahaan. Perusahaan lokal akan dapat memberikan value add yang kuat dalam business development, organization building, dan business network untuk menguasai pangsa nasional. Jika menargetkan go international ataupun regional, perusahaan asing tentunya dapat memberikan value add tersendiri,” kata Principal Investment Alpha JWC Ventures Melina Subastian.

Menentukan pilihan

Pada akhirnya, ketika berbicara soal penggalangan dana, semua kembali lagi ke visi dan misi startup. Pendiri startup dan jajaran manajemen bisa menentukan pilihan sesuai dengan roadmap yang bakal diterapkan selanjutnya.

Jika startup lebih banyak terlibat dengan jaringan perusahaan lokal dan pemerintahan, ada baiknya untuk memilih investor lokal dan meminimalisir keterlibatan investor asing. Sebaliknya, jika berupaya melakukan ekspansi global, mulailah mencari tahu dan membuka jaringan lebih luas dengan investor asing.

“Mungkin yang harus diperhatikan ketika startup memilih investor asing untuk pendanaan adalah apakah pada akhirnya investor akan menempatkan talenta asing, seperti engineer dan posisi lainnya, ke dalam tim startup. Hal tersebut yang perlu diperhatikan jika startup melakukan penggalangan dana memanfaatkan investor asing,” kata CEO Nodeflux Meidy Fitranto.

Meidy menambahkan, ke depannya persaingan secara global tidak hanya terkait segmentasi pasar dan peluang bisnis, namun juga bagamana inovasi masing-masing negara bisa menjadi yang terdepan. Akan lebih ideal jika produk lokal diciptakan talenta lokal pula.

Menurut Drata, secara umum belum banyak investor lokal yang memiliki pengalaman di dunia digital ini. D sisi lain, investor di Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa sudah memiliki pengalaman lebih baik.

“Saya percaya dan tren sudah membuktikan, makin ke sini jumlah investor lokal tahap lanjutan makin banyak. Sejarah membuktikan, dulu investor lokal tahap awal saja jarang sekali jumlahnya, sekarang sudah menjamur. Jadi para investor lokal juga butuh success stories sebelum memutuskan ‘nyemplung’ lebih jauh.”

Startup yang berencana menggalang dana tahapan lanjutan sebaiknya mengenali profil VC/CVC yang dibidik, dalam bentuk tesis, portofolio, tim, dan value added yang bisa diberikan.

Pastikan mereka adalah mitra yang tepat dan dapat bekerja sama dalam membangun bisnis ke depannya.

“Melihat hal ini, kami [Alpha JWC] berusaha untuk menjadi venture capital berbasis Indonesia yang dapat memberikan pendanaan tahap lanjut hingga $10 juta, sekaligus untuk dapat membantu pembangunan startup di Indonesia yang telah mencapai tahap lanjut,” kata Melina.