Tag Archives: Amvesindo

Regulasi Venture Capital OJK

Ringkasan POJK 25/2023 tentang Kegiatan Usaha Modal Ventura

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 25 Tahun 2023 yang akan mengatur lebih lanjut terkait penyelenggaraan perusahaan modal ventura di Indonesia.

POJK ini diamanatkan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) guna mendukung perkembangan industri dan kebutuhan hukum perusahaan ventura saat ini.

Perusahaan modal ventura memiliki peran penting dalam satu dekade terakhir dalam mendorong industri startup di Indonesia melalui fasilitas pendanaan yang selama ini tidak dapat diakomodasi oleh lembaga keuangan, seperti bank. Startup juga berperan terhadap pembukaan lapangan kerja baru.

“Salah satu pokok pengaturan dalam POJK ini adalah adanya pengkategorian perusahaan modal ventura dan perusahaan modal ventura syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya,” demikian OJK dalam keterangan resminya.

Ringkasan pasal pokok

Berikut rangkuman beberapa pasal pokok terkait kategori perusahaan dan kegiatan usaha dan dalam POJK ini.

Pasal 9 Ayat 1a menyatakan perusahaan berbentuk venture capital corporation wajib menjalankan kegiatan usaha sesuai kategori:

  • Perusahaan Modal Ventura (PMV): perusahaan yang fokus pada kegiatan penyertaan modal dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi.
  • Perusahaan Modal Ventura Syariah (PMV) dan Unit Usaha Syariah (UUS): perusahaan yang fokus pada kegiatan penyertaan modal dan/atau penyertaan melalui pembelian sukuk konversi.
  • Ketiga kategori ini dapat mengelola dana ventura.

Sementara, Pasal 9 Ayat 1b menyatakan perusahaan berbentuk venture debt corporation wajib menjalankan kegiatan usaha sesuai kategori:

  • PMV: pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal dan/atau pengembangan usaha.
  • PMVS dan UUS: pembiayaan melalui pembelian sukuk yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal dan/atau pengembangan usaha pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil.

Adapun, Pasal 13 Ayat 2 merincikan sejumlah kegiatan usaha pada modal ventura dan modal ventura syariah dengan tujuan pengembangan pada penemuan baru, usaha perseorangan yang mengalami kesulitan dana, UMKM dan korporasi, pengambilalihan usaha yang sedang berkembang atau alami kemunduran, proyek penelitian, teknologi baru, hingga pengalihan kepemilikan.

Selain itu, dalam keterangannya, OJK juga menyampaikan beberapa penguatan regulasi pada POJK Nomor 25 Tahun 2023, yakni terkait:

  1. Prudensial: mengatur kewajiban PMV dan PMVS untuk memelihara dan/atau meningkatkan tingkat kesehatan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam menjalankan kegiatan usaha
  2. Pengelolaan Dana Ventura 
POJK: mengatur lebih lengkap terkait permohonan izin pengelolaan dana ventura hingga pembubaran dana ventura. Poin ini juga mengatur persyaratan SDM dan struktur organisasi PMV dan PMVS yang akan mengelola dana ventura, termasuk penggunaan nama dana ventura, hingga penempatan dana ventura.

Kinerja modal ventura

Sebelumnya, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) sempat memberikan sejumlah usulan kepada OJK agar merombak pada kebijakan pada penyelenggaraan modal ventura. Hal ini guna mendorong kontribusi industri terkait ke Indonesia, misalnya soal insentif dan kolaborasi.

Mengutip Bisnis.com, OJK melalui data Statistik Lembaga Pembiayaan edisi Juni 2023 mencatat total aset yang dimiliki perusahaan modal ventura sebesar Rp27,3 triliun pada semester pertama 2023, naik 14% dari Rp23,9 triliun pada periode sama tahun sebelumnya. 

Total pendapatannya tercatat tumbuh 20,1% (YoY)menjadi Rp2,37 triliun. Namun, laporan mengungkap bahwa perusahaan modal ventura mengalami penurunan laba bersih hingga 19,7% (YoY) menjadi Rp176 miliar pada semester I 2023.

Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mengusulkan lima hal kepada regulator guna mendorong industri modal ventura yang lebih bergairah

5 Usulan AMVESINDO ke Regulator, Rombak Industri Modal Ventura Agar Bergairah

Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mengusulkan 5  hal kepada regulator (dalam hal ini OJK) guna mendorong industri modal ventura yang lebih bergairah dan memberikan kontribusi yang signifikan di Indonesia. Kelima usulan tersebut, antara lain:

  1. Pemisahan perusahaan modal ventura (PMV) dalam kategorisasi perusahaan pembiayaan di data industri OJK. Hal ini dilatarbelakangi oleh peran PMV yang masih tergolong kecil di dalam industri keuangan nonbank. Diharapkan pemisahan ini dapat membuat PMV dapat memperbaiki dan meningkatkan peran untuk kontribusi yang lebih baik. Dalam data OJK per Juni 2023, total aset perusahaan pembiayaan mencapai Rp524,4 triliun, perusahaan pembiayaan infrastruktur sebesar Rp131,59 triliun, dan PMV sebesar Rp27,35 triliun.
  2. Pemisahan PMV yang berfokus pada pembiayaan dan yang berfokus pada penyertaan saham, serta peraturan yang berbeda untuk keduanya. Usulan ini muncul karena didorong oleh adanya penyamaan aturan antara perusahaan pembiayaan dan modal ventura berbasis penyertaan saham. Sementara, keduanya memiliki bisnis yang jauh berbeda, sehingga memberikan dampak berupa penurunan jumlah PMV yang terus tergerus.
  3. Perlunya insentif kepada investor, termasuk penguatan regulasi mengenai Kontrak Investasi Bersama (KIB), proses perizinan yang lebih efisien, serta edukasi bersama antara asosiasi dengan pemangku kepentingan terkait. Tujuannya agar Dana Ventura (DV) diminati oleh banyak investor lokal. Usulan ini muncul didorong oleh praktik pendanaan PMV masih didominasi dari sektor perbankan, kendati telah ada sarana Dana Ventura (Dana berbasis Kontrak Investasi Bersama/KIB).
  4. PMV, terutama Perusahaan Modal Ventura Daerah (PMVD) didorong untuk melakukan kegiatan usaha yang berbasis penyertaan saham, sehingga persentase produk pembiayaan penyertaan saham bertambah dan masif dilakukan oleh seluruh PMVD. Tak hanya itu, PMVD juga diharapkan dapat melakukan investasi di DV dan dianggap sebagai penyertaan saham. Usulan ini didorong oleh mandat PMV yang sejatinya adalah penyertaan saham. Alhasil, statistik pembiayaan IKNB per Juni 2023 bersifat tidak ideal karena menunjukkan pembiayaan/penyertaan modal ventura berdasarkan kegiatan usaha yang didominasi oleh pembiayaan usaha produktif (59,99%), penyertaan saham (35,88%), obligasi konversi (4,13%), dan pembelian surat utang (0%), dari total pembiayaan dari industri ini sebesar Rp18,22 triliun.
  5. Dukungan untuk kolaborasi bersama pihak terkait untuk memperkuat industri modal ventura, melalui peningkatan kompetensi dan sertifikasi. Asosiasi membentuk Amvesindo Institute yang diresmikan beberapa waktu lalu untuk meningkatkan kompetensi dan sertifikasi, serta berencana memperoleh izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Sebagai catatan, Amvesindo Institute didirikan dalam entitas PT Lembaga Karya Amvesindo (LKA) yang berperan sebagai usaha berorientasi pendapatan dan laba agar sebagai asosiasi, Amvesindo dapat beroperasi dengan lebih baik. Amvesindo Institute terbuka untuk bekerja sama dengan para perusahaan dalam model B2B dan mengundang para perusahaan non-modal ventura untuk bergabung, agar inovasi melalui teknologi dapat menjadi lebih baik.

Dalam kesempatan tersebut, asosiasi juga memaparkan kinerja industri modal ventura sepanjang paruh pertama 2023 naik menjadi Rp27,35 triliun dari sebelumnya Rp25,94 triliun pada Desember 2022. Kenaikan ini memberikan sinyal positif terhadap startup di Indonesia. Pada periode yang sama, jumlah PMV tercatat konsisten berada di angka 55 perusahaan.

“Industri modal ventura bergerak semakin baik, salah satu indikasinya adalah pertumbuhan aset industri modal ventura sepanjang pertengahan pertama tahun 2023. Namun, masih tetap dibutuhkan kolaborasi bersifat pentahelix dari berbagai pihak terkait, termasuk pihak pemerintah dan PMV, untuk mencapai pertumbuhan yang lebih baik atau eksponensial,” ucap Ketua AMVESINDO Eddi Danusaputro dikutip dari keterangan resmi.

Lima usulan ini disampaikan bersamaan dengan baru dilantiknya Agusman sebagai dewan komisioner OJK pada pekan awal Agustus 2023. Agusman menduduki kursi Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

AMVESINDO: Total Aset Modal Ventura Capai Rp28 Triliun di Kuartal Pertama 2023

Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) menyampaikan total aset industri modal ventura mencapai Rp27,9 triliun di kuartal pertama 2023. Disampaikan dalam Rapat Umum Anggota (RUA), pencapaian tersebut tumbuh 17,26% dibandingkan kuartal pertama 2022 yang sebesar Rp23,09 triliun.

Sekadar informasi, Rapat Umum Anggota membahas tentang perkembangan industri modal ventura. Dalam rapat ini, AMVESINDO menyatakan optimisme dapat melewati tahun 2023 dengan gerilya.

Ketua Umum AMVESINDO, Eddi Danusaputro menilai industri tengah melalui periode yang berbeda dan menantang ketika kepengurusan AMVESINDO baru dibentuk di 2022. Hal ini di antaranya perubahan pasca-pandemi, perang di Eropa yang memengaruhi rantai pasok dunia dan harga, keuangan global, menurunnya investasi di Asia, serta layoff di perusahaan teknologi.

“Namun, industri modal ventura tetap mencatatkan hal yang positif, di mana terdapat peningkatan aset sebesar 17,26% pada kuartal pertama 2023 dibandingkan dengan kuartal pertama 2022,” jelas Eddi.

Sumber: AMVESINDO

Pada grafik di atas, total aset modal ventura konvensional dan syariah tercatat mengalami peningkatan masing-masing sebesar 23,42 triliun dan Rp4,49 triliun, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp19,31 triliun (konvensional) dan Rp3,78 triliun (syariah).

AMVESINDO meyakini pertumbuhan industri modal ventura terjadi berkat upaya kerja keras dan konsistensi dalam menjalankan corporate governance dan memenuhi regulasi yang dilakukan oleh Perusahaan Modal Ventura konvensional (PMV), Perusahaan Modal Ventura Daerah (PMVD), dan Perusahaan Modal Ventura Syariah (PMVS).

Di ranah regional, tren investasi juga tercatat mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Mengutip dari laporan terbaru Momentum Works dan Cento Ventures dalam “Southeast Asia Tech Invesment 2022”, startup Asia Tenggara mengumpulkan pendanaan senilai $10,4 miliar pada 2022, tahun terkuat ketiga dalam catatan, dan setara dengan tingkat investasi pra-pandemi.

Laporan tersebut menyebutkan, total dana yang terkumpul di 2021 sebanyak $14,5 miliar. Kemudian di 2022, kawasan ini menutup sebanyak 929 kesepakatan, turun tipis dari 991 kesepakatan di 2021. Disebutkan dalam laporan tersebut, “Asia Tenggara tidak melihat defisit modal investasi yang tidak normal hingga akhir 2022 meski suasana pasar modal sedang buruk.”

Amvesindo Institute

Sejak didirikan pada 2016, AMVESINDO bertujuan menciptakan industri modal ventura yang lebih kuat sehingga bermanfaat lebih baik bagi ekosistem startup. Di tahun ke-7, AMVESINDO Institute didirikan untuk memperkuat strategi asosiasi meningkatkan ekosistem modal ventura dan startup. Tujuan lainnya adalah memperkuat sinergi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan PMVD.

Program AMVESINDO Institute berfokus pada peningkatan kompetensi pengurus PMV dan PMVS agar tetap relevan dengan kebutuhan dan perkembangan pasar, serta pengembangan untuk mengasah keterampilan dan membangun pengalaman yang dapat menjadi pertimbangan kualifikasi sertifikasi kompetensi untuk bisnis modal ventura di setiap perusahaan.

AMVESINDO Institute yang berdiri dengan entitas PT Lembaga Karya AMVESINDO berperan sebagai usaha berorientasi pendapatan dan laba, serta dijalankan di bawah kepemimpinan para pengurus perusahaan modal ventura sekaligus AMVESINDO antara lain Jefri Rudyanto Sirait, Sandhy Widyasthana, Edward Ismawan Chamdani, Rimawan Yasin MM, dan Rachmat Faizal Nasution.

“Melalui inisiatif dan usulan kami di atas, AMVESINDO akan semakin mengukuhkan perannya dalam terus meningkatkan peran industri modal ventura untuk ekosistem startup yang lebih baik, dan dapat bermanfaat untuk perekonomian Indonesia sebagai bagian dalam perekonomian Asia Tenggara, Asia, dan global. Kami juga mengundang perusahaan non-modal ventura baik korporasi atau startup untuk bergabung bersama AMVESINDO,” tutup Dennis Pratistha, Wakil Ketua I AMVESINDO.

AMVESINDO: Peran Perusahaan Modal Ventura Daerah Belum Optimal

Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) baru saja merilis laporan terkait kinerja industri modal ventura di 2022. Pihaknya mencatat pertumbuhan aset pada Perusahaan Modal Ventura (PMV) yang diikuti dengan tren penurunan jumlah PMV di sepanjang tahun. 

Dalam laporannya, gabungan aset PMV, baik konvensional maupun syariah, naik mencapai Rp25 triliun. Kenaikan tersebut didorong oleh peningkatan aset lancar, yakni penyertaan ekuitas yang tumbuh 56,4% menjadi Rp6,67 triliun pada periode 2020-2022. 

AMVESINDO menilai pertumbuhan aset menjadi salah satu indikator positif di tengah badai industri teknologi di Indonesia. Adapun, PMV di luar DKI Jakarta disebut lebih banyak menyalurkan pembiayaan usaha produktif dibandingkan penyertaan ekuitas dengan pertumbuhan 7% menjadi Rp10,6 triliun (2020-2022).

Sumber: AMVESINDO

Di sisi lain, laporan ini mengungkap bahwa jumlah PMV turun di sepanjang 2022 dari 55 perusahaan (Q1) menjadi 49 (Q4). Penurunan ini disebabkan oleh reformasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai badan pengawas industri modal ventura. Salah satu fokusnya di 2023 adalah menata ulang kegiatan usaha modal ventura sesuai kompetensi atau bidangnya.

Menurut Ketua Umum AMVESINDO Eddi Danusaputro pertumbuhan aset tersebut menandakan pergerakan industri modal ventura semakin baik. “Reformasi OJK bertujuan untuk mendorong PMV agar melakukan kegiatan usaha dalam bentuk penyertaan ekuitas, pembelian obligasi konversi, pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal dan/atau pengembangan usaha dan pembiayaan usaha produktif sesuai dengan POJK 35 Pasal 2,” tambahnya.

Di samping itu, penurunan pemodal ventura di luar Jakarta kemungkinan disebabkan oleh belum optimalnya peran Perusahaan Modal Ventura Daerah (PMVD) dalam menyalurkan pembiayaan/permodalan kepada UMKM. Skala usaha PMVD juga terbilang relatif kecil mengingat masyarakat belum familiar dengan model pembiayaan yang ditawarkan ventura dan cenderung mengambil opsi pembiayaan ke perbankan.

Usulan AMVESINDO

AMVESINDO berupaya untuk mendorong peran PMVD di berbagai daerah untuk menumbuhkembangkan potensi UMKM. Pihaknya menilai PMVD menawarkan sejumlah nilai tambah yang dapat dipertimbangkan kuat oleh pelaku usaha, di antaranya keleluasaan menyusun skema pembiayaan, kejelian mengambil peluang usaha, dan kemampuan memberikan pendampingan.

Dalam laporannya, AMVESINDO juga menyampaikan sejumlah usulan kepada pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri modal ventura di daerah. Usulan ini diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan industri modal ventura nasional dan ekonomi di Indonesia:

1. Sosialisasi AMVESINDO dan OJK tentang skema PMV Lisensi OJK sebagai salah satu alternatif pendanaan startup
2. Mengurangi jumlah modal pendirian dan persyaratan kepatuhan untuk kepengurusan PMV
3. Mendorong perumusan dan pelaksanaan insentif pajak untuk PMV Lisensi OJK
4. Mengadvokasi tidak ada morotarium untuk PMB Lisensi OJK saat ini dan mendorong pihak berkepentingan untuk proses pendaftaran PMV
5. Pembentukan tim ahli dari ekosistem PMV Lisensi OJK untuk kajian dan formulasi kebijakan terkait regulasi perusahaan modal ventura
6. Mempercepat proses aplikasi dana ventura sambil tetap menjalankan prinsip kehati-hatian
7. Melanjutkan proses RPOJK Perusahaan Pembiayaan Mikro untuk PMV yang berfokus pada pemberian pembiayaan UMKM yang telah berjalan sejak 2021.

Wakil Ketua I AMVESINDO Dennis Pratistha berharap berbagai usulan di atas dapat mendorong pertumbuhan ekosistem startup dan menjalankan misinya untuk berperan aktif membangun industri modal ventura secara profesional.

“Sejalan dengan akselerasi adopsi digital, diiringi dengan populasi besar di Indonesia yang terbukti resilien dalam menghadapi persaingan pasar bebas di 2023, AMVESINDO mengajak perusahaan modal ventura di luar Indonesia untuk bergabung dengan AMVESINDO dan bersama menciptakan ekosistem yang lebih kuat.” Tutupnya.

Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company memproyeksikan ekonomi digital Indonesia mencapai GMV $130 miliar hingga 2025 dengan CAGR 19%, dan tumbuh tiga kali lipat di kisaran $220 miliar-$360 miliar di 2030. Tahun lalu tercatat tiga layanan digital teratas di Indonesia adalah e-commerce, transportasi, dan food delivery.

AMVESINDO: Strategi “Exit” dan Tingginya Minat Startup untuk IPO

Beberapa waktu terakhir, perjalanan IPO PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, setelah dinobatkan sebagai salah satu penawaran umum perdana terbesar di dunia tahun ini, harga saham GoTo terpantau terus merosot.

Per hari ini (15/2), harga saham GoTo tercatat di angka Rp96 per saham, turun jauh dibandingkan saat IPO di kisaran Rp338 per saham.

Selain GoTo, perusahaan teknologi lainnya PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga bernasib serupa. Harga saham IPO senilai Rp850 per saham di Agustus 2021 lalu kini jeblok di angka Rp280 per saham (“15/12). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah IPO merupakan strategi exit yang ideal bagi sebuah perusahaan teknologi?

Di awal Desember ini, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mengadakan seminar bertajuk “Exit Mechanism for Investors & Startup Companies (IPO vs Acquisition)”. Dalam perhelatan ini, hadir beberapa perwakilan stakeholder untuk membahas strategi exit yang ideal bagi para investor startup di Indonesia.

Strategi exit merupakan salah satu keputusan signifikan dalam runway sebuah perusahaan teknologi, utamanya setelah perusahaan menerima pendanaan dari investor. Seperti diketahui, strategi exit bisa dilakukan melalui IPO, merger maupun akuisisi. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan atau meminimalkan kerugian.

Terkait strategi exit melalui IPO, perusahaan teknologi masih sering menghadapi tantangan. Bono Daru Adji selaku Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners mengungkapkan bahwa peraturan di Indonesia dianggap belum cukup memadai bagi startup untuk melakukan IPO. Selain itu, struktur internal startup tahap pre-IPO sering dianggap belum cukup memadai untuk melantai di bursa.

Namun, peraturan OJK dan BEI belakangan ini sudah mulai disesuaikan dengan kebutuhan startup yang bermaksud untuk IPO. Selain POJK 22/2021 terkait Multiple Voting Shares (MVS), peraturan BEI No. I-A mengenai pencatatan saham tidak lagi mensyaratkan kewajiban profit bagi emiten yang bermaksud mencatatkan sahamnya di Papan Utama.

Hal ini membuka peluang bagi para startup. Strategi exit melalui IPO menjadi salah satu jalur untuk menggalang dana dari investor publik dengan harapan bisa mengembangkan bisnis perusahaan, bukan semata-mata untuk exit. Meskipun begitu, sejumlah investor menganggap mekanisme akuisisi (M&A) lebih menguntungkan dibandingkan IPO.

Hal ini diakui oleh Managing partner of MDI Ventures Kenneth Li. Menurutnya, akuisisi memungkinkan proses likuidasi yang cepat. Sementara IPO memiliki masa tunggu setidaknya 8 bulan. “Itupun kalau harga sahamnya naik,” tambahnya. Namun, ia menegaskan bahwa strategi itu tidak bisa digeneralisasi kepada semua perusahaan.

CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro yang juga menjabat sebagai ketua AMVESINDO mengungkapkan, “bahwa kita sebagai venture capital perlu dana untuk diputar kembali melalui investasi. M&A memungkinkan likuiditas yang ringkas. Sementara IPO memiliki masa tunggu. Sebagai pengelola dana investor, kita juga punya tanggung jawab untuk bisa segera memutar uang tersebut.”

Alternatif penggalangan dana

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2022 ada 59 emiten yang melakukan initial public offering (IPO), Venteny menjadi perusahaan terakhir yang resmi tercatat di BEI. Angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Tanah Air. Selain itu, perolehan dana IPO pada tahun 2022 ini disebut mencapai Rp32,68 triliun.

Daftar penggalangan dana terbesar melalui IPO di BEI / Sumber: IDX

Head of IDX Incubator Aditya Nugraha mengungkapkan, “untuk animo IPO, rasanya tahun depan masih tetap tinggi. Di pipeline kami, ada 48 yang sedang diproses untuk tahun depan, ini belum termasuk bulan Desember. Kami yakin tahun depan akan lebih ramai. Harapannya, perusahaan yang masuk akan sizeable dan lebih siap untuk go public, termasuk dari aspek compliance. Tidak sekadar IPO dan membuat market jadi tidak sehat,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan, di bursa sendiri tidak ada definisi startup company melainkan Daftar Saham Teknologi (IDXTECHNO). Dari 48 entitas yang mendaftar untuk IPO di tahun 2023, delapan di antaranya adalah perusahaan teknologi. Sektor ini masih sangat menarik untuk go public, banyak perusahaan yang masih mencari alternatif pendanaan melalui IPO.

Aditya yang akrab disapa Anug ini juga memberi masukan bagi para founder yang berniat IPO di BEI, yaitu dengan membentuk badan hukum di Indonesia agar lebih mudah dalam menjalankan setiap proses. Lalu, founder harus bebenah sejak dini, tidak bisa hanya fokus pada bisnis tetapi lebih detail dalam mengelola aspek administrasi, termasuk legalitas, keuangan, perpajakan, dll.

Selanjutnya, perusahaan harus punya roadmap yang jelas. Ketika IPO, rincian penggunaan danannya harus lengkap. Untuk bisa go public, perusahaan harus bisa menarik minat investor. Mulai dari rencana ekspansi, pengembangan riset, talenta, dll. “Mereka harus punya path yang jelas, tidak bisa mengawang-ngawang. Kalau semuanya lengkap dan jelas, proses IPO bisa lebih lancar,” tutupnya.

Eddi Danusputro is known as a venture capitalist, company builder, part-time lecturer, and basketball enthusiast

From MCI to BNI Ventures, Eddi Danusaputro’s Continuous Journey to Support the State-Owned’s CVC Scheme

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Indonesia’s investment ecosystem is said to have a tough time, as affected by the “winter season” in the US, where some sources flow the investment money in this country. However, despite the unfortunate facts, we can learn many things from this situation. Eddi Danusaputro agreed on this as a necessary evil, a maturing process for Indonesian startups, which for a long time has had its seasons in the sun.

Recently departed from MCI (Mandiri Capital Indonesia), Eddi Danusaputro has put all in his power to build and nurture the State-Owned Enterprise’s CVC from day one. With limited resources and a small room for experiments, Eddi has led this company to generate 20 investment portfolios. The most recent investment was on Jul 11, 2022, when AgriAku raised $35M. Aside from that, the CVC has had three exits, including the most notable ones, Moka and Jurnal.id.

After dedicating almost 6,5 years of his life to MCI, Eddi is ready to embrace a new journey with another state-owned VC, Bank Negara Indonesia (BNI). Although he is not yet available to discuss much of the new entity’s further plan, he assured to make a good deal of all his previous experiences in the new venture. In addition, he will be fully in charge of the Merah Putih Fund, a fund initiated by the SOE ministry and co-managed by 5 CVCs.

Not long ago, he was appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Aside from the VC life, Eddi is highly passionate about basketball. To date, he’s been involved as the Chairman of Indonesia’s local basketball club, Amartha Hangtuah.

Above are some facts about Eddi Danusaputro. DailySocial has had a chance to hear more about his journey to becoming one of the most successful venture capitalists in the country. Let’s listen to it through the excerpt below.

Let’s start with the early days of your career. How was the journey of becoming a venture capitalist with your economic background?

We usually think we choose our journey, but sometimes it’s the journey that finds us. I graduated in the mid-’90s, and the digital industry was not developed back then. Some options include a state-owned enterprise (SOE), government-related, or Multinational. I chose the last one.

I began in the sales department for FMCG products, P&G. I admit that this experience has sharpened my marketing skills. Whatever you do, whether in sales, marketing, or engineering, at the end of the day, you have to be able to sell. People sell every part of themselves, their ideas, their skills, and their products. Communication sets of skills are essential.

Furthermore, I got a scholarship to Duke University in the US, catching my enthusiasm for the finance industry. I started in New York City with Morgan Stanley, then relocated to Singapore. I lived there for 12 years and finally returned to my home country to help build MCI.

You have experienced different cultures by studying and working in the US, then transferred to Singapore and living there for 12 years. Is there any significant impact on your journey?

Studying abroad has broadened my insight. With students and lecturers from different countries also brought different perspectives. Several trends are set outside the home country. For example, the “dot com” trend started in the US, and I am fortunate to experience it live. It goes along with investment terms, private funds, and so on that rise from the west. People with the privilege to study or work abroad can experience the trend and move back to leverage the movement in their home country.

In Singapore, people tend to be disciplined and punctual. Also, they are usually more individualist in terms of working culture. Colleagues do not necessarily become friends. They’re just in it for the job. Meanwhile, aside from the traffic that challenges time management in Indonesia, we are most likely to be social. Friends are pretty close and easily share contact. In other countries, privacy is precious.

During the journey, you’ve been occupying several positions. Which one do you cherish most?

I have been working in the capital market, where we need to keep an eye 24/7 to monitor the selling and buyout in the exchange. This situation has affected my working hours and communication in general, not mentioning about the time differences and the high volatility. It is pretty different from the dynamics of the startup industry. However, whichever, I should be able to enjoy the process.

How about the challenge after you’ve entered the VC industry?

In the startup industry, we’re investing in people, the founders. We need to build a relationship to know the person, which requires some time. That is one thing. Then, the pandemic came rattling, and some did not make it.

Recently, the startup industry is said to have a winter season. Some of these startups are yet to experience a correction, either topline or valuation. This condition is something they should learn from. Is it going to affect the runway? Should they be worried? What will the investors do? This way, we can finally see the founder’s character and which one will be resilient and survive during the hard times.

You’ve recently departed from Mandiri Capital Indonesia after 6,5 years of building and nurturing the CVC. What can you share about the experience, and where do you plan the next journey?

I was there from day one of MCI. I helped build the system, workflow, and SOP and shaped the company culture. We are not a giant company with massive resources. Therefore, we need to work efficiently. I need most of the team to be generalists and intrigued to know the work of the other groups. Work rotation is necessary. Everyone should learn everything before becoming a specialist.

As a CVC, we also need to take a risk, not to be reckless but calculated risks. It is fair to make mistakes as long as the process has been proper. However, not all decisions turn out to be what we planned. The culture is to know how to make a decision and be responsible.

It has been two terms, and I have officially departed from MCI. However, I’m still being an advisor during the transition to my new position. MCI is a long trip. My next journey is to build a new CVC for Bank Negara Indonesia (BNI). It may look similar to the last journey, but I’ve had my experiences and learned my lessons.

You were recently appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Do you think the industry has already in its ideal situation?

On a general note, the association covers not only the VCs but also startups (which are yet to have an independent association). It also becomes a discussion companion for regulators, bridging the concern of the two parties. It is the core and primary function in this industry.

It is yet to be ideal. However, this is a long journey. The important thing is that communication is way better than before. Startups, VCs, and the government have built an excellent start to walk through this journey.

Aside from the current job, do you have other interests to pursue?

I’m also an angel investor for some companies starting from scratch. Also, I’m currently a Chairman of the Amartha Hangtuah basketball club.
I have a mission for Indonesian basketball clubs can be profitable like the global ones, not just rely on the owner’s pockets. I’ve dreamed of them surviving with sponsorships, ticket merchandise, etc. The club should be self-sustainable.

Furthermore, I intend to improve athletes’ welfare in Indonesia. There are numerous stories about former athletes who live below the poverty line. It might be due to a lack of skills outside of sports or the unawareness of saving and investing. Every payday at the club, I help oversee and encourage them always to plan their expenses and set a pie for investment and savings. It’s solely for their future.

Eventually, I want to boost these clubs’ exposure, hoping they can plot for IPO one day. I wish to take my club to the next level and reach these milestones. Thus, I can wed my two passions, startups and basketball.

As a seasoned entrepreneur, is there anything you want to say to the younger generation who just started their journey?

This thing is essential. Whatever age you are, you must be eager to learn something new. Surround yourself with people who are more intelligent than you. If you walk into a meeting and are the smartest person in the room, you’re in the wrong room. Then, you cannot learn anything new. It includes when we’re in the organization, we must dare to hire people with expertise different from you. At a Director’s level, one must know to recruit people who are a thinker, not only executors.

I experienced several career pivots and must be ready to learn something new. Life is a series of continuous learning. Besides my current career path and basketball venture, I’m also a lecturer at Bina Nusantara University (Binus). Once I had a class of corporate students, and I had fun teaching and learning from them. The key is not to easily satisfied and feels like an expert.

Currently, I’m treasuring new technologies. I called it ABCD (Artificial Intelligence, Blockchain, Cloud Computing, and Database). I took a course in data science and machine learning. It’s my thirst to learn something I am yet to master. Lately, I’ve been interested in crypto meanwhile still focusing on sports management.

What’s your projection on the startup investment industry? Which sectors are resilient enough to get through this storm?

This winter season is a necessary evil. It’s a maturing process for Indonesian startups, which has had its seasons in the sun for a long time. Even though they can pass through the pandemic, now, with the downturn, it is a good thing, something to clear our sight.

All kinds of assets, stocks, commodities, everything has a cycle. Correction is inevitable. Then, the spring will come again. There are several schemes with B2B, B2C, B2B2C, and D2C. The one with the “burn money” strategy mainly lies on B2C. However, this is all going to change. Businesses should be able to outsmart this strategy.

My prediction goes with consolidation. There are so many e-commerce players. Are they all going to survive? I don’t think so. The market will eventually narrow, some will die or fall, and there will be few options. I root for consolidation and M&A in this ecosystem. Startups also need to plan for exits, which could be IPO or other mechanisms.

The Way SPAC and Dual Class Shares Drive Unicorns to Go-Public

The Indonesia Stock Exchange (IDX) has been improved since earlier this year to welcome three unicorns. Some relaxation has been prepared, one of which is allowing them to go public using SPAC (Special Purpose Acquisition Company) and dual class shares. These are currently being discussed in the internal unit.

DailySocial received a statement that IDX’s Company Assessment Director,  I Gede Nyoman Yetna Setia said SPAC and dual-class shares (DCS) are currently in internal review, discussing with authorities and stakeholders regarding the potential for implementation and regulation in Indonesia.

He said, in every process of regulation drafting, his team will first make comparisons with several other stock exchanges in other countries to determine the best practices in Indonesia.

“Indeed, by considering several things such as corporate governance, protection of public investors, and compliance with applicable laws and regulations,” he said.

Separately, quoting from Bisnis.com, Nyoman said that the IDX is currently studying the potential for implementing DCS with a multiple voting share (MVS) structure. MVS is a type of share with more than one vote for each share.

MVS implementation in several countries usually regulates the maximum ratio between shares with voting rights is 1:10 or 1 share has 10 voting rights. This is different from ordinary shares, with only one voting right for each share, which is called the ordinary share.

“In terms of best practice in several global exchanges, DCS with MVS classification usually can only be held by founders who also involve as company management or key parties who can ensure the sustainability of the company’s vision or innovation in the long term.”

Pros and Cons

Essentially, SPAC and DCS are trends in the United States which is the hub for all tech companies. Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani observed whether SPAC can be implemented in Indonesia, it will be quite similar to the practice of reverse listing but with a guarantee of a much cheaper cost and process.

“In reverse listing, there is a risk that the company’s shell suddenly has a tax or legal problem. Meanwhile, the SPAC is guaranteed to be clean as it is new. Of all the companies intend to merge with SPAC, the sponsor is flexible, as long as it can provide sufficient value and funds,”  Edward said to DailySocial.

The downside also applies to founders, because they have to sell a percentage of shares and at a lower value than the market price.

The DCS practice is capturing lots of attention in the United States. Around 26 of the 134 companies that went public in 2018, 25 of 112 new companies registered in 2019, and 32 of the 165 companies that were newly registered in 2020 adopted DCS.

This fact has motivated stock exchanges in other countries such as Hong Kong, Singapore and Shanghai to create relaxation to regulations expecting markets to be more attractive, especially for tech companies. Moreover, Hong Kong had previously lost as Alibaba and other big companies turned around and go public in New York.

Edward explained that his team would really appreciate the IDX’s steps if DCS practice could be implemented in Indonesia because this will be a new breakthrough. For investors, DCS is not a strange concept as it is similar to preferred stock when investors signed the shareholder agreement issued by the company during the rights issue.

The preferred shareholders have higher voting rights than common shareholders, although this practice is less common in Indonesia.

The DCS existence is essential for tech startup founders because in  startup journey they are likely to make various series of funding which causes their shares diminished.

When it becomes a public company, DSC serves to convince investors that the company can achieve a certain vision and mission in the long term under its control. Although the founder has technically less shares, the voting rights are greater than the common stock.

“If the stock exchange can implement this, it will be a positive thing because most of tech companies are driven by a founder figure.”

When go public, company benchmarks are usually valued from the financial statements and good corporate governance (GCG). Disruptive and innovative technology companies are strongly influenced by the founder figure to strengthen the company’s abstract vision and mission.

Edward also expects that from the investor’s point of view, he will be more familiar in the future with the characteristics of technology companies which benchmarks are invisible from EBITDA, enterprise value (EV), or price to earnings ratio (PE). Therefore, even though they still around negative profit and loss (P&L), in the next 10-20 years, by understanding the disruptive roadmap of these companies, it will become a valuable company.

“The closest example is when Amazon go public, every income is always converted into assets, therefore, they do not pay dividends to shareholders. With such knowledge, investors can think long term, not just quarterly.”

Behind the glittering promises of DCS, there is always a negative vibe as the capitalist system eliminates democratic elements. One share is no longer valued as one vote. Google even has three types of shares, Class A, B, and C. Each Class B share has 10 voting rights filled by Google insiders. Meanwhile Class A common stock sold to the public is worth only one vote and Class C does not have voting rights.

Academics from Queen Mary University of London, Min Yan said that another debate is about a shift to how to contain governance-related risks. Such steps as termination and restrictions on voting differences are designed to withhold control over several classes of shares by voting and provide mandatory protection for shareholders with lower votes. However, this action, intentional or not, jeopardizes the value of the different voting rights.

Such action is like a double-edged sword, not only helping to reduce governance risk but also undermining the isolation of controllers from external investors and market influence.

The lack of enthusiasm for technology companies to go public on the Hong Kong, Singapore and Shanghai exchanges reflects the diminishing attractiveness of the DCS structure when safeguards are tight. This situation is the opposite of what happened in the United States, because there are no such compulsory precautions there.

Yan also highlighted the key safeguards, including final provisions, maximum vote differentials, and improved corporate governance standards, as ex ante strategies. Given the objective of such action is to prevent potential managerial unaccountability and opportunism by restricting the ability of controlling shareholders to exercise some of their voting rights.

Because the strict ex ante strategy, with too much restriction of controlling power and jeopardizing the benefits of weighted voting rights under dual class shares, the action to make ex post as an alternative needs to be reconsidered.

He said, no financial authority in Asia has an effective and strong ex post regime. DCS’s true success lies in its market acceptance. Whether a few or no companies intend to go public with that kind of structure, allowing two-class listing will be futile.

“Therefore, I suggest exploring more ex post mechanisms, such as aggregate litigation through a representative process that provides solutions to disadvantaged shareholders when the problem of lack of managerial accountability occurs, to reduce dependence on ex ante constraints as mandatory safeguards,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Foto header: Depositphotos.com

BEI sedang menyiapkan aturan memperbolehkan SPAC dan dual "class shares" di Indonesia / Depositphotos.com

Bagaimana Kehadiran SPAC dan “Dual Class Shares” Dorong Kehadiran Startup Unicorn Melantai di Bursa Efek

Bursa Efek Indonesia (BEI) banyak melakukan pembenahan sejak awal tahun demi menyambut kehadiran tiga perusahaan unicorn. Sejumlah relaksasi telah disiapkan, salah satunya adalah membolehkan mereka go public menggunakan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) dan menerbitkan saham kelas ganda (dual class shares). Dua rencana ini sedang dibahas di internal bursa.

Dari pernyataan yang DailySocial terima, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan SPAC dan dual-class shares (DCS) sedang dalam kajian internal, berdiskusi dengan otoritas serta pemangku kepentingan terkait potensi penerapan dan pengaturannya seperti apa di Indonesia.

Menurutnya, dalam setiap proses penyusunan peraturan bursa, pihaknya akan terlebih dahulu melakukan perbandingan dengan beberapa bursa lain di negara lain untuk dapat menentukan best practice yang akan diterapkan di Indonesia.

“Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan perundangan yang berlaku,” katanya.

Secara terpisah, mengutip dari Bisnis.com, Nyoman menerangkan kajian yang sedang dilakukan BEI adalah melihat potensi penerapan DCS dengan struktur multiple voting share (MVS). MVS itu sendiri adalah suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar sahamnya.

Penerapan MVS di beberapa negara rata-rata mengatur maksimal rasio antara saham dengan hak suara adalah 1:10 atau 1 saham memiliki 10 hak suara. Ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya, biasa disebut ordinary share.

“Secara best practice di beberapa bursaa global, penerapan DCS dengan klasifikasi MVS biasanya hanya akan dipegang oleh para founder yang bertindak sekaligus menjadi manajemen perusahaan atau pihak kunci yang dapat memastikan keberlangsungan visi atau inovasi perusahaan dalam jangka panjang.”

Plus minus SPAC dan DCS

Pada hakikatnya, SPAC dan DCS adalah tren yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kiblat perusahaan teknologi. Ketua Amvesindo Edward Chamdani melihat jika SPAC dapat diterapkan di Indonesia, sebenarnya ini tak jauh beda dengan praktik reverse listing (back door listing) namun dengan jaminan biaya dan proses yang jauh lebih murah.

“Yang sering ditakutkan saat reverse listing adalah cangkang perusahaan tersebut tahu-tahu ada masalah pajak atau hukum. Sementara kalau SPAC sudah dijamin bersih karena masih baru. Dari perusahaan yang mau di-merger-kan dengan SPAC juga bisa pilih sponsor mana yang ia suka, yang bisa berikan value dan dana yang cukup,” kata Edward saat dihubungi DailySocial.

Sisi minusnya juga berlaku bagi founder, karena mereka harus melepas sebagian persen saham dan dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar.

Praktik DCS sendiri banyak dilirik di Amerika Serikat. Tercatat, sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Edward menjelaskan pihaknya bakal sangat mengapresiasi langkah BEI bila praktik DCS dapat diimplementasi di Indonesia karena ini adalah terobosan baru. Di mata investor, DCS bukan barang asing karena tak jauh berbeda dengan saham preferen saat investor menandatangani perjanjian pemegang saham yang diterbitkan perusahaan saat rights issue.

Pemegang saham preferen (preferred share) juga punya hak suara yang lebih tinggi daripada saham biasa (common share), kendati praktik ini kurang umum di Indonesia.

Kehadiran DCS, bagi para founder startup teknologi, sangat bermakna karena dalam perjalanan startup kemungkinan besar sudah melakukan berbagai rangkaian pendanaan yang menyebabkan sahamnya kian terkikis.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder.”

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Edward juga berharap dari sisi investor sendiri dapat lebih familiar ke depannya dengan karakteristik perusahaan teknologi yang tolak ukurnya bukan dilihat dari EBITDA, enterprise value (EV), atau price to earning ratio (PE). Jadi, meski profit and loss (P&L) masih negatif, tapi dengan mengerti roadmap dari perusahaan tersebut yang disruptif, pada 10-20 tahun mendatang akan menjadi perusahaan yang valuable.

“Contoh terdekatnya adalah Amazon saat go public, setiap pendapatannya selalu dialihkan menjadi aset, sehingga mereka tidak memberikan dividen kepada pemegang sahamnya. Dengan pengetahuan seperti itu, investor dapat berpikir jangka panjang, tidak kuartalan saja.”

Dibalik gemerlapnya janji yang ditawarkan DCS, selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Akademisi dari Queen Mary University of London, Min Yan, menambahkan, perdebatan lainnya adalah mengenai pergeseran ke cara menahan risiko tata kelola terkait. Langkah-langkah seperti ketentuan penghentian dan pembatasan perbedaan hak suara dirancang untuk menahan kontrol yang berasal dari beberapa kelas saham dengan suara dan memberikan perlindungan wajib bagi pemegang saham dengan suara yang lebih rendah. Namun, tindakan ini, disengaja atau tidak, membahayakan nilai hak suara yang berbeda.

Tindakan tersebut ibarat pedang bermata dua, tidak hanya membantu mengurangi risiko tata kelola tetapi juga merusak isolasi pengontrol dari investor eksternal dan pengaruh pasar.

Minimnya antusiasme perusahaan teknologi untuk melantai di bursa Hong Kong, Singapura, dan Shanghai mencerminkan berkurangnya daya tarik struktur DCS ketika pengamanan wajib ketat. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, sebab di sana tidak ada tindakan pengamanan wajib seperti itu.

Yan juga menekankan, tindakan pengamanan utama, termasuk ketentuan akhir, perbedaan suara maksimum, dan standar tata kelola perusahaan yang ditingkatkan, adalah strategi ex ante. Mengingat objektif dari tindakan tersebut adalah mencegah potensi tidak akuntabilitas dan oportunisme manajerial dengan menahan kemampuan pemegang saham pengendali untuk menggunakan beberapa hak suara mereka.

Karena strategi ex ante yang cenderung ketat, terlalu mengekang kekuasaan pengontrol dan membahayakan manfaat hak suara tertimbang di bawah saham kelas ganda, maka tindakan ex post sebagai alternatif perlu dipertimbangkan.

Menurutnya, tidak ada otoritas keuangan di Asia yang memiliki rezim ex post yang efektif dan kuat. Keberhasilan DCS sebenarnya terletak pada penerimaan pasarnya. Jika sedikit atau tidak ada perusahaan yang memilih untuk go public dengan struktur saham seperti itu, mengizinkan pencatatan dua kelas akan sia-sia.

“Oleh karena itu, saya menyarankan eksplorasi mekanisme yang lebih ex post, seperti litigasi agregat melalui proses perwakilan yang memberikan solusi kepada pemegang saham yang dirugikan ketika masalah dari kurangnya akuntabilitas manajerial terjadi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendala ex ante sebagai pengaman wajib,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Cara Investor Menilai Startup

Memahami Cara Pemodal Ventura Menilai Startup

Perkembangan pesat ekosistem startup Indonesia berimplikasi pada terbukanya peluang investasi oleh perusahaan modal ventura. Agar mendapatkan potensi terbaik, teknik penilai yang cermat menjadi strategi investor dalam memilih tujuan investasi. Bagi founder, pengetahuan tentang cara investor menilai juga menjadi penting untuk dipahami, karena pada dasarnya startup dan investor akan membentuk hubungkan mutual-strategis.

Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO) dalam sebuah sesi webinar secara spesifik membahas tentang tema tersebut. Hadir sebagai pemateri Wasekjen AMVESINDO Andreas Surya, yang juga merupakan partner dari Kejora Ventures. Ia menyampaikan, “Tidak semua bisnis yang tergolong investable pasti menjadi tujuan investasi pemodal ventura. Investor cenderung sudah punya target yang spesifik, dan kini semakin mencari inovasi yang mampu berdampak bahkan mengubah selera dan perilaku masyarakat.”

Pandemi yang tengah melanda jelas menjadi pembelajaran apik bagi para investor, tentang bagaimana melihat model bisnis startup dapat gesit beradaptasi dengan pangsa pasar. Untuk itu menurut Andreas ada beberapa aspek yang menjadi patokan pemodal ventura ketika mencari startup. Pertama, model bisnis harus scalable, startup dapat meningkatkan cakupan bisnis dengan baik tanpa disertai peningkatan biaya yang tinggi. Kemudian repeatable, bisnis tidak hanya berjalan dalam satu siklus tertentu saja. Dan yang ketiga hyper-growth, yaitu mampu menunjukkan pertumbuhan yang super cepat.

Untuk mendapatkan penilaian terhadap tiga hal tersebut, biasanya ada empat variabel utama yang akan dilihat dan diuji secara komprehensif oleh tim pemodal ventura, meliputi pendiri, pasar, produk, dan performa. Dalam menilai pendiri, investor melihat kapabilitas dan passion yang dimiliki dalam menjalankan startupnya. Hal-hal yang dilakukan seperti background check terkait kinerja dan pengalaman mereka. Untuk startup tahap awal, penilaian ini menjadi sangat krusial — karena investor berinvestasi pada founder.

“Karena tahap ini sangat subjektif, setidaknya ada tiga tahapan riset yang bisa dilakukan investor untuk aspek ini. Pertama, lakukan studi internal seperti desk study tentang lanskap industri dan market untuk mengukur apakah founders mampu bersaing di battlefield ini. Lalu, perbanyak interaksi langsung dengan founders, klarifikasi dari informasi yang kita terima, lihat produknya, lihat customer journey-nya, prosedur internalnya. Lalu terakhir, sempatkan untuk reference check ke rekan bisnis, investor terdahulu, dan karyawan sebelumnya dari founders tersebut. Selalu ada celah untuk ditelusuri,” terang Andreas.

Setelah pendiri, variabel berikutnya adalah pasar. Investor akan menilai seberapa besar potensi pasar yang digarap startup terkait, termasuk memproyeksi apakah pangsa pasar tersebut akan berkembang dan startup hadir pada timing yang tepat. Cara mengukurnya lebih objektif dibandingkan sebelumnya, karena bisa dilakukan melalui riset dengan menanyakan persepsi, tingkat kepuasan, dan minat konsumen di segmen tersebut.

Variabel berikutnya adalah unique value proposition produk yang dikembangkan oleh startup. Di sini, investor akan melihat tentang peta persaingan yang ada di pasar dan nilai lebih apa yang coba dihadirkan. Saat menilai startup tahap awal, biasanya investor tidak punya cukup data terkait biaya dan profitabilitas. Penilaian akan mengandalkan aspek-aspek kualitatif, atau hanya bisa membandingkan dengan proxy data (jumlah unduhan, trafik situs dll) dan benchmark dengan bisnis serupa.

Performa operasional dan finansial menjadi variabel terakhir yang juga akan dilihat. Kemampuan founder dalam melakukan eksekusi terhadap rencana-rencananya akan terlihat di sini. Pemodal ventura akan meminta laporan keuangan historis, proyeksi, unit ekonomi atau struktur biaya, dan potensi profitabilitas. Potensi startup untuk exit juga menjadi faktor pertimbangan investasi.

Selain aspek teknis, juga ada hal-hal yang lebih prinsipil seperti kesamaan visi antara founder dengan investor. Seperti disampaikan Ketua III AMVESINDO Chrismanto Saragih yang juga merupakan CRO Mitra Bisnis Keluarga Ventura, “Misalnya, ada tipe impact investor yang tidak hanya menilai aspek profitabilitas saja namun juga melihat dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari sebuah bisnis bagi masyarakat.”

Ia melanjutkan, dalam menilai kelayakan bisnis pemodal ventura kadang juga melakukan penilaian langsung ke lapangan. “Kami punya pengalaman dengan calon investee di Jawa Tengah dari sektor pertanian, yang melakukan produksi dan pemasaran beras organik secara terintegrasi. Kita lakukan penilaian langsung secara end-to-end mulai dari lihat proses pembuatan dan pabrik pupuknya, pengelolaan sawah, berdialog dengan petani dan pengelola pabrik pupuk, kita juga cek lahannya, karena kalau melalui paper saja tidak bisa kita yakini 100%,” ungkap Chrismanto.

Gambar Header: Depositphotos.com

Strategi Keberlangsungan Startup

Mendiskusi Strategi Keberlangsungan Bisnis Bersama Pelaku Startup dan Pemodal Ventura

Banyak tantangan yang dihadapi startup saat pandemi, mulai dari menurunnya jumlah klien hingga pemasukan bisnis yang tersendat. Meskipun tantangan terberat dirasakan benar oleh startup di masa awal pandemi, namun dalam beberapa bulan terakhir, situasi diklaim sudah jauh lebih baik dan berangsur-angsur pulih kembali.

Dalam webinar yang diinisiasi oleh Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (AMVESINDO), tiga penggiat startup yang diwakilkan oleh Co-Founder & CEO Cashlez Tee Teddy Setiawan, Founder ProSehat & Chairman Healthtech.id Gregorius Bimantoro, dan CMO SiCepat Wiwin Dewi Herawati, berbagi pengalaman mereka tentang bagaimana cara tepat menyiasati tantangan bisnis saat pandemi.

Menyiasati langkah yang tepat

Ada beberapa catatan menarik yang kemudian disampaikan oleh perwakilan komunitas startup saat sesi webinar. Meskipun tidak dapat dimungkiri penurunan pendapatan sempat terjadi, namun melihat perubahan pola konsumen saat pandemi yang memanfaatkan sepenuhnya layanan digital, kemudian menjadi fokus utama dari startup seperti SiCepat dan Cashlez.

Sebagai layanan finansial berbasis teknologi, Cashlez memiliki jumlah merchant yang cukup beragam, dari layanan entertainment hingga p2p lending. Meskipun mengakui untuk beberapa layanan sempat mengalami penurunan secara drastis, namun di sisi lain layanan yang kemudian dimanfaatkan oleh platform e-commerce justru mengalami peningkatan.

“Di kuartal ketiga dan memasuki keempat kami melihat adanya peningkatan dari bisnis Cashlez. Momentum ini kemudian menjadi baik bagi kami untuk bisa fokus meng-capture target pasar yang ada,” kata Teddy.

Sementara itu, bagi layanan logistik yang dihadrikan oleh SiCepat, pandemi justru memberikan kesempatan yang lebih baik bagi perusahaan untuk merangkul lebih banyak pelanggan. Tidak hanya fokus kepada pemgiriman barang dalam volume dan kapasitas yang besar, namun SiCepat juga menawarkan pilihan pengiriman barang berharga dengan volume dan ukuran yang lebih kecil.

“Saat ini kami tengah berada pada masa-masa survive” saat awal pandemi kami sempat mengalami penurunan hingga 30% lebih untuk logistik darat dan udara hampir 80%,” kata Wiwin.

Dengan menerapkan diversifikasi, SiCepat mengklaim mampu untuk menjalankan bisnis dan tentunya bisa tetap bertahan saat pandemi hingga memasuki kondisi new normal.

Salah satu layanan yang kemudian menjadi primadona saat pandemi adalah layanan healthtech. Bukan hanya mampu mengakselerasi layanan konsultasi dokter secara online, dengan berbagai produk yang makin bervarias seperti menyematkan teknologi artificial intelligence hingga genetics, kini platform healthtech semakin banyak jumlah pemainnya.

“Selama pandemi layanan yang menyasar kepada segmen B2B memang mengalami penurunan. Namun di sisi lain untuk layanan yang menyasar B2C justru mengalami peningkatan. Meskipun belum maksimal namun dari pemain healthtech sendiri memang masih memiliki keterbatasan untuk menghadirkan layanan yang lebih menyeluruh karena adanya peraturan dan regulasi yang ditetapkan,” kata Gregorius.

Kinerja PMV selama pandemi

Meskipun ada beberapa perusahaan modal ventura (PMV) yang melakukan penundaan investasi ke startup selama pandemi, namun tidak menjadikan beberapa kegiatan penggalangan dana menurun jumlahnya. Amvesiondo mencatat ada 52 transaksi pendanaan yang dilakukan oleh PMV untuk startup, dengan jumlah pendanaan mencapai $1,9 miliar.

Hal tersebut bukan hanya memperlihatkan kepercayaan dari pihak investor kepada startup, namun juga kolaborasi yang senantiasa berjalan antara PMV dan startup di masa-masa krisis ini menandakan optimisme dan kepercayaan PMV terhadap potensi pertumbuhan pelaku startup nasional.

AMVESINDO memandang, para perusahaan tersebut mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengubah lanskap industri (new normal), memberikan nilai tambah, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pelanggan dan konsumen.

“Pandemi bukan berarti startup harus berdiam diri, kondisi seperti ini justru menjadi momentum bagi startup untuk memaksimalkan upaya mereka untuk menjalankan bisnis agar bisa bertahan,” kata Anggota Dewan Kehormatan AMVESINDO Nicko Widjaja.

Nicko juga menambahkan, mewakili BRI Ventures hingga saat ini telah berinvestasi kepada 8 startup. BRI Ventures juga telah meluncurkan kelolaan baru bernama “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. Fund tersebut menjadi kendaraan baru bagi BRI Ventures untuk mendanai startup early stage yang bermain di segmen non-fintech, seperti pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan.

Sementara itu menurut Sekjen AMVESINDO Eddi Danusaputro, tidak hanya fokus berinvestasi kepada startup baru, PMV juga harus tetap memperhatikan existing portofolio mereka. Meskipun tidak semuanya berniat untuk melakukan penggalangan dana saat ini, namun perlu juga diberikan dukungan yang relevan, memanfaatkan ekosistem yang ada.

“Saya juga melihat saat pandemi ada beberapa sektor yang menarik untuk dijajaki dan tentunya bermanfaat bukan hanya untuk PMV tapi juga masyarakat umum. Yaitu sektor agritech, mereka yang menyasar pertanian dan hal terkait lainnya menjadi perhatian bagi kami di MCI.” kata Eddi.

Startup turut berperan dalam pemulihan ekonomi nasional lewat kolaborasi dengan program pemerintah, seperti layanan startup agritech yang membantu menyalurkan pembiayaan dari pemerintah untuk petani, dan kolaborasi antar startup penyedia digital signature dan digital identity dengan lembaga perbankan untuk kemudahan proses restrukturisasi kredit.

“Untuk itu ke depannya perlu adanya peraturan dan regulasi yang mendukung bisnis startup terutama dari regulator,” kata Bendahara AMVESINDO Edward Ismawan Chamdani.