Tag Archives: Andes Rizky

A Simple Way to Interpret Metaverse and Its Context

The metaverse term is gaining popularity since Facebook changed its label to Meta, shifting from social media to metaverse development. Furthermore, more literature arises in local languages to make it easier for people to understand the context of the metaverse. It happens in Indonesia.

In a brief discussion on the metaverse definition and its context, #SelasaStartup invites Shinta VR’s Co-founder & Managing Director, Andes Rizky. He shared tons of insights related to the metaverse and how it is implemented in Indonesia. The excerpt is below:

Metaverse and online realm

On a general note, Andes said that many people has actually experienced the metaverse concept through online games that are semi-metaverse, for example in Mobile Legends, PUBG, Free Fire, and so on which involve virtual teams (multiple players) to play.

However, the experience offered in this game is not immersive as it requires a VR device. “In a quasi (meta) world, we all feel like we are there (the game), emotionally immersed, even though we don’t use VR (a connecting device to the metaverse),” he said.

The right keyword, he continued, the most striking difference between the metaverse and the online realm is emotional involvement. In fact, all the emotional acts and behavior of a person in the metaverse nearly match someone’s behavior in the real world.

For example, he mentioned about Shinta VR’s current development of VR for education and human development. These two segments involve a human learning process that focuses more on the emotional than the logical element.

“For example, you don’t like math, if you don’t have an emotional connection, it won’t work perfectly. Shinta VR helps personalized learning processes that involve emotional elements.”

Andes’ opinion is in line with Kraken’s Co-founder and CEO, Jesse Powell statement. He said people who play popular online games are attracted to the metaverse with the idea of moving virtual items, virtual tokens, virtual outfits, or whatever it is, between different platforms. That’s where NFT and cryptocurrencies will play a big role.

Implementation and target

Moreover, because it involves an emotional element, the metaverse application in the future is to expand to many verticals of life. It includes making it a “tool” to detect a person’s behavior in certain scenarios, a medium to defeat phobias, meditation, analyzing shopping behavior as a target for digital advertising in the future.

Andes said, it is very possible that these potentials will be more accurate than assessments in the online realm. Take a real example, the majority of Indonesians are less objective when it comes to rating the goods they order on marketplace. Even though the stuff is not that great, it will get 4/5 stars. It also happens,when shopping for clothes on online platforms, the sizes are often not the right size.

“As a unified universe, all difficult activities to do in the real world is possible in the metaverse. Therefore, metaverse has many functions, depending on how we want to use it, because everyone is the target of metaverse users.”

In other words, it’s only a matter of time before the metaverse becomes mainstream, which begins with the NFT hype earlier this year. Industrially, the devices that support metaverse presence are getting friendly in terms of price and size. It’s no longer like it used to be, where a VR set must be connected to a PC which costs around IDR 36 million.

It also applies in terms of connection, the 4G network is getting widely and evenly distributed in Indonesia and the quality is increasing from time to time. Andes said this network quality will be able to present social interactions in the metaverse world.

“However, the metaverse is more complex, for a more immersive experience involving video, it requires 5G. However, for social interaction, 4G is enough. The only challenge is how to import VR as it is still challenging, both in Indonesia and Southeast Asia, there is no official Oculus distributor yet,” he said.

Andes also mentioned, “Another thing is, because the metaverse is quite new, it requires further literacy from content creators. This is no longer about digital literacy, but a more complex metaverse literacy. Relevant stakeholders are expected to be involved.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Metaverse dan Seluk-Beluknya dengan Cara Sederhana

Istilah metaverse makin santer terdengar semenjak pengumuman Facebook yang mengubah namanya menjadi Meta, pergeseran dari media sosial menuju pengembangan metaverse. Semenjak itu, semakin banyak literatur berbahasa lokal agar semakin mudah dimengerti oleh banyak orang terkait seluk beluk metaverse. Hal itu juga terjadi di Indonesia.

Untuk membahas secara sederhana apa itu metaverse dan seluk beluk di dalamnya, #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder & Managing Director Shinta VR Andes Rizky. Andes akan berbagi banyak hal terkait metaverse dan seperti apa implementasinya di Indonesia. Berikut rangkumannya:

Beda metaverse dengan dunia online

Andes menjelaskan secara umum saat ini konsep metaverse sudah dinikmati oleh secara umum oleh banyak orang melalui online game yang sifatnya semi-metaverse, contohnya dalam permainan Mobile Legends, PUBG, Free Fire, dan sebagainya yang melibatkan tim virtual (multiple player) untuk bermain di sebuah game.

Hanya saja, dalam game tersebut pengalaman yang ditawarkan tidak immersive karena memerlukan perangkat VR untuk itu. “Di dunia yang semu (meta) kita semua merasa ada di situ (game), ikut tenggelam secara emosional, meski tidak pakai VR (perangkat penghubung ke metaverse),” ujarnya.

Kata kunci yang tepat, lanjut dia, pembeda yang paling mencolok antara metaverse dengan dunia online saat ini adalah keterlibatan sisi emosional. Sebab, segala tingkah laku dan perilaku emosional seseorang di metaverse bisa dikatakan hampir mendekati perilaku seseorang di dunia nyata.

Ia mencontohkan dengan apa yang dilakukan Shinta VR saat ini mengembangkan VR untuk edukasi dan pengembangan manusia. Yang mana, kedua segmen ini melibatkan proses belajar manusia yang lebih menitikberatkan pada unsur emosional daripada logis.

“Misal enggak suka matematika, kalau memang sudah enggak ada emotional connection, ya enggak bakal bekerja secara sempurna. Shinta VR bantu personalized proses belajar yang melibatkan unsur emosional.”

Pendapat Ander senada dengan apa yang dikemukakan Co-founder dan CEO Kraken Jesse Powell. Dia bilang orang-orang yang memainkan deretan game online populer tertarik dengan metaverse karena ide akan kemudahan memindah-mindahkan barang virtual, token virtual, pakaian virtual, apa pun itu, di antara platform yang berbeda-beda. Di situlah NFT dan mata uang kripto jadi bakal banyak berperan.

Implementasi dan target metaverse

Lagi-lagi karena melibatkan unsur emosional, maka penerapan metaverse ke depannya akan lebih luas ke banyak vertikal kehidupan. Termasuk menjadikannya sebagai “alat” untuk mendeteksi perilaku seseorang ketika ditempatkan di skenario tertentu, media untuk penghilang phobia, meditasi, hingga mendeteksi perilaku berbelanja sebagai target iklan digital ke depannya.

Menurut Andes, potensi-potensi tersebut sangat dimungkinkan bahkan dinilai akan lebih akurat daripada penilaian di dunia online. Ambil contoh nyata, mayoritas orang Indonesia kurang objektif ketika memberikan rating untuk barang yang mereka pesan di platform marketplace. Bahkan untuk barang yang tidak bagus, sering kali mendapat bintang 4/5. Begitpula saat belanja baju di platform online, sering kali ukurannya kurang pas.

“Sebagai universe yang satu kesatuan, semua kegiatan yang sulit dilakukan di dunia nyata bisa dilakukan di metaverse. Oleh karenanya, banyak banget kegunaan metaverse, tergantung bagaimana kita mau pakainya bagaimana sebab semua orang itu jadi target pengguna metaverse.”

Dengan kata lain, tinggal tunggu waktu saja sampai metaverse menjadi sesuatu yang mainstream, yang diawali terlebih dahulu oleh hype NFT yang dimulai sejak awal tahun ini. Sebab secara industri, perangkat pendukung hadirnya metaverse semakin ramah dari sisi harga dan ukuran. Tak lagi seperti dulu, yang mana satu set VR harus terhubung dengan PC memakan harga sekitar Rp36 juta.

Pun dari segi koneksi sendiri, persebaran jaringan 4G di Indonesia sendiri mulai merata dan kualitasnya juga semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut Andes, dengan kualitas jaringan ini, mampu untuk menghadirkan interaksi sosial di dalam dunia metaverse.

“Hanya saja kalau metaverse yang lebih kompleks seperti melibatkan video untuk pengalaman lebih immersive, harus pakai 5G. Tapi kalau social interaction, 4G saja sudah cukup. Tantangannya tinggal cara impor VR karena masih challenging baik itu di Indonesia maupun Asia Tenggara belum ada distributor resmi Oculus,” tutupnya.

Andes menutup, “Hal lainnya yang perlu diperhatikan karena metaverse masih baru, sehingga perlu literasi lebih lanjut dari para konten kreator. Ini tidak lagi berbicara soal literasi digital, tapi literasi metaverse yang lebih kompleks lagi. Pemangku kepentingan terkait juga perlu dilibatkan.”

Shinta VR Pendanaan Pra-Seri A

Shinta VR dan Penerapan Metaverse dalam Segmen B2B

Sejak didirikan pada tahun 2016 lalu, bisnis Shinta VR diklaim mengalami peningkatan yang positif. Bukan hanya dari sisi inovasi, namun juga target pasar dan mitra strategis yang makin banyak. Masih fokus menyasar kepada segmen B2B, kini Shinta VR tengah mempersiapkan diri untuk menghadirkan inovasi yang lebih besar kepada virtual reality enthusiast di Indonesia.

“Saya melihat tahun 2022 mendatang akan lebih banyak lagi permintaan perangkat VR di Indonesia. Membuktikan bahwa teknologi VR sudah semakin dikenal dan digunakan oleh semua kalangan,” kata Managing Director Shinta VR Andes Rizky kepada DailySocial.id.

Secara khusus saat ini Shinta VR memiliki tiga produk unggulan, yaitu  produk edukasi untuk sekolah, layanan human development untuk pelatihan pegawai perusahaan, serta platform entertainment/new media. Shinta VR juga telah membantu ribuan sekolah di 34 provinsi di Indonesia menggunakan teknologi 3D dan VR dalam pembelajaran melalui unit bisnisnya, yaitu Millealab.

Dengan strategi ‘community based content’ Millealab berhasil menciptakan dampak luas bagi dunia pendidikan Indonesia dengan mencetak 5200 guru terlatih dan 130 guru ambasador VR sejak 2019, dan sudah digunakan oleh ratusan sekolah di seluruh Indonesia.

“Masing-masing produk memiliki kekuatan tersendiri yang nantinya jika diintegrasikan, bisa memberikan impact yang luas dan relevan. Untuk mempercepat pertumbuhan, perusahaan juga berencana untuk memperluas target pasar,” kata Andes.

Disinggung apakah ke depannya Shinta VR juga akan menggarap gaming, Andes menegaskan tren game memanfaatkan teknologi VR ke depannya adalah lebih kepada multiplayer. Meskipun memiliki potensi untuk bisa dikembangkan namun mereka masih merasa enggan untuk masuk ke sana. Ada dua alasan, pertama dibutuhkan sumber daya besar untuk menciptakan inovasi tersebut. Kedua, pangsa pasar di segmen B2B masih luas dan cenderung lebih mudah dimonetisasi.

Kantongi pendanaan pra-seri A

Tim Shinta VR dengan TigaLapan Investama Group

Akhir Oktober 2021 lalu, Shinta VR mengumumkan telah mengantongi pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh TigaLapan Investama Group dan Investa Syailendra Nuswantara (INSAN) sebagai business/investment aggregator. Pendanaan ini melengkapi perolehan sebelumnya oleh Telkomsel Innovation Centre (TINC), Rentracks, dan beberapa angel investor.

Tahun 2022 mendatang Shinta VR juga memiliki rencana untuk melanjutkan pendanaan ke tahapan seri A.

Rencananya dana segar tersebut bakal digunakan oleh perusahaan untuk merekrut lebih banyak tim engineer dan melakukan riset produk secara internal untuk mendukung misi perusahaan melebarkan bisnis. Dengan investasi ini, Shinta VR berfokus untuk menjadi perusahaan metaverse paling berdampak di Indonesia.

“Perkembangan Shinta VR sejak tahun 2016 hingga saat ini sudah mengalami pertumbuhan yang positif. Setelah menjalankan bisnis secara bootstrap kini kami mampu bermitra dengan investor yang memiliki koneksi strategis untuk membantu bisnis Shinta VR,” kata Andes.

Fokus mereka yang menyasar segmen B2B dengan menghadirkan produk edukasi dan human development dinilai sangat relevan saat ini. Selama ini perusahaan mengklaim telah berhasil mendapatkan revenue dari produk yang mereka hadirkan.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR/AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

Penerapan metaverse di Indonesia

Di Indonesia sendiri saat ini teknologi VR sudah makin dikenal. Dilihat dari makin banyaknya marketplace yang menjual perangkat VR, menjadikan teknologi ini sudah semakin familiar dikalangan masyarakat. Dukungan dari pemerintah diklaim makin besar, dengan semakin banyaknya perusahaan lokal yang bermain di industri VR saat ini.

Apakah saat ini Indonesia sudah siap menerapkan konsep metaverse? Menurut Andes secara umum saat ini metaverse sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Melalui online games yang sifatnya semi-metaverse, secara langsung masyarakat Indonesia sudah terbiasa berinteraksi walaupun tidak langsung masuk ke metaverse yang sebenarnya. Teknologi yang digunakan juga tidak harus 5G, dengan 4G pun bisa didapatkan hasil yang bagus.

Metaverse menurut saya lebih melibatkan koneksi emosional. Jika bermain game seperti Among Us misalnya sudah bisa dikategorikan kepada metaverse, namun belum masuk dalam definisi metaverse yang sebenarnya. Saat ini pun perangkat untuk VR sudah semakin terjangkau harganya dan banyak dijual di berbagai marketplace. Artinya kita sudah siap, tinggal ditambahkan immersive, connection, dan emotional connection,” kata Andes.

Meskipun sangat luas definisi tentang metaverse, namun menurut Andes ada planet-planet kecil yang masih bisa dimanfaatkan untuk mendukung bisnis. Salah satunya adalah fokus kepada edukasi dan human development. Dengan integrasi data dan lainnya, nantinya juga bisa terhubung dengan metaverse lainnya seperti meta-commerce, blockchain, hingga NFT. Ditambahkan olehnya jika bicara soal metaverse hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya bisa melakukan koneksi yang tepat,

“Misalnya untuk edukasi di sekolah bisa mendapatkan data insight untuk mengukur behavior siswa belajar di dunia virtual, demikian juga dengan human development dengan mendapatkan data yang lebih kompleks. Kemudian untuk virtual character system bisa didapatkan juga data koneksi emosional berinteraksi secara virtual,” kata Andes.

Co-Founder Shinta VR Andes Rizky / DailySocial

Perkembangan dan Potensi Teknologi VR dan AR di Indonesia

Perlahan tapi pasti, kehadiran teknologi Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), hingga Mixed Reality (MR) telah memberikan pilihan baru. Tidak hanya bagi industri game namun industri umum lainnya. Meskipun jumlah penggiat startup yang menyasar teknologi VR, AR dan MR masih tergolong sedikit, namun keberadaannya di Indonesia sudah makin familiar dan banyak digunakan masyarakat umum.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial menghadirkan Co-Founder Shinta VR Andes Rizky untuk mengupas tuntas apa itu teknologi VR dan AR dan bagaimana posisi Indonesia terhadap teknologi VR dan AR saat ini.

Perkembangan teknologi

Sejak tahun 1960-an, teknologi yang satu ini sudah dikembangkan segelintir orang. Meskipun belum bersifat komersil dan kebanyakan digunakan untuk pendidikan, konstruksi, dan kesehatan, teknologi VR sudah cukup familiar digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an teknologi VR ini kemudian kembali hadir dengan produk  yang lebih canggih, namun sekali lagi belum banyak digunakan masyarakat umum.

“Pada tahun 1987, melalui produk VR buatan visual artist Jaron Lanier, teknologi VR sudah mulai dikembangkan lagi. Namun karena harganya yang sangat mahal, hanya kalangan tertentu saja yang bisa menikmati teknologi ini,” kata Andes.

Meskipun belum memiliki tampilan yang seamless seperti saat ini, teknologi VR dan AR pada tahun 80-an, sudah mulai memanfaatkan sensor hingga gerakan tubuh untuk kemudian diimplementasikan ke dalam teknologi tersebut.

Berbeda dengan VR yang banyak digunakan kalangan umum, teknologi AR justru lebih banyak digunakan untuk keperluan militer hingga institusi privat. Kemampuannya yang bisa mencatat semua pergerakan juga banyak digunakan oleh konstruksi untuk menelaah takaran hingga kebutuhan yang tepat untuk membangun gedung atau rumah.

“Jika saat ini teknologi AR justru jauh lebih familiar digunakan untuk keperluan komersil, dulunya teknologi AR terbilang sangat eksklusif dan hanya kalangan tertentu yang bisa menggunakannya,” kata Andes.

Saat ini, berkat kepopuleran permainan Pokemon Go, teknologi AR tidak hanya banyak digunakan orang dewasa. Banyak anak-anak mulai familiar dengan teknologi ini. Tidak hanya untuk permainan, tetapi juga edukasi dan hiburan lainnya.

Perkembangan teknologi VR dan AR kemudian melahirkan teknologi baru yang merupakan peleburan dua teknologi tersebut, yaitu Mixed Reality (MR). Teknologi yang tergolong masih baru ini secara fleksibel mampu menghasilkan gerakan yang unik, berasal dari kecerdasan AR dan VR.

“Intinya adalah VR tergolong lebih personal dibandingkan dengan AR. VR sendiri saat ini lebih didominasi oleh game untuk hiburan masyarakat umum,” kata Andes.

Kesiapan Indonesia

Sedikitnya ada 13 perusahaan teknologi yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia. Masing-masing dengan keunikan sendiri, menawarkan produk untuk korporasi, startup, dan layanan e-commerce.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR dan AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

“Bersama dengan Bekraf kita memiliki rencana untuk memberikan edukasi dan pelatihan kepada pengembang hingga masyarakat umum yang tertarik dengan teknologi VR dan AR,” kata Andes.

Meskipun masih didominasi negara Tiongkok dalam hal penyebaran produk dan pengembangan perangkat teknologi, namun Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bisa mengembangkan teknologi VR dan AR. Dengan pilihan harga produk yang makin terjangkau, Andes optimis akan lebih banyak lagi pengembang VR dan AR di Indonesia.

“Shinta VR sendiri dalam waktu dekat akan meluncurkan permainan VR yang bisa digunakan oleh tim dalam jumlah yang banyak. Masih fokus kepada permainan, kita akan melanjutkan ke tahap scale up dengan permainan yang rencananya bakal dirilis bulan Juli mendatang,” tutup Andes.