Tag Archives: Andi Taufan Garuda Putra

Amartha IFC

IFC Gandeng Amartha Menyalurkan Pinjaman Modal Rp3 Triliun ke Pengusaha Ultra Mikro Perempuan

International Finance Corporation (IFC) mengumumkan komitmennya untuk menyalurkan modal produktif melalui jaringan pengusaha ultra mikro di Amartha. Dana yang digelontorkan oleh institusi keuangan anggota Bank Dunia tersebut senilai $206 juta atau sekitar 3 triliun Rupiah. Nilai ini lebih besar dari yang diajukan pada Maret 2023 lalu, yakni senilai $175 juta.

Dalam prospektus pengajuan dana debt Maret lalu, IFC berkomitmen memberikan dana $25 juta dan membuka tambahan dana bersama dari para mitra senilai $150 juta. Investasi yang diusulkan adalah tahap senior sekuritas beragun aset (senior tranche of asset backed securities) yang dibentuk untuk mengumpulkan piutang pinjaman, nantinya digunakan untuk meningkatkan akses ke keuangan bagi pengusaha ultra mikro, terutama pengusaha perempuan.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan, “Pendanaan dari IFC tidak hanya membantu Amartha untuk memperluas basis investor berskala internasional saja, tetapi juga memperluas layanan keuangan digital ke berbagai wilayah pelosok di Indonesia. Amartha meyakini kolaborasi ini akan menciptakan dampak yang berkelanjutan.”

Taufan turut menjelaskan, saat ini ada lebih dari 20 ribu UMKM yang menerima penyaluran modal dari Amartha. Mereka juga memiliki komitmen khusus untuk menjangkau para pengusaha di luar Jawa (70% dari permodalan tersalur berada di luar Jawa). Secara akumulatif, Amartha telah menyalurkan modal lebih dari 12 triliun Rupiah kepada 1,7 UMKM dari 42 ribu desa di Indonesia.

Dalam penyaluran pendanaan, Amartha turut menyertakan tim terdedikasi untuk turut membantu mereka dalam memaksimalkan bisnis melalui berbagai pendampingan dan pelatihan. Amartha menerapkan sistem tanggung renteng untuk mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya gagal bayar. Secara khusus mereka mengembangkan sistem penilaian kredit sendiri, menyesuaikan dengan demografi para peminjamnya.

Regional Vice President IFC APAC Riccardo Puliti menyampaikan, “Kesenjangan akses permodalan yang dihadapi oleh perempuan pengusaha ultra mikro di Indonesia – yang sangat penting bagi perekonomian secara keseluruhan – semakin melebar karena adanya COVID-19 yang menyebabkan perempuan harus menanggung beban rumah tangga dan tekanan pengasuhan anak yang semakin besar selama pandemi. Kerja sama ini merupakan kemenangan bagi perempuan dan kemenangan bagi perekonomian.”

IFC sendiri bukan kali pertama berpartisipasi dalam pendanaan (baik ekuitas maupun debt) ke perusahaan digital di Indonesia. Sebelumnya mereka juga turut menyuntik dana ke induk AnterAja, Evermos, Kitabisa, AwanTunai, eFishery, dan PasarPolis. IFC juga menjadi salah satu LP untuk dana kelolaan AC Ventures.

Tahun ini, tepatnya pada Juni 2023 lalu, Amartha juga baru mengumumkan fasilitas kredit serupa untuk disalurkan ke UMKM. Nilainya $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah), bersumber dari Community Investment Management yang merupakan firma keuangan berorientasi pada dampak sosial asal San Fransisco.

Application Information Will Show Up Here
AFPI bersama EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset bertajuk "Studi Pasar dan Advokasi UMKM Indonesia" untuk memetakan kondisi terkini UMKM

Riset AFPI dan EY Parthenon Petakan Kondisi Terkini UMKM

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bersama EY Parthenon Indonesia meluncurkan riset bertajuk “Studi Pasar dan Advokasi UMKM Indonesia” untuk memetakan kondisi terkini UMKM. Riset ini bertujuan untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran.

Selama ini, mengacu pada kondisi di lapangan, pengelompokan kriteria UMKM di Indonesia cukup beragam karena tiap institusi pemerintah belum memiliki satu definisi segmen UMKM akibat memiliki agenda berbeda, seperti yang terjadi di KemenBUMN, Kemenperin, dan Kemenparekraf. Sementara itu, mengacu pada PP Nomor 7 Tahun 2021, definisi UMKM nasional memiliki ruang untuk pengembangan.

Riset ini mengelompokkan UMKM di Indonesia menjadi empat klaster yang lebih rinci untuk mendukung pengambilan kebijakan pemberian pembiayaan dapat lebih tepat sasaran bagi pemangku kepentingan, termasuk penyelenggara P2P, dalam rangka memperkuat ekonomi melalui UMKM.

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menyampaikan, AFPI merasa perlu memetakan segmentasi UMKM untuk mengetahui lebih rinci mengenai kondisi UMKM di Tanah Air, sehingga dapat memberikan pendanaan yang tepat sasaran. Anggota AFPI diharapkan dapat menjadi motor peningkatan penyaluran pembiayaan, khususnya untuk menjangkau pasar unbanked dan underserved.

“Dalam riset AFPI dan EY, dirasa perlu menambahkan elemen literasi digital dan literasi keuangan, untuk memperkuat segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini. Harapannya anggota AFPI dapat menambah visibilitas terhadap potensi UMKM ke depan, sehingga menjadi sumbangsih nyata kami terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ucapnya, Jumat (14/7).

Empat segmentasi UMKM tersebut adalah:

  1. Kelompok Bisnis Prospektif: Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis.
  2. Kelompok Kebutuhan Dasar: Bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.
  3. Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status-quo mereka.
  4. Kelompok Bisnis Unggul: Bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.

Segmentasi ini dirancang untuk melengkapi segmentasi UMKM yang sudah ada selama ini, atau yang dikelompokkan berdasarkan modal usaha dan pendapatan tahunan sesuai PP Nomor 7 Tahun 2021.

Segmentasi baru ini juga mengakomodir jumlah karyawan, tingkat maturitas digital dan finansial, dan tipe industri (manufaktur atau servis di pasar UMKM), sehingga memperluas cakupan pemahaman profil dan perilaku UMKM, serta mendorong pembentukan kebijakan dan penetrasi pembiayaan yang lebih akurat di masa depan.

Riset AFPI-EY Parthenon

Partner EY Parthenon Indonesia untuk Strategy and Transactions Anugrah Pratama mengatakan, definisi nasional tentang UMKM yang ada saat ini masih memiliki ruang untuk pengembangan disesuaikan dengan industri yang membutuhkan. Melalui riset ini diharapkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, akan memiliki definisi terpadu untuk dapat menyelaraskan dan menyusun strategi yang lebih kuat untuk segmen UMKM.

Setiap segmentasi ini memiliki masalah dan solusi yang berbeda satu sama lain. Dalam riset dipaparkan, Kelompok Bisnis Prospetif membutuhkan kebijakan terkait kemudahan akses pembiayaan, sementara Kelompok Kebutuhan Dasar membutuhkan kebijakan terkait peningkatan kesadaran digital dan finansial mereka.

Selanjutnya, Kelompok Bisnis Konvensional Bertahan membutuhkan kebijakan terkait peningkatan kesadaran digital dan finansial. Terakhir, Kelompok Bisnis Unggul membutuhkan peningkatan penyediaan pembiayaan dan akses pengembangan bisnis.

“Segmentasi UMKM ini menjawab sejumlah kemungkinan risiko pembiayaan khusus per klaster yang harus diperhatikan. Setiap klaster tersebut membutuhkan serangkaian intervensi kebijakannya sendiri berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki. Oleh karena itu, pengambilan langkah yang tepat sangat penting agar pembiayaan tidak salah sasaran dan terhindar dari kesenjangan yang semakin besar,” katanya.

Penyaluran belum merata

Riset ini juga menemukan bahwa penyebaran permintaan pembiayaan di seluruh wilayah tidak seragam karena memiliki komposisi klaster yang unik. Permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali, yakni 62% dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022 dan akan menjadi 61% pada 2026.

Pada 2022, total suplai pembiayaan UMKM Rp1400 Triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp1900 Triliun. Sementara itu, segmen dengan pertumbuhan tertinggi terdapat di Indonesia Timur dengan skala Ultra Mikro dan Mikro (Segmen Bisnis Prospektif) yang memiliki laju pertumbuhan CAGR 23,1% antara 2022-2026.

Permintaan pembiayaan dari Indonesia Timur diperkirakan mencapai Rp250 Triliun pada 2026, di mana 24% atau sekitar Rp60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif. Namun, sampai saat ini, akses pendanaan masih terbatas di daerah tersebut.

Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang (Segmen Bisnis Konvensional Bertahan) masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan. Kondisi ini membutuhkan kombinasi program pembiayaan dan kesadaran untuk membantu UMKM tumbuh optimal.

Riset AFPI-EY Parthenon

“Potensi masih banyak dan kita setuju [itu berada] di beyond Jawa Bali. Memang pertimbangan bisnisnya market terbesar ada di sini karena growth paling besar. Tapi [luar Jawa] yang lain juga sedang bertumbuh. Kalau mindset-nya ke sini saja, market akan jenuh. Tapi perlu dicatat, kalau sudah jadi juara Jawa belum tentu [dengan produk dan strategi yang sama] di luar Jawa bakal berhasil karena target audiensnya dan kebiasaannya berbeda,” tambah Anugrah.

Ketua Bidang Humas AFPI sekaligus CEO & Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan, “Dengan memahami profil pembiayaan yang berbeda di setiap daerahnya, maka lembaga keuangan termasuk anggota AFPI dapat mengetahui potensi pendanaan yang dapat disalurkan. Dengan demikian segmentasi klaster UMKM ini dapat menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dalam merumuskan inisiatif kebijakan utama yang sesuai dengan profil daerah masing-masing.”

Sebelumnya, EY memproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp4300 triliun dengan kemampuan suplai hanya Rp1900 triliun. Artinya, terdapat selisih atau gap sebesar Rp2400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan.

Permintaan beserta suplai bertumbuh dengan laju pertumbuhan yang hampir sama, yakni Compound Annual Growth Rate (CAGR) ~7,2% dari 2022 hingga 2026. Hal ini menyebabkan selisih pembiayaan juga bertumbuh dengan laju CAGR ~7%, sehingga gap akan terus melebar dikarenakan laju pertumbuhannya yang masih positif.

Co-Founder & CMO Kopi Kenangan Cynthia Chaerunnisa dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra

Resep Amartha dan Kopi Kenangan Jaga Pertumbuhan Bisnis Selama Pandemi

Dalam sesi diskusi di acara #BUMNStartupDay2022, turut dihadirkan Co-Founder & CMO Kopi Kenangan Cynthia Chaerunnisa dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra. Keduanya sepakat bahwa pandemi telah mengakselerasi pertumbuhan bisnis mereka, di sisi lain juga turut menjaga dan meningkatkan produktivitas pegawai.

Untuk bisa terus tumbuh pasca-pandemi, masing-masing pimpinan tersebut juga mengungkapkan strategi dan keunggulan produk yang dimiliki, dan rencana ke depannya agar bisa menghadirkan produk yang relevan dan bermanfaat untuk target pengguna mereka.

Menerapkan konsep hybrid untuk pegawai

Topik yang dibahas dalam sesi tersebut adalah bagaimana perusahaan bisa mengelola produktivitas kerja pegawai  untuk bisa mendapatkan pertumbuhan bisnis yang positif. Salah satu cara yang kemudian diterapkan oleh Amartha  memberlakukan bekerja WFH kepada pegawai saat pandemi. Menurut Taufan, jika diterapkan dengan benar, konsep bekerja di rumah atau bekerja di kantor, bisa menumbuhkan produktivitas pegawai, jika sejak awal sudah ditentukan goals atau target yang ingin dicapai.

Perusahaan juga tidak membatasi kebebasan pegawai bekerja saat pandemi dan saat ini ketika kondisi sudah mulai pulih. Perusahaan sepakat bahwa konsep hybrid masih menjadi relevan dan ternyata terbukti mampu menumbuhkan produktivitas pegawai. Saat ini Amartha telah memiliki sekitar 5 ribu pegawai.

“Saat pandemi kami memberlakukan WFH semua, namun karena sejak awal goals sudah ditetapkan apa yang ingin dicapai dipastikan semua sejalan dengan misi perusahaan. Fokus kami adalah lebih mendorong kepada akuntabilitas dan kolaborasi dengan tim yang lainnya,” kata Taufan.

Hal senada juga diterapkan oleh manajemen dari Kopi Kenangan. Meskipun pegawai mereka terdiri dari para pegawai di outlet dan di kantor, namun untuk menjaga produktivitas bekerja semua, fleksibilitas dan pengawasan yang sesuai dengan SOP perusahaan terus diterapkan oleh perusahaan. Saat ini Kopi Kenangan telah memiliki sekitar 400an pegawai.

Fokus pada inovasi

Sejak awal berdiri tahun 2010 lalu, Amartha masih konsisten dengan misi awal mereka yaitu memberikan akses pembiayaan kepada kalangan yang masih belum mendapatkan akses tersebut. Kini di tahun 2022, perusahaan ingin mendigitalkan lebih banyak kawasan pedesaan, sekaligus membantu lebih banyak pelaku UMKM di pedesaan mendapatkan akses pembiayaan.

“Misi Amartha saat ini adalah bagaimana kita dapat membantu orang-orang yang masih underserved untuk bisa mendapatkan pembiayaan dan meningkatkan kesejahteraan. Di mulai dari tahun 2010 di Bogor, saat ini sudah 12 tahun Amartha berjalan,” kata Taufan.

Jika awalnya mereka belum fokus untuk mengembangkan teknologi, namun sejak tahun 2015 lalu perusahaan mulai fokus menjadi layanan microfinancing yang menghubungkan investor mulai dari kalangan institusi, perbankan, hingga individu sebagai mitra untuk bisa memberikan akses pembiayaan kepada UMKM.

Saat ini perusahaan mengklaim terus mengalami pertumbuhan di kawasan pedesaan, dan telah menjangkau sekitar 35 ribu desa. Ke depannya perusahaan memiliki target untuk bisa terus memberikan investasi ke lebih banyak lagi kawasan pedesaan di seluruh Indonesia, agar akses keuangan dan permodalan menjadi lebih merata.

“Harapannya nanti mereka yang tinggal di pedesaan juga bisa berpartisipasi di ekonomi digital. Sesuai dengan misi kami adalah selain memberikan akses finansial juga mendigitalkan pedesaan dan ekonomi informal,” kata Taufan.

Serupa dengan Amartha, Kopi Kenangan juga memiliki rencana untuk meningkatkan layanan mereka dengan menghadirkan varian produk yang lebih beragam. Bukan cuma fokus kepada minuman saja, namun perusahaan juga ingin menambah varian produk makanan dan produk lainnya. Selain produk minuman saat ini Kopi Kenangan telah memiliki produk makanan seperti Cerita Roti, Chigo dan Kenangan Manis.

“Waktu awal membuka Kopi Kenangan ibaratnya kita hanya sebagai ritel kopi biasa. Kemudian kita juga memiliki misi bagaimana untuk bisa menjadi tech enable company,” kata Cynthia.

Di tahun 2019 perusahaan telah meluncurkan aplikasi Kopi Kenangan. Melalui aplikasi tersebut pengguna bisa mendapatkan penawaran khusus yang hanya bisa dinikmati jika melakukan pemesanan melalui aplikasi. Meskipun masih memanfaatkan marketplace untuk layanan pemesanan dan delivery, namun saat ini perusahaan memiliki rencana untuk mendorong penggunaan aplikasi kepada target pengguna.

“Selain menawarkan promosi memanfaatkan aplikasi kita juga bisa melihat kebiasaan pengguna. Apakah mereka melakukan pembelian di pagi hari atau sore hari. Dari situ kita bisa melakukan targeting,  apa yang bisa di berikan kepada pengguna,” kata Cynthia.

Setelah menyandang status unicorn tahun 2021 lalu, perusahaan masih memiliki rencana untuk menambah beberapa lokasi baru di Indonesia dan juga melakukan ekspansi di luar negeri. Malaysia kemudian menjadi negara yang rencananya akan disasar oleh Kopi Kenangan.

Tahun ini, Kopi Kenangan juga masuk ke sektor FMCG dengan produk pertamanya Kopi Kenangan Hanya Untukmu. Adapun, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir di sepanjang 2021. Kini, perusahaan memiliki 672 outlet yang tersebar di 45 kota di Indonesia.

Amartha Ascore.ai Credit Scoring

Amartha Luncurkan “Ascore.ai”, Layanan Skoring Kredit Alternatif untuk Individu dan Institusi

Layanan marketplace microfinance Amartha meluncurkan inisiatif terbarunya Ascore.ai. Memanfaatkan teknologi machine learning, platform tersebut didesain untuk menyediakan solusi pengukuran profil risiko (credit scoring) secara akurat dan holistik. Melalui layanan ini, perusahaan berharap bisa membuka peluang bagi berbagai sektor usaha untuk menjangkau pangsa pasar yang lebih masif.

Ascore.ai dikembangkan sebagai alternatif skoring kredit yang dibangun di atas lebih dari 1 juta database mitra pengusaha ultra mikro Amartha selama tujuh tahun terakhir. Perusahaan telah menggunakan teknologi ini untuk pengukuran risiko dalam menyalurkan pinjaman bagi segmen yang belum terlayani atau underserved.

Model alternatif skoring kredit telah diregulasi OJK melalui beleid Inovasi Keuangan Digital (regulatory sandbox).

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menyampaikan bahwa pihaknya melihat peluang yang sangat besar untuk mengkatalisis sektor ekonomi informal melalui teknologi. Terdapat sekitar 20 juta UMKM di Indonesia yang masih belum terlayani oleh layanan keuangan formal, karena profiling risikonya sulit diukur.

“Melalui teknologi Ascore.ai, berbagai sektor usaha maupun institusi diharapkan dapat menggunakan layanan ini, dan berpeluang untuk memperluas jangkauan pasarnya ke pangsa pasar yang lebih masif, salah satunya sektor ekonomi informal,” ungkapnya.

Solusi ini diharapkan dapat menghasilkan output berupa nilai risiko, perhitungan bunga pinjaman, pengolahan data, serta keputusan-keputusan yang berpengaruh pada bisnis. Dengan begitu, bisa mendorong lebih banyak bisnis untuk memahami pangsa pasarnya, serta memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih bijak.

Targetkan pangsa pasar institusi dan individu

Solusi Ascore.ai dapat digunakan baik oleh institusi maupun individu. Bagi segmen institusi, tersedia layanan berupa verifikasi risiko, credit underwriting, advance credit analysis, dan pengecekan kredit nasabah. Layanan dapat menjangkau sektor fintech, microfinance/lembaga pembiayaan, perbankan seperti BPR dan BPD, koperasi, agrikultur, hingga marketplace dengan opsi produk paylater dan pinjaman.

Taufan turut mengungkapkan bahwa Amartha telah bekerja sama dengan berbagai stakeholder mulai dari perbankan maupun sektor fintech untuk mendigitalisasi UMKM di Indonesia. Amartha membantu institusi keuangan agar dapat merambah segmen akar rumput, tanpa perlu mengembangkan teknologi credit decisioning solution sendiri.

“Diharapkan, dengan solusi ini, akan semakin banyak institusi yang dapat memperluas jangkauannya ke pangsa pasar masif seperti UMKM. Ini sekaligus dapat membantu peningkatan inklusi keuangan”, lanjut Taufan.

Pada segmen individu, Ascore.ai menyediakan layanan berupa penghitungan profil risiko serta simulator skor kredit. Nantinya, pengguna dapat mengakses situs Ascore.ai untuk mempertimbangkan hasil perhitungan profil risiko untuk mengenali profilnya sebelum memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan formal.

“Dengan layanan yang holistik, Ascore.ai diharapkan dapat menjangkau segmen pasar yang lebih masif, tidak terbatas pada institusi saja tetapi juga setiap individu yang membutuhkan layanan keuangan. Amartha optimis, Ascore.ai dapat mendorong inklusi keuangan serta menjadi katalisator bagi UMKM untuk bertransformasi menjadi usaha digital dan bersaing di pasar global”, tutup Taufan.

Masih besarnya ketimpangan kredit masyarakat unbanked dan underbanked, membutuhkan metode penilaian kredit atau credit scoring yang menyesuaikan profil calon nasabah. Selain Ascore.ai, mulai banyak bermunculan aplikasi khusus yang dikembangkan untuk penilaian kredit di Indonesia seperti SkorLife, MyIdScore, dan Fineoz.

Sejak awal berdiri di 2010, Amartha memantapkan komitmennya untuk memberikan akses permodalan, khusus untuk pengusaha perempuan yang selama ini masuk ke dalam golongan unbanked dan underbanked.

Pada bulan Maret lalu, Amartha merayakan kesuksesannya menjangkau satu juta pengusaha mikro perempuan. Selama 12 tahun berdiri, perusahaan telah menyalurkan modal kerja sebesar lebih dari 7,5 triliun rupiah kepada lebih dari satu juta perempuan pengusaha mikro di 35.000 desa di Indonesia. Di samping itu, perusahaan berhasil menjaga kualitas NPL yang stabil di bawah 0,5 persen.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Appoints Rudiantara as a Commissioner, Introducing Amartha Plus App

Amartha announced Rudiantara, the former Minister of Communication and Information for the period 2014-2019, as a President Commissioner effective per July 1, 2021. Rudiantara’s mature experience in technology is expected to contribute to the company’s ambition to accelerate MSME digitization.

In a virtual press conference the company held (19/7), Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said that one of Rudiantara’s important achievements was to develop policies regarding digital infrastructure in remote areas to support MSMEs.

“Amartha is honored to welcome Mr. Rudiantara to be part of Amartha’s big exit. Amartha is optimistic that his presence will provide insight and wisdom in building leadership and partnerships with company stakeholders,” he said.

Rudiantara added, he is also honored to be able to work together with Amartha in accelerating financial services for the unserved and underserved groups with no access to the banking sector. He said, not only focusing on microfinance, Amartha also focuses on the women’s segment.

“This is the reason I joined Amartha. It is based on technology, but what makes it different is that they target MSMEs with a broad social impact, MSMEs, productive women, and sustainable business. This is what makes me honored to join Amartha,” Rudiantara said.

Amarta Plus app

On the same occasion, Amartha’s Chief Commercial Officer, Hadi Wenas said the company launched the Amartha Plus application specifically for Amartha  borrowers to be more familiar with technology. This application complements the previous two platforms that are specifically designed for field agents and lenders.

The launching also in line with the realization of an investment of $28 million led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures in early May 2021.7.19

“Prior to this application, the field agent was tasked with inputting the online registration process. However, partners can now apply directly through the application, our field agent will be a sampling surveyer, therefore, the funds will be disbursed faster in about 15 minutes,” Hadi said.

Amartha Plus currently has three features, Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, and Amartha Pulsa/PPOB. In the first feature, the company becomes a financial partner for paylater products for stall partners who are included in the Sampoerna Retail Community (SRC) network. This collaboration allows SRC’s warung partners to pay the due date for each stock purchase.

“This has only been running in June, the number of partners who have joined is about hundreds for the first batch. Soon, we are targeting tens of thousands as the SRC network already has millions of stalls, but there are hundreds of thousands already online.”

Next for the Warung Loan Mitra feature, it allows stall partners in the Amartha network to purchase FMCG product stocks wholesale through Tanihub, an agritech partner that is partnered with the company. As of now, it has operated at 11 points in East Java, there are more than 100 partners who shop regularly, and there are more than 4 thousand SKUs available.

“Last, is Amartha Pulsa, which service is more straight forward for topping up balance and PPOB payment. This service has been used in 93 points out of our 497 network points.”

Wenas said this new application could deepen the smartphone penetration in Indonesia, especially in rural areas. “Next we will develop other innovations related to intensifying smartphone penetratio, therefore, it can be used for business, and helping partners to have less cash for installment payments.”

Currently, of the 719 thousand Amartha partners who have joined as borrowers, around 60% of them are engaged in trading businesses, such as food stalls, grocery, fashion, children’s toy shops, and others. The composition of food stall and grocery business owners dominates around 20%-30% in this business group.

During the first half of this year, Amartha has disbursed loans of Rp914 billion, up 35% YOY to 203 thousand partners. Interestingly, about 60% of this distribution portfolio is channeled outside Java (Sumatra and Sulawesi). This number increased by 196.62% YOY.

Taufan said that this performance would continue to be improved considering the need for micro-financing outside Java is still very broad and has not been fully explored by fintech players at this time. “We are targeting to empower up to 1 million partners by the end of this year,” he said.

Fintech lending business performance

Based on OJK’s statistical data as of May 2021, there are 118 conventional and 9 sharia fintech lending providers. In total, the total assets owned reach 4.1 trillion Rupiah. The platforms also managed to accommodate around 8.7 million lender accounts (p2p) channeling 13.8 trillion Rupiah of funds.

Indonesia’s Fintech lending statistic per May 2021 / OJK

The number of loan disbursements also continues to increase from time to time. The productive sector also tends to get a slightly larger portion than the consumptive sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Komisaris Amartha

Amartha Angkat Rudiantara sebagai Komisaris, Sekaligus Rilis Aplikasi “Amartha Plus”

Amartha mengumumkan Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019, kini bergabung sebagai Komisaris Utama efektif 1 Juli 2021. Pengalaman matang Rudiantara di bidang teknologi diharapkan dapat berkontribusi terhadap ambisi perusahaan yang ingin mempercepat digitalisasi UMKM.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar perusahaan pada hari ini (19/7), Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan salah satu pencapaian penting dari Rudiantara adalah membangun kebijakan-kebijakan mengenai infrastruktur digital di wilayah remote untuk mendukung UMKM.

“Amartha merasa terhormat menyambut Bapak Rudiantara menjadi bagian dari keluar besar Amartha. Amartha optimis kehadiran beliau akan memberikan wawasan dan kebijaksanaan dalam membangun kepemimpinan dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan perusahaan,” ujarnya.

Rudiantara turut menambahkan. Ia mengaku merasa terhormat karena dapat bersama-sama dengan Amartha mengakselerasi layanan keuangan untuk kelompok unserved dan underserved yang belum bisa terlayani oleh sektor perbankan. Menurutnya, tidak hanya fokus pada pembiayaan mikro, Amartha juga fokus pada segmen perempuan.

“Ini yang jadi alasan saya bergabung dengan Amartha. Ini basisnya teknologi, tapi yang buat berbeda adalah mereka sasarannya UMKM yang punya dampak sosial luas, UMKM, perempuan, produktif, dan berkelanjutan. Ini yang buat saya terhormat bergabung dengan Amartha,” kata Rudiantara.

Rilis aplikasi Amartha Plus

Dalam kesempatan yang sama, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menuturkan perusahaan meluncurkan aplikasi Amartha Plus yang dikhususkan untuk para mitra peminjam di Amartha agar lebih tersentuh dengan teknologi. Aplikasi ini melengkapi dua platform sebelumnya yang dikhususkan untuk petugas lapangan (field agent) dan pemberi pinjaman.

Peluncuran aplikasi ini sekaligus dalam rangka realisasi dari perolehan investasi sebesar $28 juta yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures pada awal Mei 2021.7.19

“Sebelum ada aplikasi ini, field agent bertugas untuk input proses pendaftaran secara online. Tapi sekarang mitra bisa mengajukan langsung lewat aplikasi, field agent kami akan sebagai sampling surveyer, jadi dana akan cair lebih cepat sekitar 15 menit selesai,” terang Hadi.

Dalam Amartha Plus saat ini memiliki tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

“Ini baru berjalan Juni, jumlah mitra yang bergabung sudah ratusan untuk batch pertama. Soon kami targetkan bisa jadi puluhan ribu karena di SRC ini network-nya sudah jutaan warung, tapi yang sudah online itu ada sekitar ratusan ribu.”

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

“Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan kami.”

Hadi menuturkan kehadiran aplikasi baru ini dapat memperdalam penetrasi smartphone di Indonesia, terutama di pedesaan. “Berikutnya kami akan mengembangkan inovasi lain yang berkaitan dengan perdalam penetrasi smartphone lebih tinggi agar dapat dipakai untuk usaha, dan bantu mitra jadi lebih less cash untuk pembayaran angsurannya.”

Saat ini dari 719 ribu mitra Amartha yang sudah bergabung sebagai peminjam, sekitar 60% di antaranya bergerak di usaha perdagangan, seperti warung makan, kelontong, fesyen, toko mainan anak, dan lain-lain. Komposisi pemilik usaha warung makan dan kelontong mendominasi sekitar 20%-30% di kelompok usaha ini.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, Amartha telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp914 miliar naik 35% secara YOY untuk 203 ribu mitra. Menariknya, dari portofolio penyaluran ini sekitar 60% disalurkan ke luar Pulau Jawa (Sumatera dan Sulawesi). Angka ini meningkat 196,62% secara YOY.

Taufan menyebut kinerja tersebut akan terus ditingkatkan mengingat kebutuhan pendanaan mikro di luar Jawa masih sangat luas dan belum tergarap secara maksimal oleh pemain fintech saat ini. “Kami menargetkan dapat memberdayakan hingga 1 juta mitra pada akhir tahun ini,” pungkasnya.

Performa bisnis fintech lending

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Dari waktu ke waktu jumlah penyaluran pinjaman juga terus meningkat. Sektor produktif pun cenderung mendapatkan porsi sedikit lebih banyak ketimbang konsumtif.

Application Information Will Show Up Here
Andi Taufan Garuda Putra / Amartha

Amartha Kantongi Pendanaan 107 Miliar Rupiah, Perdalam Akses Permodalan untuk Pengusaha Perempuan

Startup p2p lending Amartha mengumumkan perolehan pendanaan senilai $7,5 juta (setara 107 miliar Rupiah) dari Norfund, dana investasi dari pemerintah Norwegia untuk negara berkembang. Dana ini akan disalurkan kembali dalam bentuk modal usaha untuk memberdayakan lebih banyak perempuan pengusaha mikro di pedesaan dan mendorong kegiatan usaha yang ramah lingkungan.

Kolaborasi ini ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara Duta Besar Norwegia Vegard Kaale dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra di Kedutaan Norwegia di Jakarta, hari ini (04/6).

Investment Director Norfund & Head of Asia Regional Office Fay Chetnakarnkul menyampaikan, Norfund bekerja sama dan mendanai di institusi keuangan untuk mendukung mereka agar lebih kuat lagi dalam menyediakan akses permodalan dan layanan keuangan kepada ekonomi mikro dan segmen unbankable. “Kami sangat menghargai kerja sama ini dengan Amartha dan upaya yang mereka lakukan untuk memberdayakan perempuan pengusaha mikro di Indonesia.”

Duta Besar Norwegia Vegard Kaale menambahkan, meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat baik, namun inklusi keuangan masih menjadi isu yang besar di segmen masyarakat prasejahtera, terutama bagi perempuan pengusaha mikro.

“Norfund menjadi alat penting bagi Pemerintah Norwegia untuk menguatkan lembaga swasta di negara-negara berkembang, serta menurunkan angka kemiskinan. Pendanaan ini merupakan investasi pertama Norfund di institusi finansial di Indonesia dan saya harap upaya ini akan membantu pertumbuhan serta keberhasilan untuk Amartha.”

Chetnakarnkul pun sependapat dengan pernyataan Kaale. Ia menyampaikan bahwa diharapkan kerja sama dengan Amartha akan menjadi permulaan baik untuk komitmen jangka panjang Norfund di Indonesia.

Sementara Taufan menyampaikan, dukungan Norfund menandai kepercayaan mereka kepada usaha Amartha untuk kembali pulih di masa sulit selama pandemi ini. “Dengan bimbingan dari negara Norwegia sebagai pemimpin dunia dalam sektor energi terbarukan, Amartha berharap mendapatkan ilmu dan pengalaman dari yang terbaik.”

Masuknya Norfund, sebenarnya sejalan dengan inisiasi yang dimulai oleh Amartha sejak 2018 yang mulai aktif berpartisipasi dalam kegiatan ramah lingkungan dengan mempromosikan manajemen lingkungan, sosial dan korporat atau ESG dengan meluncurkan laporan tahunan dampak dan keberlanjutan. Akibatnya pada setahun berikutnya, Amartha meraih penghargaan GIIRS (Global Impact Investing Rating System) dari B-Corp dengan peringkat Platinum.

Kemudian, pada tahun lalu, perusahaan menginisiasi program Plastic Waste Womenpreneur (PWW) dengan memberikan pembiayaan kepada perempuan pengusaha mikro yang bergerak dibidang pengurangan limbah plastik di desa.

Hingga kini Amartha berhasil menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp3,7 triliun untuk 678.502 perempuan di lebih 18.900 desa yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Sebagai perusahaan teknologi, Amartha meluncurkan layanan keuangan dan produk-produk inovatif seperti tabungan, asuransi mikro, serta belanja borongan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ekonomi informal. Dengan pendekatan ini, Amartha ingin menjadi pemain terdepan untuk platform keuangan digital bagi segmen desa.

Sebelumnnya pada awal bulan lalu, Amartha juga mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan YOB Venture Management.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Bags 450 Billion Rupiah Funding Led by WWB Capital Partners II and MDI Ventures

The p2p lending startup Amartha officially secured funding of $28 million or around 450 billion Rupiah. The funding was led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures, also the two previous investors, Mandiri Capital Indonesia and YOB Venture Management.

Amartha’s Founder & CEO, Andi Taufan Garuda Putra said the new investment will be used to strengthen the business, accelerate product innovation development, and introduce additional services for borrowers and lenders. Some of them include shop loans, crowdfunding, and direct funding to borrowers.

So far, the company has developed solutions for three user segments, namely disbursing funding through the p2p lending platform (Amartha for Lenders), a field team to process business capital loans as a whole (Amartha for Business Partners), and other financial services in addition to distributing business capital ( Amartha for Partners)

Amartha is WWB’s first portfolio in Southeast Asia. It is known, WWB Capital Partners II is a gender lens investment founded by WWB, a global non-profit organization that focuses on women’s financial inclusion for the last 40 years.

WWB’s representative, Yrenilsa Lopez said the investment aims to close the gender gap by entering into financial service providers that focus on serving the low-income segment of women. That way, Amartha can expand the gender diversity in their management and take advantage of innovative solutions to reach more markets.

Previously, Amartha obtained debt funding of $50 million or equivalent to 704.4 billion Rupiah in February from Lendable. Currently, Amartha has channeled IDR3.55 trillion loan to more than 661,369 ultra-micro women entrepreneurs in more than 18,900 villages in Java, Sumatra and Sulawesi.

In addition, Amartha has improved the quality of credit scoring with the ratio of non-performing loans (NPL) at 0.07% for all funding in the period after June 2020.

Synergy with Telkom

Furthermore, MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja added that this investment will create opportunities to work together with the Telkom Group. This synergy is none other than to digitize and increase financial inclusion in rural areas in Indonesia.

“We see promising potential to increase financial inclusiveness. We hope this investment can continue Amartha’s business transformation to serve the lower pyramid communities in Indonesia,” he said.

Previously, Donald had mentioned that MDI Ventures received a new mandate with a new managed fund of $500 million from Telkom. It is to expand collaboration or synergy, not only with the Telkom Group but with all SOEs.

Donald said, this new assignment was given after MDI’s success in managing $100 million in funds since 2015. MDI succeeded in multiplying the fund, not only on paper valuations, but also in the form of liquidity in several exits, private and IPOs. He said, MDI had provided IDR 1.6 trillion synergy/revenue to the Telkom Group.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Amartha WWB

Amartha Kantongi Pendanaan 450 Miliar Rupiah Dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures

Startup p2p lending Amartha resmi memperoleh pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia dan YOB Venture Management.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, investasi baru ini akan digunakan untuk memperkuat bisnis, mengakselerasi pengembangan inovasi produk, dan memperkenalkan layanan tambahan bagi peminjam dan pendana. Beberapa di antaranya adalah pinjaman warung, crowdfunding, hingga penyaluran pendanaan langsung ke peminjam.

Sejauh ini, perusahaan telah mengembangkan solusi untuk tiga segmen pengguna, yaitu penyaluran pendanaan lewat platform p2p lending (Amartha untuk Pendana), tim lapangan untuk memproses pinjaman modal usaha secara menyeluruh (Amartha untuk Business Partner), dan layanan keuangan lain selain penyaluran modal usaha (Amartha untuk Mitra)

Amartha merupakan portofolio pertama WWB di Asia Tenggara. Diketahui, WWB Capital Partners II adalah investasi lensa gender yang didirikan WWB, organisasi nirlaba global yang fokus terhadap inklusi keuangan wanita selama 40 tahun terakhir.

Representatif WWB Yrenilsa Lopez mengatakan, investasi ini bertujuan untuk menutup kesenjangan gender dengan masuk pada penyedia layanan keuangan yang fokus melayani segmen perempuan berpenghasilan rendah. Dengan begitu, Amartha dapat memperluas keragaman gender dalam manajemen mereka dan memanfaatkan solusi inovatif untuk menjangkau lebih banyak pasar.

Sebelumnya, Amartha memperoleh pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah pada Februari lalu dari Lendable. Saat ini, Amartha mencatat telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp3,55 triliun ke lebih dari 661.369 pengusaha ultra mikro perempuan di lebih dari 18.900 desa di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Selain itu, Amartha juga telah meningkatkan kualitas credit scoring dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di 0,07% untuk seluruh pendanaan di periode setelah Juni 2020.

Bersinergi dengan Telkom

Lebih lanjut, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa masuknya investasi ini akan membuka peluang bersinergi dengan Telkom Group. Sinergi ini tak lain untuk mendigitalisasi dan meningkatkan inklusi keuangan di wilayah pedesaan yang belum terlayani perbankan di Indonesia.

“Kami melihat ada potensi menjanjikan untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Kami harap investasi ini dapat melanjutkan transformasi bisnis Amartha untuk melayani masyarakat piramida bawah di Indonesia,” ungkapnya.

Sebelumnya, Donald sempat menyebutkan bahwa MDI Ventures mendapat mandat baru dengan dana kelolaan baru sebesar $500 juta dari Telkom. Mandat tersebut tak lain adalah memperluas target kerja sama atau sinergi, tidak hanya dengan Telkom Group tapi dengan seluruh BUMN.

Menurut Donald, tugas baru ini diberikan usai keberhasilan MDI mengelola dana $100 juta sejak 2015. MDI berhasil melipatgandakan fund tersebut, tak hanya valuasi di atas kertas, tetapi juga berupa likuiditas di beberapa exit, private maupun IPO. Ia menyebut, MDI telah memberikan Rp1,6 triliun synergy/revenue ke Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here

Debt Funding Scheme Is Thriving, Amartha Scored 704 Billion Rupiah from Lendable

The p2p lending startup Amartha today (24/2) announced the debt funding of $50 million or the equivalent of 704.4 billion Rupiah (exchange rate USD to IDR per 14.00 WIB) from Lendable. It is to focus on providing capital and financial access to small entrepreneurs empowered by women in Indonesia, in conjunction with the “2X Challenge” initiative.

Through this collaboration, Amartha is also the first company in Indonesia to receive 2X Challenge funds. Particularly in the Asia Pacific, this funding initiative for women micro-merchants has disbursed up to $747 million.

Amartha does have further concern for women entrepreneurs. As Andi Taufan Garuda Putra said as Founder & CEO, women are the drivers of the micro economy which plays an important role in the recovery of the national economy.

The women micro-entrepreneurs segment with limited access to banking and financial institutions in Indonesia is estimated to reach more than 22 million people. By providing access to capital and entrepreneurship education for women, Amartha noticed that Mitra Amartha can increase income 2 to 7 times in one year.

“We are grateful for Lendable’s trust in realizing the 2X Challenge in Indonesia, therefore, women can increase their role in the Indonesian economy, especially in the context of post-pandemic recovery,” Taufan said.

The combination of retail and institutions

In a separate interview, Taufan said that they currently had channeled funds of up to 3.22 trillion to 616 thousand partners in Java, Sulawesi, and Sumatra. The combination of retail (community) funding and institutions also encourage the performance and penetration of Amartha’s services.

“On a year-on-year basis, the comparison is 55 percent for institutions and 45 percent for retail. For retail lenders, 68% is dominated by the millennial generation, followed by 19% by generation X, 10% by generation Z, and 3% by baby boomers. Based on the amount of funding value, 44% is dominated by generation X, then 40% by the millennial generation, 10% by baby boomers, and 3% by generation Z,” Taufan explained.

Regarding institutional partners, Amartha has also collaborated with banks and financial institutions to distribute funding with channeling schemes including Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Jatim, Bank Permata, Bank Ganesha, Indosurya, and so on.

Targeting female micro-entrepreneurs certainly provides a higher level of risk (return). It becomes interesting to know Amartha’s strategy in increasing the percentage of TKB90 on the platform.

“Amartha has tightened monitoring of portfolios, operations, risks, and audits. This aims to screen the best quality Partners while maintaining the quality of ongoing loans. In addition, Amartha has updated the credit scoring system and combines the ability and willingness assessments, and a history of payment returns before the Covid-19 pandemic,” Taufan added.

Amartha also provides direct business assistance by the field team, including providing training on business alternatives for partners whose businesses have been affected by the pandemic, therefore, they can start new businesses or expand their businesses. It is said that these efforts are able to make the business climate in Amartha’s partner ecosystem return to the way before.

Debt funding in Indonesia

Previously last year Lendable also joined as an institutional lender for KoinWorks, channeling $10 million in funds. Apart from Lendable, there are several other institutions that also provide similar funds for fintech lending in Indonesia, such as Accial Capital for Pintek, Cash Cloud, and Investree. In addition, there are GMO Payment Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), etc.

In fact, there are two schemes widely applied to channel funds from institutions, loan channeling and venture debt. The first scheme is intended for institutions such as banks to channel their credit funds to MSMEs through fintech lending. Many local banks have started announcing entrance into the fintech ecosystem through this partnership. The latest is BCA which distributes funds through iGrow.

Meanwhile, venture debt/debt funding is actually more strategic in nature, such as to finance operations and growth – generally entered along with equity funding from venture investors. However, some have also used the funds to be distributed.

Apart from those already mentioned, other fintechs that have received debt funding are Alami, Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, and People’s Capital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here