Tag Archives: Andreas Resha

Foodtech Indonesia

Outlook Foodtech 2023: Menyeimbangkan Strategi Brand Aggregator dan Unit Ekonomi Positif

Industri makanan dan minuman (F&B) saat ini terus berkembang, begitu pula dengan perilaku dan preferensi pelanggan. Terlebih di era digital, konsumen lebih terinformasi dan menuntut daripada sebelumnya, sehingga penting bagi pebisnis memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini agar berhasil merebut pangsa pasar.

Salah satu tren terbesar yang membentuk perilaku pelanggan di industri F&B adalah aspek kesehatan. Pandemi membuat sebagian besar konsumen semakin tertarik untuk mengetahui bahan dan informasi gizi dari makanan yang mereka makan; dan banyak yang memilih pilihan yang lebih sehat, nabati dan organik.

Di sisi operasional,  pemain F&B yang memanfaatkan omnichannel juga harus mulai memiliki strategi menyeluruh untuk bisa memperluas layanan dan menambah opsi brand mereka. Apakah dengan cara akuisisi atau kerja sama strategis.

Omnichannel memperkuat bisnis F&B

Selain faktor kesehatan, konsumen saat ini juga mulai melihat menuntut kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi. Untuk memenuhi tuntutan ini, banyak bisnis F&B telah mengadopsi pendekatan omnichannel.

Secara khusus omnichannel mengacu pada pengalaman berbelanja yang mulus dan terintegrasi di berbagai kanal, termasuk toko fisik, pengiriman online, dan aplikasi lainnya. Tujuannya untuk memberikan pelanggan pengalaman berbelanja yang konsisten dan kohesif, apa pun cara mereka memilih untuk berinteraksi dengan brand tersebut.

Menurut President Director Dailybox Group Kelvin Subowo, setelah 2 tahun pandemi, pemesanan melalui layanan pesan antar pun sempat stagnan. Hal tersebut dikarenakan karakter orang Indonesia yang lekat dengan kebersamaan, sehingga tidak dapat 100% mengandalkan strategi layanan pesan antar, terutama di kota tier 2 dan 3.

Selama pandemi, perusahaan mencatatkan 80% omzet penjualan Dailybox berasal dari layanan pesan antar makanan online.

“Menurut kami, pembelian produk F&B melalui layanan pesan antar bukan lagi sebuah tren musiman, tetapi sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja frekuensinya tidak akan setinggi di masa-masa awal pendemi. Karenanya, presence offline juga tetap harus ditingkatkan,” kata Kelvin.

Ditambahkan olehnya, saat ini beberapa outlet Dailybox Group yang hanya berkonsep take-away atau grab&go, secara perlahan diubah menjadi konsep dine-in agar orang bisa datang langsung.

Dalam industri F&B, strategi omnichannel dapat membantu bisnis. Di antaranya  meningkatkan pengalaman pelanggan, dengan menawarkan berbagai cara untuk memesan, membayar, dan menerima makanan mereka, pelanggan dapat memilih opsi yang paling nyaman. Pendekatan tersebut juga dapat membantu bisnis menjangkau pelanggan baru dan meningkatkan penjualan dengan menawarkan variasi produk dan layanan yang lebih luas melalui berbagai kanal.

Menurut Co-Founder & President Hangry Andreas Resha, selama ini perusahaan terus melakukan eksplorasi berbagai kanal yang ideal. Saat ini fokus perusahaan adalah meningkatkan layanan secara online, yang diklaim oleh mereka terus mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, saluran offline seperti dine-in atau take away juga mulai menunjukkan pertumbuhan yang masif.

“Meskipun PPKM dicabut dan kantor dibuka kembali, daya tarik dalam channel pengiriman makanan secara online tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa pergeseran preferensi terhadap makanan dan minuman yang lebih praktis, mudah didapat, dan berkualitas baik bukanlah tren sementara atau musiman saja,” kata Andreas.

Hal lainnya yang juga memainkan peranan penting dalam penerapan omnichannel adalah teknologi. Teknologi berperan besar dalam membentuk perilaku pelanggan. Mulai dari pemesanan dan pengiriman online hingga aplikasi seluler dan program loyalitas.

Memanfaatkan aplikasi sendiri, Haus! brand yang berada dalam kategori New Tea & Boba, berharap bisa mendapatkan sekitar 25% dari 50% pelanggan online yang sudah ada saat ini.

Disinggung apakah ke depannya akan lebih banyak pelanggan yang melakukan pembelian dengan opsi pick-up atau offline, menurut Co-Founder & CEO Haus! Gufron Syarif, akan tetap ada pelanggan yang memilih untuk melakukan pembelian secara online, tetapi pilihan pick-up dan langsung ke konter diperkirakan juga makin meningkat.

Potensi brand aggregator

Dilihat dari tuntutan konsumen kepada kenyamanan, variasi, dan pengalaman yang dipersonalisasi, tren agregasi brand atau brand aggregator saat ini mulai banyak dilirik oleh pebisnis F&B. Dengan strategi tersebut, perusahaan mengelola beberapa brand makanan dan minuman, biasanya dari kategori produk atau masakan yang berbeda. Selain mengembangkan/menginkubasi unit bisnis sendiri, beberapa pemain melakukan strategi M&A.

Tujuannya agar bisa menawarkan produk dan layanan yang lebih luas kepada pelanggan. Ke depannya, tren agregasi brand di industri F&B diperkirakan akan terus berkembang, sebagai upaya bisnis untuk mencari cara baru yang inovatif untuk menjangkau pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, brand aggregator akan menciptakan nilai, jika ada beberapa proses bisnis yang dapat disederhanakan di seluruh brand. Dalam industri F&B, hal ini bisa berarti memusatkan central kitchen atau memusatkan tim pemasaran/branding. Jika tidak ada nilai yang diciptakan oleh proses agregasi, tidak akan berhasil dalam jangka panjang.

Prasetia Dwidharma sendiri saat ini telah berinvestasi kepada Haus! yang telah memperluas produk melalui sister brand “Hot Oppa” yang telah dirilis pada November 2022. Varian produk makanan ke depannya akan menjadi fokus perusahaan untuk meningkatkan growth store dan vertikal penjualan.

Dengan menggabungkan beberapa brand dan produk makanan dan minuman, bisnis dapat memenuhi permintaan dan menawarkan kepada pelanggan untuk semua kebutuhan makanan dan minuman mereka.

Menurut Kelvin, industri F&B di Indonesia saat ini sudah sangat saturated, sehingga dengan hadirnya brand aggregator dapat membantu brand yang ada untuk lebih berkembang dari sisi distribusi, produksi hingga pemasaran.

Untuk pasar seperti Indonesia, pelanggan sangat aktif menggunakan media sosial. Menurut Partner Vertex Ventures SE Asia & India Gary Khoeng, ke depannya masa depan brand aggregator akan lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan di media sosial.

Omnichannel sebagai strategi diprediksi juga akan terus tumbuh dan kami melihat bahwa perusahaan akan fokus untuk mendorong pengalaman pelanggan yang konsisten dan terbaik di semua channel. Bisnis juga akan memperdalam kemampuan pengumpulan dan analisis data mereka untuk membuat keputusan berdasarkan data,” kata Gary.

Saat ini Vertex Ventures merupakan salah satu investor strategis yang mendukung pertumbuhan bisnis Dailybox Group. Tercatat pertumbuhan bisnis Dailybox tidak terhalang saat pandemi, pendapatan kotor mereka secara grup pada 2021 tumbuh cukup pesat. Prestasi ini pun membuat Dailybox Group dilirik oleh sejumlah investor dan akhirnya sukses mendapat pendanaan Seri A pada Juli 2021 di masa pandemi.

“Beberapa tahun ke belakang kami telah mengakuisisi brand yang memiliki storefront atau eksis di platform offline, seperti Breadlife dan Lu’miere. Ke depannya, kami akan memperkenalkan beberapa brand baru yang dapat menunjang strategi multi platform kami,” kata Kelvin.

Agar brand aggregator berjalan sukses, perusahaan harus terus mengevaluasi dan mengoptimalkan strategi agregasi brand mereka berdasarkan feedback pelanggan dan analisis data. Hal ini termasuk secara teratur memperbarui teknologi dan penawaran untuk memastikan bahwa layanan dan produk tetap relevan dan memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan. Kesimpulannya, tren agregasi brand di industri F&B akan terus berlanjut di masa mendatang, karena bisnis berupaya memaksimalkan jangkauan mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Unit ekonomi dan faktor pendorong VC berinvestasi

Industri F&B telah menjadi salah satu penunjang ekonomi global, dan dalam beberapa tahun terakhir, telah menarik investasi yang signifikan dari perusahaan modal ventura (VC). Dengan pertumbuhan industri, VC mencari peluang untuk berinvestasi dalam bisnis F&B yang menjanjikan dan memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Hal termasuk perusahaan yang memiliki rekam jejak pertumbuhan pendapatan yang terbukti dan strategi yang jelas untuk memperluas basis pelanggan mereka.

VC juga kerap mencari bisnis F&B dengan unit ekonomi yang kuat, artinya biaya produksi dan pengiriman setiap unit lebih rendah daripada pendapatan yang dihasilkan dari penjualannya. Hal ini memungkinkan bisnis untuk menghasilkan margin positif dan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam pertumbuhan dan ekspansi.

Menurut Arya, setiap brand perlu memahami unit ekonomi mereka. Apakah perusahaan sudah untung di tingkat toko?, toko mana yang tidak menguntungkan dan mengapa?, Berapa break-even sales and break-even unit?.

“Selama masa ekspansi, setiap brand harus bisa memberikan alasan mengapa lokasi yang diusulkan bagus. Data lokasi menjadi faktor penting sebelum berkembang. Merek perlu memahami apa demografi pelanggannya,” kata Arya.

Dalam industri F&B, unit ekonomi merupakan faktor penting dalam menentukan potensi pertumbuhan dan skalabilitas. Dilihat dari bisnis dengan strategi pertumbuhan yang jelas, penawaran inovatif, dan ekonomi unit yang kuat, VC dapat mengidentifikasi dan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki potensi terbesar. Kesimpulannya, fokus pertumbuhan dan unit ekonomi merupakan pertimbangan utama bagi perusahaan VC saat berinvestasi di industri F&B.

Menurut Gary dari Vertex Ventures, bisnis foodtech yang didukung oleh VC pada umumnya terdiri dari komponen online dan offline. Model bisnis online berkembang sehingga VC tidak bisa menentukan target pertumbuhan atau unit ekonomi yang perlu dicapai oleh startup sebelum berinvestasi.

“Secara umum, apa yang kita lihat adalah tingkat pertumbuhan bulanan yang konsisten dan sehat, retensi pelanggan yang sehat dan margin kontribusi laba, jika pendiri startup mampu meminimalkan biaya variabel,” kata Gary.

Ditambahkan olehnya, biasanya layanan secara offline juga melengkapi layanan secara online. Saat pandemi melandai, akan mulai terlihat pelanggan kembali ke toko offline, tidak hanya untuk membeli makanan tetapi juga untuk pengalaman langsung saat menikmati hidangan di lokasi.

Metrik yang kemudian dilihat oleh VC dalam hal ini meliputi, jika terjadi pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten per toko/restoran, pertumbuhan penjualan (%) per toko/restoran, berapa lama waktu yang dibutuhkan setiap toko baru untuk mencapai break even dan mencapai profitabilitas, termasuk jumlah pengeluaran modal yang dibutuhkan untuk toko baru.

“Hal ini termasuk strategi distribusi makanan mereka, contohnya model central kitchen, apakah mereka mengoptimalkannya untuk skala ekonomi dan apa yang terjadi ketika mereka mencapai kapasitas maksimum, versus dapur individu di restoran, apakah operasinya dioptimalkan,” kata Gary.

Jaringan dapur virtual Hangry kini mencapai 70 titik berlokasi tersebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar

Hangry Terus Genjot Pertumbuhan Lewat Strategi Dapur Virtual dan “F&B Brand Aggregator”

Startup kuliner multi-brand Hangry mengungkapkan akan melanjutkan ekspansi merek makanan label privat dan jaringan dapur virtual ke lebih banyak kota di seluruh Indonesia. Perusahaan berambisi ingin menjadi penyedia kuliner berkualitas terbaik dengan harga terjangkau untuk masyarakat melalui berbagai saluran.

Ambisi tersebut sejalan dengan keyakinan perusahaan dan tren yang ditawarkan oleh platform pesan-antar makanan ke depannya bakal terus menjadi penyokong utama bisnis. Terlihat dari jumlah dapur virtual Hangry lebih mendominasi daripada gerai restoran yang menerima dine-in.

“Perkembangan food delivery market sangat pesat dari 2019-2020 sebelum pandemi. Yang terjadi saat pandemi, tren itu dipercepat sehingga potensi market-nya sangat besar dan kita expect hal tersebut akan terus berlanjut. Makanya bisnis utama kami adalah [online] delivery,” kata Co-founder dan President Hangry Andreas Resha saat konferensi pers yang digelar kemarin (17/11).

Memasuki hari jadinya yang ke-3, kini Hangry telah memperluas daerah cakupan dapur virtualnya ke lebih dari 70 titik. Lokasinya tersebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar. Adapun untuk gerai restorannya ada di tiga lokasi di sekitar Jakarta, yakni Senopati, Kemang, dan Pondok Indah. Ketiganya merupakan restoran khusus merek makanan di bawah Hangry, yakni Moon Chicken.

Mengutip dari laporan Grab di 2022, secara regional, pengeluaran bulanan untuk layanan pesan-antar makanan dan belanja harian meningkat sebesar 30% lebih tinggi pada Mei 2022 dibandingkan dengan November 2021. Kemudian, pengeluaran untuk pengiriman makanan dan bahan makanan meningkat 1,3 kali lipat antara 2021-2022.

Di Indonesia saja, rata-rata jumlah uang yang dibelanjakan per pesanan di layanan GrabFood meningkat sebesar 54% dari 2019-2022. Adapun untuk jumlah pembelanjaan terbesar tahun ini mencapai Rp9 juta. Sedangkan untuk GrabMart, rata-rata jumlah pembelanjaan per pesanan tumbuh 90% lebih tinggi dari 2020.

Secara terpisah, mengutip dari laporan Momentum Works, di Asia Tenggara total GMV mencapai $15,5 miliar pada 2021, naik 30% dari tahun sebelumnya. Adapun Indonesia saja kontribusinya sebesar $4,6 miliar. Dari segi penggunaan aplikasi, pangsa pasar GrabFood adalah yang terbesar dengan GMV sebesar $7,6 miliar. Angka tersebut melampaui FoodPanda sebesar $3,4 miliar dan Gojek $2 miliar.

Resha pun menyadari posisi perusahaan yang lahir tak lama sebelum pandemi merebak, juga tak terlepas dari dampak ekonomi yang timbulkan, seperti gejolak global di perusahaan teknologi, kenaikan harga bahan bakar, dan kenaikan suku bunga acuan. Perusahaan pun mencoba lebih sensitif dengan kondisi-kondisi di atas.

Namun ia merasa bersyukur dengan posisi Hangry yang berada di dunia kuliner sebagai penyuplai, yang selalu memiliki permintaan karena berkaitan dengan kebutuhan primer seluruh manusia.

“Sebagai perusahaan yang sediakan suplai untuk mengisi demand, artinya kami selalu dicari masyarakat. Untuk itu kami berusaha berikan yang terbaik, dari sisi produk apa yang bisa ditingkatkan atau dikompromikan, dan selalu dengarkan feedback dari konsumen.”

Perkembangan Hangry

Hangry sendiri saat ini memiliki tujuh merek label privat. Mereka adalah Moon Chicken, San Gyu, Ayam Koplo, Dari Pada, Pizza Gang, Wai Thai Food, dan Accha – Indian Soul Food. Khusus merek terakhir adalah hasil terakhir yang dilakukan perusahaan setelah melebarkan sayap menjadi brand aggregator pada awal Maret 2022.

Merek terbaru yang baru dirilis adalah Wai Thai Food. Berdasarkan riset internal, sebanyak 68% orang Indonesia sangat menyukai makanan Thailand dan 41% dari mereka mengonsumsinya setidaknya dua-tiga kali dalam beberapa bulan.

Disebutkan sejak pertama kali dirilis di Agustus 2022, Wai Thai telah mencetak penjualan lebih dari Rp1 miliar pada bulan pertama dengan menjual 20 ribu porsi. “Kami ingin membawa makanan Thailand yang autentik dengan porsi yang pas,” kata Brand Manager Marketing Hangry Yohan Ariowibowo.

Menurutnya, Hangry mengembangkan banyak merek privat karena pihaknya ingin selalu menghadirkan yang baru agar konsumen tidak merasa bosan. Ke depannya, bakal ada merek baru dengan menu-menu dan harga yang lebih terjangkau bagi konsumen.

Diklaim, perusahaan saat ini memiliki 1,6 juta pelanggan unik dengan rating rata-rata 4,7/5,0 untuk setiap outlet di aplikasi jasa layanan pesan-antar. Tiap bulannya, Hangry menjual 1,8 juta porsi makanan dan minuman. “Revenue kami berkembang hingga 2,5 kali lipat dari akhir 2021 sampai sekarang,” tambah Resha.

Application Information Will Show Up Here

Entering QRIS’ Second Year: Various Challenges on Adoption to Startups and F&B

On the previous edition, DailySocial published a series of articles based on a mini survey highlighting QRIS based on the general consumer’s point of view and the transaction experience through digital financial apps. We have published both topics through two different articles, the first and second part.

Related to the previous series, DailySocial, throuh this writing, intend to validate a number of respondents’ assumptions regarding merchants as one of the barriers to QRIS adoption in Indonesia. In addition, the mini survey only represented a small part of the facts and challenges. This writing is part of our efforts to bridge issues in the field to stakeholders.

The mini survey was validated through several interviews with F&B startups in Indonesia, including Kopi Kenangan, Hangry, and Livera, on their perspectives of QRIS adoption in its outlets.

Customer and Merchant Presented Mode

A little reminder, two years after launching, the transaction value of Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) has reached Rp 9 trillion in the first semester of 2021 or grew 214% yearly (YoY). Bank Indonesia (BI) also recorded 8.2 million Indonesian merchants have adopted QRIS. The number has increased by about 3 million since the end of 2020.

Through this achievement, BI seeks to continue increasing the adoption of QRIS to all levels of Indonesian communities. In particular, considering the unprecedented situation due to Covid-19 pandemic, cashless transactions will always be on demand.

One of BI’s efforts is to release the Customer Presented Mode feature to facilitate the use of QRIS in the near future. The Customer Presented Mode allows merchant’s cashiers to scan a mobile user’s QRIS. Merchants will be provided with a scanner from the payment provider.

On the other hand, the Merchant Presented Mode we use enables transactions by scanning QRIS at the merchant and completing transactions through certain payment apps. Before QRIS, users have to submit the phone number on each EDC belonging to the payment service provider.

“In the near future, we will launch the Customer Presented Mode feature following the existing Merchant Presented Mode. We are also piloting QRIS transactions for cross borders, both inbound and outbound,” Bank Indonesia’s Assistant Governor and Head of the Payment System Policy Department, Filianingsih Hendarta said.

Validating QRIS adoption issues on merchant

Based on the QRIS mini survey results, we summarize some of the main reasons respondents are yet to use the QRIS method. First, they think that merchants only use QRIS as a ‘display’ or not properly utilized. Next, QRIS is already available, but not yet activated by merchants.

In addition, the clerk or cashier does not understand how to proceed transactions using QRIS. Also, there are too many QR Code displayed as each payment service provider has its own QRIS. Then, the availability of QRIS at merchants is still limited.

We have tried to validate the above issues by gathering a wider perspective from various F&B startups. However, only Kopi Kenangan, Hangry, and Livera are willing to reveal their perspectives of QRIS implementation. The challenges they experienced were quite different considering that Kopi Kenangan relies on physical outlets, while Hangry and Livera rely on cloud kitchens.

Illustration of using QRIS on a digital wallet payment platform / QRIS.id

In a statement to DailySocial, Kopi Kenangan Management said as many as 500 of its physical outlets have accepted the QRIS-based payment method. According to the records, the Kopi Kenangan transaction volume using QRIS payment method has increased 98% from May 2020 to August 2021. This growth is in line with the increase in public awareness of the QRIS payment method.

His team denied the assumption about cashiers who did not understand the QRIS terms. It is because Kopi Kenangan always provides education to staff regarding the procedures. Usually, the staff at the booth will ask the customer’s preferred payment method and its promotion.

“To date, the internet connection stability becomes the main challenge. It hinders the QRIS transaction process. Sometimes the barcode does not appear, or unavailable to be scanned,” Kopi Kenangan Management said.

Meanwhile, Hangry’s COO, Andreas Resha admitted that there is no crucial obstacle when his merchant staff processed QRIS transactions. The reason is, most of Hangry’s transaction orders use the delivery rather than take away method.

“We don’t have exact numbers, but we have seen a decline number since the pandemic, especially with many people doing activities at home. Therefore, the non QRIS based delivery methods are more widely used than the takeaway methods,” he said.

Currently, Hangry has implemented the QRIS payment method in 49 outlets across the Greater Jakarta and Bandung areas. Andreas admitted that his team is currently preparing a dine-in restaurant concept which will be opened in the near future and will include the QRIS payment method as well.

From a different perspective, Livera’s Founder and CEO, Marcello Judhandoyo considered that the QRIS adoption seems to be underutilized for F&B business people with cloud kitchen concept. It is because the money for food/beverage purchases via the ride-hailing platform will go directly to the merchant.

In a general note, cloud kitchen is a term used for restaurants that do not provide dine-in services, providing delivery and takeaway only.

“When it comes to the QRIS adoption in the F&B business with cloud kitchen concept, it’s actually not optimal. However, in the case of manual ordering via WhatsApp, it is actually possible. Livera offers payment via QRIS by sending a barcode to consumers. Unfortunately, in this case, most Livera consumers prefer transfer method. In fact, QRIS offer easier method as consumers don’t have to worry about the various bank accounts, let alone having to register one by one in the mobile banking application,” he explained.

Livera just started the business in 2020 and its operations are currently cloud kitchen only. Meanwhile, new product orders are available via delivery on the Gojek, Grab, and Tokopedia platforms as well as manual order via WhatsApp.

Expanding access of QRIS technology

No one thought the world would experience the Covid-19 pandemic where mobility would be very limited. In fact, the Government had just launched QRIS a few months before the first PSBB. This momentum can actually encourage the QRIS adoption, even more significantly than its current achievement.

At the same time, the cloud kitchen trend is developing among F&B businesses to deal with stifling costs and business uncertainty in the midst of a pandemic. People prefer to transact faster and easier without having to meet face to face and do physical interaction.

Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021
Services that are expected to adopt QRIS / Source: QRIS Mini Survey 2021

The government’s act to introduce the Customer Presented Mode can also help accelerate the QRIS adoption. However, it is far more important to expand its implementation, therefore, it does not rely only on modern retail merchants. As many as 87.3% of our respondents expect QRIS to be used at street vendors, markets (81%), government services (76.2%), and public transportation (68.3%). This is actually the most anticipated thing to accelerate a more massive QRIS adoption.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pemerintah meluncurkan QRIS secara resmi pada Januari 2020 / QRIS.id

Dua Tahun QRIS: Ragam Tantangan Adopsi pada Startup F&B

Beberapa waktu lalu, DailySocial menerbitkan artikel berseri berdasarkan mini survey dengan topik besar QRIS yang mengambil sudut pandang konsumen secara umum dan pengalaman bertransaksi melalui aplikasi keuangan digital. Keduanya telah kami publikasi dalam dua tulisan berbeda, yakni bagian pertama dan bagian kedua.

Melanjutkan seri tulisan sebelumnya, kali ini DailySocial mencoba memvalidasi sejumlah anggapan responden yang mengkaitkan merchant sebagai salah satu hambatan adopsi QRIS di Indonesia. Sekali lagi, mini survey yang kami lakukan beberapa waktu lalu hanya mewakili sebagian kecil fakta dan tantangan yang ada. Tulisan ini menjadi salah satu upaya kami menjembatani isu di lapangan kepada para pemangku kepentingan (stakeholder).

Kami memvalidasi hasil mini survey ini dengan mewawancarai beberapa startup F&B di Indonesia, antara lain Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera, terkait pandangan mereka dalam mengadopsi QRIS pada gerai yang mereka miliki.

Customer dan Merchant Presented Mode

Sedikit penyegaran, dua tahun pasca-meluncur, nilai transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau tumbuh 214% secara tahunan (YoY). Bank Indonesia (BI) juga mencatat  sebanyak 8,2 juta merchant di Indonesia yang sudah mengadopsi QRIS. Jumlah tersebut telah bertambah sekitar 3 juta sejak akhir 2020.

Dengan pencapaian ini, BI berupaya untuk terus meningkatkan adopsi QRIS ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Terlebih melihat situasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, ekspektasi untuk bertransaksi secara nontunai (cashless) masih akan tetap ada.

Salah satu upaya BI adalah merilis fitur Customer Presented Mode untuk mempermudah penggunaan QRIS dalam waktu dekat. Customer Presented Mode memungkinkan kasir merchant untuk memindai (scan) QRIS milik pengguna ponsel. Merchant akan disediakan alat scanner dari penyedia pembayaran.

Sebaliknya, Merchant Presented Mode yang biasa kita gunakan untuk bertransaksi memampukan transaksi dengan memindai QRIS di merchant dan menyelesaikan transaksi lewat aplikasi pembayaran yang diinginkan. Sebelum QRIS meluncur, pengguna harus memasukkan nomor telepon pada masing-masing EDC milik penyedia jasa pembayaran.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta beberapa waktu lalu.

Memvalidasi isu adopsi QRIS pada merchant

Berdasarkan hasil mini survey QRIS, kami merangkum beberapa alasan utama responden yang belum bertransaksi dengan metode QRIS. Pertama, responden menilai merchant hanya menjadikan QRIS sebagai ‘pajangan’ saja alias kurang diutilisasi sebagaimana mestinya. Kedua, QRIS sudah tersedia, tetapi belum diaktifkan merchant.

Ketiga, petugas atau kasir kurang memahami cara memproses transaksi dengan QRIS. Keempat, QRIS terlalu banyak di-display di gerai karena setiap penyedia jasa pembayaran punya QRIS sendiri-sendiri. Terakhir, ketersediaan QRIS di merchant masih terbatas.

Kami telah mencoba memvalidasi hal-hal di atas dengan mengumpulkan perspektif lebih luas dari berbagai startup F&B. Namun, baru Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera yang bersedia mengungkap perspektif dalam mengimplementasi QRIS. Tantangan yang mereka alami pun cukup berbeda mengingat Kopi Kenangan bertumpu pada gerai fisik, sedangkan Hangry dan Livera mengandalkan cloud kitchen.

Ilustrasi penggunaan QRIS pada platform pembayaran dompet digital / QRIS.id

Dalam pernyataannya kepada DailySocial, Manajemen Kopi Kenangan mengatakan sebanyak 500 gerai fisik miliknya sudah menerima metode pembayaran berbasis QRIS. Menurut catatannya, volume transaksi Kopi Kenangan dengan metode pembayaran QRIS meningkat 98% terhitung sejak Mei 2020 hingga Agustus 2021. Pertumbuhan ini sejalan dengan peningkatan awareness publik terhadap metode pembayaran QRIS.

Pihaknya menampik anggapan kasir kurang memahami penggunaan QRIS. Pasalnya, Kopi Kenangan menyebut selalu memberikan edukasi kepada staf terkait tata cara penggunaan QRIS. Biasanya, staf di gerai menanyakan pilihan metode pembayaran yang diinginkan oleh pelanggan dan promosinya.

“Sejauh ini tantangan utama yang kami rasakan adalah ketidakstabilan koneksi internet. Hal ini menyulitkan proses transaksi QRIS. Terkadang barcode tidak muncul, atau muncul tetapi tidak dapat di-scan,” ungkap Manajemen Kopi Kenangan.

Sementara itu, COO Hangry Andreas Resha mengaku belum menghadapi kendala krusial ketika staf merchant-nya memproses transaksi QRIS. Pasalnya, transaksi pemesanan di Hangry kebanyakan menggunakan metode delivery ketimbang take away.

“Kami tidak punya angka persis, tetapi kami memang melihat ada penurunan sejak pandemi, terlebih dengan semakin banyaknya masyarakat yang berkegiatan di rumah. Maka itu, metode delivery yang tidak menggunakan QRIS lebih banyak digunakan dibandingkan metode takeaway,” ujarnya.

Saat ini, Hangry telah mengimplementasi metode pembayaran QRIS di 49 outlet yang tersebar di daerah Jabodetabek dan Bandung. Andreas mengaku bahwa pihaknya kini tengah menyiapkan konsep restoran dine-in yang akan dibuka dalam waktu dekat dan akan menyertakan metode pembayaran QRIS juga.

Dari perspektif berbeda, Founder dan CEO Livera Marcello Judhandoyo menilai bahwa adopsi QRIS tampaknya kurang terutilisasi bagi pelaku bisnis F&B yang menggunakan cloud kitchen. Pasalnya, uang transaksi pembelian makanan/minuman lewat platform ride-hailing langsung otomatis masuk ke merchant. 

Sedikit informasi, cloud kitchen merupakan sebuah istilah yang dipakai pada restoran yang tidak menyediakan layanan makan di tempat (dine in), tetapi hanya memiliki opsi jasa pengiriman makanan (delivery) dan ambil di tempat (takeaway).

“Kalau bicara soal adopsi QRIS di bisnis F&B yang pakai cloud kitchen sebetulnya kurang optimal. Tapi kalau kasusnya pemesanan manual melalui WhatsApp, sebetulnya bisa. Livera menawarkan pembayaran via QRIS dengan mengirimkan barcode kepada konsumen. Sayangnya, dalam kasus ini, kebanyakan konsumen Livera lebih prefer metode transfer. Padahal, QRIS jauh lebih mudah lho, konsumen tidak perlu repot menanyakan bank rekening yang digunakan, apalagi harus mendaftarkannya satu-satu di aplikasi mobile banking,” paparnya.

Livera baru memulai bisnis di 2020 di mana operasionalnya baru menggunakan cloud kitchen. Adapun, pemesanan produknya baru dapat dilakukan via delivery di platform Gojek, Grab, dan Tokopedia maupun pemesanan secara manual melalui WhatsApp

Perluasan akses QRIS

Tidak ada yang menyangka dunia akan menghadapi pandemi Covid-19 di mana mobilitas menjadi sangat terbatas. Padahal, beberapa bulan sebelum kebijakan PSBB pertama kali, Pemerintah baru saja meluncurkan QRIS. Momentum ini sebetulnya dapat mendorong adopsi QRIS, bahkan jauh lebih signifikan dari pencapaiannya saat ini.

Di saat yang sama, tren cloud kitchen tengah berkembang di kalangan pelaku usaha F&B untuk menyiasati biaya mencekik dan ketidakpastian bisnis di tengah pandemi. Masyarakat pun memilih untuk bertransaksi lebih cepat dan mudah tanpa perlu bertatap muka dan melakukan sentuhan fisik.

Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021
Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021

Langkah Pemerintah memperkenalkan Customer Presented Mode juga bisa  membantu akselerasi adopsi QRIS. Meskipun demikian, jauh lebih penting untuk memperluas implementasinya agar tidak bertumpu pada merchant ritel modern saja. Sebanyak 87,3% responden kami mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, pasar (81%), layanan pemerintah (76,2%), dan transportasi publik (68,3%). Ini yang sebetulnya paling dinantikan untuk mengakselerasi adopsi QRIS yang lebih masif.

Hangry Announces 188 Billion Rupiah Series A Funding Led by Alpha JWC Ventures

The multi-brand culinary startup Hangry today (03/5) announced the Series A funding worth of $13 million equivalent to 188 billion Rupiah. This round was led by Alpha JWC Ventures with the participation of Atlas Pacific Capital, SALT Ventures, and Heyokha Brothers. Hangry will use the fresh fund for national expansion in 2021-2022.

Previously, Hangry secured $3 million seed funding from Alpha JWC Ventures and Sequoia Capital for its involvement in the Surge accelerator program last year.

This year, the company aims to build more than 120 outlets and 20+ dine-in restaurants in various cities throughout Indonesia. In a media gathering earlier, Hangry’s team said that they will immediately execute the omnichannel strategy, integrate online-offline distribution channels this year.

Was founded in early September 2019 by Abraham Viktor, Andreas Resha, and Robin Tan, Hangry currently operates 40 branches in the Greater Jakarta and Bandung. They manage in-house brands, from Moon Chicken, San Gyu, Ayam Koplo and Dari Pada.

The cloud kitchen concept applied in every outlet, to produce quality products at affordable prices. Food/beverages from Hangry can be ordered via GoFood, GrabFood, ShopeeFood, and the Hangry application.

“There are not many global food and beverage brands with really high-quality offerings, even those from Indonesia. This is our goal. We started from a small shophouse and will continue to expand to big cities in Indonesia and then to Southeast Asian countries. In the long term, Hangry wants to be a brand that grows with consumers, be there for their every moment and makes it count,” Hangry’s Co-Founder & CEO, Abraham Viktor said.

Abraham added, “The Hangry business is multi-brand and multi-channel concept to offer options with various channels for consumers. Therefore, opening a restaurant to dine-in has been in our roadmap, we just postponed it due to the pandemic. Last year, we decided to focus on the cloud kitchen concept and this has been the key to Hangry’s success. Now, people are ready to return to their normal activities, including eating out, and this is the right time to introduce Hangry restaurant.”

Meanwhile, for Alpha JWC Ventures, the new retail sector does have its own place in its investment hypothesis. Apart from Hangry, there are several other culinary startups have received support from them, including Goola, Kopi Kenangan, and Mangkoku.

“As its seed investor, Hangry’s curent achievement has proved our trustin the beginning. With a customer focus and effective execution, Hangry always prioritizes excellence in terms of product taste and service experience. Within 1.5 years, Hangry has successfully launched various brands with various flavors and categories, and almost all of them are the best products with top rankings on various platforms – this is a clear example of innovation based on product market fit,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Eko Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Seri A Hangry

Hangry Umumkan Pendanaan Seri A 188 Miliar Rupiah, Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup kuliner multi-brand Hangry hari ini (03/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $13 juta atau setara 188 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures diikuti Atlas Pacific Capital, SALT Ventures, dan Heyokha Brothers. Dengan dana segar yang didapatkan, Hangry memasang target untuk melakukan ekspansi nasional pada tahun 2021-2022.

Sebelumnya, tahun lalu Hangry mendapatkan pendanaan awal senilai $3 juta dari Alpha JWC Ventures dan Sequoia Capital atas keterlibatannya di program akselerator Surge.

Tahun ini perusahaan menargetkan bisa membangun lebih dari 120 outlet dan 20+ restoran dine-in di berbagai kota di Indonesia. Sebelumnya dalam sebuah acara temu media, tim Hangry juga mengatakan bahwa tahun ini mereka akan segera mengeksekusi strategi omnichannel, integrasikan saluran distribusi online-offline.

Sejak didirikan awal September 2019 oleh Abraham Viktor, Andreas Resha, dan Robin Tan, Hangry saat ini sudah mengoperasikan 40 cabang di wilayah Jabodetabek dan Bandung. Mereka mengelola brand in-house, mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Ayam Koplo dan Dari Pada.

Konsep cloud kitchen turut diterapkan di setiap gerai yang dimiliki, untuk menghasilkan produk berkualitas namun dengan harga terjangkau. Makanan/minuman dari Hangry bisa dipesan lewat GoFood, GrabFood, ShopeeFood, dan aplikasi Hangry.

“Tidak banyak brand makanan dan minuman global yang memiliki sajian yang benar-benar berkualitas, pun yang berasal dari Indonesia. Ini yang menjadi cita-cita kami. Kami mulai dari sebuah ruko kecil dan akan terus berkembang ke kota-kota besar di Indonesia lalu ke negara-negara Asia Tenggara. Dalam jangka panjang, Hangry ingin menjadi brand yang tumbuh bersama konsumen, hadir pada tiap momen mereka dan membuat momen tersebut menyenangkan,” ujar Co-Founder & CEO Hangry Abraham Viktor.

Abraham menambahkan, “Konsep bisnis Hangry adalah multi-brand dan multi-channel untuk membawa banyak pilihan dengan berbagai jalan bagi konsumen. Karena itu, membuka restoran untuk makan di tempat memang sudah ada di dalam perencanaan kami selama ini, hanya saja kami tunda karena pandemi. Tahun lalu kami memutuskan untuk fokus dengan konsep cloud kitchen dan hal ini telah menjadi kunci kesuksesan Hangry. Kini, masyarakat sudah mulai siap untuk kembali beraktivitas normal, termasuk untuk makan ke luar, dan ini adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan restoran Hangry.”

Sementara itu bagi Alpha JWC Ventures, sektor new retail memang memiliki tempat tersendiri dalam hipotesis investasinya. Terbukti selain Hangry saat ini sudah ada beberapa startup kuliner lain yang mendapatkan dukungan dari mereka, di antaranya Goola, Kopi Kenangan, dan Mangkoku.

“Sebagai investor awal mereka, apa yang telah dicapai Hangry sejauh ini membuktikan kepercayaan kami pada mereka sejak awal. Dengan fokus pada pelanggan dan eksekusi yang efektif, Hangry selalu mengutamakan kesempurnaan dari segi rasa produk dan pengalaman layanan. Dalam kurun waktu 1,5 tahun, Hangry berhasil meluncurkan berbagai brand dengan ragam rasa dan kategori, dan hampir semuanya menjadi produk terbaik dengan peringkat teratas di berbagai platform – ini adalah contoh nyata dari inovasi berbasis product market fit,” kata Partner di Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Application Information Will Show Up Here