Tamron telah mengumumkan lensa zoom telephoto all-in-one terbaru untuk kamera mirrorless dengan sensor APS-C, 18–300mm F3.5–6.3 Di III-A VC VXD. Lensa ini tersedia untuk sistem kamera Sony E-mount mulai tanggal 27 September 2021, nantinya juga bakal ada versi Fujifilm X-mount pada akhir tahun.
Kalau di full frame, Tamron 18–300mm F3.5–6.3 Di III-A VC VXD menawarkan rentang zoom setara 27-450mm. Secara optik, lensa ini dibuat dari 19 elemen dalam 15 grup, termasuk tiga elemen hybrid aspherical dan empat low dispersion (LD).
Tamron menggunakan diafragma aperture melingkar tujuh bilah dan memiliki ulir filter depan 67mm. Rentang aperture maksimumnya antara F3.5 hingga 6.3, sedangkan untuk minimumnya F22 pada ujung lebar dan F40 pada ujung panjangnya.
Autofocus-nya didorong oleh linear motor Voice-coil eXtreme-torque Drive (VXD) dan punya optical image stabilization dengan teknologi vibration compensation (VC) milik Tamron. Dengan menggunakan AI, lensa akan memilih karakteristik kompensasi untuk videografi pada panjang fokus 70mm atau kurang.
Jarak pemfokusan minimum lensa ini ialah 15mm pada ujung lebar dan 99mm pada ujung panjangnya, dengan rasio perbesaran masing-masing 1:2 dan 1:4. Kontruksi bodinya sudah moisture-resistant dengan fluorine coating, diameternya 75,5mm, dan berbobot 621 gram.
Untuk keamanan saat menyimpan ataupun membawanya, Tamron melengkapinya dengan tuas untuk mengunci zoom. Dengan cakupan yang luas ini, Tamron 18–300mm F3.5–6.3 Di III-A VC VXD adalah lensa serbaguna untuk berbagai kebutuhan baik still maupun video.
Pada minggu ini, tercatat ada tiga lensa APS-C baru yang menarik untuk dibahas dari produsen yang berbeda. Meliputi 7Artisans dengan lensa 7.5mm F2 fisheye, Tamron dengan lensa superzoom 18-300mm F3.5-6.3 Di III-A2 VC VXD, dan Pergear dengan lensa 60mm F2.8 Ultra-Macro.
Mari mulai dari 7Artisans 7.5mm F2 fisheye yang dibanderol US$149 atau sekitar Rp2,1 jutaan. Lensa yang dapat mengambil gambar dengan skala lebih luas ini tersedia untuk sistem kamera mirrorless Canon EOS-M, Canon RF, Fujifilm X, Leica L, Micro Four Thirds (MFT), Nikon Z, dan Sony E-mount.
Sekilas untuk spesifikasinya, 7Artisans 7.5mm F2 fisheye dibuat dari 11 elemen dalam 8 grup, termasuk diantaranya dua elemen low-dispersion dan tiga elemen high-refractive index. Memiliki jarak fokus minimum 12,5cm, menggunakan aperture diafragma 7 bilah, dan rentang aperture F2 hingga F11.
Beralih ke Tamron 18-300mm F3.5-6.3 Di III-A2 VC VXD, lensa zoom telephoto all-in-one serbaguna ini akan tersedia untuk sistem kamera Sony E-mount dan Fujifilm X. Serta, menawarkan rentang zoom yang setara dengan 27-450mm di full frame.
Saat ini, Tamron belum mengungkap harga dan rencananya diharapkan akan tersedia pada akhir tahun mendatang. Lebih lanjut, distabilkan secara optik menggunakan linear focus motor VXD (Voice-coil eXtreme-torque Drive), memiliki jarak fokus minimum 6 inci dengan rasio perbesaran maksimum 1:2, dan menawarkan rasio zoom 16,6x.
Lanjut ke Pergear 60mm F2.8 Ultra-Macro, lensa macro ini menawarkan rasio pembesaran 2x dan bidang pandang setara 90mm di full frame. Tersedia untuk sistem kamera Fujifilm X, MFT, Nikon Z, dan Sony E-mount dengan harga US$229 atau sekitar Rp3,3 jutaan.
Pergear 60mm F2.8 Ultra-Macro dibuat dari 11 elemen dalam 8 grup. Menggunakan diafragma aperture 10 bilah dan memiliki jarak fokus minimum 19,1mm. Bodinya punya diameter 68mm dengan panjang 118mm dan bobotnya sekitar 600 gram.
Dunia fotografi sangat luas dan mendalam, spesifikasi kamera penting tetapi tidak bergantung pada seberapa mahal dan canggih kamera yang digunakan. Kreativitas the man behind the camera dan lensa yang terpasang juga tak kalah berpengaruh.
Bicara soal lensa, masing-masing jenis lensa memang memiliki keunggulan dan karakteristik uniknya sendiri. Setelah lensa kit, menurut saya seorang penggemar fotografi harus memiliki satu atau lensa lensa prime atau fix. Sebab lensa ini memiliki aperture besar, pilihan lensa, dan harganya juga bervariasi, yang terjangkau ada banyak.
Sebut saja dari KamLan, baru-baru ini produsen lensa asal Tiongkok itu telah mengumumkan Kamlan KL 32mm f/1.1. Lensa manual fokus ini dirancang untuk sistem kamera dengan sensor APS-C dan Micro Four Thirds (MFT) dengan harga US$300 atau sekitar Rp4,2 jutaan.
Saat terpasang dengan kamera mirrorless Fujifilm X-mount dan Sony E-mount, Kamlan KL 32mm f/1.1 menawarkan ruang pandang ekuivalen 48mm di full frame. Pada Canon EOS M series 51,2mm, sedangkan di kamera Panasonic Lumix dan Olympus adalah 64mm, focal length ini sangat populer dan serbaguna.
Lebih lanjut, konstruksi lensa Kamlan KL 32mm f/1.1 terdiri dari sembilan elemen dalam tujuh grup, lima diantaranya high-refractive class. Serta dilengkapi dengan diafragma 11 bilah dan memiliki jarak pemfokusan minimum 40cm.
Ring kontrol aperture-nya clickless dengan memiliki rentang aperture f/1.1 hingga f/11 dan ukuran filter depannya 62mm. Focal length sekitar 50mm dan aperture maksimum f/1.1 sudah terbayangkan, bokeh menawan yang dihasilkan.
Saat ini penjualan kamera digital cenderung menurun dari tahun ke tahun. Keadaan ini diperparah dengan pandemi covid-19 yang terjadi di hampir sepanjang tahun 2020 dan industri fotografi salah satu yang terkena dampaknya.
Meski menurut laporan terbaru dari Camera & Imaging Products Association (CIPA) seperti yang dilansir Dailysocial dari DPreview, pada bulan Oktober menunjukkan pasar kamera digital mulai pulih dari penurunan akibat covid-19. Di mana total unit yang dikirim mencapai 1,13 juta, angka ini masih 22,8% lebih sedikit dibandingkan dengan Oktober 2019, tetapi masih lebih baik daripada enam bulan terakhir.
Persaingan kamera digital tahun ini sangat sengit seperti tahun sebelumnya, terutama pertarungan kamera mirrorless dengan sensor full frame. Bentrokan antara Canon, Nikon, Panasonic, dan Sony terjadi sangat keras. Di sisi lain, persaingan kamera mirrorless dengan sensor APS-C juga tak kalah menarik.
Berikut sederet kamera mirrorless yang dirilis di tahun 2020, daftar ini diurutkan berdasarkan abjad.
Canon
Mulai dari Canon, pada bulan Juli lalu mereka mengumumkan penerus EOS R yang merupakan kamera mirrorless full frame pertama Canon yang dirilis tahun 2018 yakni EOS R5 dan EOS R6. Fitur utama dari EOS R5 ialah resolusinya sensornya mencapai 45MP dan menggunakan prosesor DIGIC X seperti yang ditemukan pada kamera DSLR flagship Canon EOS-1D X III.
Namun fitur paling menarik dari EOS R5 ialah kemampuannya merekam video hingga resolusi 8K di 30 fps, meskipun durasinya dibatasi hanya sampai 30 menit. Sementara, EOS R6 merupakan versi terjangkau dari EOS R5 dengan sensor beresolusi 20MP dan ditenagai prosesor DIGIC X yang sama. Sedangkan perekam videonya mendukung UHD 4K/60p dengan sedikit crop atau hampir menggunakan seluruh lebar sensor.
Untuk APS-C, Canon juga menyegarkan EOS M50 dengan generasi kedua atau Mark II. Namun peningkatannya tidak banyak, ia masih menggunakan sensor APS-C 24MP dan prosesor DIGIC 8 yang sama. Pembaruan utamanya terletak pada kehadiran fitur eye tracking autofocus yang bekerja pada foto maupun video, selebihnya terbilang identik dengan pendahulunya.
Fujifilm
Lanjut ke Fujifilm, ada empat kamera APS-C yang dirilis tahun ini yaitu Fujifilm X-T200, X100V, X-T4, dan X-S10. Fujifilm X-T200 merupakan kamera mirrorless entry-level penerus X-T100, ia dapat memproses data 3,5 kali lebih cepat dan mampu merekam video 4K 30 fps, bukan lagi 15 fps.
Sementara, X100V merupakan kamera compact premium iterasi kelima seri X100 dengan hybrid viewfinder, lensa fixed 23mm f/2 yang sudah diperbarui, serta LCD-nya kini touchscreen dan bisa di-tilt dua arah. Jeroannya Sama seperti X-T4 dan X-S10, X100V hadir dengan sensor APS-C X-Trans CMOS 4 beresolusi 26MP didampingi oleh X-Processor 4.
Kalau X-T4 merupakan mirrorless flagship penerus X-T3 yang jago video dan kini hadir dengan in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop. Serta memiliki baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S.
Sedangkan, X-S10 adalah penerus X-T30 dalam bahasa desain yang berbeda. Bentuk fisiknya menyerupai kamera DSLR dengan grip besar, dengan layar
3 inci yang fully-articulating dan viewfinder elektronik di punuknya. Keistimewaan X-S10 ialah meski bodinya ringkas tetapi sudah dilengkapi IBIS.
Nikon
Seperti Canon, Nikon juga telah merilis penerus generasi pertama kamera mirrorless mereka yaitu Nikon Z6 dan Z7 yang dirilis tahun 2018. Adalah Nikon Z6 II dan Nikon Z7 II, pada generasi keduanya ini Nikon memperbarui prosesornya dengan Dual Expeed 6 sehingga performanya lebih kencang.
Hasilnya Nikon Z6 II dengan 24MP dan Nikon Z7 II dengan 47MP dapat memotret tanpa henti lebih cepat, masing-masing 14 fps dan 10 fps dengan kapasitas buffer lebih besar tiga kali dari generasi pertamanya. Serta, sudah langsung mendukung perekaman video 4K hingga 60p.
Sementara, Nikon Z5 merupakan versi hemat dari Nikon Z6 generasi pertama dengan sensor FX-format CMOS beresolusi 24MP tetapi bukan varian BSI dan menggunakan prosesor gambar yang sama yaitu Expeed 6. Hadir dengan desain yang identik dan mewarisi sejumlah fitur unggulan seperti IBIS yang diklaim dapat mengurangi guncangan hingga lima stop.
Olympus
Pada pertengahan tahun 2020, Olympus salah satu pelopor tren kamera mirrorless memutuskan menjual bisnis pencitraannya, termasuk sahamnya ke perusahaan Jepang bernama Japan Industrial Partners. Meski begitu, tahun ini Olympus merilis tiga kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) yaitu Olympus OM-D E-M1 Mark III, OM-D E-M10 IV, dan OM-D E-M10 IIIs.
Olympus OM-D E-M1 Mark III merupakan kamera MFT kelas flagship beresolusi 20MP dengan prosesor gambar TruePic IX. Kamera ini dapat memotret 50MP dan memiliki IBIS yang dapat mengurangi guncangan hingga 7,5 stop. Olympus OM-D E-M10 IV juga sudah mengemas sensor MFT beresolusi 20MP dan IBIS. Sedangkan, OM-D E-M10 IIIs masih beresolusi 16MP dengan tambahan fitur Art Filter dan silent shooting mode.
Panasonic
Lanjut ke Panasonic, mereka masih belum mengumumkan penerus generasi kamera mirrorless full frame pertama yang dirilis tahun 2019 yaitu Lumix S1, Lumix S1R, dan Lumix S1H. Tahun ini, Panasonic hanya mengumumkan dua kamera yaitu Lumix G100 dan Lumix S5.
Lumix G100 merupakan kamera mirrorless MFT beresolusi 20MP yang ditujukan untuk para vlogger. Tampilannya seperti versi mini dari Lumix G series, dengan punuk yang menampung hot shoe di bagian atasnya dan electronic viewfinder 3.68 juta titik di depan. Serta, sudah dilengkapi port mikrofon sehingga bisa dengan mudah menggunakan mikrofon eksternal.
Sementara, Lumix S5 merupakan anggota keluarga full-frame terbaru dan diposisikan sebagai kamera hybrid yang bisa diandalkan untuk fotografi maupun videografi. Ia mengemas sensor full-frame 24MP yang sama seperti milik S1 dan S1H dan masih mempertahankan fitur IBIS.
Sony
Terakhir dari Sony, setelah berselang lima tahun Sony akhirnya mengumumkan kamera mirrorless full frame video-centric penerus A7S II yang dirilis tahun 2015 silam. Bernama Sony A7S III dengan yang seluruhnya dirancang ulang, termasuk sensor baru 12,1MP tapi dengan struktur back-illuminated dan prosesor gambar baru Bionz XR yang terdiri dari dua gabungan prosesor. Kemampuan perekam videonya mendukung resolusi 4K hingga 120 fps dan Full HD 240 fps dengan full-pixel readout tanpa pixel binning.
Kemudian bagi yang mendambakan kamera mirrorless full frame dengan bodi ringkas, maka Sony A7C bisa menjadi jawabannya. Embel-embel C ini memiliki arti Compact, bayangkan saja di dalam bodi APS-C sekecil A6600 tetapi mengemas spesifikasi seperti A7 III. Termasuk sensor 24MP dengan prosesor Bionz X, mewarisi fitur IBIS dan mekanisme layarnya sudah vari-angle seperti A7S II.
Satu lagi, Sony ZV-1 merupakan kamera compact dengan sensor 1 inci 20MP sama seperti RX100 series, tetapi telah dioptimalkan untuk pengambilan video. Dengan lensa zoom setara 24-70mm F1.8-2.8 ZEISS Vario-Sonnar T* dan beberapa modifikasi penting antara lain layar vari-angle, kualitas mikrofon internal di atas rata-rata dengan directional 3-capsule microphone, serta tetap menyediakan port mikrofon 3,5mm dan hot shoe.
Saat ini, kemampuan perekam video di kamera mirrorless merupakan aspek penting ketika hendak meminang kamera baru. Terlebih bila tujuan Anda memang untuk memproduksi konten video.
Berikut ini adalah rekomendasi lima kamera mirrorless dengan sensor APS-C yang punya fitur-fitur video-centric. Menurut saya sangat cocok untuk para content creator dan juga videografer yang rutin mengambil stock footage.
Kenapa memilih sistem APS-C? Sebab menawarkan keseimbangan antara harga dan kualitas, harga body kamera dan lensa-lensanya lebih terjangkau dengan kualitas yang mencukupi.
Sebelum itu, saya ingin mention bahwa di sistem Micro Four Thirds ada Panasonic Lumix GH5 yang kemampuan perekam videonya tak diragukan lagi. Baiklah mari mulai, daftar di bawah ini berdasarkan harga yang paling terjangkau.
1. Canon EOS M6 Mark II – Rp12.740.000
Kamera yang dirilis pada tahun 2019 ini mengusung sensor CMOS baru APS-C dengan resolusi tertinggi di kelasnya, yaitu 32.5MP. Kamera ini sanggup merekam video hingga UHD 4K (3840×2160 piksel) 30fps full tanpa crop, serta didukung sistem Dual Pixel autofocus dengan subject tracking dan face/eye detection.
Canon EOS M6 Mark II juga menawarkan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Fitur lainnya ialah terdapat mode HDR video yang sepenuhnya otomatis, LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah, dan punya kelengkapan port mikrofon.
Harus saya akui, Canon EOS M6 Mark II masih lebih condong ke arah fotografi. Kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading, tanpa port headphone untuk monitor audio, dan tidak memiliki fitur peringatan zebra. Namun setelah EOS M50, EOS M6 Mark II punya fitur video terbaik diantara kamera mirrorless APS-C dari Canon.
2. Sony A6400 – Rp13 Juta
Masuk ke poin kedua, kita sudah mendapatkan kamera mirrorless hybrid dengan kemampuan still dan video yang sama baiknya. Adalah Sony A6400 yang dirilis pada tahun 2019 dengan sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking.
Sony A6400 dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG.
Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan, punya port headphone, dan HDMI. Namun, tidak ada port headphone dan tidak mendukung perekakaman video 10 bit menggunakan external recorder lewat HDMI.
3. Fujifilm X-T3 – Rp19,5 Juta
Kamera mirrorless flagship Fujifilm ini dirilis pada tahun 2018 dan merupakan kamera pertama Fuji yang menggunakan sensor baru BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4. Meski penerusnya sudah ada, kemampuan video kamera ini masih terbilang sangat mumpuni.
Fujifilm X-T3 memiliki kemampuan merekam video UHD/DCI 4K hingga 60fps dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, resolusi 1080p hingga 120fps dengan crop 1.29x.
Fitur video lainnya seperti dukungan F-Log, focus peaking, zebra, dan magnification untuk mendapatkan fokus dan exposure yang tepat. Serta, mode Movie Silent Control yang menyediakan kontrol ke layar sentuh. Perlu dicatat, layar X-T3 ini hanya bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.
4. Sony A6600
Sony A6600 adalah kamera mirrorless flagship APS-C Sony penerus A6500 yang dirilis tahun 2019. Fitur pembeda utama antara A6600 dengan A6400 atau seri di bawahnya ialah adanya 5-axis in-body image stablization, menggunakan jenis baterai baru NP-FZ1000 seperti yang terdapat pada Sony A7 III, punya port headphone untuk monitor audio, tetapi kehilangan flash internal.
IBIS pada Sony A6600 memungkinkan kita menggunakan shutter speed yang lebih rendah hingga 5 stop saat memotret dalam kondisi low light dan membantu mendapatkan pergerakan yang lebih smooth saat merekam video secara hand-held. Menurut CIPA, baterai NP-FZ1000 sendiri sanggup memberikan 810 jepretan sekali charge dan menjadikan A6600 punya ketahanan baterai terbaik di kelasnya.
Sisanya identik dengan A6400, sebut saja sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking. Dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG. Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan.
5. Fujifilm X-T4 – Rp26.999.000
Fujifilm X-T4 menggunakan sensor dan prosesor yang sama seperti X-T3 yang juga terdapat pada X-T30, X-Pro3, dan X100V. Adalah sensor gambar BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4.
Sebagai penerus X-T3, X-T4 membawa pembaruan dan peningkatan yang sangat signifikan. Sebut saja, 5-axis in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop.
Mekanisme layarnya kini sudah fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus yang tepat. Dilengkapi mode film simulation baru Eterna Bleach Bypass dan menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S.
Capability videonya, Fujifilm X-T4 ini dapat merekam video UHD/DCI 4K 30fps tanpa crop dan 60fps dengan crop 1.18x dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, rekaman video slow motion 1080p pada 240fps.
Sebelumnya saya telah membahas rekomendasi tiga lensa portrait untuk Sony E Mount. Meliputi Sony E 50mm F1.8 OSS, 7Artisans 55mm F1.4, dan Sigma 56mm F1.4 DC DN. Kini pilihannya bertambah satu lagi, karena Yongnuo telah mengumumkan YN50mm F1.8S DA DSM.
Yongnuo YN50mm F1.8S DA DSM adalah lensa autofocus yang dirancang untuk kamera mirrorles Sony dengan sensor APS-C seperti jajaran A6xxx series. Sebut saja A6000, A6100, A6300, A6400, A6500, dan A6600.
Focal length 50mm di APS-C Sony berarti ekuivalen 75mm di full frame. Aperture besar F1.8 tentu akan menyuguhkan foto dengan background bokeh yang indah dan membuatnya dapat diandalkan dalam kondisi low light.
Lensa ini terdiri dari 8 elemen dalam 7 grup, termasuk satu elemen low-dispersion untuk meminimalkan aberasi. Punya bilah aperture 7-blade, minimum focusing distance 45cm, ukuran filter 49mm, dan berdimensi ringkas 64x58mm dengan bobot 146 gram.
Autofokus internal pada lensa ini digerakkan oleh digital stepping motor (DSM) yang tak hanya bekerja cepat tapi juga tenang sehingga cocok untuk digunakan merekam video. Ring focus elektroniknya juga menawarkan pengalaman menggunakan manual fokus yang halus dengan presisi tinggi.
Pada body Yongnuo YN50mm F1.8S DA DSM juga memiliki portmicro USB yang berfungsi untuk update firmware yang bisa diunduh melalui website resmi Yongnou. Soal harga, lensa ini dibanderol sekitar 699 Yuan.
Fujifilm X100f sejauh ini masih menjadi kamera idaman yang membuat banyak para fotografer penasaran, termasuk saya. Tak diragukan lagi, kamera ini mampu menciptakan foto menawan dengan user experience yang unik.
Meski begitu Fujifilm X100f bukanlah untuk semua orang, ini bukan kamera mainstream yang menawarkan fungsi hybrid foto dan video. Sebaliknya, Fujifilm X100f merupakan kamera compact premium, tidak bisa gonta-ganti lensa, dan ditujukan untuk fotografer genre tertentu.
User experience unik pada Fujifilm X100 series juga terdapat pada Fujifilm X-Pro series. Fungsinya lebih luas sebagai kamera interchangeable-lens, bahkan X-Pro3 lebih totalitas. Saya sudah menggunakan kamera ini sekitar tiga minggu dan explore street photography, berikut cerita reviewFujifilm X-Pro3 selengkapnya.
Hybrid Viewfinder dan Dual Screen
Bila dibandingkan dengan X100F dan pendahulunya X-Pro2, X-Pro3 ini lebih totalitas. Sebab selain mewarisi hybrid viewfinder tipe optical dan electronic, perubahan besar yang terjadi pada X-Pro3 ialah penggunaan dual screen. Di mana panel LCD utamanya menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya. Sementara, layar yang di depan menggunakan teknologi E Ink berwarna berukuran 1,28 inci.
Ada dua mode informasi yang tampil di sepotong layar ini, pertama setelah melepas pasang baterai kamera, maka yang tampil ialah info lokasi SD card di slot satu atau dua, estimasi jumlah foto yang bisa diambil dari sisa kapasitas SD card, dan level baterai. Lalu, setelah digunakan memotret, layar sekunder akan menampilkan informasi white balance, film simulation yang dipilih, dan ISO.
Bentuk jendela bidiknya bulat dan ukurannya cukup besar, dengan panel OLED beresolusi 3,69 juta dot yang nyaman dan jelas saat digunakan bahkan bagi saya yang menggunakan kaca mata. Di samping kiri terdapat roda diopter adjustment, jadi kita bisa melepas kaca mata dan menggeser fokus lensa viewfinder agar sesuai dengan kondisi spesifik mata kita. Untuk beralih dari viewfinder optical ke electronic atau sebaliknya, ada tuas khusus yang berada di samping kanan mount lensa.
Unit review Fujifilm X-Pro3 saya berpasangan dengan lensa Fujinon XF 35mm f/2 R WR yang mana 53.5mm equivalent di full frame (35mm). Saat memotret menggunakan viewfinder optical, area pemotretannya tidak begitu lebar. Hasilnya akan lebih sempit lagi bila menggunakan lensa 50mm (75mm equivalent di sensor 35mm) dan sebaiknya beralih ke jendela bidik electronic.
Layar sentuh 3 inci beresolusi 1,62 juta dot bisa digunakan setelah kita membaliknya setengah 90 derajat atau sepenuhnya ke bawah 180 derajat. Ini adalah perubahan besar yang sangat berani, saya yakin kebanyakan fotografer saat ini sangat bergantung pada layar untuk framing atau mencari komposisi saat memotret.
Fujifilm tampaknya ingin mendorong para pengguna X-Pro3 menggunakan jendela bidik. Terus terang, awalnya saya agak frustrasi. Sebab, kita membutuhkan layar ini untuk preview hasil foto dan video, serta menjelajahi dan menyesuaikan pengaturan kamera lebih lanjut.
Di sisi lain, saya juga mendapatkan pengalaman menyenangkan saat memotret menggunakan jendela bidik dan seolah muncul kebanggaan tersendiri. Walaupun saya mengaku tidak sepenuhnya bisa lepas dari penggunaan layar untuk framing.
Perlu dicatat juga, memotret menggunakan jendela bidik ini bisa dilakukan dengan memegang kamera pada posisi normal pada ambang batas mata atau ‘eye-level position’. Untuk low angle bisa jongkok dan tiarap atau cara yang lebih praktis menggunakan layarnya, sedangkan untuk high angle hanya bisa mengandalkan ‘feeling‘.
Desain dan Sistem Kontrol
Fujifilm X-Pro3 mengusung desain bergaya rangefinder retro seperti halnya kamera analog jaman dulu, tampil artistik dan unik. Dimensi body-nya agak bongsor dan mungkin terlalu mencolok untuk street photography.
Build quality-nya sangat baik, pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium. Kamera ini juga tersedia dalam varian dengan lapisan khusus Duratect yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap goresan.
Ukuran grip-nya minimalis, ada di depan dan belakang. Kita masih memungkinkan memotret pakai jendela bidik, baik dalam posisi vertikal atau portrait dengan nyaman menggunakan satu tangan. Dengan catatan, sebaiknya menyempatkan tali kamera di leher. Sebab, bobot kamera ini tidak ringan dan takut selip saat tangan berkeringat.
Sekarang saya akan bahas sistem kontrol kamera ini. Sebelumnya saya sudah me-reviewFujifilm X-T30, jadi harusnya sudah cukup akrab dengan sistem kontrolnya. Setelah saya jemput kamera ini di kantor Fujifilm Indonesia, hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari kontrol manual segitiga eksposur dan saya tidak menemukan cara untuk mengatur ISO secara manual.
Saya sampai tanya-tanya untuk mengetahui bahwa roda kontrol putar shutter speed berfungsi ganda. Ada ring yang bisa ditarik ke atas dan putar untuk mengatur nilai ISO yang pada saat itu berada di mode A atau otomatis.
Satu lagi yang agak menggelikan, bagaimana cara merekam video menggunakan kamera ini? Ya, X-Pro3 tidak memiliki roda kontrol mode pengambilan gambar dan juga tanpa tombol rana video. Setelah mengubek-ubek, ternyata mode perekam videonya tersembunyi di tombol drive.
Setelah dua hal tadi terpecahkan, saya masih harus berjuang beradaptasi memotret menggunakan viewfinder dengan kontrol manual segitiga eksposur. Saya ingin menekan nilai ISO sekecil mungkin untuk mendapatkan kualitas bidikan terbaik yang berujung pada terlalu sibuk sendiri.
Akhirnya saya ambil jalan tengah, untuk foto yang melibatkan orang-orang saya cenderung menggunakan ISO otomatis dengan sedikit penyesuaian pada shutter speed dan aperture sesuai kondisi cahaya. Sementara, untuk foto arsitektur atau landscape menggunakan layar dan kontrol manual penuh.
Mengenai kelengkapan atributnya, di bagian atas terdapat hot shoe, roda kontrol putar shutter speed dan juga ISO, roda kontrol putar exposure compensation, tombol Fn, dan tombol rana bersama tuas on/off.
Lanjut, di sisi kanan ada dua slot SD card yang mendukung UHS-II. Lalu, di sisi kiri terdapat port USB 3.1 Gen 1 Type-C untuk mengisi daya dan port mikrofon 2.5mm. Baterai di sisi bawah, menggunakan tipe NP-W126S 8.7Wh yang menurut CIPA mampu melepaskan 370 jepretan menggunakan viewfinder electronic dan melonjak 440 jepretan bila menggunakan viewfinder optical.
Bagian depan kamera ada mount lensa dan tombol untuk melepas lensa, tuas untuk beralih ke mode single autofocus, continue autofocus, dan manual fokus. Serta, tombol Fn2 bersama tuas untuk beralih jenis viewfinder.
Sementara, bagian depan selain viewfinder dan layar terdapat focus stick atau joystick untuk menentukan titik fokus terutama saat memotret menggunakan viewfinder dan bisa juga digunakan untuk navigasi. Kemudian ada tombol drive/delete, tombol AE-L/AF-L, roda putar yang secara default untuk mengatur shutter speed, menu/ok, play, disp, Fn3, dan tombol Q atau quick menu. Default-nya quick menu menampilkan 16 shortcut dan Anda bisa mengubahnya menjadi 12, 8 atau 4 di pengaturan.
Kemampuan Foto
Fujifilm X-Pro3 mengusung sensor gambar generasi keempat, BSI X-Trans CMOS 4 APS-C dengan resolusi 26MP dan prosesor X-Processor 4 yang sama seperti yang ada di body flagshipFujifilm X-T3. Hasil fotonya dapat disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw uncompressed atau lossless compressed dalam aspek rasio 3:2, 16:9, atau 1:1.
Kamera ini mampu memotret beruntun 11 fps dan sistem phase detection autofocus-nya dapat bekerja di level cahaya rendah -6 EV. Performa fitur face/eye detection-nya konsisten untuk membantu menangkap portrait yang sempurna dan yang baru ada fitur AF range limiter, di mana kita menentukan sendiri jarak autofocus-nya misalnya 2 atau 5 meter.
Saya pernah berbincang seru dengan seorang tour guide, salah satu alasannya menggunakan kamera Fujifilm ialah karena resep film simulation-nya. Di mana hasil foto JPEG-nya memiliki warna yang sangat bagus sehingga memungkinkan untuk langsung mengirimnya ke klien dan hanya perlu sedikit sentuhan editing.
Saya setuju, mode film simulation ini mampu menyajikan warna yang khas, unik, dan mampu mengeluarkan ekspresi lebih kuat dibandingkan dengan picture style standar pada kamera lain. Meski kembali lagi pada selera, karena mungkin bagi sebagian orang sedikit berlebihan.
Fujifilm menambahkan efek film simulation baru bernama Classic Neg. dengan warna yang kontras untuk menambah kedalaman foto. Totalnya kini ada sebelas mode film simulation, dari Provia (standard), Velvia (vivid), Astia (soft), Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Eterna buat yang suka foto ala cinematic, Acros dan Monochrome dengan opsi STD, Ye, R, dan G, serta Sepia untuk dengan nuansa jadul.
Meski saya sangat menikmati warna yang disuguhkan oleh mode film simulation tersebut, semua aktivitas memotret juga saya simpan dalam format Raw. Dengan bit depth 14 bit dan pilih tanpa kompresi kita bisa menangkap warna dan gradasi terang gelap yang lebih kaya, bisa bermain-main dengan Lightroom dan meningkatkan lagi kualitas foto kita.
Selain penambahan efek baru di mode film simulation, Fujifilm juga menyempatkan mode pengambilan foto baru yakni mode HDR. Fitur ini sudah hadir di kamera smartphone, tapi merupakan hal baru untuk kamera mirrorless.
Cara kerjanya kamera akan mengambil gambar secara beruntun sebanyak tiga kali, lalu kemudian menyelaraskan dan menggabungkan menjadi satu file JPEG dengan rentang dinamis tinggi. Misalnya akan bermanfaat pada saat memotret sunset atau sunrise, di mana kamera akan mengangkat bayangan dan memulihkan sorotan terang langsung dari kamera.
Perekam Video
Kamera ini jelas tidak dirancang untuk videografi. Jadi meski kita mendapatkan kualitas foto yang identik seperti X-T3, namun X-Pro3 tidak dibekali fitur-fitur video sebaik X-T3.
Sebagai pembanding, X-T3 mampu merekam video 4K UHD dan DCI 60fps dengan bit rate 400Mbps. Sementara, X-Pro3 hanya bisa merekam 4K UHD dan DCI pada 30fps dengan bit rate 200Mbps. X-Pro3 kehilangan kemampuan output video 10-bit 4:2:2 melalui HDMI, karena memang tak punya port HDMI.
Selain itu, mode perekam videonya terpisah dengan mode pengambilan gambar dan tersembunyi di menu drive. Fitur video lainnya X-Pro3 mampu merekam 1080p hingga 120fps, didukung film simulation, F-Log, face/eye detection, zebra, dan movie silent control.
Sebagai tambahan, kamera ini memiliki port mikrofon 2.5mm yang artinya Anda bakal perlu adaptor ke 3.5mm, dual slot SD card, dan hot shoe untuk menempatkan mikrofon atau flash. Namun perlu diingat, kita tidak bisa menggunakan layar utama tanpa membalik ke bawah dan layar akan mentok tidak lebih dari 90 derajat saat dipasang pada tripod atau gimbal.
Verdict
Mekanisme layar baru pada Fujifilm X-Pro3 tampak seperti perubahan kecil, namun secara dramatis akan mengubah ‘kebiasaan’ cara memotret para penggunanya. Misalnya kebiasaan mengambil gambar lewat layar dan preview langsung setelah foto diambil.
Sebaliknya kita didorong untuk memotret melalui jendela bidik dan memperlakukan X-Pro3 layaknya kamera analog, yang mana hanya menawarkan jendela bidik untuk memotret dan tidak memungkinkan kita untuk preview hasilnya sampai film diproses.
Di sisi lain, kita bisa fokus memotret tanpa gangguan dan memeriksa hasil bidikannya di rumah lewat laptop. Setidaknya dengan sistem kontrol fisiknya, kita sudah bisa mengatur segitiga eksposur dan memilih film simulation. Meskipun untuk menyasuaikan white balance dan pengaturan lainnya tetap harus membuka layar.
Dari aspek fitur dan spesifikasinya, Fujifilm X-Pro3 adalah kamera modern rasa analog yang bisa dikatakan memiliki kemampuan setara dengan flagship kamera mainstream Fujifilm X-T3. Keterbatasan mekanisme layarnya membuatnya menjadi kamera yang terfokus untuk fotografi dan menawarkan pengalaman nostalgia seperti menggunakan kamera film lengkap dengan kontrol manualnya.
Sparks
Hybrid viewfinder, optical dan elecronic
Desain retro yang cantik
Film simulation mengurangi tahapan editing
Cocok sebagai kamera street photography
Perekaman video 4K 30fps
Pengisian daya lewat port USB Type-C
Slacks
Bukan kamera hybrid, kurang cocok untuk videografi
Mekanisme layar baru akan mentok saat dipasang tripod atau gimbal
Bentrokan kamera mirrorless full frame di segmen profesional dari sederet produsen kamera papan atas seperti Sony, Canon, Nikon, dan Panasonic menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan pada tahun 2019.
Namun, persaingan kamera mirrorless dengan sensor berukuran APS-C juga tak kalah menarik. Tercatat pada tahun lalu, Sony meluncurkan trio A6100, A6400, dan A6600. Fujifilm dengan X-T30, X-A7, dan X-Pro 3. Serta, Canon dengan EOS M200 dan EOS M6 Mark II.
Jajaran mirrorless APS-C ini kini punya kemampuan perekaman video yang sangat baik, kinerja autofocus cepat, dan menawarkan resolusi lebih tinggi. Canon EOS M6 Mark II misalnya, ia mengusung sensor CMOS baru APS-C beresolusi mencapai 32.5MP, lengkap dengan sistem Dual Pixel autofocus yang cekatan, dan perekaman video 4K/30p tanpa crop.
Saya telah memotret dan syuting menggunakan kamera yang dibanderol Rp12.650.000 untuk body only ini selama beberapa pekan. Berikut kesan dan review Canon EOS M6 Mark II selengkapnya.
Desain
Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Datascrip selaku distributor produk Canon di Indonesia yang telah meminjamkan Canon EOS M6 Mark II. Unit yang saya review berwarna silver yang berpadu dengan warna hitam, tampil klasik dalam desain modern.
Seperti pendahulunya, EOS M6 II tidak memiliki viewfinder bawaan. Bila membutuhkan jendela bidik, kita bisa memasang aksesori viewfinder opsional yakni Canon EVF-DC2 pada dudukan hot shoe. Sayang tak disertakan dalam paket penjualan dan bila membelinya sendiri harganya cukup mahal.
LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah. Membuatnya ideal sebagai kamera vlogging untuk para solo content creator yang berjuang membuat konten seorang diri.
Perlu dicatat, posisi hot shoe di tengah akan membuat layar tertutup oleh mikrofon eksternal. Salah satu solusinya bisa menggunakan aksesori cold shoe relocation plate, L plate, atau rig plate yang mungkin nanti bakal tersedia di pasaran.
Soal kontruksi body-nya cukup solid, terbuat dari paduan metal, serta plastik dan lapisan karet di beberapa bagian. Saat berpasangan dengan lensa kit EF-M 15-45mm, dimensi kamera ini terbilang compact. Namun, tetap nyaman saat digunakan berkat ukuran grip-nya yang agak besar.
Dalam pengujian, saya turut menggunakan lensa EF 50mm F1.4 USM (harga baru lensa ini sekitar Rp5 jutaan) dengan mount adapter Canon EF-EOS M ke EOS EF/EF-S. Hasil fotonya benar-benar sangat mengesankan, warnanya cantik dengan background bokeh yang creamy.
Meski begitu, bunyi suara autofocus lensa EF 50mm memang agak kasar dan bakal membuat kamera lebih bongsor. Terus terang saya jadi penasaran, bagaimana hasilnya bila dipasangkan dengan lensa ring merah Canon.
Karena sudah dibekali konektivitas WiFi dan Bluetooth, hasil tangkapan foto mapupun videonya bisa langsung dikirim secara instan ke smartphone melalui aplikasi Canon Camera Connect.
Mengenai daya tahan, baterai LP-E17 yang digunakan mampu melepaskan 305 jepretan sekali charge. Untuk pengisian daya, kita harus melepas baterai dari body kamera dan menggunakan adapter charger khusus. Meski kamera ini sudah dibekali port USB Type-C, tapi saya tidak bisa mengisi daya langsung ke kamera menggunakan charger smartphone.
Sistem Kontrol
Sistem kontrol kamera pada EOS M6 II sangat ramah bagi penggunanya, tombol kontrol fisik lengkap dan sangat intuitif. Untuk mengatur exposure secara manual, di sisi atas terdapat dua roda kontrol untuk menyesuaikan shutter speed dan aperture.
Lalu, kita bisa set roda kontrol navagasi yang berada di depan untuk ISO. Dengan kontrol segitiga exposure ini, bakal sangat memudahkan para penggunanya untuk mengontrol kamera dengan cepat dan tepat.
Selain itu, user interface layar sentuhnya juga mudah dimengerti. Canon melengkapinya dengan quick control yang bisa diakses di pojok kanan atas layar atau tombol kontrol Q Set. Di mana kita bisa dengan mudah mengakses fitur-fitur penting seperti mode autofocus, kualitas gambar, aspek rasio, resolusi video, white balance, hingga picture style.
Satu hal lagi yang sangat saya suka dari kamera Canon ialah mode foto dan videonya memiliki pengaturan terpisah. Bakal sangat berguna bagi yang sering membuat video sekaligus mengambil foto, sebab pengaturan kedua mode tersebut memang berbeda. Misalnya di mode video, saat kondisi cahaya kurang bersahabat kita tidak bisa menekan shutter speed lebih rendah – sebaliknya kita harus meningkatkan ISO untuk mendapatkan exposure yang pas.
Kemampuan Foto
Canon EOS M6 Mark II dapat mengambil gambar dengan resolusi maksimal 32MP (6960×4640 piksel) dalam pilihan aspek rasio 3:2, 4:3, 16:9, dan 1:1. File foto bisa disimpan dalam format JPEG, Raw, dan CRaw. Sensor tersebut tetap menggunakan low pass filter yang lebih aman dari efek moire.
Dari banyak foto yang telah saya ambil, satu foto 32MP dalam format JPEG – paling kecil memakan ruang 4MB dan 12MB paling besar. Sementara dalam format Raw, paling kecil memakan ruang 21MB dan 41MB paling besar.
Ditenagai prosesor DIGIC 8, kamera ini dapat memotret beruntun 14fps, 30 fps dengan crop pada lebarnya menjadi 88 persen, dan mode Raw burst 30fps hingga 70 frame dengan crop 75 persen yang menghasilkan foto 18MP.
Sejauh ini, sistem Dual Pixel autofocus bekerja cepat meskipun bukan yang tercepat di kelasnya. Ada empat mode area fokus otomatis yang dapat dipilih, Face + Tracking, Spot AF, 1-point AF, dan Zone AF. Fitur face detection dan eye detection juga bekerja cukup baik, terutama untuk foto portrait.
Untuk pilian lensanya, jajaran lensa native EF-M dari Canon memang jumlahnya tidak banyak. Meski sebetulnya sudah cukup lengkap, dari yang terbaru berikut daftarnya:
32mm F1.4 STM
18-150mm F3.5-6.3 IS STM
28mm F3.5 Macro IS STM
15-45mm F3.5-6.3 IS STM
55-200mm f/4.5-6.3 IS STM
11-22mm f/4-5.6 IS STM
18-55mm f/3.5-5.6 IS STM
22mm f/2 STM
Dengan mount adapter Canon EF-EOS M, kita bisa memasangkannya dengan lensa Conon EF/EF-S yang tak hanya variasinya banyak tapi juga dari sisi kualitas optiknya. Opsi lain datang dari Sigma, lensa fix buatannya dari 16mm, 30mm, dan 56mm F1.4 juga tersedia di sistem EOS-M dan harganya cukup terjangkau. Berikut hasil foto dari Canon EOS M6 Mark II:
Perekam Video
Selain resolusi kameranya yang meningkat, aspek perekaman video juga mendapatkan update signifikan. Kamera ini mampu merekam video hingga 4K/30p (3840×2160 piksel) full tanpa crop dan sistem Dual Pixel autofocus-nya juga masih bekerja.
Kita memiliki pilihan mode area AF yang sama seperti mode foto dan saat merekam video, kita bisa mengganti titik fokus dengan menyentuh layar dan ada juga opsi untuk beralih dari autofocus ke manual focus atau sebaliknya. Lalu, ada dua opsi electronic image stabilization dua tingkat, tentunya dengan sedikit crop sebagai gantinya.
Hal menarik lainnya ialah ketersediaan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Saat ini belum tersedia 1080p pada 24fps tapi dari yang saya baca-baca bakal tersedia dalam update firmware mendatang.
Fitur video penting lainnya ialah ketersediaan port mikrofon eksternal dan mode HDR video yang sepenuhnya otomatis. Sayangnya dibanding para kompetitor direntang harga yang sama, kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading dan tidak memiliki fitur peringatan zebra.
Verdict
Menurut saya, persaingan kamera mirrorless APS-C pada rentang harga Rp10-20 juta tak kalah panas dengan mirrorless full frame di segmen atas. Sebab, full frame masih bukan untuk semua kalangan karena harga body kamera dan lensanya relatif sangat mahal.
Melihat fitur dan harganya, Canon EOS M6 Mark II bakal bertempur secara kompetitif melawan Sony A6400, Fujifilm X-T30, dan Panasonic Lumix G95 dengan sensor MFT. Meski dalam hal kemampuan perekaman video dan sistem autofocus bukan yang terbaik, tapi unggul pada resolusi sensornya yang mencapai 32.5MP – di mana para pesaingnya masih menawarkan 24MP.
Sparks
Kamera mirrorless APS-C Canon pertama dengan 32.5MP
Fitur dan harga sangat kompetitif dengan kompetitornya
Punya LCD 3 inci touchscreen 180 derajat dan port microphone eksternal yang idal untuk content creator
Sistem kontrol fisik intuitif dan lengkap
Mampu merekam 4K 30fps tanpa crop dan sistem Dual Pixel AF tetap bekerja
Sony memiliki dua sistem kamera interchangeable-lens, yaitu full frame dan APS-C. Pada sistem APS-C, sebelumnya Sony telah merilis Alpha 6400 yang bila dilihat dari fitur dan spesifikasinya merupakan penerus A6300. Kini Sony akhirnya memperkenalkan suksesor dari A6000 dan A6500 yakni Alpha 6100 dan Alpha 6600.
Dari informasi yang saya dapat, A6000 masih merupakan kamera Sony yang paling populer di kelas entry-level dan saat ini dibanderol Rp6,5 juta untuk body only-nya. Sedangkan, A6500 ialah kamera flagship Sony di sistem APS-C yang mempunyai fitur video sentris dan saat ini dibanderol Rp14 juta (harga promo) untuk body only.
Sementara keberadaan A6300 di pasaran sudah mulai langka, tapi sebelum A6400 meluncur sempat dijual seharga Rp9 juta body only. Sony A6400 sendiri dibanderol Rp13 juta di Indonesia.
Nah yang terbaru A6100 body only dibanderol US$750 (sekitar Rp10 jutaan), US$850 (Rp12 jutaan) dengan lensa 16-50mm, dan US$1.100 (Rp15 jutaan) dengan lensa 16-50mm + 55-210mm. Sedangkan, A6600 body only dijual seharga US$1.400 (sekitar Rp19 jutaan) dan US$1.800 (Rp25 jutaan) dengan lensa kit 18-135mm F3.5-5.6.
Lalu, peningkatan apa saja bila dibandingkan dengan para pendahulunya? Serta, apa persamaan dan perbedaan antara A6100, A6400, dan A6600? Mari cari tahu lebih banyak.
Sony A6000 Vs. A6100
Sony A6000 dirilis pada tahun 2014, memang sudah cukup tua. Bedanya dengan A6100 pertama ialah titik fokus-nya, A6000 punya 179 titik fokus – sementara A6100 memiliki 425 fast hybrid AF dengan real-time eye AF untuk mata manusia atau hewan dan real-time tracking untuk foto maupun video.
Untuk kemampuan videonya, bila A6000 mentok pada resolusi 1080p dan tanpa port mikrofon 3,5mm – A6100 sudah mampu merekam video 4K dan dibekali dengan port mikrofon 3,5mm. Selain perbedaan mekanisme layar, sisa spesifikasinya masih identik, resolusi layar dan viewfinder-nya, serta jenis baterainya sama.
Sony A6300 Vs. A6400
Sony A6300 dirilis pada tahun 2016 dan saat Sony merilis A6400, mekanisme layar sentuh yang dapat diputar ke depan memang menjadi salah satu keunggulannya. Selain mekanisme layar, peningkatan yang dibawa ialah sistem autofocus canggih ‘Speed X AI‘ dengan real-time autofocus yang lebih cepat dan akurat. Kemampuan videonya, masih sama-sama cukup kuat – mampu merekam video 4K dengan dukungan picture profile.
Sony A6500 Vs. A6600
Sony A6500 juga dirilis pada tahun 2016, sebagai penerus flagship – A6600 juga mewarisi keunggulan pendahulunya dan juga dibekali update yang penting.
Kamera ini punya 5-axis image stabilization, real-time tracking autofocus-nya sudah pasti yang paling kencang, menggunakan jenis baterai baru NP-FZ1000 yang 2,2x lebih tahan lama, serta memiliki port microphone dan headphone.
Selain itu, A6600 juga dapat memotret format Raw 14-bit, perekaman video 4K dengan dukungan picture profile macam HLG yang dapat meningkatkan dynamic range, dan punya weather-sealed magnesium-alloy body.
Sony A6100 Vs. A6400 Vs. A6600
Semua jajaran seri Alpha 6000 mengemas sensor CMOS APS-C beresolusi 24-megapixel dan pada generasi yang terbaru memiliki layar sentuh yang bisa di lipat ke atas. Perbedaan kemampuan biasanya ada di aspek sistem autofocus dan perekam videonya.
Lalu, apa yang membedakan antara ketiga kamera mirrorless APS-C terbaru dari Sony ini? Pertama meski ketiganya mampu merekam video 4K, namun hanya A6400 dan A6600 yang didukung picture profile (HLG, S-Log3, dan S-Log2). Jadi, buat para content creator yang ingin meningkatkan kualitas videonya – maka setidaknya harus ambil A6400.
Kedua ialah A6100 dan A6400 mendukung real-time tracking di video, sementara A6600 mendukung real-time tracking dan juga real-time Eye AF di video. Ketiga, resolusi viewfinder A6100 hanya 1,440k dot. Sementara, A6400 dan A6600 sudah 2,359k dot. Terakhir adalah A6600 memiliki port headphone, jadi Anda dapat memonitor audio. Satu lagi, A6600 menggunakan jenis baterai baru.
Tepat dua bulan setelah peluncuran globalnya, Sony akhirnya membawa masuk secara resmi kamera mirrorless APS-C A6400 ke Indonesia. Sesuai namanya, posisi kamera ini berada di tengah-tengah antara A6300 dan A6500.
Sebelum lanjut membahas fitur-fiturnya, saya ingin sedikit memberikan gambaran mengenai persaingan kamera mirrorless. Menurut saya, tahun ini Sony mungkin akan sibuk karena harus menghadapi lawan-lawan tangguh dari Nikon, Canon, dan Panasonic yang kini terjun ke ranah full frame.
Di sisi lain, Sony juga tidak boleh kendor di ranah APS-C. Saya melihat Sony mendapatkan persaingan yang sengit dari Fujifilm. Belum lagi kamera Micro Four Thirds besutan Panasonic dan Olympus.
Sejauh ini, Sony A6300 dan A6500 sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik di kelas menengah. Keduanya diakui punya kemampuan perekam video yang mumpuni.
Kehadiran A6400 dengan layar sentuh yang bisa di lipat ke atas dan sistem autofocus canggih menjadikannya kamera yang nyaris sempurna untuk para videografer dan content creator (vlogger).
Inovasi autofocus tersebut menggunakan teknologi kecerdasan buatan, Sony menyebutnya ‘Speed X AI’ dengan fitur Real-time Tracking, Real-time Eye AF, dan Real-time Eye AF for Animals. Kecepatan autofocus-nya hanya 0,02 detik, meliputi 425 titik phase-detection AF dan 425 titik contrast-detection AF yang mencakup sekitar 84% dari area frame.
Hands-on Sony A6400
Garis besarnya, kamera ini masih mengusung desain yang identik dengan seri A6XXX. Namun, alih-alih menggunakan mekanisme fully articulated yang bisa ditarik ke samping dan putar ke segala arah, layar A6400 hanya bisa dimiringkan hingga 180 derajat ke atas.
Artinya, sangat memudahkan aktivitas vlogging. Namun layar tersebut sedikit terhalangi oleh cup mata EVF dan akan tertutupi saat kita memasang mikrofon eksternal di hot shoe. Solusinya kita memang bisa memasang aksesori cold shoe, tapi memasangnya di bagian bawah melalui soket tripod sehingga tidak menghalangi layar.
Pilihan kamera mirrorless dengan layar yang bisa dihadapkan ke depan ini memang tidak banyak. Di rentang harga Rp10 jutaan setidaknya ada tiga yang menjadi pesaing utama A6400 yaitu Panasonic Lumix G85, Canon EOS M50, dan Fujifilm X-T100.
Layar A6400 berukuran 3 inci dengan resolusi 921,6 ribu dot dan sudah touchscreen. Jadi, bisa digunakan untuk touch pad, touch focus, touch shutter, dan touch tracking dengan cepat melalui layar. Sementara, electronic viewfinder (EVF) memiliki panel OLED resolusi 2,36 juta dot.
Body A6400 ini dibungkus dengan material magnesium alloy yang tahan debu dan kelembaban. Saat pertama kali memegangnya, konstruksinya terasa begitu kokoh. Build quality yang baik itu sangat penting, karena mirrorless juga bagian dari gaya hidup dan prestise.
Sony A6400 sendiri hadir dalam warna black dan silver. Warna silver-nya terlihat cukup manis, para vlogger cewek mungkin akan menyukainya – dengan kombinasi grip dan cup mata EVF berwarna hitam. Berikut beberapa hasil foto dari Sony A6400:
Kamera Hybrid Foto dan Video
Di jantung Sony A6400 tertanam sensor CMOS berukuran APS-C resolusi 24,2-megapixel dengan enhanced skin tone. Kualitas fotonya mungkin tidak akan berbeda signifikan dengan A6500 dan A6300.
Dipadu image processor Bionz X, rentang sensitivitasnya mencapai ISO 100 hingga ISO 32.000 dan bisa diperluas sampai 102.800. Kecepatan foto berturut-turut 11 fps dan 8 fps pada silent mode dengan buffer hingga 116 jepretan.
Soal video, A6400 memang tergolong istimewa. Kamera ini mampu merekam video 4K full pixel readout dan tanpa pixel binning pada 24 fps dan 30 fps, video Full HD pada 30 fps, 60 fps, dan 120 fps dengan bit rate maksimal 100 Mbps. Serta, mendukung profil gambar HLG (Hybrig Log-Gamma) S&Q, perekaman Proxy, S-Log2, dan S-Log3 untuk fleksibilitas color grading.
Hasil foto maupun video 4K yang diambil bisa langsung ditransfer ke smartphone lewat konektivitas WiFi menggunakan aplikasi Imaging Edge Mobile (pengganti Sony PlayMemories Mobile). Ada NFC untuk menghubungkan kamera dan smartphone secara instan.
Harga dan Ketersediaan
Sony A6400 akan tersedia di Indonesia mulai tanggal 6 April 2019 dengan harga Rp12.999.000 untuk body only dan Rp14.999.000 dengan lensa kit SELP1650. Anda juga bisa mendapatkan paket khusus untuk pembelian kamera A6400 secara pre-order dari tanggal 15-31 Maret 2019 dengan bonus sebagai berikut:
Camera bag
Camera screen protector
Leather camera strap
64GB Sony SD Card
Dapatkan juga promo Purchase with Purchase (PWP) berikut:
Selain mirrorless A6400, Sony juga mengumumkan lensa telephoto prime full frame dengan aparture besar seri G Master 135mm f1.8 (model SEL135F18GM). Lensa FE 135mm F1.8 GM akan tersedia di Indonesia pada bulan April 2019 dengan harga Rp26.999.000.
Verdict
Sony A6400 adalah penerus dari A6300 yang dirilis sejak tiga tahun lalu. Dengan semua fitur yang disebutkan di atas, A6400 adalah kamera mirrorless yang nyaris sempurna untuk aktivitas vlogging maupun videografer untuk membuat konten video yang cukup series.
Nyaris ya, karena ada satu fitur yang sangat disayangkan tidak hadir pada A6400 dan juga ini yang membedakannya dengan A6500 yakni tanpa 5-axis in-body image stabilization.
Terus terang, harga A6300 body only sekarang Rp9 juta juga sangatlah menarik. Bedanya Rp4 juta dengan A6400 body only yang dijual Rp13 juta. Dengan budget Rp13 juta sendiri kita juga bisa mendapatkan kamera mirrorless full frame Sony A7 dengan lensa fix 50mm f1.8. Kalau nambah Rp3 juta lagi dapat Sony A6500 body only.