Mata Sri Wahyuni berbinar-binar saat bercerita tentang bagaimana ia menjalankan kerajinan anyaman dan tali pramuka di rumahnya. Demikian juga Pariyah yang memproduksi camilan unik dari buah sukun bersama para tetangganya.
Kami juga menyaksikan ekspresi serupa saat menengok usaha batik tulis milik Titik Supartina. Di usia hampir separuh abad–atau bahkan lebih–baik Sri, Pariyah, dan Titik sama-sama menuai hasil manis dari bisnis berskala rumahan berbekal pinjaman.
Sri misalnya, setelah jatuh-bangun menjalankan bisnis kerajinan anyaman yang sebelumnya dijalankan sang suami, ia kini telah mengantongi omzet sebesar Rp6 juta per bulan dari modal awal Rp2 juta yang diperoleh dari Amartha sejak 2014.
Sementara Pariyah telah meraup omzet Rp9 juta-Rp17 juta dari penjualan keripik dan stik sukun. Bahkan hasil produksinya telah sampai hingga ke Negeri Sakura. Pencapaian ini berbekal pinjaman Amartha sebesar Rp3 juta di 2014.
“Stik sukun ini kami jual seharga Rp35 ribu. Kalau di Jepang, kami jual putus. Harganya bisa melonjak tinggi di sana sampai Rp250 ribu per kantong,” ujar Pariyah.
Cerita ini kami dapatkan saat diajak menyambangi keberadaan usaha mereka di Yogyakarta. Kami melihat langsung bagaimana ketiganya berkontribusi terhadap kemajuan usaha mikro dan pemberdayaan ibu-ibu di Yogyakarta.
Kami juga sempat menyaksikan kegiatan pendampingan Majelis usaha batik tulis yang diketuai oleh Titik. Pendampingan ini tak lain untuk memupuk literasi keuangan dan mendorong semangat gotong-royong pada setiap anggota. Perkembangan usaha mereka akan disoroti setiap minggunya oleh petugas lapangan resmi Amartha.
Di tempat usaha ini, setiap anggota ditawarkan menjadi mitra Titik dengan imbal jasa Rp200 ribu per kain batik tulis. Pinjaman awal Rp1 juta yang diperolehnya dari Amartha digunakan untuk membeli bahan kain dan peralatan batik tulis.
Sedikit penyegaran, Amartha menggunakan metode tanggung-renteng dalam menyalurkan pinjaman kepada kaum ibu. Sistem tanggung renteng dibuat berkelompok (majelis) yang terdiri dari 15-20 orang. Tujuannya untuk menekan kemungkinan gagal bayar dari salah satu anggota.
Bagi Amartha, metode tanggung renteng terbilang berhasil dalam mengurangi potensi gagal bayar. Rasio kredit macet atau Non-Performing-Loan (NPL) Amartha sampai saat ini masih di bawah 1 persen.
Malahan, menurut data perusahaan, metode ini juga telah meningkatkan pendapatan dan menurunkan tingkat kemiskinan mitra Amartha lainnya–seperti Sri, Pariyah, dan Titik–masing-masing hingga 60 persen dan 22 persen.
Ditemui saat mengunjungi mitra Amartha di Yogyakarta, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menyebutkan pihaknya telah memiliki mekanisme sendiri dalam menyelesaikan masalah, seperti gagal bayar, di lingkup majelis.
“Biasanya kredit macet itu terjadi karena masalah keluarga atau bisnisnya gagal. Tapi kami punya code of conduct sendiri, yaitu penyelesaian masalah dilakukan di lingkup majelis. Kalau berkali-kali masih gagal bayar juga, Amartha baru akan turun tangan,” ungkap Hadi.
Kesejahteraan tak terbatas pada peningkatan pendapatan
Memasuki paruh kedua 2019, perusahaan masih enggan mengungkap rencana bisnisnya di tahun depan. Namun, ada beberapa strategi yang tengah dipersiapkan Amartha untuk memperkuat pasar yang menurutnya telah dikuasai selama sembilan tahun terakhir.
Hadi mengungkap bahwa definisi sejahtera tidak terbatas pada kemampuan meningkatkan pendapatan. Keberhasilan menyekolahkan anak melalui sebuah usaha adalah salah satu pencapaian untuk menuju level tersebut.
Ia menggambarkan bagaimana para mitra Amartha nantinya tak hanya cerdas dalam mengelola pinjaman untuk menjalankan usaha, tetapi juga mengelola keuangan untuk keluarga. Gambaran barusan adalah contoh use case yang akan menjadi rencana pengembangan Amartha selanjutnya.
“Kami sedang menyiapkan aplikasi untuk borrower. Tapi belum bisa kami ceritakan. Kami kan sudah punya basis komunitas dari mitra-mitra kami. Harapannya [lewat aplikasi ini], kami bisa menutup poverty gap mereka. Sejahtera lewat pendapatan saja kan tidak cukup,” ungkapnya.
Amartha juga tengah melakukan piloting untuk pendaftaran online dan penambahan fitur-fitur baru untuk peminjam dalam beberapa bulan ke depan. Untuk saat ini, seluruh pinjaman disalurkan secara tunai kepada para mitra.
“Kompetitor kami memang banyak, tetapi segmentasi kami unik karena membidik usaha mikro dari ibu-ibu. Bahkan kami ada value added dengan pembinaan majelis. Secara bisnis juga efisien karena agen dan investor punya aplikasi sendiri. Dan investor kami berbeda, tidak cuan based,” jelas Hadi.
“Sementara, Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto menambahkan bahwa Amartha siap memperluas pasarnya ke luar Pulau Jawa. Ia menyebutkan ekspansi ke Sulawesi Selatan akan dimulai bulan depan.
“Kami lihat pasar [usaha mikro] di sana sangat potensial. Kami sudah siapkan tim sendiri untuk ekspansi ke Sulawesi Selatan,” ujar Aria yang ditemui pada kesempatan sama.
Sampai Juli 2019, Amartha yang awalnya dibangun sebagai koperasi, telah menyalurkan dana pinjaman sebesar Rp1,2 triliun ke 270 ribu pengusaha perempuan di 4.100 desa seluruh Indonesia.
Berkat tingginya antusiasme pasar, Amartha memperkirakan sampai akhir tahun penyaluran pinjaman dapat mencapai Rp1,5 triliun ke 300 ribu pengusaha perempuan. Amartha membidik pertumbuhan bisnisnya dapat naik dua sampai tiga kali lipat tahun depan.