Tag Archives: arief widhiyasa

Potensi dan Tantangan Game Blockchain di Indonesia

Potensi dan Tantangan Game Blockchain di Indonesia

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Newzoo dengan Crypto.com, sebanyak 40% gamers di Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia tertarik dengan game blockchain dan berencana untuk mencobanya di tahun ini. Namun, hanya 5% gamers yang mengaku sangat tertarik dengan game blockchain.

Sementara 35% gamers lainnya mengatakan, mereka hanya cukup tertarik saja. Tapi, hal ini tidak menyurutkan semangat sejumlah developer game Indonesia untuk mengembangkan game blockchain.

Keadaan Industri Game di Indonesia

Pada 2018, total pemasukan industri game di Indonesia mencapai US$1,1 miliar, berdasarkan data dari Newzoo. Sementara pada tahun lalu, total spending gamers Indonesia mencapai US$1,9 miliar.

Hal ini menunjukkan besarnya potensi industri game di Indonesia. Sayangnya, dari total belanja gamers Indonesia, developer lokal hanya mendapatkan US$7 juta, ungkap Arief Widhiyasa, Chairman dari Agate pada GamesBeat.

Pemerintah Indonesia sendiri menunjukkan minat untuk mengembangkan ekonomi digital di Tanah Air, termasuk di ranah game.

Sejauh ini, Indonesia bahkan telah berhasil menelurkan 14 unicorns, yaitu startup yang memiliki valuasi lebih dari US$1 miliar. Hal itu berarti, 38% dari total unicorn di Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Hanya saja, tidak ada satu pun unicorn itu yang berasal dari industri game.

Perbandingan ekosistem game di Indonesia dan negara-negara Asia lain.
Perbandingan ekosistem game di Indonesia dan negara-negara Asia lain.

Padahal, jika sukses, perusahaan game juga bisa memberikan kontribusi besar ke ekonomi sebuah negara. Contohnya, Supercell dari Finlandia. Pemerintah Finlandia pernah memberikan pinjaman sebesar US$400 ribu pada Supercell. Dan pada 2018, Supercell membayar pajak sebesar US$122 juta dalam setahun setelah sukses dengan Clash of Clans.

Secara total, industri game Finlandia memiliki total pemasukan sebesar US$3 miliar dan mempekerjakan sekitar 3,6 ribu orang. Sebagai perbandingan, di Indonesia, hanya ada lebih dari 25 perusahaan game yang mempekerjakan lebih dari 2 ribu staff.

Potensi Game Blockchain di Indonesia

Popularitas cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum membuat masyarakat luas semakin kenal dengan blockchain. Dan sekarang, perusahaan game Indonesia tampaknya ingin menggunakan teknologi blockchain untuk mendisrupsi industri game lokal.

Setidaknya, begitulah yang diungkapkan oleh Ivan Chen, CEO dari Anantarupa, kreator dari Lokapala. Dia mengatakan, kebanyakan gamers lokal sudah memiliki cryptocurrency. Hal itu membuatnya optimistis, gamers di Indonesia akan memiliki pikiran yang terbuka untuk mencoba game blockchain.

“Di pasar lokal, saya tidak melihat adanya masalah,” kata Diana Paskarina, COO dan Co-founder dari Anantarupa, dikutip dari GamesBeat. “Saya rasa, orang-orang mengerti bahwa ketika Anda mendapatkan sesuatu di game tradisional, mereka tidak benar-benar memiliki items tersebut. Tapi, dengan blockchain dan NFT, Anda akan mendapatkan nilai lebih banyak dan masyarakat memahami itu.”

Lokalapa buatan Anantarupa. | Sumber: YouTube
Lokalapa buatan Anantarupa. | Sumber: YouTube

“Tren yang kami lihat di Asia Tenggara, orang-orang lebih mau untuk mencoba sesuatu yang baru,” kata Wei Zhou, CEO dari Coins.ph, bursa crypto di Filipina.

“Sebagian besar populasi di ASEAN masih muda dan kebanyakan dari mereka tidak memiliki rekening bank. Semua hal ini membentuk dinamika yang unik. Para developers akan muncul dari Asia Tenggara, yang menciptakan produk untuk konsumen Asia Tenggara. Di era Web2, kamilah yang menghabiskan uang untuk perusahaan-perusahaan game. Dengan Web3, saya mulai merasa bahwa transaksi ekonomi yang terjadi bersifat dua arah.”

Sementara itu, Yat Siu, Executive Chairman dari Animoca Brands, mengatakan, jika dibandingkan dengan gamers asal Amerika atau Eropa, gamers di Asia tidak terlihat memiliki kebencian yang amat sangat pada game blockchain. Faktanya, Axie Infinity bisa begitu populer di 2021 karena game tersebut dimainkan oleh banyak gamers asal Asia Tenggara, termasuk Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.

Pada saat yang sama, Siu melanjutkan, tidak bisa dipungkiri, ada banyak gamers yang sudah terlanjur tidak suka dengan game blockchain. Kekhawatiran mereka akan adanya game blockchain yang bertujuan untuk menipu pemainnya juga merupakan ketakutan yang nyata.

Tantangan di Industri Game Blockchain

Sebagai industri yang relatif baru, game blockchain menawarkan tantangan tersendiri untuk para perusahaan yang berkutat di dalamnya. Melalui blog-nya, Adam Ardisasmita, CEO Arsanesia dan VP dari Asosiasi Game Indonesia (AGI), mencoba untuk menjabarkan beberapa masalah yang ada pada game blockchain saat ini.

Baca selengkapnya di Hybrid.co.id: Potensi dan Tantangan Game Blockchain di Indonesia

Agate menunjuk Raymond Chin, co-founder dan CEO dari platform edukasi di bidang keuangan dan investasi Ternak Uang, sebagai strategic advisor

Kehadiran Penasihat Baru, Bagaimana Agate Melihat Potensi Industri Game Lokal Berikutnya

Belum lama ini, startup pengembang game Agate menunjuk Raymond Chin sebagai strategic advisor. Raymond adalah Co-founder & CEO dari platform edukasi di bidang keuangan dan investasi Ternak Uang. Dengan penunjukan penasihat baru, Agate punya segudang ambisi yang ingin dicapai, melalui berbagai inisiasi yang sudah dilakukan dan akan segera diumumkan.

Melalui wawancara bersama DailySocial.id, perwakilan Agate menjelaskan ada dua alasan utama di balik keputusan mengapa menunjuk Raymond. Pertama, ia memiliki pengalaman yang kaya di dunia startup lokal, dari berbagai posisi, seperti founder, VP, investor, hingga edukator. Dengan demikian, ia bisa memberikan sudut pandang yang lebih menyeluruh mengenai pengembangan startup, mengingat ekosistem di industri ini terus bergejolak dan berubah setiap saat.

“Kedua, sebagai gamer, Raymond memiliki minat yang besar di dunia game, khususnya industri lokal. Kami dan Raymond punya visi yang sama, bukan sekadar untuk memajukan satu perusahaan saja, tetapi bersama-sama mendorong industri Indonesia,” kata perwakilan perusahaan.

Sebagai strategic advisor, nantinya Raymond akan berdiskusi intens dengan para pemimpin di Agate dan memberikan masukan mengenai pilihan-pilihan strategis yang tersedia bagi Agate demi mencapai visi bersama.

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Co-founder dan CEO Agate Arief Widhiyasa menuturkan, “Sejak pandemi, industri game di seluruh dunia justru terus menunjukkan tren yang positif. Di Indonesia sendiri, nilai industri game pada tahun 2021 mencapai $1,9 miliar. Momentum ini perlu dimanfaatkan dengan baik dan Raymond adalah sosok yang tepat untuk melengkapi roda perusahaan demi menuju arah yang ingin kami capai bersama-sama.”

Menurut Arief, dengan potensi game yang besar Indonesia sebagai dengan pertumbuhan pasar tercepat di Asia Tenggara, sayangnya developer lokal hanya menguasai pangsa pasar 0,5%. Agate perlu mengisi gap kompetensi sumber daya dan dukungan developer lokal yang sedang merintis jalan. Selain itu, Raymond diharapkan dapat terlibat untuk pengembangan produk Agate yang saat ini terbagi ke dalam consumer games (B2C) dan solusi berbasis game (B2B).

“Raymond akan membawa perspektif talenta global dalam pelatihan dan peningkatan sumber daya developer lokal, hingga terlibat langsung dalam pendanaan awal produksi game dengan standar internasional.”

Sebagai gambaran, di Vietnam saja ada lebih dari 150 perusahaan game dengan jumlah pekerja yang mencapai 20 ribu orang. Sedangkan di Indonesia, tercatat hanya sekitar 25 perusahaan dengan total sekitar 2 ribu pekerja yang melayani total populasi 270 juta. Oleh karenanya, isu kekurangan talent berkualitas, serta adanya ekosistem game yang suportif dan terbuka bagi talenta baru merupakan kunci utama agar industri game lokal memiliki daya saing.

Inisiatif Agate

Berkaitan dengan dukungan Agate terhadap industri game lokal, sebelumnya pada September 2021, perusahaan sudah mengumumkan Agate Skylab Fund dengan tiket investasi mulai dari $100 ribu sampai $1 juta. Selain pendanaan, Agate juga menawarkan mentorship, networking, dan unity.

Untuk preferensinya, Agate mencari pengembang game multiplatform PVE (Player vs. Environment) dengan model bisnis free-to-play. Keputusan ini sudah diambil berdasarkan riset perusahaan yang panjang. Misalnya, membangun game multiplatform itu memang sulit, tapi semakin sulit ikhtiarnya, maka semakin sedikit saingannya. Artinya, kesempatan jauh lebih besar.

Terkait kabar terbarunya sejauh ini, pihak Agate mengaku masih meninjau beberapa proposal yang diterima demi memastikan bahwa proyek yang diajukan memang sesuai dengan standar perusahaan. “Saat ini kami masih belum bisa membagikan datanya.”

Menurut Arief, ada dua cara membangun industri game lokal. Pertama, tarik dari atas dengan mengucurkan dana. Kedua, dorong dari bawah melalui program akademi, mengajarkan kepada para pelajar yang mau buat game. Agate Skylab Fund adalah bentuk konkret dari cara pertama.

Perusahaan mematok tolak ukur kesuksesan dari game yang didukung Syklab nantinya berdasarkan revenue per tahun, setidaknya mencapai angka $1 miliar per tahun. Makanya, target konsumen tidak hanya dari Indonesia tapi juga pasar global.

Sebagai catatan, Agate mengelompokkan perusahaan game ke dalam enam level berdasarkan jumlah pemasukan yang diterima tiap tahun. Sebagian besar developer Indonesia ada di level 4 sampai 6 dengan penghasilan sekitar $10 ribu sampai $1 juta per tahun.

Sebagai perbandingan, Valve ada di level 3, dengan pemasukan lebih dari $10 juta, sementara Sega ada di level 2 dengan pemasukan lebih dari $100 juta. Sementara, Nintendo dan Sony ada di level paling tinggi dengan pemasukan lebih dari $1 miliar per tahun.

Berdasarkan riset yang dilakukan Asosiasi Game Indonesia, cara agar perusahaan lokal bisa naik level bila mengandalkan cara organik, statistiknya adalah 25% per tahun. Jika selama 10 tahun mendatang hanya mengandalkan cara ini saja, maka maksimal pemain lokal hanya bisa capai ke level 3 saja.

Tren game play-to-earn

Sebagai perusahaan, Agate punya dua model bisnis, B2C dan B2B. Meski tidak dirinci secara spesifik, masing-masing channel ini punya kontribusi masing-masing. Melalui B2C, perusahaan bisa mengenal langsung dan membangun komunitas gamer. Sekaligus mempelajari tren dan teknologi gaming terbaru yang populer saat ini.

“Sedangkan melalui B2B, kami terus tertantang untuk memahami berbagai tujuan bisnis dan proses bisnis dari berbagai bidang industri. Seiring meningkatnya kesadaran dari industri non-gaming terhadap potensi game-based solution dalam memenuhi kebutuhan bisnis mereka, maka porsi B2B menjadi signifikan bagi kami.”

Salah satu tren global yang kini tengah dicermati Agate adalah game berkonsep play to earn (P2E). Menurut mereka, model game seperti ini perlu disikapi dengan hati-hati karena dapat menjadi pedang bermata dua. Pasalnya, motivasi mendapatkan uang bisa jadi malah mengurangi makna atau keseruan dari sebuah game.

Selain itu, tantangan di model P2E adalah selalu ketergantungan terhadap jumlah pemain baru, sebab selalu perlu ada pemain baru yang mencari dan membeli barang-barang dalam game. Makanya, skema seperti tidak sehat dan tidak sustainable. “Saat ini kami belum bisa membagikan detailnya, tapi tim Agate memang tengah mengeksplorasi bentuk model bisnis ini.”

Maka dari itu, perusahaan justru lebih nyaman menggunakan istilah play and earn, bukan play to earn. “Karena kami berharap orang bisa bermain sambil mendapatkan sesuatu yang konkret, selain tentunya mendapat rasa seru/hiburan, bukan main sekadar mencari sesuatu.”

Agate selalu memegang prinsip membangun creator’s economy (ekonomi kreator). Alasannya, industri creator’s economy berarti memungkinkan pengguna bisa membuat atau mencari aset/barang dalam game, yang kemudian bisa dijual dan diperdagangkan ke pengguna lainnya. Jadi yang bisa bertransaksi tidak hanya antara developer dengan pemain, tapi juga antar pemain.

“Jadi pemain yang fokus bermain demi kesenangan bisa membeli karya pengguna lainnya, demi pengalaman bermain yang lebih seru sehingga terbangun ekosistem yang sehat dan bisa mewadahi semua jenis pemain,” pungkas perwakilan Agate.

Game Novel Visual Agate

Agate Gaet CIAYO Pelopori Gim Visual Novel Pertama di Indonesia

Agate selaku studio pengembang gim melakukan gebrakan dengan meluncurkan gim berbalut visual novel. Alasan konten permainan ini diciptakan salah satunya untuk memberi pilihan yang lebih beragam untuk pemain dari kalangan perempuan, mengingat jumlahnya yang sangat tinggi di Indonesia.

Agate bekerja sama dengan CIAYO, platform komik berbasis web, dalam menciptakan platform gim visual novel. Dalam proyek ini, Agate yang menggarap gim, sementara CAIYO yang mengembangkan intellectual property (IP). Hasilnya adalah aplikasi Memories yang memuat sejumlah judul gim visual novel.

Kepada DailySocial, CEO Agate Arief Widhiyasa menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memutuskan mereka membuat Memories. Pertama adalah besarnya potensi pasar. Potensi pasar yang ia maksud adalah jumlah gamer di Indonesia yang ternyata didominasi oleh perempuan.

“Sebenarnya saat ini 66% gamer di Indonesia adalah perempuan tapi tidak banyak game khusus untuk mereka,” ujar Arief.

Dalam sebuah riset, gamer perempuan, khususnya di kelas casual game, memang tercatat mencapai 66%. Persentase cukup mewakili seberapa besar potensi yang bisa dipetik oleh para pengembang untuk meramu gim yang lebih ramah untuk selera perempuan.

Alasan berikutnya menurut Arief adalah nihilnya platform gim yang menitikberatkan storytelling yang interaktif juga imersif. Sekalipun ada gim bergaya seperti itu, semuanya adalah ciptaan pengembang luar negeri dengan muatan cerita yang belum tentu sejalan dengan selera pasar di sini.

Memories yang saat ini baru bisa diperoleh di PlayStore sudah ada sekitar 15 judul gim visual novel di dalamnya. Ada yang ceritanya bergenre romantis, misteri hingga chat story. Chat story artinya penuturan cerita dibalut dalam tampilan aplikasi percakapan. Selain itu ada juga Dilan 1990 dan Dilan 1991 ciptaan Pidi Baiq yang menjadi judul andalan di platform ini.

Bungkus demikian dinilai lebih efektif dalam menyampaikan cerita dan membuat pengguna berlama-lama membaca. “Seperti kita tahu tingkat literasi kita kan peringkat kedua dari bawah,” imbuh Arief.

Memories saat ini sudah diunduh oleh 500 ribu kali di PlayStore. Dengan sifatnya yang gratis, gim ini juga menyediakan fitur-fitur tambahan yang berbentuk in-game purchases dengan kisaran Rp9.000 hingga Rp300.000.

Arief berharap aplikasi ini dapat berjalan dalam waktu panjang sehingga mampu menstimulasi minat baca yang akhirnya menghasilkan bacaan yang menarik untuk pembaca, wadah bagi penulis cerita, dan para pengembang gim. Agate pun berencana menggelar lomba berhadiah bernilai Rp100 juta untuk para penulis guna menggairahkan gim visual novel ini.

“Ke depan kita akan membuat ini sebagai platform terbuka untuk semua penulis sehingga nanti semua orang bisa membuat game di atas platfrom kita,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Belajar dari CEO dan Co-Founder Agate Studio Arief Widhiyasa di sesi #SelasaStartup tentang bagaimana membangun industri game lokal

Empat Hal Seputar Membangun Industri Game Lokal

Diakui saat ini, skala industri game Indonesia belum sebesar di Tiongkok ataupun Jepang. Bagi sebagian pihak, industri game lokal kita juga belum dianggap menarik seperti bisnis-bisnis digital lainnya.

Indonesia memang salah satu gudang gamer terbesar di dunia. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia juga melahirkan sejumlah pengembang game terkemuka dengan game buatan lokal yang tak kalah saing dari luar.

Seperti apa gambaran industri game di Indonesia saat ini? Apakah kita mampu mendunia dan bersaing dengan pemain global?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, di sesi #SelasaStartup kali ini DailySocial menghadirkan topik menarik seputar industri game yang dibawakan CEO dan Co-Founder Agate  Arief Widhiyasa.

The next dopamine industry

Bagi Arief, industri game dapat diibaratkan sebagai industri dopamin atau industri yang produknya dapat dinikmati orang. Industri film dan musik juga termasuk di dalamnya.

Dopamin sendiri merupakan senyawa penting dalam tubuh yang dapat menciptakan perasaan senang dan memotivasi. “Saat main game, hormon-hormon kebahagiaan keluar,” candanya.

Bicara skala, ia menilai industri game sudah melampaui produk hiburan lain, seperti industri film. Sebagai perbandingan, ungkapnya, nilai industri game di 2017 telah mencapai  $108,9 miliar, hampir tiga kali lipat dari industri film yang sebesar $40,6 miliar.

“Saya meyakini industri game bakal menjadi the next huge dopamine industry ke depannya,” tutur Arief.

Apalagi, industri game telah berevolusi sejak 2015. Industri game tidak lagi melulu pada produk konsol dan PC yang cenderung tak praktis dan lebih mahal. Kehadiran smartphone memunculkan potensi lebih besar terhadap pertumbuhan industri game.

Selain itu, lanjutnya, definisi game kini telah berkembang luas dan telah diadopsi lintas industri, mulai dari militer hingga kesehatan. Ada banyak kasus pemanfaatan game untuk kebutuhan simulasi, seperti operasi jantung dan latihan menembak.

Industri hit-driven tetapi dikuasai asing

Kendati demikian, industri game juga memiliki dua sisi mata uang. Menurut Arief, industri game dikatakan sebagai industri yang hit-driven karena penjualannya bisa meraih return sangat besar, tetapi bisa juga sebaliknya.

“Kalau ada sepuluh game, satu produk bisa mendapat return 100 kali, sedangkan sembilan lainnya tidak mendapat return sama sekali. Ini bisa menjadi masalah,” ujarnya.

Di samping itu, industri game di Indonesia juga dihadapi oleh kekuatan pasar asing sehingga sulit untuk bersaing. Ia mengungkap pangsa game lokal hanya berkisar 0,4 persen atau setara Rp45 miliar dari total pasar game Indonesia.

Nilai investasi yang dikucurkan untuk industri game di Indonesia juga hanya $2 juta atau Rp30 miliar per tahun, tertinggal jauh dari Tiongkok yang sudah mencapai $5 miliar per tahun.

“Pasar kita dikuasai asing karena belanja [investasi game] di Indonesia rendah. Ada mismatch yang terjadi di lapangan dengan yang diyakini investor. Mereka belum aware dan yakin dengan industri ini,” katanya.

Perkuat ekosistem dari bawah ke atas

Permasalahan tak hanya soal investasi. Dalam pengalamannya membangun Agate, Arief dihadapkan pada minimnya jumlah pengembang atau talenta di bidang ini. Dengan kata lain, Indonesia mengalami kekurangan talenta.

Ia membandingkan jumlah pengembang game di Indonesia yang masih kalah jauh dengan negara-negara di Asia. Indonesia tercatat memiliki 1.200 pengembang, masih tertinggal jauh dari Tiongkok (250 ribu), Korea Selatan (95 ribu), dan Vietnam (10 ribu).

“Kalau mau scale [up] di sini sulit karena jumlah pengembang game sangat terbatas. Jadi secara ekosistem, kita kalah karena jumlah investor kurang, game company sedikit, dan talenta kurang. Ini jadi PR kita bersama. Kalau mau ekosistem besar harus bisa solve dari bawah,” jelasnya.

Kerja keras untuk mengejar kualitas

Tak kalah penting, Arief menekankan pentingnya mengejar kualitas di industri ini. Menurutnya, industri game berbeda dengan perusahaan teknologi atau startup.

Karena dalam hal ini, game tidak lagi dilihat oleh konsumen sebagai produk lokal atau global. Namun, lebih kepada game apa yang disukai dan berkualitas. Dengan kata lain, pengembang lokal harus bisa mengejar kualitas dari pemain global.

“Dari awal, kita harus bisa kejar kualitas sebagus-bagusnya. Masalahnya, kita tidak punya bekal untuk meraih itu. Caranya tidak ada, cuma perlu bekerja keras. Di Agate, kami bekerja 90 jam seminggu, dari jam 8 pagi hingga 11 malam selama enam hari.”

Bekraf Game Prime 2018 / DailySocial

Tips Berkiprah di Kancah Industri Pengembangan Game Indonesia

Hari pertama perhelatan Bekraf Game Prime (BGP) 2018 banyak diisi workshop yang menghadirkan panelis dari industri game lokal. Sesuai dengan tema kegiatan BGP kali ini, yaitu mempromosikan pengembang game lokal secara global, para pembicara yang dihadirkan banyak mengupas kiat sukses dan suka duka selama menjadi pengembang game atau bekerja di perusahaan game asing.

Pentingnya membangun jaringan

Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah CEO Agate Studio Arief Widhiyasa yang telah sukses mengembangkan bisnisnya untuk kalangan B2B dan B2C. Kepada pengunjung yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa hingga pengembang game, Arief menceritakan cara terbaik untuk membangun relasi hingga jaringan dengan sesama pelaku di industri game.

“Kegiatan seperti BGP memang ideal untuk berkenalan dengan sesama pengembang game, namun idealnya fokus kepada kualitas perkenalan daripada kuantitas. Bina hubungan baik dengan jumlah kecil orang yang tepat dibandingkan dengan jumlah yang banyak.”

Meskipun jumlah pengembang game Indonesia yang sukses belum terlalu banyak, menurut Arief industri game memiliki jaringan yang cukup “friendly” dibandingkan dengan industri e-commerce atau lainnya. Masih banyak senior dan pakar yang bersedia berbagi pengalaman, informasi, dan kiat sukses menjalankan bisnis di industri game.

“Temukan senior atau pakar yang sesuai dengan minat saat mulai mengembangkan game. Dari situlah biasanya informasi soal manajemen hingga teknis bakal banyak didapatkan,” kata Arief.

Sementara itu, menurut CEO Arsanesia Adam Ardisasmita, selain kegiatan seperti konferensi, ekshibisi, dan gelaran seperti BGP, kesempatan bertemu secara “one-on-one” dengan pihak yang relevan dalam bisnis game, juga sebaiknya dilakukan. Perkenalkan proyek yang sedang dikerjakan dan bina hubungan baik usai pertemuan berlangsung.

“Dari accidental meetup tersebut, jika di-follow up segera, bisa menjadikan peluang bisnis yang baik untuk Anda pengembang game,” kata Adam.

Game studio asal Bandung ini fokus mengembangkan game kasual di platform mobile. Salah satu game yang cukup sukses mendulang ratusan ribu unduhan adalah Roly Poly Penguin. Pada tahun 2015, Arsanesia mulai masuk ke dunia edukasi melalui unit bisnis yang bernama Arsa Kids.

Tingkatkan kualitas keahlian

Selain persoalan networking, turut dihadirkan juga narasumber yang bekerja di perusahaan game mancanegara. Mereka adalah Elizabeth Galuh dari Streamline Studio dan Ian Purnomo dari Sony Interactive Entertainment.

Sebagai salah satu Project Manager di Streamline Studio, Elizabeth mengajak lebih banyak mahasiswa dan pengembang lokal untuk menguasai keahlian yang diminati. Apakah itu sebagai seorang 3D Artist atau programmer, pastikan pengetahuan hingga wawasan dikuasai sebelum bekerja di perusahaan asing.

“Intinya perusahaan game asing tersebut ingin keahlian yang kita miliki bisa diterapkan sesuai dengan pekerjaan yang ditempati. Untuk itu asah terus keahlian dan pelajari benar engine yang bakal digunakan nantinya,” kata Elizabeth.

Selama bekerja di Streamline Studio, Elizabeth membawahi anggota tim yang bertanggung jawab menyelesaikan sebuah proyek. Kontribusi masing-masing anggota tim akan mempengaruhi hasil akhir proyek tersebut.

Sementara itu, bagi Ian Purnomo yang memegang posisi Public Relation dan Developer Relation di Sony, fokus kegiatan pemasaran wajib dilakukan saat game bakal diluncurkan. Bukan hanya informasi, kegiatan ini juga sarat dengan aktivasi online dan offline.

“Untuk bisa menambah wawasan yang ada, jangan sungkan untuk memainkan dan mencoba berbagai game. Seperti saat ini yang tengah populer adalah Mobile Legends. Cari tahu keistimewaannya dan bagaimana game tersebut bisa memberikan inspirasi terhadap proyek yang saat ini tengah dikembangkan,” ungkap Ian.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Bekraf Game Prime 2018

Mengunjungi kantor Agate / DailySocial

DStour #35: Menikmati Ruangan Kerja Desain Minimalis di Kantor Agate

Jika sebelumnya sudah dirilis obrolan DScussion dengan CEO Agate, edisi DStour terbaru kali ini DailySocial turut menyuguhkan pesona di kantor Agate yang terletak di Bandung Jawa Barat. Gedung kantor yang memiliki desain modern dan minimalis ini, memiliki ruangan kerja yang cukup luas menampung jumlah pegawai yang semakin banyak.

Satu keunikan yang dimiliki oleh kantor Agate adalah untuk setiap tamu yang datang wajib untuk melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal Agate yang sudah disiapkan. Simak liputan selengkapnya di kantor Agate.

CEO dan Co-founder Agate Studio Arief Widhiyasa / DailySocial

DScussion #87: Agate dan Strateginya Mengembangkan Game Berkualitas di Indonesia

Menurunnya marketshare pengembang game lokal saat ini menjadi perhatian dari para pengembang di Indonesia. Sebagai salah satu Game Studio lokal, Agate melihat peluang pengembang game di tanah air masih sangat menjanjikan, dengan menyasar berbagai segmentasi pasar, bukan hanya B2C tapi juga B2B.

Dalam edisi DScussion terakhir di tahun 2017 ini, CEO dan Co-founder Agate Arief Widhiyasa, mengungkapkan beberapa alasan, mengapa industri game di Indonesia masih mengalami pertumbuhan yang sangat lambat, dibandingkan dengan negara lainnya.

Agate Studio Umumkan Peroleh Pendanaan Pre-Series A Senilai 13 Miliar Rupiah

Perusahaan game developer yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, Agate Studio, hari ini mengumumkan pendanaan  Pre-Series A sebesar $1 juta (lebih dari 13 miliar Rupiah) dari Maloekoe Ventures. Perusahaan yang dibangun tahun 2009 ini, saat ini telah mengalami banyak perkembangan, mulai dari jumlah pegawai yang telah mencapai 70 orang hingga peningkatan jumlah permainan yang telah mencapai 200 varian yang dibuat hingga saat ini.

Pendanaan yang diterima di awal April 2016 ini bersamaan dengan perayaan ulang tahun Agate Studio yang ke-7 dan semakin mengukuhkan posisi Agate Studio sebagai salah satu perusahaan game developer terdepan di Indonesia.

“Selama tiga tahun terakhir perusahaan kami telah berkembang dengan cepat dan baik secara organik mengandalkan pendanaan sendiri (bootstrapping). Meskipun saat ini dua divisi busnis kami yaitu permainan yang serius (B2B,B2B2C dan B2G) serta permainan yang menghibur (B2C) telah tumbuh dan mendapatkan keuntungan, pendanaan ini tentunya akan membantu kami menciptakan inovasi terbaru,” kata CEO Agate Studio Arief Widhiyasa.

Sementara bagi Maloekoe Ventures sendiri yang merupakan salah satu VC lokal, pendanaan ini tentunya merupakan langkah strategis yang dilancarkan. Dilihat dari perkembangan serta inovasi yang telah ditawarkan oleh Agate Studio, diharapkan Maloekoe Ventures bisa memberikan kontribusi lebih dan mendukung pertumbuhan dari Agate Studio.

“Selama ini Agate Studio telah membuktikan eksistensi mereka sebagai game developer ternama di Indonesia, dengan alasan itulah Maloekoe Ventures tertarik untuk memberikan pendanaan dan berharap dapat melihat pertumbuhan Agate Studio secara regional hingga global,” kata Managing Partner Maloekoe Ventures Adrien Gheur.

Maloekoe Ventures sebelumnya memasukkan Bizzy, layanan B2B Ardent Capital, sebagai salah satu portofolio investasinya.

Selain mengumumkan perolehan pendanaan Pre-Series A, Agate Studio juga mengumumkan dua brand baru, Bloodstone Entertainment yang mengurusi permainan mid-core dan Dreamhat Games untuk permainan kasual dan super-kasual.

Game Jokowi GO! Sukses Duduki Peringkat Teratas Toko Aplikasi Populer

Tak perlu waktu lama bagi aplikasi permainan Jokowi GO! menjadi favorit di dua toko aplikasi populer. Dengan kurun waktu kurang lebih satu minggu sejak pertama diluncurkan, aplikasi Jokowi GO! per Kamis (3/7) melesat masuk ke dalam daftar aplikasi teratas versi Google Play Store dan Apple App Store. Hal ini setidaknya bisa membuktikan bahwa kampanye pemilu bisa lewat cara yang menyenangkan tanpa kehilangan pesan.
Continue reading Game Jokowi GO! Sukses Duduki Peringkat Teratas Toko Aplikasi Populer

NXTCON 2014: Industri Game Indonesia Harus Dapat Beradaptasi Dengan Cepat

Hari kedua perhelatan konferensi teknologi NXTCON 2014 diadakan pada Kamis (8/5) kemarin. Salah satu tema diskusi yang tak ketinggalan ikut dibahas yakni pembahasan tentang industri gaming lokal. Disampaikan oleh praktisi yang datang dari penggiat startup gaming lokal dan internasional, sesi diskusi ini mengangkat pembahasan perihal tantangan industri game di Indonesia beserta dengan pertumbuhan di platform mobile. Continue reading NXTCON 2014: Industri Game Indonesia Harus Dapat Beradaptasi Dengan Cepat