Tag Archives: Arief Witjaksono

Pendanaan Seri A Pitik

Pitik Dapat Pendanaan Seri A 206 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup pengembang inovasi teknologi peternakan “Pitik” hari ini (19/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 206 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni MDI Ventures dan Wavemaker Partners.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pitik resmi meluncur pada pertengahan 2021 diprakarsai oleh Arief Witjaksono dan Rymax Joehan. Mereka berambisi menghadirkan solusi teknologi end-to-end memberdayakan peternak unggas di Indonesia. Termasuk menghadirkan kemudahan dari sisi pembiayaan dan efisiensi rantai pasok.

Dengan dana segar yang dibukukan ini, Pitik akan memperluas ekosistem layanannya ke lebih banyak peternak ayam di Indonesia. Termasuk dengan memperkuat tim di seluruh divisi yang ada.

Selain itu, Pitik akan terus mengembangkan teknologi canggih dan produk automasi yang akan meningkatkan produktivitas pertanian lebih jauh. Perusahaan juga menargetkan membangun kehadiran di seluruh wilayah Jawa tahun ini dan memperluas ke pulau-pulau lain pada tahun 2023. Perusahaan juga akan memperluas bisnisnya ke layanan hilir seperti pemrosesan dan distribusi ke pengguna akhir.

Permasalahan di peternakan unggas

Sektor peternakan di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Menurut data, konsumsi daging ayam pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita, setara 3,5 juta kg per tahun. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita pada tahun 2029.

Kendati demikian, Pitik masih melihat adanya inefisiensi dalam sistem produksi dan rantai pasok produk ayam segar. Sistem produksi yang buruk dinilai mengakibatkan tingkat kematian unggas nasional 5-8x lebih tinggi dari rata-rata global. Sementara manajemen yang buruk membuat kebocoran pendapatan tahunan hingga 2 miliar Rupiah di tiap peternakan.

Solusi yang dihadirkan Pitik berupa platform manajemen peternakan. Perangkat lunak tersebut turut terhubung dengan sensor berbasis IoT yang diterapkan di kandang — menghasilkan model smart farming. Sehingga peternak bisa melakukan pemantauan lebih akurat terkait kondisi kandang dan perkembangan unggasnya.

Perangkat IoT Box Pitik yang dipasang di peternakan / Pitik

Di sisi lain, platform juga mendemokratisasi layanan pasok, menghubungkan petani dengan mitra terpercaya untuk menjual hasil panennya. Layanan pembiayaan turut dihadirkan untuk meningkatkan kapabilitas bisnis petani — data-data yang dihasilkan dianalisis sebagai potensi ternak untuk menghasilkan skoring kredit yang lebih kredibel.

Berdasarkan data terbaru, pemanfaatan layanan tersebut oleh Kawan Pitik (sebutan untuk mitra petani) diklaim bisa menekan angka kematian hingga 50% dan meningkatkan rasio konversi pakan 12% dibandingkan rata-rata nasional, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam 6 bulan terakhir, Pitik telah meningkatkan ukuran jaringan pertaniannya lebih dari 10x lipat melalui kemitraan dengan ratusan petani di 53 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari jaringan peternak ini, Pitik saat ini menjual lebih dari 16 juta ekor ayam per tahun.

“Kami telah membuktikan bahwa teknologi kami efektif dalam membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan ekosistem kami mampu memberikan layanan bernilai tambah bagi petani. Impian besar kami adalah memberdayakan semua peternak unggas di Indonesia melalui layanan terpadu kami dan memastikan kami dapat meningkatkan taraf hidup mereka,” kata Co-Founder & CEO Pitik Arief Witjaksono.

Pertumbuhan startup di bidang peternakan

Di tengah potensi Indonesia sebagai penghasil ternak, beberapa startup hadir memunculkan solusi inovatif. Baik untuk membantu petambak udang, ikan, hingga peternak unggas. Selain Pitik, ada pemain lain yang juga mencoba membantu efisienkan proses bisnis di peternakan ayam, salah satunya Chickin. Berawal dari sebuah B2B commerce daging ayam untuk horeka, kini mereka turut kembangkan teknologi IoT untuk optimalkan manajemen kandang.

Tentu ini menjadi angin segar untuk para pelaku bisnis. Dari banyak riset yang dilakukan, mereka memang masih menghadapi banyak isu klasik. Seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Harapannya, tentu adanya teknologi pendukung ini benar-benar bisa mendemokratisasi model bisnis yang ada. Dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hasil ternak dan pemasukan dari para peternak. Di samping untuk memastikan supply dari pasar terpenuhi dengan baik dari produsen dalam negeri.

“Kami telah membuka peluang bisnis hulu di bidang peternakan unggas. Memperluas ke hilir berarti kami dapat membantu petani mengekstraksi margin yang lebih tinggi dari rantai nilai. Ini selaras dengan misi kami untuk menjadi mitra petani di semua titik perjalanan pertanian,” kata Co-Founder & COO Pitik Rymax Joehana.

Ia melanjutkan, “Tidak hanya itu, ini juga berarti kami dapat menyediakan ayam yang lebih sehat dan berkualitas tinggi untuk konsumen Indonesia karena produk yang dijual oleh Pitik bersumber dari jaringan petani kami dengan standar kontrol kualitas dan pemantauan produk yang paling ketat.”

Application Information Will Show Up Here
Berbagai platform mengembangkan solusi IoT untuk sektor peternakan dan perikanan berbasis teknologi

Mengatasi Tantangan di Industri Peternakan dan Perikanan dengan Teknologi

Butuh waktu delapan tahun bagi e-Fishery membuktikan bahwa industri akuakultur adalah “the sleeping giant” lewat penggalangan dana seri C yang diikuti investor kelas kakap. Produksi akuakultur di Indonesia masih menjadi yang ketiga di dunia setelah China dan India. Pada 2018, produksi akuakultur mencapai 5,4 juta ton senilai $11,9 miliar (FAO 2020).

Tak hanya akuakultur, peternakan pun juga tak kalah besar potensinya. Konsumsi daging ayam di Indonesia pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita atau sekitar 3,5 juta kg per tahun. Diperkirakan pada 2029 nanti konsumsi ayam akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita. Kendati begitu, menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Di samping itu, industri ini masih ditimpa sejumlah isu klasik. Mulai dari akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Meski demikian, budidaya hewan tetap menjadi sektor yang menarik, seiring dengan meningkatnya permintaan protein hewani dan banyak startup yang mencoba mengurai berbagai masalah yang ada di setiap segmen. Para pendiri startup ini, datang dari multi disiplin, tidak hanya dari bidang akuakultur atau perunggasan. Mereka adalah Chickin Indonesia, Fistx, Delos, dan Pitik.

Bersama DailySocial.id, mereka berbagi pandangan mengapa inovasi di di sektor ini cenderung lambat di Indonesia dan bagaimana menyelesaikan tantangan tersebut dengan teknologi.

Co-founder dan CEO Chickin Indonesia Tubagus Syailendra Wangsadisastra mengatakan, inovasi digital di sektor ini lambat karena lanskap rantai pasoknya yang masih terfragmentasi dan banyak tengkulak yang membuat tidak adanya transparansi data. Hal ini mendorong ketidakcocokan antara permintaan dan ketersediaan stok.

Inovasi di segmen ini lambat, karena berinteraksi dengan petani dan peternak yang secara umum belum adaptif.

“Dari sisi market adoption, belum semasif di industri lain. Wave-nya baru-baru ini akan jadi emerging industri ke depannya. Saya yakin ini akan besar setelah melewati fase-fase tertentu. Fasenya e-commerce, fintech sudah lewat. Orang-orang di tier 3 dan 4 sudah pakai teknologi, baru kita mudah masuk ke budidaya,” kata Tubagus.

CEO Delos Guntur Mallarangeng menambahkan dari perspektif lain. Ia menjelaskan, sebenarnya jawabannya sederhana namun rumit. Sederhana, karena tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain.

Jawaban rumitnya berkaitan dengan masalah sistemik yang perlu dilihat secara makro. Mereka adalah kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia, kurangnya inklusi finansial, kurangnya adopsi teknologi terkini, dan tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri perikanan.

“Gabungan dari ke-4 poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya financial inclusion dari institusi-institusi finansial di negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan tidak terjangkau,” kata Guntur.

Dia melanjutkan, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi, membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Gabungkan IoT dengan teknologi lain

Berdasarkan tantangan tersebut, pendekatan IoT dengan gabungan teknologi lainnya menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital di segmentasi ini. Contoh perusahaan yang fokus pada sensor dan perangkat berbasis IoT untuk memeriksa parameter air dengan cepat dan tepat adalah Jala, FisTx, Delos, dan eFishery. Selain itu, ada juga yang fokus pada pengolahan air seperti NanoBubble, Venambak, dan Banoo yang menyediakan mesin untuk mengoptimalkan oksigen terlarut (DO).

Dengan perangkat ini, parameter kualitas air dapat disajikan secara real time atau sebagai rangkaian data, sehingga memungkinkan memprediksi kualitas air lebih tepat dan mengambil tindakan jika ada tren yang tidak biasa. Terobosan ini membuat budidaya ikan dan udang lebih mudah diprediksi dan mudah dipraktikkan bagi pemula. Hal ini juga membuat sektor akuakultur menjadi lebih menarik bagi kaum muda.

Namun, menurut COO FisTx Rico Wibisono, hal yang paling menantang dalam penyediaan alat pemeriksa kualitas air, selain memastikan data yang cepat dan akurat, adalah bagaimana memberikan saran yang tepat kepada petani tentang langkah apa yang harus diambil dari hasil pengukuran. Dia mengatakan bahwa mengumpulkan data kualitas air adalah satu hal, tetapi menggunakan data dengan benar adalah hal lain.

FisTx mengembangkan teknologi khusus untuk budidaya udang yang fokus pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah mobile water steriliser dengan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dan didukung sinar ultraviolet tanpa residu. Teknologi tersebut, bila dibandingkan dengan bahan kimia, bisa mengefisiensikan biaya desinfektan antara 35-53%.

“Kemudian kami juga mengembangkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan industri, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limba lebih sedikit. Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak.”

Tubagus menambahkan, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting dalam mengatasi permasalahan mereka. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B.

Pihaknya melakukan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Perangkat IoT digunakan untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Keberhasilan panen ditentukan dari seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI Support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Temptron yang dikembangkan Chickin / Chickin

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Pendekatan di lapangan

Di tengah literasi yang belum mumpuni di seluruh pelosok, maka dalam proses memperkenalkan kepada para petani memilki tantangan tersendiri. Tubagus menjelaskan, sebenarnya para peternak sudah paham dengan konsep climate control. Target pengguna produk ini adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad.

Dengan demikian, dari sisi Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time. Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya.

Co-founder dan CEO Pitik Arief Witjaksono menambahkan, dalam memperkenalkan solusi Pitik, pihaknya rutin mengadakan pelatihan baik lewat daring maupun luring. Bekerja sama dengan Edufarmers Foundation, lembaga non profit dari Japfa, mereka memperkenalkan aplikasi Pitik di Jawa Timur.

“Teknologi kami terbukti membantu peternak [Kawan Pitik] dalam mengurangi tingkat mortalitas ayam sebesar 50% dan meningkatkan penggunaan pakan lebih dari 12%. Sejauh ini respons mereka positif dalam menggunakan teknologi dari Pitik,” terangnya.

Secara khusus, perusahaan memberikan dukungan menyeluruh kepada seluruh mitra peternak dalam mensuplai kebutuhan sapronak (sarana produksi peternakan) dengan kualitas terbaik. “Pitik menyediakan teknologi farm management agar peternak dapat melakukan proses produksi dengan lebih efisien, dan mengambil seluruh hasil produksi dengan harga yang kompetitif. Seluruh hal ini kami lakukan dengan skema kontrak yang transparan agar kami dapat menjadi mitra peternak terbaik.”

Sementara itu, FisTx melihat proses edukasi di petambak itu sangat bergantung pada psikologis dan psikografi di mana mereka berada. Untuk lokasi yang benar-benar baru, pertama kali yang dilakukan perusahaan adalah mencari early adopter dan terus kawal hingga ada hasil yang memuaskan. Dari situ, harapannya muncul domino effect, ditandai dengan mouth-to-mouth branding. “Alhamdulillah hingga saat ini kami memiliki lebih dari 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi,” kata Rico.

Model bisnis FisTx, sambungnya, cukup beragam tergantung produknya. FisTx 360 membantu para petambak dengan sesi konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, dari persiapan hingga panen tiba. Produk ini menganut model berlangganan untuk semua budidaya baik dari aqua input hingga teknologi. Kendati begitu, perusahaan juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen yang belum dapat dijangkau tim lapangan.

Tim FisTx / FisTx

Perjalanan di masa depan

Guntur mengakui solusi yang dikembangkan DELOS secara teoritis dapat diimplementasikan tidak hanya untuk tambak. Dalam kerangka ilmiahnya, dari satu spesies ke spesies lain sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi ada banyak variabel dan asumsi ilmiah yang harus disesuaikan.

“Ini semua seharusnya bisa diselaraskan dengan riset yang lebih banyak, tetapi itu akan menjadi fokus jangka panjang yang sekunder [bagi DELOS]. Fokus utama kami adalah budidaya spesies udang, yang merupakan komoditas laut Indonesia yang paling besar dan berharga.”

Ia mengatakan demikian karena, menurut data yang dia kutip, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun.

“Bahkan bisa lebih dari itu kalau Indonesia memiliki industri pertambakan yang bisa menghasilkan panen yang optimal dan stabil, sebab negara kita memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.”

Pendapat serupa juga diungkapkan Rico. Ia mengatakan, pada dasarnya potensi akuakultur di Indonesia luar biasa besar dan FisTx ingin memberikan hak kepada setiap spesiesnya agar dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. “Untuk saat ini kami fokus pada udang, namun teknologi kami ke depan bisa dipakai pada kepiting, belut, lobster, dan sidat.”

Tubagus menambahkan, berkaca pada pengembangan solusi sejenis Chickin di Israel, bernama Agrologic, perusahaan tersebut mengembangkan perangkat temptron untuk kandang babi, sapi, dan hewan ternak lainnya. Tidak menutup kemungkinan bagi Chickin untuk mereplikasinya di Indonesia, sebab menurutnya pada intinya iklimlah yang menentukan keberhasilan panen.

“Dalam timeline, kami sekarang ke vertical growth akuisisi dari hulu ke hilir, coba ke downstream dengan memegang demand agregasi ayam. Setelah itu ke midstream (rumah potong), upstream (kandang ayam) agar kami bisa supply farm input, dari pakan, bibit. Sembari masuk ke sektor horizontal di luar ayam, karena kami rencananya mau jadi leading meat commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Pitik pendanaan Arise budidaya unggas

Raih Pendanaan dari Arise, Pitik Kembangkan Teknologi di Sektor Budidaya Unggas

Di tengah lanskap pertumbuhan sektor agrikultur dan akuakultur di Indonesia, budidaya unggas menjadi salah satu area yang belum banyak mengalami inovasi dari sisi teknologi. Hal ini mengungkap inefisiensi operasional yang tinggi serta banyaknya lapisan perantara dalam rantai nilai. Berusaha untuk menyelesaikan masalah ini, Pitik mengembangkan solusi teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasi peternakan yang berfokus pada budidaya unggas.

Perusahaan berhasil meraih pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Arise, dana kelolaan dari MDI Ventures dan Finch Capital; serta Wavemaker Partners. Rencananya, dana segar akan digunakan untuk mempercepat pengembangan produk, integrasi rantai pasok, dan perluasan wilayah operasi untuk menjangkau lebih banyak petani.

Co-founder & CEO Pitik Arief Witjaksono mengungkapkan, “Mampu mengurangi inefisiensi di peternakan dengan teknologi adalah langkah penting pertama untuk memastikan bahwa peternak unggas Indonesia dapat menghasilkan ayam berkualitas tinggi dan sekaligus menguntungkan.”

Sediakan sistem manajemen full-stack

Mulai beroperasi di pertengahan tahun 2021, Pitik menyediakan sistem manajemen peternakan full-stack untuk memungkinkan transparansi data di seluruh rantai nilai untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasi para peternak unggas. Misi utama perusahaan adalah untuk memajukan dan menyejahterakan peternak ayam di Indonesia.

Pitik menawarkan tiga solusi teknologi dalam platformnya. Pertama, Farm IoT (Internet of Things), sebuah sensor yang terhubung dan perangkat IoT yang dipasang di seluruh kandang untuk menyatukan kondisi kandang secara otomatis dan mengirimkan informasi terkini ke aplikasi secara real-time. Selanjutnya, Pitik Farm Algorithm yang didukung dengan Artificial Intelligence untuk mengoptimalkan kinerja produksi, mendeteksi potensi isu di kandang, dan memberikan rekomendasi peningkatan efisiensi kandang.

Terakhir, Pitik Digital Assistance yang memiliki beberapa fitur, seperti early warning system untuk mendeteksi masalah dan memberikan rekomendasi peningkatan performa berdasarkan algoritma, smart dashboard untuk memantau kondisi kandang, serta automated task management untuk mengelola kandang dan program pertumbuhan ayam dengan lebih mudah.

“Teknologi kami dirancang agar mudah diterapkan dan digunakan oleh setiap peternak unggas di Indonesia, terlepas dari ukuran peternakan atau infrastruktur mereka. Mengemas teknologi dengan model bisnis yang transparan dalam pengadaan input pertanian dan penjualan ayam, kami ingin memastikan petani Indonesia dapat meraup keuntungan yang lebih serta berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka,” tambah Co-founder & COO Pitik Rymax Johana.

Selain teknologi, perusahaan juga membantu para peternak untuk mendapatkan pasokan sapronak (sarana produksi peternakan) yang lebih baik dengan harga kompetitif, memberikan akses permodalan, dan memberikan dukungan penjualan agar pada akhirnya masyarakat Indonesia dapat mengonsumsi daging ayam dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih terjangkau.

Pendanaan di sektor budidaya

Minat investor terhadap sektor budidaya semakin tinggi, hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengembang solusi teknologi di sektor ini yang meraih pendanaan. Salah satunya eFishery yang bergerak di bidang budidaya ikan dan udang. Solusi yang dikembangkan pun semakin beragam mulai dari sistem manajemen, permodalan, hingga online grocery.

Selain itu, ada juga JALA Tech, startup pengembang perangkat teknologi akuakultur yang belum lama ini mengumumkan pendanaan terbarunya.

Untuk solusi yang menargetkan peternak unggas, belum ada banyak pemain yang fokus menggarap segmen ini. Salah satu perusahaan rintisan dengan target pasar serupa Pitik adalah Chickin, layanan yang menawarkan inovasi perangkat teknologi yang dapat membantu mengefisiensi sistem pengelolaan kandang. Keduanya bercita-cita memudahkan para peternak untuk melakukan budidaya unggas secara optimal, produktif, dan efisien.

Sementara itu, pasar unggas di Indonesia saat ini telah mencapai $7,4 miliar dengan CAGR 7% selama tahun 2015 – 2020. Pasar ini memiliki peluang pertumbuhan yang masih sangat besar melihat konsumsi ayam per kapita Indonesia 5,9x lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, hal ini menciptakan banyak ruang untuk pertumbuhan.

Di samping itu, disrupsi teknologi kian dibutuhkan melihat tingkat produktivitas budidaya unggas di Indonesia yang menunjukkan angka kematian 7,3x lebih tinggi dan rasio konversi pakan (FCR) 1,4x lebih tinggi dibandingkan dengan tolak ukur di industri. Dengan memanfaatkan solusi IoT dan pengetahuan operasional pertanian yang mendalam, perusahaan rintisan diharapkan mampu memberi solusi atas permasalahan ini.

Karpul dan Misinya Mengurangi Kemacetan Lewat “Carpooling”

Salah satu momok hidup di kota besar yang padat penduduknya adalah tingkat kemacetan tinggi. Berbagai solusi coba dihadirkan, baik dari pemerintah atau pihak swasta, untuk mengurangi tingkat kemacetan yang ada. Paling baru, datang dari startup Indonesia bernama Karpul yang ingin turut membantu mengurangi tingkat kemacetan melalui carpooling.

Karpul adalah aplikasi yang mempertemukan pemilik kendaraan dengan calon penumpang yang memiliki rute searah. Sederhananya, pengguna Karpul bisa saling berbagi tumpangan.

Karpul sendiri berdiri di tahun 2015, namun aplikasinya baru tersedia untuk diunduh dalam tahap beta pada 23 Mei 2016 di Google Play.

Ada dua orang yang paling berperan dalam lahirnya layanan Karpul, mereka adalah Arief Witjaksono dan Gretel Griselda. Arief kini menjabat sebagai CEO Karpul sedangkan Gretel kini menjabat sebagai CMO Karpul. Keduanya memutuskan untuk mendirikan Karpul berangkat dari semangat untuk mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta yang tak kunjung usai.

Gretel mengatakan, “Karpul didirikan berawal dari kepedulian terhadap kemacetan lalu lintas, khususnya di kota Jakarta. Pada saat kami mendesain aplikasi ini kami juga memiliki keprihatinan terhadap implementasi kebijakan 3 in 1 dengan banyaknya joki yang beredar sehingga kebijakan carpooling ini tidak dapat terimplementasi dengan optimal.”

“Melalui Karpul, kami ingin memperkenalkan kembali the true meaning of carpooling kepada masyarakat Indonesia. Kami percaya bahwa carpooling adalah salah satu solusi terbaik untuk mengurangi jumlah kendaraan di jalanan,” lanjutnya.

Pendekatan kepada pengguna ala Karpul

Bila mekanisme layanan Karpul mengingatkan Anda dengan Nebengers, Anda tidak salah. Gretel juga mengakui hal ini. Tapi Gretel menegaskan bahwa ada konsep pendekatan yang berbeda antara layanannya dan Nebengers, terutama dari sisi fitur seperti Halaman Profil, Rating, Female Only Option, dan Message Board.

Gretel mengatakan, “Kami mendesain aplikasi Karpul sebagai marketplace [dan] untuk meminimalisir risiko keamanan, Karpul menyiapkan fitur-fitur seperti Halaman Profil, Female Only Option, Rating System, Message Board, dan banyak lagi.”

“Setiap driver maupun passenger dapat saling melihat halaman profil sebelum memutuskan berbagi kendaraan. Pada akhir trip, driver dan passenger [bisa] saling memberikan Rating [yang] dijadikan salah satu informasi tercantum pada halaman profil setiap user,” jelas Gretel lebih jauh.

Karpul saat ini masih fokus untuk pemasaraan di wilayah Jakarta demi mengembangkan basis penggunanya / Karpul
Karpul saat ini masih fokus untuk pemasaraan di wilayah Jakarta demi mengembangkan basis penggunanya / Karpul

Gretel juga menegaskan bahwa Karpul bukanlah layanan on-demand, jadi tidak ada yang namanya mitra pengemudi. Baik driver ataupun passenger akan dianggap sama posisinya, yakni sebagai pengguna.

Gretel  menjelaskan, “Sebelum user melakukan registrasi, Karpul memiliki syarat dan ketentuan yang harus disetujui terlebih dahulu. Dokumen tersebut menjabarkan hak dan tanggung jawab dari Karpul maupun pengguna.”

“Pada aplikasi ini, driver merupakan pemilik kendaraan dan bukan untuk mencari mata pencaharian […] karena driver yang melakukan post trip [tidak mengambil order dari penumpang]. Sifatnya lebih ke memberikan tumpangan ke orang yang searah. […] Untuk tarif, sepenuhnya ditentukan oleh driver karena kami menyadari bahwa setiap pemilik kendaraan memiliki konsiderasi yang berbeda dalam berbagi perjalanan,”  tambah Gretel.

Bisnis dan rencana ke depan Karpul

Visi Karpul adalah menjadi layanan ridesharing berbasis komunitas terbeser dan menjadikan carpooling sebagai metode alternatif transportasi utama di Indonesia. Untuk mewujudkannya, pihak Karpul akan mulai memperkenalkan budaya carpooling dan memposisikan diri sebagai marketplace kepada masyarakat.

Namun, di tahap awal ini mereka akan fokus pada pemasaran di wilayah Jakarta terlebih dahulu dan terus mengembangkan basis pengguna aktif mereka. Terkait monetisasi, Gretel mengungkap ada rencana untuk setiap passenger yang diberikan tumpangan, Karpul akan menarik satu Karpul coin kepada pihak driver. Tapi, ini masih belum final.

“Kami masih berfokus pada membangun user yang aktif, khususnya di area perkantoran Jakarta, sambil terus mendengarkan feedback. Saat ini kami masih belum menentukan target spesifik terkait jumlah user itu sendiri. Dari feedback yang kami dapat, kami akan terus meneruskan melakukan improvement terhadap aplikasi Karpul untuk memastikan tingkat kepuasan user,” ujar Gretel.

Sebagai informasi, selain Karpul dan Nebenger, masih ada satu lagi startup yang bermain di kolam yang sama. Namanya adalah Omprengan.

Application Information Will Show Up Here