Tag Archives: Arnold Sebastian Egg

Para pendiri Wright Partners (ki-ka) Arnold Egg dan Ziv Ragowsky / Wright Partners

Wright Partners Hadir Sebagai “Venture Builder”, Bermitra dengan Korporat yang Ingin Membangun Bisnis Digital

Setelah “lulus” dari perusahaan yang didirikannya, Tokobagus, Arnold Sebastian Egg atau yang akrab disapa Arno Egg tidak berhenti dalam berinovasi. Dalam perjalanannya mendukung pengembangan bisnis, ia bersama salah satu kolega, Ziv Ragowsky, menemukan fakta bahwa ada banyak perusahaan yang saat ini mencari cara berbeda untuk melakukan inovasi. Biasanya, inovasi untuk bisnis adalah dengan membuat bisnis baru.

Begitu sebuah perusahaan mengambil keputusan untuk membangun usaha, penting bagi perusahaan untuk mengetahui berbagai tren teknologi tetapi juga membangun aset signifikannya sendiri. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyelaraskan keinginan dan tren perusahaan dengan strategi jangka pendek dan menengah untuk memastikan dukungan internal menjelang momentum dibangun.

Hal ini yang kemudian dilihat sebagai peluang ketika pertama kali membentuk Wright Partners. Sebuah venture builder beranggotakan serial entrepreneurs dan experts dalam industri teknologi.

“Kami datang dengan bermacam latar belakang (produk, komersial, akademis, konsultan) dan menyadari bahwa ada model yang dapat bekerja untuk korporat [mungkin memerlukan edukasi lebih dalam] untuk membangun bisnis dengan fleksibilitas serta pengambilan risiko yang terukur yang bisa diterapkan di median global dalam berbagai skala. Hal ini, ditambah gagasan adanya masalah besar yang harus diselesaikan di kawasan ini, adalah yang kami yakini sebagai nilai dan tujuan usaha membangun membawa kami pada konsep Wright Partners,” jelas Arnold Egg dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Model Bisnis

Sebagai entitas yang fokus pada kegiatan venture building, model bisnis yang ditawarkan oleh Wright Partners cukup berbeda dan unik. Perusahaan bekerja sama dengan korporat untuk membantu mereka dalam menjalankan corporate innovationDua layanan yang ditawarkan mencakup Corporate Venture Building dan CVC as a Service.

Ada banyak perusahaan yang berani berinvestasi besar untuk membangun bisnis namun belum efektif dalam memanfaatkan sumber daya mereka yang cukup besar. Hal ini bisa disebabkan oleh pola pikir internal perusahaan dan terkadang kurangnya pendalaman terkait pengembangan bisnis, serta beberapa faktor eksternal yang menjadikan inisiatif ini tidak cost-effective.

Korporasi harus mencari cara untuk membuka dan memanfaatkan aset mereka untuk memungkinkan mereka berinovasi lebih baik dan meningkatkan skala lebih cepat daripada startup tradisional. Dalam menjalankan model bisnis ini, Wright Partners bekerja secara bertahap dalam membangun bisnis.

“Fase awal adalah rancangan di mana kami memiliki cukup uang/investasi dari mitra korporat untuk mencapai komitmen investasi mereka dalam waktu 4 bulan. Dalam fase ini, dua hingga tiga partner kami akan bertindak sebagai salah satu pendiri tim yang kami bentuk bersama, yang mencakup Venture Lead (yang jika berjalan lancar akan menjadi founder – tetapi dapat berubah dalam ketentuan 4 bulan) serta dua Venture Architect yang bisa menjadi full-time menggarap bisnis tersebut atau, jika terbukti bisa menjadi co-founder,” jelas Arno.

Salah satu diferensiasi bisnis yang diusung Wright Partners adalah mematok total investasi rata-rata yang dibutuhkan oleh perusahaan ke pasar sekitar $1,6-1,8 juta selama 16 bulan. Hal itu akan menjadi standar untuk memastikan bahwa 4 bulan paling efektif (dan menghasilkan investasi – jika tidak, tidak akan ada profit sama sekali).

Setelah 4 bulan pertama, sesuai keputusan komite investasi mitra, perusahaan kembali menawarkan pilihan terkait keterlibatan yang berkelanjutan berdasarkan kebutuhan bisnis. Dengan kesepakatan bahwa bisnis itu sudah berada di jalur yang benar dan kuat, perusahaan akan mendapatkan porsi ekuitas dan kemudian mengambil peran dalam bisnis melalui investasi pengetahuan dan koneksi yang dimiliki.

“Kami percaya bahwa pendalaman konten yang digabungkan dengan aset perusahaan yang tepat serta mentalitas kewirausahaan yang kuat akan menciptakan kesuksesan, jadi model kami berfokus pada penyelarasan ketiganya untuk berkembang di seluruh industri dan sektor usaha,” ujar Arno.

CVC as a Service atau CVC sebagai layanan merupakan peluang awal bersama salah satu mitra korporat. Wright Partners telah membantu sistem sekolah swasta untuk membangun CVC dan melakukan investasi awal. Melalui upaya ini perusahaan menemukan bahwa ada berbagai jenis organisasi yang berminat untuk memahami industri investasi.

Rencana masa depan

Berbasis di Singapura, Wright Partners mengaku memiliki representasi yang setara di Indonesia. Selama kurang lebih 6 bulan beroperasi, perusahaan sudah membantu merancang inovasi di 6 perusahaan, dua di Indonesia, tiga di Malaysia, dan satu di Singapura.

Inovasi ini telah bergulir di beberapa sektor termasuk fintech, edutech dan agritech. Sektor lain yang saat ini juga sedang dijajal adalah insurtech, teknologi keberlanjutan (sustainability tech), serta analitik ritel. Timnya memiliki penasihat dan mitra usaha yang ahli dalam masing-masing bisnis dan akan memperluas jangkauan ke industri lain seperti logistik, OTA, adtech, dan banyak lagi. Pihaknya juga mengaku telah menjalankan kemitraan untuk memperluas jangkauan dan kemampuan di seluruh aspek Crypto dan Blockchain.

Sementara Wright Partners fokus membantu korporat untuk membangun moda investasi perusahaan, saat ini timnya juga tengah dalam proses untuk mengumpulkan fund mandiri.

“Kami berharap dapat segera mendukung bisnis dengan dana kami sendiri dan mendorong mereka menuju kesuksesan yang lebih baik,” tutup Arno.

Arnold Egg Mengungkap Segala Hal tentang Masa depan Industri Digital

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sudah lebih dari 20 tahun berlalu sejak Arnold Sebastian Egg atau akrab disapa Arno Egg menginjakkan kaki di Indonesia. Selama itu, ia berusaha membangun bisnis di negeri ini, keluar-masuk dunia e-commerce, merambah industri travel, hingga menemukan passion-nya di dunia digital.

Liburan yang membawa Arno ke Indonesia, tapi bisnis digital yang membuatnya bertahan. Dia memulai di usia yang cukup muda bersama Tokobagus, menghabiskan lebih dari tiga tahun sampai akhirnya mencapai traksi, memutuskan untuk merger, dan akhirnya melepaskan diri untuk membangun usaha digitalnya sendiri. Pada tahun 2013, ia secara resmi memutuskan segala keterbatasan dengan menjadi warga negara Indonesia untuk tetap berkarya di pasar nusantara.

Arno adalah seorang product guy, dia membangun produk berdasarkan apa yang dibutuhkan konsumen. Namun, ia juga menyarankan agar tidak jatuh cinta dengan produk Anda dan tetap mendengarkan opini orang. Ia telah mengecap manis dan menyeka peluh dengan membangun startup dari nol. Tokobagus adalah warisan pertamanya. Ia kini fokus mengembangkan produk digital melalui Sprout Digital, dan baru-baru ini meluncurkan platform baru bernama Toco. Selain itu, selama 6 bulan terakhir, dia juga terlibat sebagai Mitra Pendiri dari sebuah Venture Builder bernama Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial berkesempatan untuk bertemu dengannya secara virtual dan berdiskusi tentang industri digital di negara ini, dan dia pun sangat bersemangat. Berikut kami sajikan kisah lebih lengkapnya.

Kapan Anda mulai tertarik untuk mendalami industri teknologi?

Saya merupakan salah satu dari anak-anak yang pertama kali menggunakan PC di sekolah. Semua bermula ketika saya masih berusia sangat muda, lalu mengembangkan minat di bidang komputer dan menjadi mahasiswa ilmu komputer angkatan pertama. Awalnya, saya belajar di Rotterdam kemudian pindah ke AS untuk mendalami hal-hal yang saya minati. Setelah itu, saya kembali ke Belanda.

Bagaimana kisah Anda sampai ke Indonesia? Apa yang membuat Anda bertahan di sini?

Saya pergi berlibur ke Indonesia. Saya menikmati bersantai di pantai, lalu  menemukan warnet dan mulai berdiskusi dengan orang-orang di sana. Itu adalah bagaimana saya mulai melakukan hal-hal digital di Indonesia. Menurut saya ini adalah tempat terbaik untuk produk digital.

Saya berasal dari Belanda, namun sudah lama di Indonesia. Yang saya tahu, untuk sukses, Anda membutuhkan audiens yang banyak. Di Eropa, hal ini menjadi sangat sulit karena setiap negara memiliki budayanya sendiri, membuatnya agak sulit untuk diukur. Di Indonesia, meskipun dengan banyak budaya yang berbeda, cara orang beraktivitas masih tetap sama. Itulah mengapa saya memulai perjalanan digital saya di Indonesia.

Dulu, saya akui memang sulit, internet sangat mahal, meskipun audiens banyak, tidak ada yang bisa online. Oleh karena itu, pada masa-masa awal, saya mulai mendirikan software house di Bali, membangun jalur untuk pasar Eropa, sebagai proyek sampingan. Itu menjadi asal muasal Tokobagus.

Jadi, Tokobagus sebelumnya adalah proyek sampingan, bagaimana kisah dibaliknya?

Sebenarnya ini cerita lucu yang telah berkali-kali saya sampaikan. Pekerjaan ini datang dari seorang klien di Belanda yang ingin mendirikan bisnis classified kemudian gagal dan menyalahkan kami karena menghabiskan banyak uang tanpa hasil yang signifikan. Dari kesulitan mendapatkan pengguna hingga akhirnya gagal sebelum bisa masuk ke pasar. Saya rasa kebanyakan orang lupa ketika memulai perusahaan digital, butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan traksi.

Dengan Tokobagus, memakan waktu selama 2005-2008 sampai kita mendapatkan traksi yang nyata, kira-kira sekitar 3 tahun. Saya pikir pelajaran terbesar di sini adalah Anda harus bersabar. Ketika perusahaan mulai tumbuh, banyak yang mulai berkolaborasi di pasar, mereka bergabung dengan perusahaan lain. Kami mengakuisisi Berniaga karena jelas bahwa kami berdua berjuang untuk posisi yang sama. Hal ini menjadi masuk akal, dan kami dapat memfokuskan energi dan sumber daya kami untuk mengembangkan produk dan melayani konsumen. Hal ini juga untuk membawa perdamaian ke pasar.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg bersama tim Tokobagus.com dalam acara Power Seller Community 2011

Tidak lama setelah Tokobagus, Anda memulai bisnis di ranah OTA. Bagaimana pengalaman Anda?

Ketika saya pergi, saya memiliki klausul non-kompetisi yang sangat ketat dengan Tokobagus, jadi saya tidak dapat melakukan apa pun dengan basis e-commerce. Setelah melakukan eksplorasi, satu-satunya hal yang dapat saya lakukan saat itu adalah OTA. Selama itu saya juga akhirnya resmi menjadi orang Indonesia untuk bisa tetap berkarya di pasar, keadaannya bahkan jadi jauh lebih baik. Ketika saya masih sebagai orang asing, berbisnis di Indonesia cukup menantang dengan segala keterbatasannya.

Bagi saya, industri perjalanan adalah pengalaman yang sangat luar biasa tetapi sangat sulit. Meskipun semakin digital, hal itu cenderung masih cukup konvensional dengan internet. Satu-satunya pengalaman saya di OTA hanyalah menjadi penonton di pinggir lapangan. Saya menghabiskan masa itu untuk membangun jaringan, mendapatkan konteks dengan produknya. Segera setelah limitasi saya berakhir, saya bisa kembali ke basis e-commerce. Meskipun saya menikmati perjalanannya, OTA menjadi pertempuran yang sangat sulit untuk dimenangkan, ada banyak pemain besar dengan pendanaan dan pengalaman lebih banyak. Oleh karena itu, tidak apa-apa untuk jatuh, bersiap untuk petualangan selanjutnya!

Akhirnya Anda kembali ke industri e-commerce. Bisa jelaskan secara singkat bagaimana prosesnya?

Kembali ke e-commerce, saya bekerja untuk korporat, membantu menyiapkan online channel untuk HP yang fokus pada pasar konsumen dan UKM di Indonesia. Dalam industri korporat, mereka melakukan banyak hal dengan sangat berbeda. Meskipun mereka memiliki produk yang luar biasa kuat, pergerakan digitalnya masih cukup lambat. Saya tidak terlalu lama di tempat ini, tapi saya belajar banyak hal. Pengalaman ini memberi saya wawasan tentang bagaimana bergerak di pasar dengan cara korporasi dan bagaimana eksekusi mereka berbeda dari startup digital lainnya. Setelah itu, saya diminta oleh seorang teman untuk membantu menyiapkan produk digital di Lippo.

Saya terjun ke Lippo sebenarnya untuk mendirikan bank digital, yang sekarang dikenal sebagai OVO. Karena kami banyak melakukan riset, selain itu saya juga membantu MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (e-procurement B2B No.1 di Indonesia), dan Red Carper Logistics (RCL – Perusahaan logistik yang mengkhususkan diri dalam pemenuhan last-mile). Namun, OVO menjadi kasus pertama saya di bidang fintech. Sangat menyenangkan, karena saya suka melakukan hal-hal baru. Kita belajar bagaimana melakukan core banking system, switch, dan bagaimana sistem pembayaran di Indonesia. Ini menjadi perjalanan yang luar biasa dalam mempelajari banyak hal dan memahami cara kerja perbankan dan bagaimana kami dapat melakukan disrupsi dalam hal itu.

Anda sempat menjajal industri e-commerce, OTA, lalu fintech. Apa yang sebenarnya menjadi passion Anda?

Passion saya adalah digital. Saya sangat senang saat ini digital telah menjadi cara kerja bisnis normal. Dengan begitu, Anda harus aktif di ranah digital untuk bisa bertahan. Kejadian ini sunguh cepat. Memang, hasrat awal saya adalah di e-commerce, dan sementara saya mencurahkan banyak waktu saya di sana, saya tetap menikmati melakukan hal lainnya.

Saya bahagia bersama Sprout digital, membantu orang membangun produknya, juga membangun bisnis perusahaan. Selama berada di Lippo atau Bizzy, saya memiliki banyak ide yang tidak dapat persetujuan atau pendanaan. Namun, sekarang saya bisa mengeksekusinya sendiri dan mengeluarkannya ke pasar serta siap melayani pasar Indonesia. Kapanpun ada ide muncul di benak saya dan saya punya waktu untuk mencoba mengerjakannya dan melihat apa yang terjadi, saya merasa diberkati.

Pada satu linimasa, Anda memiliki tanggung jawab di beberapa perusahaan secara paralel. Bagaimana Anda memastikan semua berjalan seiring?

Sangat penting untuk menaruh kepercayaan Anda pada orang yang tepat di sekitar Anda serta menjalin hubungan yang baik dengan semua orang yang bekerja dengan Anda. Dengan lapisan yang baik di sekitar Anda, segala hal bisa jadi lebih mudah, karena mereka dapat memberi Anda informasi yang Anda butuhkan untuk membuat keputusan. Di OVO kami belum memiliki lapisan itu, jadi semua orang melapor langsung kepada saya, dan sangat penting untuk mengenal semua orang.

Ketika Anda membangun koneksi, bukan berarti hanya di tingkat rekan kerja namun juga secara pribadi, oleh karena itu, Anda dapat memahami apa yang dialami orang lain. Saya pribadi tidak percaya semua orang bisa berfungsi 100% setiap saat. Selalu ada suka dan duka. Setiap orang memiliki masalah pribadi dan masalah pekerjaan. Jika Anda bisa memahaminya dan Anda bisa memberi ruang saat mereka membutuhkannya. Itu juga penting.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arnold Egg bersama Bizzy Korea

Ketika pertama kali datang ke Indonesia sebagai non-native, bagaimana impresi Anda terhadap negara ini? Adakah kesulitan untuk beradaptasi?

Tentu saja, itu membutuhkan waktu. Saya berasal dari Eropa yang pergerakan masyarakatnya tidak secepat saat saya tinggal di Bali. Di Jakarta, semakin hidup. Bagi saya, karena saya masih sangat muda ketika tiba di sini, saya dapat menyesuaikan diri dengan mudah, hanya mencoba untuk berbaur. Saya selayaknya bocah biasa yang kebetulan orang asing. Sesampainya di Indonesia, saya memutuskan ingin bekerja di sini, lalu saya pelajari bahasanya secepat mungkin. Meskipun bahasa Inggrisberfungsi dengan baik, karena orang-orang berbicara dalam bahasa Inggris di mana-mana, untuk tujuan tertentu, sangat penting untuk memahami penduduk setempat. Anda akan mendapatkan banyak informasi saat Anda berbicara dalam bahasa yang sama.

Anda telah membangun beberapa perusahaan, dengan segala ups and downs, apa yang membuat Anda percaya dengan pasar Indonesia?

Menurut saya, Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk digital. Cukup mengecewakan mengetahui beberapa investor global yang tidak pernah memasukkan Indonesia ke dalam peta. Ada begitu banyak pulau dan digital dapat membawa kesetaraan ke pasar. Masalah itu belum selesai sampai hari ini, saya sedang bekerja untuk digitalisasi rantai pasok logistik, mengerjakan beberapa proyek dengan petani untuk memastikan mereka yang berada di luar Jawa dapat tetap terlibat. Infrastruktur belum optimal dan banyak sekali proses yang masih belum efisien, negeri ini sangatlah luas. Digital akan jadi alat yang luar biasa untuk membuatnya lebih efisien dan menempatkan Indonesia pada posisi kompetitif di kawasan.

Di sekolah saya belajar banyak tentang Indonesia, ada banyak kontak di masa lalu saya. Setidaknya saya senang menyebut Indonesia sebagai rumah saya, untuk dapat mewujudkan impian saya, Indonesia adalah pasar terbaik untuk melakukannya. Tanah ini memiliki semua elemen untuk menjadi negara yang sangat kuat. Dengan semua perusahaan unicorn dan pemain besar, jika Anda membandingkan dengan pasar lain di kawasan ini. Ada banyak pemenang terlibat dalam kompetisi dan pasarnya sudah teredukasi. Saya sangat bersemangat mendengar hal itu.

Coba ceritakan tentang perusahaan Anda sekarang, Sprout Digital? Apa visi yang ingin Anda wujudkan?

Bagi saya, Sprout adalah sebuah yayasan. Ada beberapa tujuan yang ingin saya capai bersama Sprout, yaitu untuk menempatkan bakat baru ke pasar. Saya sangat senang melihat banyak orang yang sebelumnya di Tokobagus kini memiliki posisi yang baik di industri. Itu juga yang ingin saya lakukan di sini. Saya menaungi banyak anak muda yang baru memulai di industri digital. Saya ingin memberi mereka alat yang tepat untuk kemudian sukses di masa depan.

Dan tentu saja, Sprout memungkinkan saya membangun produk yang saya sukai. Kami baru saja meluncurkan Toco. Dari awal, cerita Tokobagus tidak pernah selesai. Melihat e-commerce semakin kurang bermanfaat bagi pemain kecil membuat saya berpikir bahwa inilah saatnya untuk melanjutkan bagian yang saya tinggalkan. Toco sekarang tidak jauh berbeda dengan Tokobagus di masa lalu, tetapi kami akan terus menambahkan fitur untuk memungkinkan pengguna membeli dan menjual dengan lebih nyaman tanpa menghilangkan keuntungan yang diperoleh dengan susah payah. Menjadikannya lebih transparan. Saat ini, bentuknya adalah C2C dan akan semakin banyak bergerak ke pasar campuran C2C dan B2C. Prosesnya tidak akan cepat tapi pasti.

Arnold Sebastian Egg

Di pikiranku selalu muncul hal-hal baru. Selain mendukung banyak perusahaan untuk sukses di ruang digital, Sprout memungkinkan saya untuk mengeluarkan ide-ide itu dari pikiran saya ke dalam produk yang dapat mulai digunakan orang.

Sungguh mengerikan apa yang terjadi pada dunia, sungguh menyakitkan melihat orang-orang menderita karena Covid, tidak hanya dalam dunia kesehatan tetapi juga dalam bisnis. Satu hal yang positif, yaitu hal ini mempercepat edukasi pasar. Saya pergi ke Lampung untuk proyek membantu petani. Saya melihat semua orang memiliki smartphone untuk pendidikan anak-anak mereka. Hal itu mempercepat seluruh proses digital, orang mulai memahami cara menggunakannya. Semua akan semakin mendekatkan jarak antara penduduk desa dan penduduk perkotaan. Transformasi digital membantu menyeimbangkan level dari liga permainan ini dan menggerakkan semua orang dalam fase yang sama.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg bersama tim Sprout-Toco

Di era digital seperti sekarang, bagaimana Anda menggambarkan industri teknologi di masa depan?

Saya senang melihat bagaimana orang-orang menyiapkan bisnis mereka sekarang. Indonesia sendiri sudah menjadi pasar yang menarik, kita tidak perlu terlalu banyak melihat ke dunia global sejak awal. Jika Anda ingin memulai sesuatu di Indonesia, jika Anda sukses, itu adalah pasar yang besar untuk dilayani. Bukannya saya tidak melihat Indonesia bisa bersaing di pasar global, saya kira ke depan mungkin bisa. Namun menurut saya, penting juga untuk mengambil langkah demi langkah. Jangan lakukan itu karena Anda ingin, namun jika ada demand, maka lakukan. Bagi saya, sukses di Indonesia itu sudah cukup, mendunia bukanlah tujuan terbesar saya.

Pertumbuhan organik itu fundamental. Anda dapat mempercepat tetapi Anda jangan sampai meledak dengan membeli pengguna. Itu tidak akan menyisakan apa pun untuk Anda. Saya mengaku kuno, hal itu membuat saya melawan arus. Bagi saya, ini semua tentang PnL (untung dan rugi). Apakah bisnis ini masuk akal? bisakah kamu menskalakannya? Jika Anda menskalakannya, apakah masih menghasilkan atau tidak? Saya membangun produk karena saya ingin melayani pelanggan. Saya memahami pelanggan, apa yang mereka butuhkan, dan masalahnya. Saya pikir itu juga alasan mengapa perusahaan Indonesia dapat bersaing dengan pemain global ketika mereka masuk. Amazon, eBay, Rakuten tidak memahami pengguna, kami memahami pelanggan kami. Itu adalah pengalaman yang membuka mata.

Namun dalam hal investasi, hal itu adalah sesuatu yang harus dipahami orang. Perusahaan membual tentang bagaimana mereka mengumpulkan lebih banyak uang sementara yang seharusnya mereka lakukan adalah fokus pada membangun perusahaan yang tepat. Penting untuk membuat iklim investasi sehat.

Sebagai seorang serial entrepreneur, apa yang bisa Anda sampaikan pada para penggiat teknologi dan digital di luar sana yang ingin berhasil dalam industri ini?

Anda perlu mencintai apa yang Anda lakukan, oleh karena itu, setiap perjuangan akan menjadi menyenangkan karena Anda menikmatinya. Tidak ada kisah sukses yang terjadi sejak hari pertama. Semua adalah tentang perjuangan, selalu ada pertarungan. Sangat sulit untuk sukses. Saya bilang seperti ini karena saya mengalaminya sendiri, setiap startup akan menyakitkan dan memiliki banyak rintangan. Saya memulai Tokobagus dengan domain saya sendiri, membangunnya dengan semua waktu yang saya punya. Kalau boleh saya katakan, bootstrap adalah cara yang baik untuk memulai bisnis.

Jangan jatuh cinta dengan produk Anda sendiri. Jika konsumen Anda mengatakan bahwa mereka tidak menyukainya, percayalah. Tidak apa-apa gagal, lebih baik gagal tapi cepat, daripada terlanjur malangkah jauh. Buat manuver, pivot, pahami apa yang diinginkan konsumen dan lakukan lagi. Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang benar-benar baru, bersiaplah untuk perjuangan berat karena Anda perlu edukasi pasar. Catatan untuk diri sendiri: Bekerja itu penting tetapi Anda perlu menyisihkan waktu untuk bersama keluarga dan orang yang Anda cintai. Penting untuk memiliki keseimbangan yang tepat dalam hidup.

Jika ada kesempatan, apakah Anda ingin kembali ke Belanda untuk memulai bisnis baru?

Tidak. Di Indonesia orang suka inovasi, orang suka mencoba hal baru. Setiap kali saya kembali ke kampung halaman, hal itu selalu membuat saya takut. Saya selalu melakukan hal yang sama persis dengan yang saya lakukan ketika di sana. Yang ingin saya katakan adalah, mereka jauh lebih lambat dalam berinovasi, hal itu akan sangat melelahkan bagi saya. Saya sangat diberkati karena saya pergi ke Asia. Saat ini saya berada di tengah episentrum. Asia adalah tempat inovasi atau pasar baru akan menuju masa depan. Saya percaya akan ada ups and downs. Adalah saat yang menyenangkan berada di sini. Mengapa kembali ke masa lalu?


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arnold Egg Passionately Speaks about the Future in Digital Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It has been over 20 years since Arnold Sebastian Egg, or familiarly known as Arno Egg, arrived in Indonesia. During that time, he has been trying to build a business in this country, working in and out of e-commerce, making its way to the travel industry, until he found his passion in digital.

The holiday is what brought Arno to Indonesia, but doing digital business is what makes him stay. He started quite young with Tokobagus, spending over three years until finally get real traction, deciding to merge, and eventually left to build his own digital venture. In 2013, he finally got rid of all the limitations and became an Indonesian citizen to stay close to the market.

Arno is a product guy, he builds products based on what consumer needs. However, he still suggests that it’s not really appropriate to fall in love with your product and to listen to the people. He had wiped up a sweat and tasted sweetness in building startup from scratch. Tokobagus was his first legacy. He is now focused on developing digital products through Sprout Digital, and recently launched a new platform named Toco. Also, for the past 6 months, he’s been involved as a Founding Partner in a Venture Builder called Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial had a chance to virtually met him and discussed the digital industry in this country, and he was really passionate about it. Let’s hear more of the story.

When did you start to grow an interest in the tech industry?

I was one of those kids who occupied the first and only PC at school. I started at a very young age, and developed an interest in the computer field, then become the first batch of computer science students. At first, I studied in Rotterdam then moved to the US to catch up with the stuff I’m trying to learn. After that, I went back to Holland.

How did you end up in Indonesia? What makes you stay?

I went on holiday to Indonesia. I did enjoy sitting on the beach, then I find my way to the warnet and started talking to people over there. That’s how I started doing digital stuff in Indonesia. It is the best place for digital products in my opinion.

I’m from Holland, originally, already in Indonesia for a long time. What I know is in order to be successful, you need a big audience. In Europe, it’s very difficult because every country has its own different culture, which makes it a bit difficult to scale. In Indonesia, whether there are many different cultures, the way people do stuff is still the same. That’s why I started my digital journey in Indonesia.

Back then, it was difficult indeed, the internet was very expensive, even if there’s a big audience, nobody was able to go online. Therefore, in the early days, I started to set up a software house in Bali, building stuff for the European market, as a side project. It was the origin of Tokobagus.

So, Tokobagus used to be a side project, what’s the story behind that?

It was a funny story I told many times. It was from a client in Holland want to set up a classified business and then failed and blamed us for spending a lot of money without significant results. It was quite difficult to acquire users and finally run out before it was able to go into the market. I think most people forget that if you start a digital company, it takes quite a long time to get traction.

For Tokobagus, it was between 2005-2008 until we get real traction, around 3 years. I think what was the biggest lesson here, is you have to be patient. As the company grows, people have been doing stuff together in the current market, they merge with other companies. We acquired Berniaga because it’s clear that we both are fighting for the same spot. It just makes sense, and we can focus our energy and sources to develop the product and serve the consumers. It was also to bring peace to the market.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011

Not long after Tokobagus, you’ve started a new venture in the travel industry. How was it?

When I left, I had a very tight non-compete clause with Tokobagus, so I wasn’t able to do anything in the e-commerce base. After some research, the only thing I can do at the time was OTA. During that time I was also able to become Indonesian and keep close to the market, the situation is even better for me. When I was a foreigner, doing business in Indonesia is quite a challenge with all the limitations.

The travel industry was a very amazing journey but very difficult for me. Even though it’s getting more digital, it’s still quite a conventional internet way. My only experience in OTA was being on the side of the table. I spent those days setting up a network, getting context with the stuff. As soon as my limitation expired, I was able to get back into the e-commerce base. Even though I enjoy the journey, it was a very difficult battle to win, there were lots of big players with good funds and have been in the game for much longer. Also better companies with experience, therefore, it’s ok to fall, next!

Next, you did come back to the e-commerce industry. Can you share the journey?

Went back to e-commerce, I managed to work for the corporate, I was extra help for setting up the online channel for HP which focusses on the consumer and SMB market in Indonesia. In corporate industry, they do things totally differently. Even though they have amazingly strong products, it’s still quite slow in the digital pace. It wasn’t that very long journey, but I learned many things. It gave me insights on how to move on the market in corporate’s ways and how they execute differently than other digital startups. After that, I got asked by a friend to help out to set up the digital product in Lippo.

I jumped to Lippo mainly to set up a digital bank, which is now known as OVO. Because we were doing a lot of research, in the meantime, I also helped with MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (No.1 B2B e-procurement in Indonesia), and Red Carper Logistics (RCL – Logistics company specialized in last-mile fulfillment). However, OVO was my first deployment in the fintech space. Which is fun, because I like to do new things. We need to learn how to do the core banking system, switches, and how payments are done in Indonesia. It’s a great journey to learn so many and understand how normal banking works and how we can disrupt in that sense.

You’ve been into the e-commerce, travel industry, also fintech. What is your actual passion?

My passion is digital. I’m super happy that these days digital is just how normal business works. In that way, you need to be active in the digital space to be able to survive. It’s happening at a very fast pace. Indeed, my initial passion is in e-commerce, and while I manifest my time there, I still enjoy doing a lot of other stuff.

I’m happy with Sprout digital, helping people to set up new products, also do corporate venture building. During my time in Lippo or Bizzy, I had a lot of ideas that I was unable to get approval for or funding for. However, I can now execute that on my own and get that out into the market and ready to serve the Indonesian market. Whenever things pop out in my mind and I have time and work to try out and see what happens. I feel blessed.

At a certain period, you have to work and maintain several companies in parallel. How could you manage?

It’s very important to put your trust in the right people around you and good connection with all the people you work with. If you have a good layer around you then, it can make it easier, because they can fetch you the information you need to make decisions. In OVO we didn’t have that layer yet, so everybody reported directly to me, and it’s important to know everybody.

When you build connections, it’s not only at the working level but also on the private level, therefore, you can understand what people go through. I personally don’t believe everybody can function 100% all the time. There are always ups and downs. Everybody has personal issues and work issues. If you’re able to have a sense for that and you give people space when they need space. That’s important as well.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arno Egg with Bizzy Korea

When you first come to Indonesia as a non-native, what was your impression of this country? Do you find it difficult to adjust?

Of course, that takes some time. I came from Europe and the pace is not as fast as when I live in Bali. In Jakarta, it’s getting more alive. For me, as I was quite young when I arrived, I was able to adjust easily, just try to mix in. I was the same kid as every foreigner. Arrived in Indonesia, I want to work here, so learn the language as fast as I can. Although English is fine, because people speak in English everywhere, when it comes to specific purposes, it’s really important to understand the locals. You’ll get a lot of information when you talk in the same language.

You’ve set up several companies, what makes you believe in the Indonesian market?

I think Indonesia is the perfect market for digital. It was quite a disappointment for some global investors that never put Indonesia on the map. There are so many islands and digital can bring equality to the market. It’s not done yet until this very day, I was working to digitize the supply chain for logistics, working on some projects with farmers to make sure those outside of Java can stay in the playing field. Infrastructure is not optimized yet and there are so many processes that are still inefficient, it’s such a broad country. Digital is an amazing tool to make it more efficient and put Indonesia in a competitive position in the region.

In school I learned a lot about Indonesia, there are lots of touchpoints in my past. I’m happy to call Indonesia my home at least, to be able to live my dream, Indonesia is the best market to do so. It has all the ingredients to be a very strong country. With all the unicorns and big players, if you compare to the other market in the region. There were lots of winners in the competition and the market is already educated. I’m so energized by knowing that.

Tell me about your current venture, Sprout Digital. What is your vision?

For me, Sprout is a foundation. I have a few objectives with Sprout, it’s to place new talents into the market. I’m so happy to see many people who previously in Tokobagus are currently having good positions in the market. That’s something I want to do here as well. I have a lot of young people, who only started in the digital industry. I want to give them the right tools to make it successful in the future.

And of course, Sprout enables me to set up those products which I like to have myself. We’ve just launched Toco. From the beginning, the Tokobagus story was never finished. Seeing e-commerce getting less and less worthwhile for smaller players made me think that it was time to pick up where I left off. Toco is now the same as Tokobagus in the past, but we will continue adding features to enable users to buy and sell more conveniently without taking away their hard-earned profit. Making it more transparent. At the moment it is a C2C and that will move more and more to a mixed marketplace where you have C2C and B2C mixed. The process will be slow but sure.

Arnold Sebastian Egg

My mind always thinking about new things. Besides supporting a lot of companies to succeed in the digital space, Sprout enables me to be able to get those ideas out of my mind into products which people can start using.

It’s terrible what happened to the world, really painful to see people suffering because of Covid, not only in health but also in business. But there’s only one thing that’s positive, to speed up the education of the market. I went to Lampung for a project to help farmers. I saw everybody have smartphones for their children’s education. And that speeds up the whole digital process, people start to understand how to use it. It’ll move the distance closer between villagers and the urban population. Digital transformation is helping balance the level out of this playing field and moving everybody under the same phase.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg with Sprout and Toco team

In this digital era, how do you picture our tech industry will be in the future?

I’m happy to see how people are now setting up their businesses. Indonesia on its own is already an interesting market, we don’t have to look very much into the global from the beginning. If you want to start something in Indonesia, if you’re successful it’s a big market to serve. Not that I don’t see Indonesia can compete in the global market, I think in the future we might be able to. But I think it’s also important to take it a step at a time. Don’t do it because you want to, if there’s a demand for it, please do. For me, It’s good enough to be successful in Indonesia, going global is never really my biggest objective.

Organic growth is fundamental. You can speed up things a little but you should not implode buying all your users. It’ll leave you with nothing. I admit to being old-fashioned, it makes me against the odds. For me, it’s all about PnL (profit and loss). Does this business make sense? can you scale it? If you scale it, does it still make money or not? I was doing products because I want to serve customers. I understand the customers, what they need, and the problems. I think that’s also why Indonesian companies can compete with the global players as they arrived. Amazon, eBay, Rakuten don’t understand the users as we were understanding our customers. It was an eye-opener experience.

However when it comes to investment, it’s something that people should understand. Companies are bragging about how they raise more money while what they should really do is to focus on building the proper company. It’s important to make the investment climate healthy.

You’ve started several companies, anything you want to say to those tech/digital enthusiasts trying to make it into this industry?

You need to love what you’re doing, therefore, every struggle would be fine because you enjoyed it. There’s no success story that happened from day one. It’s always a struggle, it’s always a fight. It’s very difficult to be successful. I’m saying because I experience it myself, every startup will be painful and have a lot of work. I started Tokobagus with my own domain, build it with a lot of my time. If I may say, bootstrap is a good way to start a business.

Don’t fall in love with your own product. If your consumers said they don’t like that, believe them. It’s ok to fail, it’s better to fail fast, than in the long term. Create a maneuver, pivot, understand what the consumer wants and do it again. If you want to do something totally new, be ready for an uphill battle because you need to educate the market. Note to self: Working is important but you need to find time to spend with your family and loved ones. It’s important to have the proper balance in life.

If you had the chance, would you go back to Holland and start a new venture?

Nah. In Indonesia, people like innovations, people like to try out new things. Every time I go back, it always scares me. I always do the exact same thing I’ve been doing. What I want to say is, they’re much slower in innovations, it’ll be very tiresome for me. I’m super blessed that I went to Asia. I’m now in the middle of the epicenter. Asia is where the innovation or new market is going to be for the perceivable future. I believe in things will go up and down. It’s a fun time to be here. Why go back to the past?

Grup Lippo Luncurkan Platform E-Commerce Korporasi Mbiz

Grup Lippo kembali memperluas segmen bisnis digitalnya secara agresif. Hari ini (22/3) Grup Lippo mengumumkan kehadiran layanan e-commerce Business to Business (B2B) dan Business to Government (B2G) bernama Mbiz di Jakarta. Mbiz sendiri saat ini masih dalam tahap beta meski sudah bisa diakses oleh publik.

Mbiz didirikan Grup Lippo sebagai solusi proses pengadaan barang secara online bagi perusahaan dan instansi pemerintah dengan layanan yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan masing-masing.

Mbiz adalah layanan berbasis e-commerce kedua dari Grup Lippo yang sebelumnya telah meluncurkan layanan e-commerce B2C MatahariMall pada September 2015 silam. Pun begitu, jumlah investasi yang dikeluarkan Grup Lippo untuk Mbiz tidak diungkapkan.

CEO Lippo Digital Group Adrian Suherman mengatakan, “Sejak kuartal tiga 2015, Mbiz telah mulai memberikan layanan untuk unit bisnis Lippo. Dengan inisiatif ini, Lippo turut membangun ekosistem digital di mana para mitra tidak hanya menjual ke konsumen ritel tetapi juga perusahaan dan instansi pemerintah.”

Operasional Mbiz sendiri saat ini dipimpin oleh dua orang co-founder, yakni Ryn Hermawan dan Andrew Mawikere. Sementara itu Adrian Suherman dan Arnold Sebastian Egg berperan sebagai Supervisory Board Mbiz.

Sebelum bergabung dengan Mbiz, Ryn sendiri telah mengecap pengalaman berkecimpung di industri digital bersama DHL Express Indonesia dan FedEx. Sedangkan Andrew memiliki latar belakang karier di finansial bersama J.P Morgan.

Andrew menyebutkan bahwa saat ini dalam platform Mbiz sudah tersedia sepuluh kategori, di antaranya adalah IT, peralatan tulis, peralatan industri, hingga groceries.

Sehubungan dengan kondisi Mbiz yang masih berada dalam tahap beta, untuk tahun 2016 ini fokus Mbiz adalah pengembangan sistem dan juga menambah jumlah produk dan kategori yang disediakan. Selain itu, Mbiz juga dalam proses penjajakan sebagai vendor untuk proyek e-katalog pemerintah Indonesia untuk institusi pemerintah.

“Kami memberikan kemudahan [untuk perusahaan dan pemerintah] di antaranya, transaksi dapat dilakukan kapan dan di mana saja, digital approval melalu email [untuk supervisor], e-invoice dan faktur pajak elektronik yang keseluruhan transaksinya tersimpan di web untuk audit dan keperluan lainnya. Kami berharap […] dapat membangun proses procurement yang transparan, nyaman, serta bisnis yang berkelaanjutan dengan berbagai pihak,” tutup Ryn.