Hari pertama perhelatan Bekraf Game Prime (BGP) 2018 banyak diisi workshop yang menghadirkan panelis dari industri game lokal. Sesuai dengan tema kegiatan BGP kali ini, yaitu mempromosikan pengembang game lokal secara global, para pembicara yang dihadirkan banyak mengupas kiat sukses dan suka duka selama menjadi pengembang game atau bekerja di perusahaan game asing.
Pentingnya membangun jaringan
Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah CEO Agate Studio Arief Widhiyasa yang telah sukses mengembangkan bisnisnya untuk kalangan B2B dan B2C. Kepada pengunjung yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa hingga pengembang game, Arief menceritakan cara terbaik untuk membangun relasi hingga jaringan dengan sesama pelaku di industri game.
“Kegiatan seperti BGP memang ideal untuk berkenalan dengan sesama pengembang game, namun idealnya fokus kepada kualitas perkenalan daripada kuantitas. Bina hubungan baik dengan jumlah kecil orang yang tepat dibandingkan dengan jumlah yang banyak.”
Meskipun jumlah pengembang game Indonesia yang sukses belum terlalu banyak, menurut Arief industri game memiliki jaringan yang cukup “friendly” dibandingkan dengan industri e-commerce atau lainnya. Masih banyak senior dan pakar yang bersedia berbagi pengalaman, informasi, dan kiat sukses menjalankan bisnis di industri game.
“Temukan senior atau pakar yang sesuai dengan minat saat mulai mengembangkan game. Dari situlah biasanya informasi soal manajemen hingga teknis bakal banyak didapatkan,” kata Arief.
Sementara itu, menurut CEO Arsanesia Adam Ardisasmita, selain kegiatan seperti konferensi, ekshibisi, dan gelaran seperti BGP, kesempatan bertemu secara “one-on-one” dengan pihak yang relevan dalam bisnis game, juga sebaiknya dilakukan. Perkenalkan proyek yang sedang dikerjakan dan bina hubungan baik usai pertemuan berlangsung.
“Dari accidental meetup tersebut, jika di-follow up segera, bisa menjadikan peluang bisnis yang baik untuk Anda pengembang game,” kata Adam.
Game studio asal Bandung ini fokus mengembangkan game kasual di platform mobile. Salah satu game yang cukup sukses mendulang ratusan ribu unduhan adalah Roly Poly Penguin. Pada tahun 2015, Arsanesia mulai masuk ke dunia edukasi melalui unit bisnis yang bernama Arsa Kids.
Tingkatkan kualitas keahlian
Selain persoalan networking, turut dihadirkan juga narasumber yang bekerja di perusahaan game mancanegara. Mereka adalah Elizabeth Galuh dari Streamline Studio dan Ian Purnomo dari Sony Interactive Entertainment.
Sebagai salah satu Project Manager di Streamline Studio, Elizabeth mengajak lebih banyak mahasiswa dan pengembang lokal untuk menguasai keahlian yang diminati. Apakah itu sebagai seorang 3D Artist atau programmer, pastikan pengetahuan hingga wawasan dikuasai sebelum bekerja di perusahaan asing.
“Intinya perusahaan game asing tersebut ingin keahlian yang kita miliki bisa diterapkan sesuai dengan pekerjaan yang ditempati. Untuk itu asah terus keahlian dan pelajari benar engine yang bakal digunakan nantinya,” kata Elizabeth.
Selama bekerja di Streamline Studio, Elizabeth membawahi anggota tim yang bertanggung jawab menyelesaikan sebuah proyek. Kontribusi masing-masing anggota tim akan mempengaruhi hasil akhir proyek tersebut.
Sementara itu, bagi Ian Purnomo yang memegang posisi Public Relation dan Developer Relation di Sony, fokus kegiatan pemasaran wajib dilakukan saat game bakal diluncurkan. Bukan hanya informasi, kegiatan ini juga sarat dengan aktivasi online dan offline.
“Untuk bisa menambah wawasan yang ada, jangan sungkan untuk memainkan dan mencoba berbagai game. Seperti saat ini yang tengah populer adalah Mobile Legends. Cari tahu keistimewaannya dan bagaimana game tersebut bisa memberikan inspirasi terhadap proyek yang saat ini tengah dikembangkan,” ungkap Ian.
– Disclosure: DailySocial adalah media partner Bekraf Game Prime 2018
Seperti yang terungkap dalam tulisan sebelumnya, bisnis game cenderung dekat dengan konsep gambling. Ada faktor X yang menjadi penentu sukses atau tidaknya suatu produk. Modelnya sama seperti saat membuat film dan lagu. Agar semakin paham dengan industri game, coba simak prinsip dasar bagaimana perusahaan game melakukan monetisasi.
Ambil contoh terdekat mobile game kekinian seperti Mobile Legends yang sedang digandrungi Gamal dan orang Indonesia lainnya. Game ini memanfaatkan in-app purchase untuk monetisasinya. Caranya dengan membuat item dan fitur dalam setiap hero yang disematkan. Sistem pembayarannya menggunakan diamond atau poin yang dikumpulkan setiap kali bermain.
Harganya bervariasi, untuk memperoleh 250 diamond perlu merogoh kocek Rp75 ribu, 500 diamond Rp149 ribu, hingga yang termahal 5 ribu diamond senilai Rp1,49 juta. Lewat cara ini, perusahaan game mendapat keuntungan sesuai dengan kesepakatan porsi yang sudah disetujui dengan Android/iOS. Kisarannya untuk perusahaan game sebesar 70% dan untuk Google 30% bila memakai platform Android.
Ada cara lain mendapatkan keuntungan bila memasarkan produk lewat mobile, yakni iklan. Salah satu platform yang menyediakan layanan ini adalah Admob dari Google. Rumus kasar yang bisa diterima perusahaan lewat iklan adalah Daily Active User (DAU) x Session x Harga Iklan / 1.000.
DAU adalah berapa banyak orang yang memainkan/membuka aplikasi dalam sehari. Session itu berapa kali pemain membuka aplikasi dalam sehari. Sedangkan harga iklan adalah biaya yang dibayarkan dari aktivitas iklan di aplikasi.
Cara monetisasi terakhir dari mobile game adalah membuat game berbayar. Sekali membayar, pengguna dapat mengunduh aplikasi secara eksklusif.
Sumber pendapatan lain bagi perusahaan game adalah memproduksi game premium untuk PC dan konsol. Untuk game PC bisa dijual lewat platform Steam. Sedangkan konsol bisa dijual secara digital atau fisik lewat prinsipal masing-masing, yakni Nintendo, Xbox, dan PlayStation.
Cara monetisasi di atas hanya berlaku ketika perusahaan menjual produk game buatan mereka sendiri, atau lebih mudah disebut dengan business to consumer (B2C). Perusahaan sebenarnya juga bisa mengambil proyek lepas untuk klien (B2B), ini disebut advergame.
Terakhir, perusahaan juga bisa menjual merchandise karakter game yang mereka buat. Cara ini bisa dilakukan jika karakter game sudah kuat dan berbekas di benak pengguna. Ambil contoh termudah adalah karakter Angry Birds. Merchandise karakter ini beragam mulai dari t-shirt, gelas, mug, gantungan kunci, topi, hingga pakaian untuk pria maupun wanita.
Meski industri game kurang mendapat bantuan pendanaan dari pemodal lokal, bagi orang-orang sudah sedari awal punya passion kuat dengan bisnis ini, halangan apapun akan ditebas, termasuk soal pemodalan.
Dari tiga perusahaan game yang ditemui penulis, ketiganya memang pada akhirnya mendapat investasi dari modal ventura supaya bisa melakukan ekspansi bisnis. Meskipun demikian, semua pendiri punya pengalaman sama ketika mengawali bisnisnya. Yaitu, merogoh kocek sendiri saat awal bisnis berdiri.
Para pendiri ini enggan memberi tahu penulis tentang detail pendapatan yang mereka peroleh dengan berbagai alasan, namun mereka bersedia menceritakan perjalanan merintis bisnis hingga seperti sekarang.
Toge Productions
Toge Productions adalah perusahaan game indie yang didirikan Kris Antoni bersama seorang temannya pada 2009. Keduanya tertarik terjun ke industri ini karena sempat mengambil waktu senggang di luar jam kantor ikut kompetisi game.
Sejak itu, mereka sadar bahwa industri game ini ada pasarnya. Kebetulan jenis game yang tenar pada saat itu adalah game flash. Model bisnisnya, kreator menawarkan produknya ke situs marketplace khusus game Flash untuk dilelang (bidding) dan masuk sebagai koleksi konten.
Ketika pemilik marketplace tertarik, artinya game tersebut laku terjual dengan harga bidding. Konsep setiap marketplace berbeda-beda, ada yang diperuntukkan untuk konten eksklusif, ada yang tidak. Nama-namanya seperti Flash Game License dan Kongregate.
Game Flash pertama yang dibuat Toge adalah Days 2 Die di 2009, terjual dengan harga US$3 ribu (kurs dollar Rp10 ribu) dan proses pengerjaan selama tiga bulan. Perolehan ini tentu membawa untung bagi mereka berdua, sebab modal awal yang dialokasikan untuk Days 2 Die sekitar Rp20 juta. Itu berasal dari masing-masing sisa tabungan.
Kemudian, Toge mulai menyeriusi bisnis game dengan rajin membuat game berbasis Flash. Seluruh hasil penjualannya, kembali diputar untuk produksi game baru yang lebih ambisius. Untungnya, game berikutnya dari Toge memiliki nilai jual lebih besar, sehingga menghasilkan profit sekitar Rp1 juta-Rp2juta. Di tahun kedua, Toge sudah bisa merekrut orang baru.
“Modalnya hanya dari tabungan untuk hidup dan laptop masing-masing yang sudah punya. Kita selalu usaha untuk selalu irit, bahkan pernah makan indomie saja selama tiga bulan,” terang Kris.
Penjualan utama Toge adalah produk B2C, membuat game premium khusus untuk PC dan konsol. Sasaran pengguna Toge adalah internasional, bukan lokal. Dengan cara itu, menurut Kris, justru perusahaan bisa lebih sustain karena bisnis game premium lebih jelas dan tidak serumit mobile game.
Toge sempat mengambil bisnis advergame untuk B2B. Namun terpaksa dihentikan karena penghasilan yang didapat kurang sesuai dengan jerih payah.
Agar Toge tetap bertahan, perusahaan berusaha untuk menekan beban ongkos operasional dengan meminimalkan jumlah karyawan. Makanya kualitas karyawan yang dicari Toge adalah multi skill. Mereka bisa bantu untuk musik, desain, art, dan lainnya.
“Kita selalu berusaha setiap merekrut orang harus kalkulasi gajinya, apakah make sense dengan budget yang ada. Apakah bisa di-cover dengan tenaga yang kita punya sekarang. Kalau ternyata [budget] enggak cukup, ya lakukan sendiri. Jika memang benar-benar butuh baru hire orang.”
Dengan memutar keuntungan saat merintis Toge, Kris mengaku tidak pernah memiliki rencana untuk mengambil pinjaman dari pihak manapun. Entah itu bank ataupun ke orang tua sendiri. Sebab, hal ini sama saja menambah risiko.
“Jujur saja, kami rada anti dengan minjem ke bank karena itu nambah risiko. Kami lebih suka manage dari apa yang kita punya. Jangan sampai ada kondisi terpaksa pinjam. Syukurnya itu belum pernah terjadi di Toge.”
Kris pun menggambarkan struktur keuangan yang dimiliki Toge dengan proses produksi game. Setiap Toge ingin membuat proyek baru, pihaknya membuat estimasi berapa lama proses pembuatannya. Misal estimasi yang dibuat adalah 6 bulan, maka Toge harus menyiapkan gaji karyawan dan biaya operasional kantor sesuai rentang waktu tersebut.
Karena ada faktor X, kemungkinan proyek bisa molor maka perlu ada buffer. Toge mengalikan estimasi awal hingga dua kali lipat, sehingga dapat estimasi akhir satu tahun proyek game harus selesai. Selama setahun, sedari awal Toge sudah memastikan budget-nya telah siap.
“Kita selalu coba untuk tetap slim dan small. Semakin banyak orang belum tentu buat proyek cepat selesai. Malah bisa buat biaya makin besar. Banyak yang enggak sadar, di industri kreatif itu mindset-nya jangan kayak buat pabrik. Bukan berarti ada dua orang bisa buat puisi lebih cepat.”
Proses pengerjaan game, dimulai dari pemilihan tema. Toge selalu berusaha untuk menghindari tren dan mengambil dari sisi lain. Toge jarang sekali melakukan riset pasar untuk mencari tahu kemauan pasar seperti apa.
Ambil contoh untuk game Infectonator. Membawa karakter zombie lantaran alasan pribadi Kris yang penyuka makhluk tersebut. Permainan ini mengandaikan diri Anda sendiri sebagai penyebar wabah untuk menyerang seluruh manusia. Tujuan akhirnya semua manusia musnah dan menjadi zombie.
Cara memainkannya, Anda hanya cukup tap layar smartphone dan melakukan beberapa upgrade untuk pasukan zombie. Game ini pertama kali rilis sebagai game Flash, lalu di-port ke mobile game pada 2012. Untuk proses pembuatannya sendiri dimulai pada 2011.
“Infectonator itu game paling populer di Toge. Itu game yang benar-benar di luar tren dan genre manapun. Kebetulan iseng mau buat game yang simpel, gak perlu mikir. Lalu dapat inspirasi saat main salah satu game flash, cara mainnya reaksi berantai, tapi itu bom. Itu lucu sih, akhirnya kita brainstorming untuk mengembangkan lebih lanjut.”
Saat membuat Infectonator, belum ada tambahan karyawan selain Kris dan Jonathan. Awalnya membuat minimum viable product (MVP) berisi inti dasar game sebelum ditambah fitur lainnya sehingga menjadi versi penuh. Berangkat dari MVP, Toge ingin melihat respon pasar apakah orang suka dan bagaimana masukannya.
Setelah berhasil membuktikan banyak pengguna yang memberi masukan, Toge mulai menambah fitur-fitur tambahan yang terbagi menjadi beberapa milestone. Setiap milestone membutuhkan waktu pengerjaan sekitar 2-3 bulan.
Dengan pembagian milestone ini, Toge mau membuktikan apakah fitur yang satu per satu ditambahkan ini bisa diterima pengguna atau tidak. Bila tidak, Toge bisa mengatasi risikonya sedini mungkin. Intinya, proses pengerjaan game tidak boleh melebihi budget yang sudah ditentukan sejak awal proyek dimulai.
Untungnya karena dipecah-pecah menjadi milestone, Toge punya kesempatan untuk men-spin off menjadi game tersendiri. “Berkat ada milestone, menjadikan rate of failure kami tidak tinggi. Dari semua proyek, yang fail atau enggak kelar sekitar 30% dari total produk. Untungnya begitu.”
Kris mengklaim Infectonator masih menjadi produk game terbesar yang memberikan pendapatan ke perusahaan, meski sudah lama dirilis. Meski tidak disebutkan pendapatan terkini dari game tersebut, namun dia menggambarkan pada tahun pertama dirilis pendapatan kotornya mencapai Rp2 miliar. Angka tersebut berasal dari in-app purchase dan pembelian aplikasi di iOS. Adapun jumlah unduhan Infectonator itu sendiri di Google Play telah mencapai 5 juta kali.
“Dengan perbanyak produk berkualitas, kita ingin produk punya tale yang panjang dan terus make money, seperti Infectonator itu. Satu game bisa terus make money sampai lima tahun kemudian, lalu diakumulasi dengan game lainnya itu akan cukup menghidupi Toge. Dari segi effort, maintenance-nya tidak tinggi karena kami perlakukan game sebagai produk, bukan servis.”
Untuk menambah sumber pendapatan, kini Toge menambah divisi bisnis baru yakni publisher game mulai pertengahan tahun ini pasca DNC masuk sebagai investor. Ada tujuh game dari perusahaan game lokal yang menjadi mitra Toge, beberapa di antaranya Ultra Space Battle Brawl (Mojiken Studio), My Lovely Daughter (GameChanger Studio), Hellbreaker (Tahoe Games), dan MagiCat (Kucing Rembes).
Untuk model bisnis sebagai Toge Publisher, perusahaan memberikan bantuan pendanaan sebesar 50% dari total budget perusahaan game. Kemudian Toge akan membantu pemasaran dan konsultasi. Pembagian komisi antara Toge dengan perusahaan game adalah 30-70 atau 50-50 tergantung kesepakatan.
Secara total, Toge telah memproduksi sekitar 30 game. 20 di antaranya adalah game Flash, dan sisanya adalah game premium untuk PC dan konsol. Sebagian game juga tersedia versi mobile yang dipublikasi lewat pihak ketiga. Mobile game yang hadir dalam versi aplikasi di antaranya Infectonator Hot Chase dan Infectonator.
Arsanesia
Beda perusahaan beda strategi. Perusahaan game asal Bandung Arsanesia sempat menawarkan bisnis servis B2B untuk mendapatkan arus kas. Arsanesia didirikan oleh Adam Ardisasmita beserta tiga kawannya pada April 2011.
Arsanesia mulanya berdiri karena kampus Adam, Institut Teknologi Bandung (ITB), menggelar kompetisi bekerja sama dengan Nokia. Ketika itu perlombaan membuat mobile game dengan sistem operasi Symbian di 2010. Adam pun tertarik. Sepuluh ide terbaik mendapat hadiah sebesar US$4 ribu dan tim Adam terpilih jadi salah satu pemenang.
Aplikasi yang dia buat adalah Gamelan Player, game simulator alat musik tradisional Gamelan asal Sunda dikemas dalam bentuk digital untuk ponsel Nokia. Aplikasi tersebut kemudian dibawa ke Singapura untuk menjadi showcase. Responnya terlihat dari awal peluncuran. Sekitar 80% unduhan berasal dari luar negeri dengan total perolehan 200 ribu unduhan.
Setahun berikutnya, Arsanesia kembali melanjutkan kolaborasi dengan Nokia dengan meluncurkan mobile game Temple Rush: Prambanan. Temanya masih membawa budaya lokal, kebetulan pada saat itu marak terjadinya klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Adam dan tim pun mulai berkomitmen untuk menyeriusi dunia kewirausahaan di industri game dengan membentuk badan hukum di 2013.
“Saya termasuk salah satu kelompok yang mendapat stimulus awal dari Nokia untuk terjun di dunia game. Mereka kasih stimulus dengan mengeluarkan jutaan Euro untuk developer game lokal [meng]-upgrade pengetahuan, dapat bantuan dana, dan exposure-nya,” kata Adam.
Menurut Adam, apa yang dilakukan dari Nokia pada waktu itu merupakan stimulus terbesar yang membuat perusahaan game lokal tetap bisa bertahan hingga kini. Setelah Nokia diberitakan diakuisisi Microsoft, banyak studio game berguguran karena mereka tidak mempersiapkan rencana bisnis yang matang. Seolah-olah, dukungan yang tadinya melimpah tiba-tiba hilang begitu saja.
Syukurnya Arsanesia sudah mempersiapkan diri dengan terjun sebagai perusahaan yang menyediakan jasa servis untuk korporat (B2B), semenjak rutin berkolaborasi dengan Nokia. Dengan bekal pengalaman tersebut, Arsanesia menawarkan servis advergame ke korporat sejak 2011 hingga 2014 untuk tetap menghidupi perusahaan.
Saat fokus ke B2B, Adam sempat mengajukan kredit ke bank. Proposalnya hampir disetujui bank. Arsanesia menggunakan invoice dari klien sebagai agunan. Namun akhirnya memutuskan untuk tidak jadi mengambil. Pertimbangannya karena kebutuhan dana selain diarahkan untuk menyelesaikan permintaan klien juga ada keinginan pengembangan produk B2C.
“Kami percaya masih perlu tambahan ilmu dan dari B2B itu salah satu solusinya. Jadi win win, kita bisa belajar sekaligus dibayar.”
Biaya yang digunakan untuk membuat Roly Poly sebesar Rp250 juta dengan rentang waktu pembuatan selama satu tahun. Seluruh anggaran tersebut habis untuk membayar gaji karyawan sekitar 8 orang terdiri atas animator, artist, programmer, game designer, magang, serta memakai jasa sound effect game dari pihak ketiga.
Sedangkan untuk ongkos pemasaran lebih banyak memakai strategi organik dengan memanfaatkan media sosial dan cross promotion dengan pengembang game lainnya. Tak hanya itu, strategi pemasaran Arsanesia lebih diarahkan meningkatkan visibilitas produk dalam Google Play, misalnya muncul dalam Features dan Editors Choice.
Cara tersebut dinilai lebih efektif, murah, dan Arsanesia bisa mendapatkan user yang lebih berkualitas karena potensi untuk meng-uninstall (churn rate) rendah.
“Dari hasil perolehan di B2B, kami tabung profit sedikit demi sedikit untuk modal mengembangkan produk B2C. Ternyata Roly Poly Penguin enggak hit, setelah sekian lama kami tidak buat produk. Akhirnya agar perusahaan tetap berjalan, kami terpaksa jalanin B2B lagi.”
Kemudian di 2016, Arsanesia bertemu dengan mitra yang tertarik dengan mobile game dan peduli dengan edukasi anak. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membentuk unit usaha baru, Arsa Kids. Ada tujuh produk dari Arsa Kids yang sudah dirilis, seperti Pippo Belajar Alfabet, Pippo Belajar Bentuk, Pippo Belajar Rasi Bintang, dan Pippo Belajar Binatang.
Di saat yang sama, Arsanesia berhenti melayani bisnis B2B dan fokus mengembangkan Arsa Kids. Untuk monetisasinya, seluruh mobile game yang dibuat Arsanesia menggunakan in-app purchase. Agar Arsanesia dapat terus mengembangkan produk B2C, sejak pertengahan tahun ini perusahaan mendapat investasi tahap awal dari DNC dengan nominal dirahasiakan. Arsanesia akan menggunakan dana tersebut untuk menemukan produk B2C yang tepat dan bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.
“Sebelum DNC masuk, lebih dari 90% [revenue] dari B2B. Kami sekarang sudah tidak lakukan B2B sama sekali, makanya unit B2C harus perform banget. Ini yang menantang karena ibarat kata B2C adalah nature dari perusahaan game.”
Agate Studio
Hampir mirip dengan perjalanan Arsanesia, Agate Studio, perusahaan game yang sama-sama berasal dari Bandung, juga harus menempuh jalur B2B sejak pertama kali dirintis pada 2009.
Agate mulai dirintis ketika 18 orang mahasiswa tingkat tiga di ITB, termasuk Arief Widhiyasa (CEO Agate) dan Aditia Dwiperdana (Serious Games Studio Head Agate) tertarik ikut beberapa kompetisi membuat game di 2008. Meski tidak ada yang dimenangkan, hal itu justru membuat mereka jadi tertarik untuk mengembangkan studio game lokal.
Di tahun yang sama, tim Agate mendapat kesempatan untuk ikut memamerkan game buatannya di Indonesia Game Show Jakarta. Pengunjung booth yang memainkan game Agate ternyata responnya sangat positif, memicu semangat untuk menyeriusi bisnis ini lebih dalam.
“Menurut pengunjung perasaan mereka saat main game sangat senang. Ini jadi titik balik kami bahwa buat game itu bukan untuk menyenangkan diri sendiri saja, tapi bisa buat orang lain ikut bahagia,” kata Aditia.
Alhasil, tim pun mulai meresmikan Agate menjadi studio di April 2009. Awalnya mereka memberikan catatan, apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak menghasilkan penghasilan terpaksa akan ditutup. Rata-rata dari mereka belum mendapat restu orangtua.
Modal mendirikan studio itu berasal dari patungan masing-masing pendiri, total dana yang didapat sekitar Rp120 juta. Agate mulai memproduksi 40 game Flash dan menjualnya ke berbagai portal marketplace, namun hanya 18 di antaranya yang laku.
Salah satu game perdana Agate, English Defendant laku dengan harga US$500, dengan kata lain tidak balik modal. Sampai akhirnya dana operasional habis. Sebab lebih dari separuh modal habis untuk menyewa rumah beserta perabotannya yang memakan biaya sekitar Rp100 juta.
Seluruh founder pun terpaksa harus digaji sebesar Rp50 ribu selama enam bulan dengan waktu kerja hingga 15 jam sehari. Akhirnya Agate memutuskan untuk mendirikan divisi advergame (B2B, B2B2C, dan B2G) demi memutar arus kas.
“Digaji Rp50 ribu itu karena ada dua alasan, kita butuh latihan manajemen untuk beneran gaji tiap bulan. Lagipula kami masih dapat uang saku dan tinggal dengan orang tua. Kedua, karena kita tidak mau jadi software house yang kumpul bila ada proyekan saja. Selama ngerjain proyek itu enggak jelas entitasnya. Kita memang ingin Agate jadi mata pencaharian yang layak.”
Founder baru bisa digaji sesuai standar UMR setahun kemudian, setelah Agate terjun ke advergame. Proyek pertama yang dikerjakan Agate adalah membuat game untuk Microsoft dengan menggunakan teknologi Silverlight. Nilai proyeknya sekitar belasan juta, sayang Aditia enggan membeberkan detilnya.
Sejak terjun ke advergame, Agate mulai bisa membayarkan gaji sesuai UMR. Mulai dapat mengembangkan tim, sebab tujuan Agate didirikan adalah wadah yang menampung talenta dengan kesamaan visi. Orang lokal dapat bekerja di perusahaan game, tanpa harus ke luar negeri dengan standar gaji yang tidak terlalu besar.
“Kita ngejar-nya bukan per orang bisa digaji besar, tapi bisa menampung orang lebih banyak. Sejauh ini bisnis terus berkembang dan total tim ada 120 orang. Itu pun masih kurang karena banyak servis yang akhirnya tidak bisa diambil karena overload.”
Divisi advergame di Agate akhirnya menjadi trademark di benak pemain industri. Puluhan klien sudah ditangani, mulai dari perusahaan agency, EO, FMCG, hingga untuk keperluan kampanye presiden. Nilainya bisa mencapai ratusan juta tergantung kompleksitasnya. Komposisi pendapatan Agate bisa dibilang imbang 50-50 antara advergame dan produk B2C.
Agate terbilang cukup sering mengajukan pinjaman kredit ke bank, namun selalu ditolak karena tidak memiliki aset yang bisa dijadikan agunan. Padahal Agate sudah menyodorkan invoice perjanjian bisnis yang pasti dibayarkan klien.
Aditia mengaku Agate pernah hampir mendapat fasilitas KUR ritel dengan plafon yang dibutuhkan sebesar Rp500 juta, tapi tidak jadi karena prosesnya sudah terlanjur ditutup.
Kendati sudah terjun ke advergame, tidak lantas Agate meninggalkan “khitah”-nya sebagai perusahaan game. Di 2010, Agate tetap memproduksi mobile game dengan memakai metode monetisasi in-app purchase.
Sumber pendanaannya berasal dari subsidi perolehan profit bisnis B2B. Dari seluruh produk B2C yang dirilis Agate, paling tidak semuanya berhasil mencapai Break Even Point (BEP), walaupun belum ada yang benar-benar mencetak profit hingga berkali-kali lipat.
Dalam manajemen pembuatan game, Agate selalu melakukan riset pasar, bagaimana visibilitas dan proyeksi sebelum membuat minimum viable product (MVP). Kemudian versi Beta Plus untuk dievaluasi selama tiga bulan dengan merilis langsung ke pengguna atau negara tertentu demi melihat traksi. Dari situ Agate baru bisa memastikan apakah produk tersebut layak dilanjutkan atau tidak.
“Dulu sih kita idealis, sekarang enggak. Kalau awal idealis tapi dapat dibuktikan lewat validasi bagaimana kenyataan di pasarnya bagaimana, itu bisa. Kita pernah buat game yang selesainya sampai setahun. Jadinya malah backfire, tren sudah terlalu banyak berubah. Sekarang kita mulai gesit untuk develop produk.”
Selain memutar profit sendiri, Agate mendapat tambahan dana segar dari empat angel investor lokal di 2011. Mereka kenal dengan tim Agate secara personal dan percaya dengan apa yang ingin dilakukan. Tahun lalu, Agate mendapat investasi Pra Seri A dari modal ventura lokal Maloekoe Ventures senilai lebih dari Rp13 miliar.
Bila ditotal hingga kini, Agate sudah merilis lebih dari 200 game dan dimainkan oleh lebih dari 5 juta pengguna, baik di Indonesia maupun secara global.
Beberapa mobile game terbaru Agate di antaranya Fantasista, Love Spice, Dungeon Chef, Kuis Iseng, Trio Lestari, dan Juragan Terminal. Sebagian di antaranya khusus dirilis untuk pasar internasional.
Setelah Touchten Games, Toge Productions dan Duniaku, kini giliran Arsanesia startup lokal di bidang game yang mendapatkan pendanaan, dalam jumlah yang tak disebutkan, dari Discovery Nusantara Capital (DNC). Dana investasi dari DNC akan digunakan untuk memperkuat lini bisnis Arsa Kids. Jaringan dan pengalaman yang dimiliki oleh DNC juga dinilai akan membantu Arsa Kids untuk mengembangkan produk di pasar global.
Didirikan sejak tahun 2011 oleh Adam Ardisasmita, game studio asal Bandung ini fokus mengembangkan game casual di platform mobile. Salah satu game yang cukup sukses mendulang ratusan ribu download adalah Roly Poly Penguin. Pada tahun 2015, Arsanesia mulai masuk ke dunia edukasi melalui unit bisnis yang bernama Arsa Kids.
Dalam satu tahun terakhir Arsa Kids telah meluncurkan 6 game edukasi yang telah memenangkan berbagai penghargaan antara lain Pemenang Intel Education App Challenge 2015, Juara Indosat Ooredoo IWIC 2016, dan Lenovo VR Challenge Winner 2016. Arsa Kids memiliki visi untuk memajukan kualitas pendidikan di Indonesia melalui game edukasi.
Pasar digital native yang terus bertambah dan kebutuhan akan konten edukasi berkualitas tinggi menuntut pertumbuhan yang cepat pada Arsa Kids. Kehadiran DNC diharapkan akan membantu Arsa Kids untuk bisa mengambil porsi lebih di market edukasi.
Selain meningkatkan fokus di market edukasi, Arsanesia juga akan tetap mengembangkan game casual dengan membawa Intelectual Property (IP) yang mereka miliki salah satunya adalah Pippo Penguin. Misi Arsanesia adalah menjadikan karakter Pippo sepopuler Mickey Mouse, Doraemon, atau Angry Bird melalui game.
Arsanesia percaya bahwa game adalah media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan positif dan Arsanesia memiliki harapan besar agar Pippo dapat mendunia agar dapat membantu menyampaikan pesan positif tentang Indonesia.
– Disclosure: CEO Arsanesia Adam Ardisasmita adalah kontributor DailySocial
Industri VR berkembang sangat pesat. Analis memperkirakan bahwa di tahun 2018 nanti, pemasukan dari hardware maupun software berpeluang menyentuh angka US$ 5,2 miliar dengan pengguna aktif mencapai 171 juta orang. Selain hiburan, banyak ranah mulai mengadopsinya: militer, edukasi, interaksi sosial, sampai penyajian iklan. Tak bisa disangkal, VR adalah bagian dari masa depan manusia.
Upaya merangkul dan menyebarkan manfaat dari virtual reality terus dilakukan, salah satunya adalah melalui medium bernama XR Meetup Indonesia, sebuah acara yang disiapkan sebagai tempat bertemunya para antusias VR dan AR di mana mereka bisa saling sharing informasi mengenai pertumbuhan industri ini. Setelah panel VR/AR Recap 2016 & What Next dilangsungkan bulan Desember silam, ajang selanjutnya siap digelar.
Jakarta XR Meetup keenam sebentar lagi akan dilaksanakan, kali ini mengangkat tajuk ‘VR/AR & Tech Education’. Sesuai temanya, acara difokuskan untuk membahas dampak dari perangkat serta konten virtual dan augmented reality terhadap bidang pendidikan lokal. Panitia mengundang para pakar dari lembaga edukasi dan perusahaan teknologi terkemuka sebagai narasumbernya, antara lain: Michael YP (Binus University), Fat’hah Noor Prawira (Telkom University), Irving Hutagalung (Microsoft), dan Adam Ardisasmita (Arsanesia).
Pembahasan VR/AR & Tech Education akan diadakan di kampus Bina Nusantara FX, berada di mall FX Sudirman lantai 6, Jakarta Pusat; pada tanggal 8 Februari 2017, dimulai pukul 17:00 sore. Jadwal lengkap XR Meetup v6.0 adalah sebagai berikut:
Mendekati akhir acara, akan ada demonstrasi teknologi Google Tango dari tim Arsanesia dan Google Developer Expert. Dan selanjutnya, Anda bisa mencoba langsung head-mounted display HTC Vive dan Google Daydream View.
Tertarik buat ikut? Segera daftarkan diri Anda di akun Facebook resmi VR Meetup. Acara ini tidak dikenakan biaya masuk, tapi jumlah kursinya sangat terbatas, jadi Anda sangat disarankan untuk tidak menunda-nundanya. Info lebih lanjut bisa Anda dapatkan dengan mengirim email ke info@omniVR.co.
Perhelatan Jakarta XR Meetup keenam didukung oleh Binus University, DailySocial.id (media partner) dan OmniVR.
Hari ini diperingati sebagai Hari Game Indonesia (HARGAI). Sebuah momen yang diadakan untuk menyulut semangat inovasi pengembang, komunitas, hingga berbagai stakeholder lain yang berperan memajukan industri game lokal. Bersamaan dengan kemeriahan Hari Game Indonesia, DailySocial mencoba menggali insight dari pada pelaku di ekosistem pengembang game lokal untuk berbagi pendapat seputar roadmap ekosistem dan cita-cita yang ingin dibentuk di Indonesia dari sisi penumbuhan kreativitas produk berbasis game.
Kami mencoba berdiskusi dengan para pengembang game lokal yang sudah cukup memiliki reputasi di Indonesia, bersama Co-Founder Agate Jogja Frida Dwi (atau yang akrab dipanggil dengan UB), CEO Amagine Interactive Dennis Adriansyah Ganda dan CEO Arsanesia Adam Ardisasmita.
Tren industri game lokal dan perkembangannya hingga saat ini
Diskusi diawali dari pendapat masing-masing seputar tren perkembangan industri game lokal. Mengawali perbincangan Frida menyampaikan bahwa saat ini terdapat beberapa pergerakan tren terkait dengan pengembang game lokal, di antaranya komunitas pengembang yang mulai aktif di banyak kota dan game lokal yang banyak bermunculan di berbagai platform. Adam juga menambahkan, selain itu kini masyarakat juga sudah makin aware dengan keberadaan produk game lokal. Sehingga tak hanya mampu mempopulerkan produknya saja, bahkan sudah sampai ke tahap monetisasi dari produk game yang dibuatnya.
Sebagai pengembang game di Yogyakarta, Dennis mengakui bahwa ekosistem pengembang game yang bertumbuh ini turut membawa dampak mengalirnya dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari korporasi. Sebut saja Google selaku penyedia market store yang banyak dimanfaatkan pengembang di Indonesia, Dennis menyampaikan saat ini Google sudah membuka pintu lebih luas untuk masuknya produk pengembang dan publisher lokal. Dukungan media pun turut dirasakan, sebagai salah satu media publikasi yang efektif.
“Menurut saya ini pertanda positif bagi developer Indonesia, karena market-nya sudah siap, dukungan dari stakeholder juga cukup besar dan resource untuk membuat game juga mulai mudah diakses. Tinggal bagaimana caranya kita membuat game yang berkualitas tinggi dan mampu diterima pemain saja,” ujar Dennis.
Terkait dengan sejauh mana perkembangan ekosistem pengembang game saat ini, Denis dan Frida menyampaikan bahwa masih dalam tahap berkembang, namun dengan akselerasi yang lebih kencang. Para pengembang lokal sudah mulai mampu mengikuti dinamika kemajuan yang ada di dunia, terutama dari sisi cakupan teknologi. Sedangkan Adam mencoba menggambarkan dan membandingkan industri yang ada saat ini dengan yang ada di negara maju.
“Ekosistem game kita jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang bisa dibilang masih jauh. Misalkan Jepang level 9 dan Amerika level 10, mungkin Indonesia masih di level 3. Hal ini didasari dengan kualitas dan kuantitas developer kita yang masih rendah. Tak hanya itu, elemen di dalam ekosistem game di Indonesia juga masih banyak yang belum terbangun seperti keberadaan publisher, keberadaan studio game raksasa yang membuka cabang di Indonesia, dan lain sebagainya,” ujar Adam.
Namun demikian Adam mengatakan bahwa perlahan pengembang game lokal juga mulai muncul menghadirkan kualitas karya yang mendunia. Ia juga meyakini dengan momentum yang ada saat ini, cepat atau lambat Indonesia akan mampu bergerak di level yang lebih baik.
Pengembang lokal rata-rata memfokuskan pada game mobile
Teknologi menawarkan banyak ruang untuk pengembang game, mulai dari konsol, PC, mobile hingga yang terkini seperti perangkat virtual reality. Pengembang game lokal pun nyatanya memang masih banyak yang memfokuskan pada platform mobile, bagi Frida sebenarnya platform itu bukan sebagai batasan bagi pengembang, karena menurutnya selain dari sisi produk yang harus bagus, fokus pengembang game lokal adalah potensi profit yang perlu diraih. Selama pesan dan gagasan yang ingin disampaikan melalui game tersebut mudah dijangkau pemain, Frida merasa bahwa pengembang tidak perlu memusingkan tentang di mana game tersebut harus ditaruh.
Berbicara tentang penjangkuan profit, maka pangsa pasar adalah salah satu target yang perlu difokuskan. Adam berpendapat bahwa setiap genregame akan memiliki pangsa pasarnya sendiri-sendiri, pun demikian dengan jangkauan game di platform tertentu, tak bisa dikatakan konsol lebih baik dari mobile dan sebaliknya. Bagi industri yang sedang berkembang seperti di Indonesia, menurut Adam ada baiknya para pengembang memang fokus di platform dulu.
Dennis turut menambahkan bahwa pengembang perlu lebih membuka diri, jangan terlalu menggantungkan diri kepada sebuah platform. Ia melihat dari tren teknologi yang ada saat ini, sangat cepat berkembang dan diadaptasi oleh konsumen.
“Jadi bagi kami bukan soal platformnya yang utama, namun experience dan gameplay seperti apa yang ingin kami berikan kepada users. Baru kemudian kami menilai platform manakah yang cocok bagi kami untuk menyampaikan experience tersebut. Kalau saya pribadi sih ke depannya ingin mengembangkan game-game RPG yang mampu membuat orang betah bermain lama seperti Ragnarok Online,” jelas Dennis.
Monetisasi game bagi pengembang lokal di pangsa pasar lokal
Di tingkat dunia, dalam industri entertainment, game banyak dikatakan berada di peringkat kedua setelah film dari sisi pendapatan industri. Pangsa pasar yang besar itu ternyata belum begitu dirasakan oleh pemain industri lokal. Dan ketika berdiskusi dengan para pengembang, mereka sepakat bahwa industri lokal yang belum bertumbuh dan dominasi kuat pemain asing menjadi penyebabnya.
Adam mencontohkan bahwa industri game yang sudah memiliki pendapatan besar telah dikembangkah oleh studio dengan skala besar, dengan jumlah pengembang ribuan orang. Sedangkan di Indonesia, studio game terbesarnya jumlah karyawannya belum sampai angka ratusan. Artinya memang untuk bisa menghadirkan game dengan skala tersebut, kita masih belum sanggup untuk hari ini.
“Simplenya sih market game lokal sebagian besar masih dipegang oleh luar,” ujar singkat Frida.
Dennis melihat fenomena ini sebagai tantangan bagi pengembang lokal, untuk bisa turut ambil bagian dalam revenue stream yang besar tersebut. Selain itu sudah sejak lama juga para gamers di Indonesia disajikan pada produk-produk luar, tak jarang juga yang “resistant” terhadap game buatan lokal. Memang perlu usaha yang cukup besar untuk menunjukkan bahwa game buatan anak bangsa pun tidak kalah dari game buatan luar.
“Memang kalau kita amati, top grossing Google Play saja mungkin lebih dari 90% game yang ada di situ adalah produk luar, yang artinya sebagian besar revenuegame Android yang ada di Indonesia dinikmati oleh developer luar. Namun sekali lagi saya juga cukup optimis game developer Indonesia dapat semakin berkembang karena gamers lokal sedikit demi sedikit mulai mampu menikmati dan mengapresiasi game lokal, contoh nyatanya ya game Tahu Bulat,” ujar Dennis.
Harapan untuk industri game lokal yang lebih berkilau
Kita semua tentu sepakat, bahwa cita-cita terbesar yang ingin dicapai adalah bisa memfasilitasi kebutuhan produk dalam negeri dengan karya lokal. Meskipun masih dalam tahap berkembang, dan harus bersaing dengan pengembang game global, semua meyakini bahwa tekad dan semangat yang kuat pengembang game lokal untuk berinovasi akan mengantarkan bangsa pada titik puncak yang diinginkan.
“Hari Game Indonesia, harapanku dengan adanya HARGAI masyarakat jadi lebih aware lagi dengan industri game lokal kita. Semoga makin banyak yang tertarik untuk membuat game sebagai media untuk menyampaikan pesan dan gagasan mereka,” pungkas Frida menyampaikan harapannya untuk industri game lokal.
Kerja sama dari berbagai pihak untuk bergotong-royong memajukan industri ini pun juga diperlukan.
“Saya berharap momen ini bisa menjadi tempat untuk mengapreasiasi game-game lokal, memberikan pencerdasan terhadap game yang positif, dan juga bisa membangun momentum agar ekosistem game lokal bisa semakin maju lagi. Memajukan industri game di Indonesia agar bisa sekelas Amerika, Jepang, Korea, dll butuh dukungan dari banyak pihak mulai dari masyarakat, komunitas, media, universitas hingga pemerintah,” pungkas Adam optimis industri game lokal yang bisa maju.
Hari Game Indonesia diharapkan juga tidak hanya menjadi seremonial saja, melainkan benar-benar memberikan dampak yang berarti bagi ekosistem pengembang game nasional.
“Menurut saya Hari Game Indonesia ini adalah awal yang sangat baik untuk mengajak gamers lokal memainkan game buatan dalam negeri. Semoga Hari Game Indonesia ini dapat menjadi acara tahunan yang semakin lama semakin meriah dan gamers lokal semakin menyukai game-game buatan Indonesia. Lalu sebagai seorang game developer juga, saya berharap mampu menyajikan game-game yang jauh lebih berkualitas untuk gamer Indonesia,” pungkas Dennis dengan komitmennya untuk meningkatkan kualitas produk game yang dikembangkannya.
Ketika Generation X dan Millenial hanya beradaptasi terhadap perkembangan teknologi, generasi penerus benar-benar terlahir di era perangkat bergerak. Dan dengan melimpahnya produk canggih dan karya digital, Arsanesia masih melihat masalah klasik yang terjadi di Indonesia: belum meratanya pendidikan. Mereka akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan.
Demi memenuhi visi baru mereka, tim developer asal Bandung itu meluncurkan Arsa Kids, unit usaha yang dikhususkan untuk fokus pada penciptaan konten pendidikan anak-anak prasekolah lewat edugames.
Sebagai langkah perdana, Arsa Kids telah meluncurkan dua karya digital, yaitu Pippo Belajar Alfabet dan Pippo Belajar Bentuk. Kedua permainan bisa diunduh ke smartphone dan dinikmati gratis.
“Anak-anak zaman sekarang adalah digital natives yang sudah sangat akrab dengan penggunaan teknologi dalam keseharian mereka,” komentar CEO Arsanesia Adam Ardisasmita melalui lembar rilis pers. “Tanggung jawab kami sebagai pengembang ialah mengawal konten edukasi terbaik bagi anak negeri melalui edugames yang menarik sekaligus mendidik.”
Menurut Arsanesia, ketidakmerataan pendidikan baik secara kualitas maupun kuantitas bertolakbelakang dengan laju penetrasi smartphone dan internet. Di 2015, Indonesia menempati peringkat 110 dari 188 negara dalam daftar Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia); sebuah takaran level perkembangan masyarakat dari segi pendidikan, pendapatan serta harapan hidup. Posisi kita turun dua peringkat dibanding tahun 2014.
Bagi developer, fakta tersebut menunjukkan peluang untuk menyajikan muatan edukasi berkualitas. Dan Arsanesia memilih perangkat bergerak sebagai medium penyampaiannya. Beberapa misi mereka ungkapkan, salah satunya adalah mendesain teknologi secara khusus buat mendorong daya berpikir si kecil. Edugames Arsa Kids diklaim tidak cuma menawarkan konten pendidikan, tapi juga diracik untuk membantu pertumbuhan emosi mereka.
Dirancang untuk anak-anak usia dini, permainan dari Arsa Kids mengombinasikan visual, animasi dan efek suara buat memotivasi mereka belajar. Arsanesia turut menjamin timnya tidak melupakan aspek keamanan. Developer berjanji akan selalu berpedoman pada aturan perlindungan anak dan secara aktif mencegah adanya konten-konten yang tidak cocok bagi pengguna di bawah umur.
Pippo Belajar Alfabet adalah pemenang Intel Education Apps and Games Challenge, diselenggarakan oleh Dicoding dan Intel pada akhir 2015 silam. Lalu Pippo Belajar Bentuk ialah permainan yang mencoba memperkenalkan ragam bentuk melalui penyajian menyenangkan. Kedua judul dapat beroperasi di device ber-OS Android versi 2.3 ke atas.
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Adam Ardisasmita adalah salah satu kontributor freelance penulis di DS/lifestyle.
Salah satu game studio dari Bandung, Arsanesia, tidak mau ketinggalan untuk menghadirkan stiker di Line Store.
Berbekal game yang telah dirilis cukup lama, Roly Poly Penguin, Arsanesia menyediakan stiker Pippo Roly Poly Penguin yang telah bisa dibeli di Line.
Stiker ini didasarkan pada karakter utama game Roly Poly Penguin yang bernama Pippo. Ada 40 buah stiker dalam berbagai ekspresi yang bisa digunakan untuk menambah seru percakapan chat di Line.
Stiker ini sebenarnya telah diluncurkan sejak awal September 2014 lalu, berbincang dengan TRL, Adam Ardisasmita dari Arsanesia menyebutkan bahwa sambutan atas stiker ini cukup baik.
Pada awal peluncurannya, bahkan stiker ini sempat menempati rangking yang cukup baik, misalnya di US. Untuk penggunaannya, Adam menyebutkan bahwa stiker ini cukup sering dipakai pengguna Line dalam berkomunikasi.
Roly Poly Penguin, yang memang didesain untuk menjadi sebuah brand karakter (IP) juga akan hadir dalam rupa set stiker lainnya. Adam menjelaskan bahwa akan hadir stiker dengan tema-tema tertentu untuk Pippo dan selain stiker akan ada kejutan lain juga yang disiapkan dari karakter Pippo ini.
Arsanesia juga memiliki harapan bahwa karakter Pippo ini bisa menjadi ikon asal Indonesia yang mendunia. Diharapkan masyarakat luat]s bisa mengenal potensi industri kreatif dengan karakter ini. Pembuatan stiker yang tersedia di Line, yang adalah sebuah layanan global, menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk mengenalkan Pippo ke pasar luas.
Stiker Pippo the Roly Poly Penguin bisa Anda temukan di Line Store lewat perangkat smartphone Anda atau bisa dibeli seharga 50 coin, sekitar Rp 9.900, lewat tautan ini.
Last Saturday, Project Eden held a pitching for the 20 participants who signed up to get funding and incubation, the event is in conjunction with a series of Bizconnect PPKI events.
From the 20 participants, eventually Project Eden committee chose the big five for closed pitch interviews session. Before this stage, Kevin Mintaraga explained that 52 participants were selected through online registration. They choose the 20 best business proposals to pitch their idea for five minutes to the Project Eden committee.
As written by Kompas.com, the five participants who passed are Bumble Games Indonesia, Telunjuk, PointBump, Arsanesia, and LocalBrand.
Kevin Mintaraga and Natali Ardianto explained via email to DailySocial, the five elected will conduct a closed pitch interview as a continuation of the initial selection, Natali said, “It could be in the first closed pitch interview we did not directly accept the startup, but we give a kind of mentorship to sharpen their business plan, we might even offer to do a pivot so the business plan become more focused, and they did another pitch interview with a business plan that has been sharpened.”
Sabtu kemarin, Project Eden mengadakan pitching bagi 20 peserta yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan pendanaan dan inkubasi, acara ini bersamaan dengan rangkaian acara Bizconnect PPKI.
Dari 20 peserta akhirnya komite Project Eden memilih 5 besar untuk sesi closed pitch interview. Sebelum tahap ini, dijelaskan Kevin Mintaraga bahwa ada 52 peserta yang diseleksi lewat pendaftaran online, mereka memilih 20 proposal bisnis terbaik untuk pitch ide mereka selama lima menit di hadapan komite Project Eden.
Seperti yang dituliskan oleh Kompas.com, kelima peserta yang lolos adalah Bumble Games Indonesia, Telunjuk, PointBump, Arsanesia, dan LocalBrand.
Kevin Mintaraga dan Natali Ardianto menjelaskan lewat email kepada DailySocial, lima yang terpilih ini akan melakukan closed pitch interview sebagai lanjutan dari seleksi awal, Natali mengatakan bahwa, “Bisa saja dalam closed pitch interview pertama ini kita tidak langsung menerima startup, namun kami berikan semacam mentorship untuk menajamkan business plan mereka, bahkan mungkin kita tawarkan untuk melakukan pivot agar business plannya menjadi lebih fokus, dan mereka melakukan pitch interview lagi dengan business plan yang sudah dipertajam.”