Tag Archives: asosiasi fintech ind

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 2 dari 2)

Bagian 1 menyajikan perjalanan awal Traveloka serta perkembangannya mulai dari pilihan tiket penerbangan menjadi banyak hal diluar itu.

Adalah momen yang pasang surut bagi petinggi Traveloka.

Pada tahun 2018, Derianto Kusuma mengundurkan diri dari posisinya sebagai Chief Technology Officer dan meninggalkan perusahaan dengan alasan “benturan aspirasi.”

Kemudian, pembatasan perjalanan pada tahun 2020 menyebabkan pemesanan dihentikan selama pandemi, yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Traveloka harus merumahkan sekitar 100 orang, atau sekitar 10% dari tenaga kerjanya, pada bulan April. Pada bulan Agustus, total pengembalian dana mencapai hampir 100 juta dolar AS. Namun, perputaran cepat ke layanan baru menawarkan jalan hidup, dan Traveloka mampu melakukannya sebagai sebuah perusahaan.

Saat ini, Ferry Unardi masih memimpin sebagai CEO, dengan Albert tetap menjadi bagian dari dewan dan mengawasi operasional sehari-hari sebagai salah satu pendiri perusahaan. Petinggi senior lainnya termasuk mantan konsultan BCG, Caesar Indra, presiden; pengusaha kawakan Alfan Hendro, COO; dan CTO, Ray Frederich, dengan pengalaman sekitar 20 tahun di perusahaan teknologi dan perusahaan konsultan global.

Pandemi belum berakhir, tetapi Traveloka telah membuktikan bahwa mereka dapat melewati situasi yang mengombang-ambingkan bisnis di berbagai skala. Para petinggi mengatakan perusahaan kini bangkit menjadi “lebih kuat” daripada sebelum virus korona menjangkit seluruh penjuru, dan bersiap untuk “simbol ticker” dalam beberapa bulan mendatang.

Bertahan lalu bangkit

Pada tahun 2020, ketika pemesanan perjalanan meredup dalam semalam dan pengembalian dana menggunung, Traveloka membutuhkan uang tunai — secepat mungkin. Memanfaatkan salah satu layanan tekfinnya, perusahaan memulai kampanye “Beli Sekarang, Menginap Nanti”, di mana pengguna dapat membayar voucher hotel dan menggunakannya di kemudian hari. Traveloka Xperience menyelenggarakan aktivitas online seperti kelas memasak dengan chef profesional. Live streaming flash sale dan tur secara langsung menyuguhkan distraksi menyenangkan bagi orang-orang yang terkurung di rumah, bisa jadi menanam ide untuk tujuan liburan ketika perjalanan internasional kembali diizinkan.

Semua inisiatif itu membuat Traveloka bertahan di saat-saat genting. Sekarang, dengan pelonggaran lockdown di Asia Tenggara, lalu lintas platform meningkat ke situasi sebelum pandemi.

Lebih luas lagi, bisnis inti perusahaan, perjalanan, berangsur-angsur pulih. Volume transaksi Traveloka sekarang berada di angka 50%, menurut kepala komunikasi korporat Traveloka, Reza Juniarshah.

Traveloka tetap gesit di tahun 2020 ketika transaksi terkikis. Mereka menawarkan berbagai produk baru untuk mempertahankan arus kas masuk. Dokumentasi oleh Traveloka.

“Sejak Juli tahun lalu, pemulihan terjadi secara konsisten di semua pasar kami, terutama di Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Dengan keberhasilan penerapan langkah-langkah pengelolaan COVID-19 di Thailand dan Vietnam, kepercayaan konsumen terhadap perjalanan semakin meningkat. Di Indonesia, perjalanan domestik sedang meningkat, terutama dengan lonjakan tren staycation yang secara bertahap berkontribusi pada pemulihan sektor pariwisata Indonesia,” sebut Reza.

Berhasil melewati pandemi dan bangkit kembali dalam beberapa bulan terakhir telah membawa angin segar bagi Traveloka. Perusahaan ini adalah salah satu dari sedikit pembangkit tenaga teknologi Asia Tenggara yang bersaing untuk IPO di New York pada tahun 2021. Awal tahun ini, Ferry mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan sedang meninjau jalur untuk go public. Investor awal mereka, Willson Cuaca, co-founder dan managing partner East Ventures, menyambut baik rencana ini. Rekam jejak perusahaan melalui pandemi membuktikan bahwa Traveloka cukup dewasa untuk melihat sahamnya diperdagangkan secara publik, menurut Willson.

Bersiap melantai di bursa

“Traveloka sudah siap untuk go public tahun ini dan 2021 adalah waktu yang tepat. Respons mereka terhadap krisis berhasil dengan baik sejak tahun lalu. Pada akhir tahun 2020, mereka telah mencapai profitabilitas dan seiring dengan pemulihan dunia setelah vaksinasi, saya yakin Traveloka juga berada dalam posisi yang baik untuk pulih dengan kuat,” ujar Willson. Traveloka saat ini memiliki valuasi pasar sekitar USD 3 miliar, tetapi Willson percaya bahwa angkanya “harus bernilai jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan”.

Herston Powers dari 1982 Ventures juga percaya bahwa tahun 2021 merupakan waktu yang tepat bagi Traveloka untuk mencatatkan sahamnya di pasar publik. Dengan profit yang berhasil dicetak perusahaan serta kinerja saham Sea Group sebagai pedoman, mungkin tidak ada waktu yang lebih baik dari tahun ini bagi Traveloka dan perusahaan teknologi Asia Tenggara lainnya untuk hijrah ke Wall Street.

“Jendela terbuka lebar dan perusahaan punya beberapa jalur menuju bursa, seperti IPO tradisional, SPAC, atau mendaftar langsung. Kami khawatir bursa IPO akan ditutup sebelum kami melihat gelombang keluar yang berarti dari wilayah tersebut,” ujar Herston.

Herston menambahkan bahwa investor AS bertaruh pada perjalanan global dan hospitality untuk bisa meningkat pesat. “IPO dan kinerja saham Airbnb menunjukkan minat investor di sektor ini, dan kami berharap antusiasme ini menyebar ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Konsumen di pasar negara berkembang yang berkembang pesat, seperti Indonesia, telah terbiasa dengan perjalanan dan rekreasi, dan tren ini tidak akan berhenti meskipun sempat terhenti sejenak di awal pandemi.”

Traveloka telah mengumpulkan total USD 1,2 miliar dalam enam putaran, menurut Crunchbase. Jumlah ini termasuk JD.com, Sequoia Capital, dan Hillhouse Capital Group sebagai investor. Pada 2018, perusahaan unicorn ini diam-diam mengakuisisi tiga saingannya — PegiPegi di Indonesia, Mytour di Vietnam, dan TravelBook di Filipina — dari perusahaan Jepang Recruit Holdings seharga USD66,8 juta. Langkah ini memberi Traveloka pijakan yang kuat di Asia Tenggara dan sekarang memimpin industri OTA di wilayah tersebut.

Perusahaan juga telah melakukan investasi di beberapa startup regional, seperti platform insurtech PasarPolis serta platform loyalitas dan pemasaran Member.id di Indonesia, perusahaan teknologi acara PouchNation Singapura, dan pengembang perangkat lunak POS Vietnam KiotViet. Traveloka adalah salah satu dari dua unicorn Indonesia yang memiliki kehadiran kuat di kawasan ini (yang lainnya adalah Gojek), menyematkan prestise ketika menuju ke bursa.

“Momentum sangat penting bagi Traveloka, karena pasar modal adalah tentang waktu. Anda membutuhkan investor institusional untuk berada dalam mode berisiko. Jika pasar ambruk, tidak ada yang akan keluar untuk IPO,” sebut Herston. “Di luar koreksi pasar besar atau pandemi lainnya, kami sangat optimis terhadap prospek Traveloka sebagai perusahaan terbuka.”

Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk entitas yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings dan Provident Acquisition. Namun, perusahaan belum mengungkapkan detail persiapan IPO-nya. Para petinggi Traveloka mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Berhasil melewati pandemi yang relatif tanpa cedera adalah pencapaian penting. Sekarang, perusahaan tersebut harus membuktikan bahwa mereka cukup dewasa untuk mengikuti jalur yang pertama kali dibuka oleh Sea Group Singapura dan hijrah ke New York.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard Business School. Berasal dari Padang, sebuah kota di Sumatera Barat, Ferry kerap kesulitan ketika ingin melakukan penerbangan dari kampung halamannya ke Amerika Serikat.

Prosesnya sangat rumit. Untuk pulang, Ferry memesan penerbangan untuk membawanya dari Boston ke Jakarta. Ketika sampai di ibu kota Indonesia dia baru bisa membeli tiket tambahan untuk kembali ke Padang, ungkapnya pada majalah Prestige di tahun 2018. Rumit, memakan waktu, dan sulit untuk direncanakan.

Frustrasi dengan masalah yang harus dia hadapi sebagai frequent flyer antara Amerika Serikat dan Indonesia selama sekitar delapan tahun, Ferry memutar otak kewirausahaannya dan mulai mencari solusi, percaya bahwa ini bisa menjadi sebuah bisnis. Dia bekerja sama dengan mantan rekannya bernama Derianto Kusuma, serta seorang teman lama dari sekolah bernama Albert (hanya Albert). Ferry meninggalkan Harvard. Setahun kemudian, ketiganya resmi mendirikan Traveloka di Jakarta.

Nama perusahaan adalah gabungan kata dari bisnis utamanya dan loka, kata Sansekerta yang berarti “dunia” atau “alam semesta”. Seorang juru bicara perusahaan mengatakan Traveloka dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah sebagai “dunia perjalanan”.

Sampai ke tahun 2021. Traveloka telah menjadi biro perjalanan online terbesar di Indonesia. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 60 juta kali, dan platform ini memiliki sekitar 40 juta pengguna aktif bulanan. Perusahaan juga mengatakan memiliki lebih dari 150 maskapai penerbangan rekanan dengan total 200.000 rute penerbangan internasional dan domestik. Selain itu, lebih dari 800.000 hotel, vila, dan wisma di 100 negara terdaftar.

Valuasi Traveloka kini disinyalir mencapai USD3 miliar. Tahun ini, Ferry berencana membawa Traveloka ke pasar saham AS, kemungkinan melalui merger SPAC untuk menghindari proses IPO konvensional. Sebelum itu terjadi, berikut merupakan seluk beluk yang perlu Anda ketahui tentang perusahaan.

Pencapaian Traveloka

Mari menganalogikan Traveloka sebagai Expedia di Asia Tenggara. Daftarnya mencakup hampir setiap elemen perjalanan – penerbangan, hotel, atraksi, dan aktivitas. Pengguna dapat menyesuaikan dan membayar seluruh rencana perjalanan dalam platform. Layanannya mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Australia.

Traveloka dimulai sebagai situs pencarian dan perbandingan tiket penerbangan, yang secara fungsional mengotomatiskan sebagian tugas agen perjalanan yang Ferry pesan ketika masih di Harvard. Dengan limpahan uang tunai dari East Ventures pada tahun 2012 – beberapa tahun sebelum startup “booming” di Indonesia – ketiga pendiri membangun situs ini. Tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa pelanggan menginginkan lebih dari sekedar hasil pencarian. Ada komponen utama yang hilang: jika orang bisa memesan tiket pesawat dan membayar tiketnya hanya dengan beberapa klik, Traveloka bisa benar-benar menjadi biro perjalanan online. Kuncinya adalah kenyamanan yang belum tersedia sebelumnya.

Transformasi itu terjadi pada 2013, namun timnya tidak berhenti sampai di situ. Tahun berikutnya, Traveloka menambah vertikal pemesanan hotel dan meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS. Hal ini sejalan dengan pergeseran kebiasaan di Indonesia – ponsel menjadi hal lumrah, dan orang-orang mulai mengarah ke online. Traveloka bersiap melayani para pelanggan muda yang lebih nyaman membeli melalui perangkat pribadi.

Namun Traveloka telah berkembang jauh melampaui dua suku kata pertama dari namanya. Perusahaan telah terjun ke industri fintech, memastikan bahwa pelanggannya memiliki jalur untuk membayar apa yang dijual Traveloka. Lalu, hal ini menjadi penting untuk memfasilitasi transaksi besar dalam skala massal dari hari ke hari.

Perusahaan dilaporkan mengakuisisi perusahaan pembayaran digital lokal Dimo ​​Pay pada tahun 2018, namun pihaknya masih belum mengakui perannya dalam kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, Traveloka merilis fitur PayLater tidak lama kemudian, yang dikembangkan bersama dengan pemberi pinjaman peer-to-peer Danamas. Saat itu, Traveloka adalah perusahaan (bukan fintech) pertama di Indonesia yang memasuki layanan “beli sekarang, bayar nanti”. Langkah tersebut memastikan Traveloka mampu menarik pengguna baru yang bukan nasabah lembaga keuangan formal dan konvensional.

“Kami memulai fintech untuk memfasilitasi pemesanan perjalanan oleh konsumen di Indonesia yang mungkin tidak memiliki kartu kredit atau uang tunai untuk membayar penuh dalam pemesanan perjalanan. Karena banyak pelanggan kami menggunakan aplikasi untuk berbagai transaksi, kami percaya bahwa pendapat pengguna yang kami peroleh memungkinkan kami untuk mengelola penawaran pinjaman kami dengan tepat,” Kepala Komunikasi Korporat Traveloka, Reza Juniarshah mengatakan kepada KrASIA. Perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 6 juta pinjaman melalui layanan tersebut, sebutnya. Dan tidak hanya sampai di situ: Traveloka menjalin kemitraan dengan Bank BRI pada 2019, dan keduanya merilis kartu kredit yang dirancang untuk pengguna terdaftarnya. Tahun lalu, Traveloka menjalin kerja sama serupa dengan Bank Mandiri.

Dibalik tingginya valuasi perusahaan

Traveloka menyandang status unicorn pada Juli 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia, perusahan yang menjadi inspirasi awal Ferry. Daftar pendukungnya juga termasuk Global Founders Capital, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan Qatar Investment Authority.

Saat ini, nilai perusahaan ditentukan oleh diversifikasinya, tetapi Traveloka memiliki banyak pesaing saat memasuki arena baru fintech. “Traveloka tidak unik dalam mencoba menangkap nilai peluang fintech di Asia Tenggara. Setiap raksasa teknologi dan perusahaan jasa keuangan tradisional semakin serius tentang strategi fintech mereka karena potensi pasarnya sangat besar, dan kami ikut mengawali sektor ini di kawasan,” kata Herston Powers, mitra pengelola dari 1982 Ventures, yang berinvestasi di perusahaan rintisan fintech dan teknologi perjalanan.

Dengan demikian, pergerakan ini dapat memulai fase baru konsolidasi di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki dunia fintech, akan ada peluang baru bagi startup fintech untuk menjalin hubungan dengan pemain mapan dan mencari jalan keluar melalui merger dan akuisisi, kata Powers.

Inovasi baru telah memperluas jangkauan Traveloka. Pada 2019, jajaran asuransi perusahaan Traveloka Protect diluncurkan. Hal itu menginisiasi program asuransi kesehatan syariah yang disebut Bebas Handal untuk pelanggan Muslim bersama FWD Group yang berbasis di Hong Kong.

Fintech mungkin terbukti menjadi ruang tahan bencana di mana Traveloka dapat tumbuh lebih dalam lagi. Ke depannya, perusahaan berniat fokus di sektor ini. Dalam wawancara dengan KrASIA tahun lalu, salah satu pendiri, Albert, mengatakan Traveloka akan memperluas penawaran fintechnya “secara vertikal dan geografis”. Perusahaan juga dikabarkan sedang mempersiapkan layanan keuangan lokal untuk Thailand dan Vietnam. Baru-baru ini mereka membentuk usaha patungan dengan salah satu bank terbesar di Thailand untuk pengembangan fintech baru, meskipun detailnya belum terungkap.

Mengungguli fintech

Sebagai investor awal, Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca optimis dengan status Traveloka sebagai perusahaan multi-vertikal yang sedang berkembang sebagai perusahaan multinasional. “Traveloka memperkenalkan produk ‘beli sekarang, bayar nanti’, kartu kredit, dan pembayaran digital kepada pelanggannya sejak dua tahun lalu. Platformnya sudah matang dan maju, oleh karena itu inilah saat yang tepat untuk memperluas layanan keuangan ke Vietnam dan Thailand,” ujsr Willson.

Selain fintech, Traveloka juga merambah ke layanan gaya hidup dan hiburan. Juga meluncurkan halaman untuk direktori restoran, Kuliner Traveloka, pada tahun 2018. Sub-merek bernama Xperience diluncurkan pada tahun 2019. Terdapat sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, serta kelas khusus dan lokakarya.

Layaknya platform besar lainnya yang telah memberikan kemudahan untuk memesan makanan hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi, Traveloka Eats kini menawarkan layanan pengantaran untuk beberapa lokasi, meskipun belum begitu menguasai pangsa pasar Grab Food dan GoFood Gojek, keduanya semakin populer di Asia Tenggara. Namun, Traveloka sedang berusaha untuk menjadi aplikasi yang mencakup semua layanan perjalanan dan gaya hidup di wilayah ini, dan pivot yang dilakukan telah mengakselerasi perusahaan dalam melalui rintangan perjalanan internasional di tahun 2020.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial