Tag Archives: Asosiasi Game Indonesia

Apakah Game Harus Memiliki Nilai Edukasi?

Banyak orang yang mengisi waktu luangnya dengan bermain game selama pandemi. Selain mengusir kebosanan, game juga punya fungsi lain. Sebagian orang menggunakan game sebagai alat komunikasi dengan teman dan keluarga mereka. Bahkan sebelum pandemi pun, sebagian gamers memang menganggap main bareng sebagai kegiatan sosial. Sayangnya, stigma yang sudah melekat pada game — khususnya di benak para orang tua — tampaknya tidak bisa luntur begitu saja. Padahal, orang tua bisa berperan aktif dalam membentuk kebiasaaan bermain buah hati mereka.

Sebagian orang merasa, game seharusnya punya fungsi lain selain sebagai media hiburan, seperti mengajarkan nilai budi pekerti pada para pemainnya. Padahal, jika Anda memperhatikan game-game populer, kebanyakan — jika tidak semua — akan memprioritaskan gameplay yang menyenangkan. Pertanyaannya, apa game harus selalu punya fungsi lain selain sebagai media hiburan? Dan jika game digunakan sebagai alat edukasi, apakah hal itu akan efektif?

Definisi Game dan Game Edukasi

Topik game memiliki cakupan yang sangat luas. Bahkan jika kita memperkecil topik pembahasan menjadi video game secara spesifik, cakupan topik itu pun masih cukup luas. Karena itu, mari kita samakan persepsi tentang definisi dari game itu sendiri. Dalam studi “A Short and Simple Definition of What a Videogame Is“, Nicolas Esposito mengartikan game sebagai permainan yang kita mainkan menggunakan peralatan audiovisual yang didasarkan pada sebuah cerita.

Sementara itu, dalam jurnal “Fifty Years on, What Exactly is a Videogame? An Essentialistic Definitional Approach“, Rafaello V. Bergonse mengartikan game sebagai:

A mode of interaction between a player, a machine with an electronic visual display, and possible other players, that is mediated by a meaningful ficitonal context, and sustained by an emotional attachment between the player and the outcomes of her actions within this fictional context.

Game merupakan topik yang luas. | Sumber: Pexels

Ketika ditanya akan arti gameCipto Adiguno, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) menjawab: game adalah sebuah media interaktif. “Ketika sesuatu jadi interaktif, yaitu bisa memberi feedback yang sesuai dengan aksi pemainnya, sesuatu itu bisa dianggap game,” katanya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Karena definisinya sangat sederhana, game bisa di-apply ke mana2, dari hiburan sampai edukasi. Oleh karena itu, menurut saya ‘fungsi utama’ game juga sangat luas, yaitu “membuat sesuatu menjadi lebih engaging“.”

Dihadapkan dengan pertanyaan yang sama, El Lim, pendiri dan Head Developer, Khayalan Arts mengatakan bahwa game merupakan media yang serba guna: game bisa menjadi media hiburan, tapi juga bisa digunakan untuk media edukasi atau bahkan media latihan, seperti yang terjadi di industri virtual reality.

Game itu terdiri dari banyak hal. Dari sisi desain, ada art, animasi. Dari sisi naratif, ada tulisan, story telling. Game juga punya elemen desain puzzle, strategi, manajemen,” ujar El ketika dihubungi melalui telepon. “Belum lagi jika kita memperhitungkan aspek bisnis dari game.” Dia juga menyebutkan, dalam beberapa tahun belakangan, gamifikasi adalah metode yang sering digunakan di berbagai sektor, termasuk edukasi.

Memang, sekarang, game edukasi memiliki pasar tersendiri. Cipto menjelaskan, di industri game, “game edukasi” merujuk pada  game yang memang tujuan utamanya adalah untuk memberikan edukasi pada pemainnya. Dia menyebutkan, “Banyak game yang dirancang murni untuk menghibur tapi tetap memasukkan unsur-unsur edukasi kok, tapi hanya sebagai pendukung agar lebih menghibur. Dalam game edukasi, paradigmanya terbalik, yaitu ada hiburan agar edukasinya lebih mengena dan tidak membosankan.”

Minecraft Education Edition.

Masalahnya, persepsi gamers akan game edukasi acap kali negatif. Game edukasi sering dianggap membosankan, walau Cipto mengatakan, game edukasi yang baik tidak akan membuat para pemainnya bosan. Sementara menurut El, game akan bisa menjadi alat edukasi yang efektif jika ia dikemas dengan menarik. Dia menjadikan Minecraft sebagai contoh. Dia menjelaskan, Minecraft tidak dibuat untuk menjadi game edukasi. Namun, ketika game itu dimainkan, ternyata, ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pemainnya, mulai dari kompetisi, kolaborasi, cara bertahan hidup, sampai belajar tentang programming. Setelah itu, barulah muncul Minecraft Education Edition.

Approach kita dengan Samudra juga seperti itu,” kata El. Samudra adalah game buatan Khayalan Arts yang mengangkat tema tentang pencemaran laut. Game  berhasil memenangkan Unity for Humanity Grant. “Yang penting adalah membuat gamers suka dengan game-nya terlebih dulu.”

Game Sebagai Alat Edukasi

Game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Buktinya, muncul subkategori game edukasi. Masalahnya, apakah menggunakan game sebagai media edukasi efektif? Jurnal “Using a gamified mobile app to increase student engagement, retention, and academic achievement” membahas tentang dampak dari penggunaan aplikasi mobile gamifikasi sebagai alat pembelajaran para mahasiswa.

Dalam jurnal itu disebutkan bahwa ada korelasi antara penggunaan aplikasi mobile dengan naiknya tingkat retensi mahasiswa serta performa akademi para mahasiswa. Walau, para penulis studi tersebut juga menyebutkan bahwa korelasi antara ketiga hal itu bukan jaminan bahwa penggunaan aplikasi merupakan alasan di balik naiknya tingkat retensi mahasiswa atau performa akademi mahasiswa.

Berdasarkan studi di atas, diketahui bahwa penggunaan aplikasi mobile membuat tingkat retensi mahasiswa naik sebesar 12,3%. Tak hanya itu, performa rata-rata para mahasiswa juga mengalami kenaikan, yaitu sebesar 7,03%. Hal ini menunjukkan, aplikasi mobile tidak hanya memperbesar kemungkinan mahasiswa bertahan di sebuah universitas, tapi juga bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mempelajari dan mengingat pelajaran yang mereka pelajari.

Tingkat retensi mahasiswa berdasarkan penjurusan. | Sumber: Jurnal

Saat ditanya tentang efektivitas game sebagai media pembelajaran, Cipto mengatakan, game bisa memudahkan proses penanaman informasi di benak para pelajar. Pasalnya, game mengharuskan pemain untuk aktif melakukan tindakan tertentu. Jadi, menurutnya, game bisa menjadi media yang efektif dalam mempelajari konten yang mengharuskan seseorang menghafal. “Game juga sangat efektif untuk problem solving, karena berbeda dengan media statis — seperti menjawab pertanyaan di buku — problem dalam game bisa berubah secara instan, sesuai dengan input pemain,” kata Cipto.

El punya pandangan yang agak berbeda. Dia merasa, ada banyak hal yang bisa  seseorang pelajari dari game, mulai dari bahasa sampai sejarah. Secara pribadi, saya setuju bahwa game adalah media yang efektif untuk mempelajari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Sewaktu saya masih SMP, saya sering bolos les Bahasa Inggris. Tapi, ketika saya bermain game — apalagi game RPG, seperti Suikoden dan Final Fantasy — saya dengan suka rela membawa kamus demi memahami percakapan antar karakter dalam game.

Selain itu, hal yang tidak kalah penting, El berkata, game bisa membuat para pemainnya merasa penasaran. Dan ketika pemain merasa penasaran — tentang topik atau karakter atau hal-hal lain dalam game — mereka akan terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentang hal-hal tersebut. Jadi, game-game yang tidak punya embel-embel game edukasi pun sebenarnya bisa memberikan berbagai pelajaran pada para pemainnya.

El memberikan contoh, dari game seperti Harvest Moon atau Stardew Valley, pemain bisa belajar tentang manajemen risiko, sementara game bertema perang bisa menunjukkan sedikit tentang cara kerja sistem politik. “Kita bisa belajar tentang cara untuk mengatasi situasi dalam skala besar,” ujar El. “Hanya saja, kalau dulu situasi itu adalah perang, sekarang adalah perang antar perusahaan.”

Contoh lain yang El berikan adalah Assassin’s Creed, yang bisa mengajarkan sejarah. Tentu saja, sejarah yang diangkat dalam sebuah game biasanya telah dimodifikasi. Hanya saja, dalam kasus Assassin’s Creed, Ubisoft mencoba untuk menampilkan kota-kota penting dalam momen bersejarah dengan realistis. Faktanya, Assassin’s Creed Unty bisa digunakan untuk menampilkan tur virtual dari Paris semasa Revolusi Prancis.

“Salah satu daya tarik dari Assassin’s Creed adalah kita bisa menjelajah dunia yang biasanya hanya bisa kita lihat di museum. Dalam game, kita bisa menjelajahi kota itu, bisa memanjat gedung yang ada,” ujar El.

El menambahkan, terkadang, “nilai” yang tersirat dalam sebuah game bukanlah sesuatu yang bisa diukur secara akademik. Sebagai contoh, Spiritfarer yang mengajarkan tentang cara melalui masa duka karena kematian dari orang-orang tersayang. “Ketika Anda main game seperti Journey atau Spiritfarer, kedua game itu punya kemasan yang cantik, tapi moral yang disampaikan berat,” ujarnya.

Spiritfarer. | Sumber: Steam

Secara pribadi, saya merasa, game sangat efektif untuk mengajarkan hukum sebab-akibat. Jika Anda melakukan A, maka Anda akan mendapatkan X dan jika Anda melakukan B, Anda akan mendapatkan Y. Di dunia nyata, konsekuensi dari tindakan yang seseorang ambil tidak selalu terlihat dengan cepat. Lain halnya dengan game. Misalnya, di Stardew Valley, jika Anda tidak menyiram tanaman secara rutin atau memberi makan ternah Anda, tanaman atau ternak Anda akan mati. Jika Anda memberikan NPC sesuatu yang dia benci, dia akan terlihat kecewa atau bahkan marah. Sebaliknya, jika Anda memberikan sesuatu yang dia sukai, dia akan terlihat senang dan dia akan menjadi lebih menyukai Anda.

Contoh lainnya, ketika Anda memainkan Democracy, negara Anda akan ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan besar jika Anda mengenakan pajak terlalu tinggi. Sementara jika Anda tidak memenuhi janji Anda selama kampanye, Anda akan kehilangan kepercayaan rakyat. Dalam City: Skylines, jika Anda tidak menata kota dengan benar, Anda akan mendapat protes dari rakyat. Jika Anda terus membiarkan masalah yang ada, sebagian warga akan meninggalkan kota yang Anda urus.

Ketika Game Hanya Menjadi Media Hiburan, Apakah Cukup?

Game bisa menjadi alat edukasi yang efektif. Dan sah-sah saja bagi developer untuk menyisipkan pesan moral dalam game yang mereka buat. Namun, pada akhirnya, developer game tetaplah perusahaan, yang tujuan utamanya mencari untung. Jika developer ingin memaksimalkan keuntungan yang mereka dapat, kemungkinan, mereka tidak akan membuat game edukatif. Karena, tidak ada satupun game edukasi yang masuk dalam daftar 10 game dengan penjualan terbesar sepanjang waktu. Tiga game dengan penjualan terbanyak adalah Space Invader, Pac-Man, dan Street Fighter II.

Jika developer game dituntut untuk terus membuat game dengan muatan edukasi, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lain: kenapa media hiburan lain — mulai dari komik, novel, film, atau bahkan sinetron — tidak dituntut untuk melakukan hal yang sama?

Menurut El, alasan kenapa game dinilai dengan standar yang berbeda dari media hiburan lain adalah masalah accessibility. Dia menjelaskan, game baru bisa dimainkan oleh banyak orang sejak kemunculan smartphone, atau sekitar 10 tahun lalu. Sementara komik, novel dan TV, semuanya sudah bisa diakses oleh masyarakat luas sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Jadi, pengetahuan masyarakat akan game pun menjadi jauh lebih terbatas.

Cipto memiliki pendapat serupa. Dia mengungkap, ketidatahuan masyarakat akan media — dalam kasus ini, game — merupakan alasan terbesar mengapa game seolah-olah dituntut untuk memenuhi standar yang berbeda dari media hiburan lain. “Dulu juga semua media lain mengalami trayektori serupa di awal eranya masing-masing, yaitu penolakan oleh generasi sebelumnya,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, “Bila dibandingkan dengan Five Stges of Grief/Kubler-Ross Model, karakteristik mengharuskan ada materi edukasi ada di tahap ‘Bargaining’. Karena, game memang sudah menjadi media mainstream, jadi setidaknya, ia punya manfaatlah. Kalau ada yang suka bilang prihatin tapi diam saja, nah itu ada di tahap ‘Depression’. Suatu hari nanti, semua akan sampai ke ‘Acceptance’, tapi mungkin masih butuh waktu.”

Lima tahap kesedihan. | Sumber: Wikipedia

Di satu sisi, ada orang-orang yang menganggap bahwa game harus punya nilai edukasi. Di sisi lain, gamers cenderung menganggap bahwa game edukasi itu membosankan. Lalu, adakah cara untuk menemukan jalan tengah antara dua kubu yang saling berlawanan ini?

“‘Game edukasi’ yang paling bagus biasanya sangat menyenangkan, sehingga tidak terlihat seperti sebuah game edukasi,” kata Cipto. “Seperti halnya film action Perang Dunia 2 bukan film edukasi, tapi penonton tetap belajar sejarah melalui film tersebut.” Lebih lanjut dia menyebutkan, “Daripada memaksakan hanya game-game tertentu yang bisa dimainkan, salah satu jalan tengah adalah membuat anak/gamer melihat lebih dekat apa yang bisa dipelajari dari suatu game yang dia sukai. Misal kalau di dalam game ada karakter atau tempat yang menarik, bisa mencari info lebih dalam mengenai inspirasinya dari dunia nyata.”

Sementara El mengajukan ide untuk menonjolkan sisi cinematic dari sebuah game untuk menarik orang-orang yang bukan gamers. Harapannya, orang-orang yang bukan gamers sekalipun bisa tertarik untuk, setidaknya, menonton konten sebuah game. Dia juga menyebutkan, sekarang, ada cukup banyak game yang menggunakan format episodic, membuat gameplay terlihat seperti penuturan cerita interaktif. Contoh game seperti ini adalah game The Walking Dead atau game-game buatan Telltale Games lainnya.

The Walking Dead adalah salah satu contoh game dengan format episodic. | Sumber: Steam

Game terbukti bisa digunakan untuk banyak hal, bahkan propaganda sekalipun. Namun, jika developer hanya membuat game sebagai media hiburan, apakah hal itu akan menghilangkan nilai dari game itu sendiri?

Tentang hal ini, El mengatakan bahwa game tidak akan kehilangan nilainya meski ia hanya menjadi media hiburan. Hanya saja, dia menganggap, menjadikan game sebagai media hiburan saja akan menyia-nyiakan potensi game sebagai media. “Game adalah media yang sangat powerful, bisa mengajarkan ini itu. Kalau cuma dipakai untuk satu bagian, yaitu bagian hiburan doang, rasanya sayang,” katanya. “Rasanya seperti memiliki Infinity Stones, tapi yang digunakan hanya gauntlet-nya saja.” Karena, dia percaya, ada banyak media lain selain game yang bisa berfungsi sebagai murni media hiburan.

Senada dengan El, Cipto juga menganggap, nilai game tidak akan hilang meski ia hanya menjadi media hiburan. Dia mengatakan, nilai sebuah produk atau objek itu tergantung pada persepsi orang yang menilai.

“Kalau dari perspektif kalipalisme, selama ada yang mau beli, pasti ada yang setuju dengan harga yang tertera. Kalau tidak, pasti tidak ada yang mau beli,” ujar Cipto. “Seperti halnya semua media lain yang pernah muncul, saya rasa, akan ada tempat bagi game yang memiliki konten edukasi maupun game murni hiburan. Ada saatnya kita butuh game untuk belajar hal-hal baru, ada saatnya untuk mencari hiburan saja. Sebagian besar orang tidak belajar sepanjang waktu, kan?”

Penutup

Sebagai media, game punya fungsi yang beragam. Tak hanya sebagai media hiburan, game juga bisa digunakan untuk mengedukasi, sebagai alat latihan, atau bahkan media propaganda. Pada akhirnya, sebagai kreator game, developer punya hak untuk memilih game seperti apa yang mereka buat. Jika mereka ingin membuat game gacha dan menggunakan berbagai trik psikologi untuk mendorong para pemain menghabiskan uang dalam game demi memaksimalkan keuntungan, ya boleh saja. Sebaliknya, jika developer ingin memasukkan idealisme mereka ke dalam game mereka, hal itu juga tidak salah.

Tentu saja, setiap pilihan punya konsekuensi masing-masing. Jika seseorang membuat game yang mengeksploitasi para pemainnya, hal ini mungkin akan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sementara jika seorang developer bersikap idealis, bisa jadi, game yang dia buat tidak laku di pasar.

Sumber header: Pexels

Laporan IGDX: Perketat Regulasi, Pemerintah Ingin Developer Game Lokal Jadi Lebih Kompetitif

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan pasar game paling besar. Sementara di dunia, Indonesia merupakan pasar game terbesar ke-16. Pada 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkap bahwa pemasukan industri game Indonesia mencapai Rp24,88 triliun atau sekitar 2,19% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Sayangnya, walau pasar game Indonesia besar, developer lokal hanya menguasai sekitar 0,4% dari pangsa pasar. Hal itu menunjukkan, pasar game Indonesia memang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan game asing. Pemerintah Indonesia ingin mengubah hal ini.

Menyeimbangkan Posisi Developer Lokal dan Asing

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno, mengungkap bahwa pertumbuhan industri game Indonesia sebenarnya sangat besar, yaitu 50% per tahun. Hanya saja, walau industri game lokal Indonesia terus tumbuh 50% per tahun dalam 10 tahun ke depan, pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal tetap tidak lebih dari 5%. Karena itu, bergandengan dengan berbagai kementerian dari pemerintah, AGI berusaha untuk mengakselerasi pertumbuhan industri game di Indonesia.

“Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan industri adalah menciptakan perusahaan yang besar,” kata Cipto ketika ditemui di Indonesia Game Developer Conference (IGDX) yang digelar di Sheraton Kuta, Bali. “Menurut Pareto Principle, 20% perusahaan terbesar akan memberikan efek sebesar 80% pada industri. Di industri game, angkanya sebenarnya di bawah itu. Misalnya, di Kanada, 5% perusahaan terbesar mempekerjakan 80% dari seluruh tenaga kerja. Jadi, sejumlah kecil perusahaan — tapi berukuran besar — dapat memberikan efek besar ke industri. Hal ini yang ingin kami lakukan.”

Cipto Adiguno, Presiden AGI. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Menurut Cipto, mendorong terciptanya perusahaan game lokal raksasa, hal lain yang bisa mendorong pertumbuhan industri game adalah regulasi yang lebih jelas. “Saat ini, game itu nggak ada peraturan. Kita punya rating system, tapi tidak wajib. Tidak ada penegakannya dan peraturannya tidak terlalu kuat,” ujarnya. Dan ketidakjelasan tersebut bisa menciptakan masalah. Misalnya, anak kecil memainkan game yang penuh dengan kekerasan. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dan penegakan sistem rating yang lebih kuat, diharapkan stigma buruk akan game juga bisa memudar.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kementerian Kominfo, I Nyoman Adhiarna mengatakan bahwa salah satu usaha pemerintah untuk membantu developer lokal agar bisa bersaing dengan developer asing adalah menyamaratakan kedudukan keduanya dalam pasar, termasuk dalam hal pembayaran pajak.

“Selama ini, ketika kita bermain game dan membeli item di aplikasi, uang tersebut langsung masuk ke perusahaan game. Dan perusahaan tidak pernah bayar pajak ke kita,” ujar Nyoman. “Sementara itu, para pembuat game di Indonesia, mereka punya badan hukum Indonesia, mereka harus bayar PPN, harus bayar PPh. Hal ini tidak adil. Karena itu, kita ingin agar tercipta level playing field. Jadi mungkin, nantinya, perusahaan game asing harus membayar sesuatu ke pemerintah, walau bentuknya mungkin bukan pajak.”

Selain soal pajak, Nyoman mengungkap, hal lain yang ingin pemerintah lakukan adalah memastikan game-game buatan perusahaan asing yang diluncurkan di Tanah Air memang punya nilai yang sama dengan budaya Indonesia. Pada saat yang sama, dia berkata, pemerintah juga tidak ingin membuat peraturan yang terlalu ketat. Karena, dikhawatirkan, hal itu justru akan mematikan pertumbuhan industri game di Indonesia.

I Nyoman Adhiarna. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Ketika ditanya apakah rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada perusahaan game asing akan membantu developer Indonesia, Cipto menjawab iya. Dia lalu menjelaskan, selama ini, ketika gamers membeli item dalam game, maka mereka akan menanggung PPN sebesar 10%. “Kalau kita menjual barang digital sebesar Rp100 ribu, sebenarnya, pembeli harus membayar Rp110 ribu. Dari pemasukan Rp100 ribu, App Store dan Play Store akan minta sebagian sebagai komisi. Tapi, mereka tidak memberikan faktur pajak ke kita. Jadi, kita bayar lagi PPN-nya,” cerita Cipto.

Cipto juga mengungkap, saat ini, pasar game di Indonesia sangat terbuka. “Perusahaan dari luar bisa jual game seenak hati mereka,” katanya. “Tapi, dari sini, untuk bisa keluar, tidak semudah itu.” Dia memberikan contoh, terkadang, untuk bisa meluncurkan game di negara-negara tertentu, developer harus memastikan bahwa data pemain disimpan di server yang berada di negara asal pemain. Contoh lainnya, untuk bisa meluncurkan game di Jepang, developer harus mematuhi sistem rating di negara itu. Selain itu, proses penetapan rating itu juga berbayar. Hal yang sama juga berlaku di Korea Selatan.

“Ada juga negara-negara yang melarang game untuk masuk sama sekali kalau kita tidak kerja sama dengan perusahaan lokal,” ujarnya. Salah satu negara yang dia maksud adalah Tiongkok. Untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, perusahaan game harus mematuhi banyak peraturan dari Beijing. Salah satunya adalah kerja sama dengan perusahaan lokal.

“Peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah negara-negara lain kan beragam, mulai dari agak mengganggu sampai benar-benar memblokir. Kita akan coba cari regulasi somewhere in-between,” kata Cipto. “Karena, kalau ketat memblokir juga pasti banyak backlash. Dan kita sebagai pemain game juga tidak mau kalau game favorit kita tutup. Kita kan juga bagian dari WTO (World Trade Organization), jadi tidak bisa seenaknya memblokir begitu saja.”

Meningkatkan Kualitas SDM

Jika dibandingkan dengan Jepang atau Amerika Serikat, industri game di Indonesia masih sangat muda. Alhasil, salah satu masalah yang muncul di industri game Indonesia adalah kurangnnya sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. Untuk mengatasi masalah itu, Kominfo dan AGI mengadakan IGDX Academy. Program one-on-one mentoring itu diikuti oleh 25 developer game lokal.

Program IGDX Academy sendiri terbagi ke dua kategori: intermediate dan advanced. Cipto menjelaskan, kelas intermediate ditujukan untuk developer yang relatif berumur muda. Mereka akan dipasangkan dengan mentor dari dalam negeri. Sementara itu, kategori advanced ditujukan untuk developer yang sudah menjadi mentor lokal. Mereka akan mendapatkan mentor dari luar negeri. Para mentor yang dipilih untuk membimbing para peserta IGDX Academy ditetapkan oleh AGI.

“Ketika mencari mentor, pertama yang kita cari adalah pengalaman,” jawab Cipto ketika ditanya tentang karakteristik dari para mentor IGDX Academy. “Sejak awal, kita tahu bahwa skill yang akan diajari bukan skill teknis, tapi bagaimana cara untuk menjalankan bisnis game. Informasi itu adalah informasi penting yang banyak orang nggak tahu.”

Para developer yang menjadi mentee dari IGDX Academy.

“Seorang mentor harus punya posisi strategis. Kalau posisinya adalah technical programmer, dia tidak bisa menjadi mentor. Karena seorang mentor harus pernah mengambil keputusan strategis, seperti kemana tujuan perusahaan,  ketika dihadapkan pada dua pilihan, kenapa perusahaan mengambil keputusan A,” ungkap Cipto. Dia lalu menjelaskan alasan mengapa AGI memilih untuk mencari mentor yang mengerti sisi non-teknis.

“Sebagian besar developer game Indonesia memulai karir mereka karena mereka memang suka main game, bukan karena mereka mau dapat uang,” kata Cipto. “Kalau seseorang mengerti bisnis dan mau dapat uang, ada banyak pilihan lain yang lebih obvious dari game, seperti membuat startup teknologi, bisa dapat investasi, atau bermain Bitcoin. Tapi, biasanya, developer yang punya produk menjanjikan, mereka memang datang dari latar belakang yang bisa membuat produk yang bagus, tapi mereka biasanya tidak punya pemahaman bisnis yang baik.”

Selain pernah menduduki jabatan sebagai co-founder atau C-level, kriteria lain dari mentor IGDX Academy adalah lama pengalaman. AGI berusaha untuk mencari orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia game selama setidaknya 10 tahun. Cipto menyebutkan, besar kecil dari perusahaan tempat sang mentor bekerja justru bukan masalah. Kriteria terakhir dari mentor yang AGI cari adalah ketersediaan waktu.

“Orang-orang dengan posisi strategis dan banyak pengalaman pasti sibuk,” ujar Cipto. Karena itu, dia menjelaskan, AGI mendesain program mentorship IGDX Academy sedemikian rupa agar para mentor tidak harus menghabiskan banyak waktu mereka. Seorang mentor biasanya bertanggung jawab atas dua mentee. Dan setiap mentor hanya harus menghabiskan waktu dengan masing-masing mentee mereka selama 40 menit seminggu. Artinya, seorang mentor hanya harus menghabiskan waktu selama kurang dari dua jam dalam seminggu.

Bagaimana Nintendo Mendukung Game Indie di Switch?

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Sejak saat itu, Nintendo telah meluncurkan dua versi baru dari Switch, yaitu Switch Lite dan Switch OLED. Per 2019, angka penjualan Switch mencapai 41,7 juta unit. Pada 2021, angka itu naik menjadi lebih dari 92 juta unit. Hal itu berarti, minat gamers akan Switch masih tinggi dalam dua tahun terakhir.

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kamon Yoshimura, Head of Developer and Publisher Relations for Southeast Asia, Nintendo memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus developer lakukan jika mereka ingin meluncurkan game mereka di Switch. Dia mengatakan, pada dasarnya, developer punya dua cara untuk membawa game mereka ke Switch. Pertama, developer bisa meluncurkan game yang mereka buat melalui Nintendo eShop. Kedua, developer bisa bekerja sama dengan publisher yang memang sudah diakui oleh Nintendo, seperti Capcom, Konami, Square Enix, 2K, Bethesda, 505 Games, Ubisoft, dan lain sebagainya.

Untuk bisa meluncurkan game di Nintendo eShop, developer harus mendaftarkan diri di Nintendo Developer Portal (NDP). Sementara itu, sebelum meluncurkan game di eShop, developer harus mengunggah game ke server Nintendo terlebih dulu. Di tahap ini, Nintendo akan memeriksa apakah game dari developer memang kompatibel dengan Switch. Jika tidak ada masalah, developer akan mendapatkan persetujuan dari Nintendo. Kemudian, developer akan diminta untuk mengunggah aset marketing dari game mereka, seperti trailer dan screenshot. Ketika semua persiapan telah selesai, maka game yang developer unggah ke eShop akan bisa diakses oleh pengguna Switch di seluruh dunia.

Dari tahun ke tahun, jumlah penjualan game digital di Nintendo eShop terus naik. Misalnya, pada tahun fiskal 2021, total nilai penjualan game digital mencapai JPY3,4 miliar (sekitar Rp420 miliar), naik 68,5% dari JPY2,04 miliar (sekitar Rp252 miliar) pada tahun fiskal 2020. Karena itu, jangan heran jika kontribusi penjualan game digital pada total nilai penjualan game di konsol Nintendo juga terus naik. Pada 2021, penjualan game digital menyumbangkan 42,8% dari total penjualan game untuk Nintendo.

Menurut Nintendo, salah satu alasan mengapa penjualan game digital terus naik adalah karena keberadaan game indie dan game-game yang hanya dijual secara digital. Melihat tren ini, Nintendo mencoba memberikan dukungan pada developer game indie. Salah satu dukungan yang mereka berikan adalah mengadakan Nintendo Indie World, event yang memang khusus diadakan untuk memamerkan game-game indie yang akan diluncurkan di Switch.

Sumber header: Pexels

Tips untuk Melakukan Pitching ke Publisher dari Toge Productions

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IDGX) pada 18-22 November 2021. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di industri game lokal menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan IGDX. Dan salah satu topik yang dibahas di acara tersebut adalah cara developer game melakukan pitching pada publisher.

Ketika ditanya tentang tips untuk melakukan pitching pada publisher, CEO dan pendiri Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjawab, “Jangan malu-malu. Langsung saja kirim email ke publisher. Tapi, ketika kalian kirim email, jangan hanya bilang kalau kalian ingin melakukan pitching. Kirimkan pitch deck yang meyakinkan.” Dia mengungkap, salah satu kelemahan developer game di Indonesia memang ketidaktahuan akan cara untuk melakukan pitching.

“Yang paling penting, developer harus bisa menjelaskan kenapa game yang mereka buat harus ada di dunia,” jelas Kris. “Alasannya apa? Apa karena ada kebutuhan tertentu, atau memang ada demand tertentu atau ada kesempatan khusus? Developer juga harus bisa meyakinkan publisher bahwa mereka bisa mengeksekusi game yang akan mereka buat. Jadi, tidak hanya jualan mimpi.”

Lebih lanjut, Kris menjelaskan, saat melakukan pitching, developer juga sebaiknya mengirimkan mockup, screenshots, atau bahkan prototipe dari game yang hendak mereka buat. Tujuannya adalah untuk menunjukkan game yang ingin developer kembangkan. Ketika email pitching tidak dibalas, Kris mengatakan, developer tidak boleh menyerah begitu saja. Dia menyarankan agar developer terus mengirimkan email pitching pada publisher. “Spam juga nggak apa-apa,” ujarnya sambil tertawa. “Perseverance memang penting sih.”

Adib, Kris, dan Riris dalam IGDX.

Adib Toriq, CEO Algorocks juga memberikan tips tentang cara melakukan pitching pada publisher. Dia memberikan saran dari sudut pandang Algorocks sebagai developer game. Saran pertamanya adalah untuk memeriksa portofolio publisher sebelum developer melakukan pitching. “Karena, terkadang, publisher menolak sebuah game bukan karena game-nya tidak bagus, tapi karena tidak sesuai dengan portofolio publisher,” kata Adib.

Selain itu, Adib juga menekankan pentingnya etika ketika menghubungi publisher. “Jangan jadi orang menyebalkan,” ujarnya. Salah satu contoh etika yang dia berikan adalah membalas email dari publisher dengan cepat. Contoh lainnya adalah mengajukan dana sesuai dengan kebutuhan. “Dan yang paling penting adalah game harus punya value. Seberapa bagus skill pitching developer, kalau game-nya memang tidak punya nilai unik, bakal sulit untuk membuat publisher mau merilis game itu,” katanya.

Usaha developer tidak berakhir dengan tawaran kontrak dari publisher. Riris Marpaung, CEO dan pendiri GameChanger Studio mengatakan, setelah mendapatkan kontrak dari publisher, developer sebaiknya memeriksa kontrak tersebut bersama dengan pengacara. Alasannya adalah karena kontrak antara developer dan publisher “penuh dengan pasal-pasal hukum jelimet“, menurut Riris. Untuk meninjau kontrak, developer tidak harus punya pengacara sendiri. Bisa saja, mereka menggunakan jasa pengacara per kontrak.

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Ajang “Ayo Bikin Game di Rumah Aja” Ciptakan Lebih dari 200 Game

Ajang “Ayo Bikin Game di Rumah Aja” kini sudah memasuki fase pemilihan. Ajang ini merupakan sebuah inisiatif yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia, dan Clevio, sebagai sarana untuk mendukung kebijakan isolasi diri yang diterapkan pemerintah sembari mendorong masyarakat tetap aktif.

Dalam ajang ini, para peserta diminta membuat game dengan tema “Mari Bersama Melawan COVID-19: Hidup Bersih, Sehat, dan Seru.” untuk memperebutkan total hadiah sebesar Rp30 juta. Ajang ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu Junior (untuk siswa SD, SMP, dan SMA/SMK) dan Mahasiswa/Umum. Setelah ajang cipta game selesai digelar dari tanggal 2 sampai 5 April 2020, kini terkumpul 200 karya lebih dari dua kategori tersebut.

Hybrid - Akbar Priono
Hybrid – Akbar Priono

Tercatat ada 238 karya dari dua kategori, dengan rincian berupa 131 karya dari kategori umum, dan 107 karya dari kategori Junior. Semua karya yang lolos sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan, termasuk merepresentasikan tema yang diusung serta membawa pesan edukasi penanggulangan COVID-19 yang informatif dan dengan cara yang menyenangkan.

Walau kebijakan isolasi diri mengharuskan semua orang untuk tetap di rumah, namun ajang ini tetap tidak kehilangan antusiasme dari masyarakat. Selain diikuti oleh banyak peserta, ajang ini ternyata juga menarik minat banyak kalangan.

Salah satu peserta bahkan ada yang masih berusia 7 tahun dan duduk di kelas 2 SD. Ajang ini juga diantisipasi oleh masyarakat dari berbagai belahan Indonesia, dengan domisili peserta mulai dari ujung barat Langsa di Banda Aceh hingga Malili di Luwu. Timur. Bahkan, ada juga seorang mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di kota Kitakyushu, Jepang, ikut serta membuat game untuk ajang ini.

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Setelah semua karya terkumpul, kini sayembara ini memasuki fase voting. Untuk melakukan voting, Anda para pembaca Hybrid dapat melakukannya dengan memberi like pada unggahan peserta yang menggunakan tagar #ayobikingame dan #dirumahaja. Nantinya akun Instagram resmi AGI dan Clevio juga akan secara rutin melakukan repost game buatan para peserta di Instagram Story selama masa voting berlangsung.

Voting berlangsung mulai dari tanggal 6 sampai 10 April 2020 pukul 12:00. Nantinya, game dengan jumlah like terbanyak akan dinobatkan sebagai game terfavorit, dan akan diumumkan tanggal 13 April 2020 mendatang, bersamaan dengan pengumuman game terbaik pilihan para juri.

Anda dapat pergi ke laman agi.or.id/ayobikingame, untuk mengetahui informasi lebih lanjut seputar ajang cipta game “Ayo Bikin Game di Rumah Aja”.

AGI, Kominfo, dan Clevio Gelar Ajang “Ayo Bikin Game di Rumah Aja”

Dengan adanya pandemi COVID-19 pemerintah di berbagai negara menghimbau masyarakat untuk melakukan isolasi diri untuk mencegah penyebaran virus tersebut lebih luas lagi. Di beberapa negara, kebijakan ini berdampak kepada batalnya helatan-helatan besar. Dari esports misalnya, ada PBWC 2020 yang batal diselenggarakan, atau helatan IEM Katowice yang terpaksa digelar tanpa penonton.

Namun, ini bukan berarti kita harus berdiam diri dan pasrah terhadap keadaan. Beberapa elemen industri esports dan gaming melakukan inisiatif untuk membuat keadaan lebih baik. Seperti tournament organizer WePlay! yang menyelenggarakan WeSave! sebagai ajang galang dana, yang berhasil mengumpulkan Rp2,9 miliar untuk membantu gerakan melawan pandemi COVID-19.

Sementara itu di Indonesia gerakan serupa juga dilakukan, terutama untuk mendukung kebijakan isolasi diri yang dilakukan pemerintah. Maka dari itu, sebagai sarana sosialisasi Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia, Clevio, serta didukung oleh Garena, menyelenggarakan ajang cipta game yang bernama “Ayo Bikin Game di Rumah Aja”.

Sumber: AGI
Sumber: AGI

Mengusung tema “Mari Bersama Melawan COVID-19: Hidup Bersih, Sehat, dan Seru.”, ajang cipta game ini terbuka untuk umum, bisa diikuti oleh siapapun mulai dari anak-anak hingga dewasa. Game yang tercipta dari ajang ini diharapkan bisa menjadi media sosialisasi yang interaktif, agar masyarakat tersadar untuk melawan dan mencegah pandemi ini untuk menjadi lebih besar lagi.

“Kondisi perang melawan COVID-19 yang kita alami saat ini membuat masyarakat dihimbau untuk beraktivitas di rumah saja, menjaga jarak dengan orang lain. Hal ini sesuai arahan Presiden RI, Bpk Jokowi, agar kita segera dapat menahan laju penyebaran yang terinfeksi virus Corona.” ucap Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

“Untuk mendukung arahan tersebut, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kemkominfo, bekerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia dan Clevio Coder Camp menginisasi sebuah ajang cipta karya. Kegiatan ini mengajak generasi muda untuk bersama-sama membuat game dari rumah masing-masing sehingga waktu yang dimiliki terisi dengan penambahan karya dan pengetahuan. Kita harapkan kegiatan ini membuat komunitas game developer jadi semakin besar dan secara bersamaan meningkatkan kesadaran akan hidup sehat, bersih dan juga seru dalam menghadapi COVID-19,” paparnya.

Sumber: AGI
Sumber: agi.or.id/ayobikingame

Terbuka untuk umum, ajang cipta game “Ayo Bikin Game di Rumah Aja” dibagi menjadi dua kategori, yaitu Junior untuk siswa SD, SMP, dan SMA/SMK dan kategori mahassiwa/umum. Masing-masing Masing-masing peserta diharuskan untuk membentuk tim dan bekerja sama selama empat hari untuk menghasilkan sebuah purwarupa game yang bisa dimainkan. Dan untuk mendukung gerakan #dirumahaja yang digaungkan pemerintah, semua aktivitas dan komunikasi dilakukan secara online, tanpa harus keluar rumah. Masyarakat juga dilibatkan dalam menentukan game favorit mereka dengan cara memberikan voting terhadap karya-karya yang didaftarkan.

“Untuk membantu mempersiapkan anak-anak mengikuti game jam ini, Coach Clevio yang sudah berpengalaman mengajar coding game kepada ribuan coders telah mempersiapkan webinar gratis dan seru untuk belajar bikin game,” ungkap Fransiska Oetami, CEO Clevio Coder Camp. “Jadi jangan khawatir kalau belum pernah coding atau bikin game sebelumnya. Meskipun harus #dirumahaja, tidak berarti harus sendiri-sendiri, karena anak juga akan belajar mengembangkan social skill dengan kerja bersama teman secara online, persis seperti bapak ibu yang meeting online karena #workfromhome,” lanjutnya.

Pendaftaran ajang ini sudah dibuka sejak 29 Maret dan akan terselenggara sampai 13 April 2020 mendatang, mulai dari online workshop, pembuatan game, serta voting masyarakat untuk menentukan pemenang ajang ini. Nantinya ada total hadiah sebesar Rp30 juta dan sertifikat digital yang diberikan kepada 11 orang pemenang. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengunjungi laman: https://www.agi.or.id/ayobikingame.

Bekraf Game Prime 2019 kembali digelar untuk keempat kalinya tanggal 13-14 Juli 2019 di Jakarta. Sesi B2B ditiadakan, diganti sesi pitching ke luar negeri

Bekraf Game Prime 2019 Siap Digelar, Beri Panggung Developer Game Lokal Unjuk Gigi

Bekraf Game Prime 2019 kembali digelar untuk keempat kalinya, tepatnya tanggal 13-14 Juli 2019 di Jakarta. Bekraf bekerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan portal berita esports GGWP.id dalam menggelar pameran game tahunan terbesar di Indonesia ini.

“Saat ini game bukan hanya sekadar hiburan, melainkan dapat menjadi alat edukasi, periklanan bahkan bisa memberikan kontribusi dalam ekonomi nasional. Selain itu, industri game telah menjadi salah satu profesi baru dengan jenjang karier yang jelas,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, Jumat (5/7).

Pihaknya telah menyiapkan 50 game developer dalam negeri yang sudah terkurasi untuk unjuk game terbaru mereka, sampai turnamen esports. Tak hanya buka booth, mereka akan berbagi pandangan terkait industri game serta jenjang kariernya di sana. Harapannya akan semakin banyak talenta muda yang tertarik terjun.

Menurut Presiden AGI Narenda Wicaksono, banyak developer lokal yang berbakat tapi jauh dari radar publikasi. “Semua game developer terbaik di sini akan berkumpul, mereka bisa saling berkolaborasi dan memperkenalkan produknya. Inginnya yang datang bisa terinspirasi untuk buat game,” katanya.

Game developer yang diajak Bekraf untuk unjuk gigi ini sekitar 10% di antaranya datang dari luar Jawa. Ini memperlihatkan bahwa game yang mereka hasilkan punya kualitas yang tidak kalah dengan game developer di dalam Jawa.

“Kami lakukan kurasi bukan dari lokasi tapi lihat kualitasnya. Ketika melihat hasilnya, ternyata ada partisipan dari luar Jawa yang masuk, ini artinya kualitas game di Indonesia sudah melebar,” tambah CEO GGWP.id Ricky Setiawan.

Selama dua hari, pengunjung akan disuguhkan dengan area khusus untuk bermain game VR dan AR. Di samping itu, juga disediakan berbagai macam board game hasil karya desainer lokal dan area dingdong untuk sekadar nostalgia game masa lalu.

Pengunjung bisa mencoba simulator balap Arcade Retro yang biasa digunakan pembalap profesional untuk latihan. Bagi para artist, baik itu komikus, ilustrator, dan artist game, disediakan area khusus untuk memamerkan koleksinya.

Hari menuturkan Bekraf menyiapkan penghargaan untuk game developer yang berprestasi selama beberapa tahun terakhir sebagai bentuk apresiasi. Bahkan berkesempatan untuk memamerkan karyanya di luar negeri.

Diprediksi jumlah kunjungan pada tahun ini dapat tembus antara 25 ribu sampai 30 ribu dari total pendaftaran yang masuk sekarang ada sekitar 19 ribu. Angka ini membludak dari gelaran di tahun sebelumnya sebanyak 16 ribu orang yang datang.

Sesi B2B ditiadakan

Satu hal yang paling mencolok dari BGP tahun ini adalah ditiadakannya sesi B2B. Padahal sebelumnya, secara rutin BGP punya dua konsep dengan target yang berbeda, untuk kalangan B2B dan B2C.

Sesi B2B ini memberikan kesempatan buat game developer untuk pitching di hadapan calon investor dan memberikan kesempatan bertukar pikiran dan membangun relasi untuk potensi kolaborasi jangka panjang.

Hari beralasan, sesi ini ditiadakan karena berkaca dari tahun lalu, realisasi investasi yang diberikan untuk game developer sangat minim. Investor lokal diasumsikan belum memiliki minat yang cukup untuk berinvestasi di segmen ini, beda halnya dengan investor di luar negeri.

Sebagai gantinya, Bekraf memutuskan untuk mengganti sesi B2B ini dengan mengajak developer pitching ke luar negeri.

“Dari segi ekosistem, investor lokal belum memiliki taste untuk berinvestasi ke perusahaan game. Justru [investor] lebih banyak datang dari luar negeri, makanya nanti mau kita ajak mereka ke sana.”

BGP tahun ini akan difokuskan untuk pemasaran produk game yang selama ini belum terlalu dikuasai oleh para developer. Kendati produk yang mereka hasilnya punya kualitas yang bagus, tapi banyak dari mereka yang belum tahu cara mengemasnya.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Bekraf Game Prime 2019

Roadmap Industri Game Indonesia

Bekraf Bersama Asosiasi Mulai Rumuskan Roadmap untuk Industri Game Indonesia

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) telah selesai menyelenggarakan Bekraf Developer Conference (BDC) 2018 dengan menghadirkan pengembang game dan aplikasi tanah air. Acara tahunan ini juga dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan roadmap pengembangan industri digital untuk tahun mendatang, salah satunya fokus pada industri game.

“Indonesia adalah salah satu negara paling berpotensi sebagai negara produsen game bermutu. Penghasilan yang diperoleh Indonesia setiap tahun dari industri game mencapai 1 triliun Rupiah. Itulah mengapa jumlah studio game di Indonesia juga semakin meningkat. Melihat potensi ini, game developer menjadi salah satu profesi yang sangat dicari,” terang Deputi Infrastruktur Bekraf, Hari Sungkari, dalam ketarangan resminya.

Narenda Wicaksono, Founder Dicoding sekaligus Ketua Umum AGI, menjelaskan perumusan roadmap merupakan langkah para pelaku industri untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Harapannya dapat dipertimbangkan dalam kebijakan yang diambil untuk memajukan industri digital.

“Industri game di Indonesia masih dalam tahap berkembang, masih banyak yang harus dibenahi; market lokal juga masih dikuasai asing. Namun di sisi lain, terjadi peningkatan yang sangat signifikan, terutama di platform konsol. Banyak game yang di-publish oleh anak bangsa di konsol-konsol ternama, sebut saja seperti Valthirian Arc, Ultra Space Battle Brawl, Fallen Legion, dan lain-lain,” terang Narenda.

Menurut Narenda peningkatan industri game lokal turut dipengaruhi beberapa hal. Pertama adalah faktor edukasi, melibatkan institusi pendidikan untuk menghasilkan talenta pengembang dan pendukung kreativitas game. Kedua adalah investasi, karena ini menjadi salah satu hal penting untuk mengakselerasi jalannya industri.

“Harapannya dengan adanya roadmap ini dapat memberikan insight kepada pemerintah, sehingga membuahkan akselerasi pertumbuhan industri digital, khususnya game. Peningkatan industri game lokal juga diharapkan dapat mengambil alih pasar di negeri sendiri. Selain itu diharapkan pula adanya kolaborasi lebih lanjut dengan sub sektor lainnya, misal film, dan komik,” imbuh Narenda.

Selliane Halia Ishak, Ricky Setiawan, Narenda Wicaksono saat acara jumpa pers / DailySocial

Promosikan Pengembang Game Lokal, Bekraf Game Prime Kembali Digelar

Masih rendahnya minat investor hingga kualitas talenta pengembang game lokal saat ini, menjadi sorotan dari Asosiasi Game Indonesia (AGI). Dalam acara konferensi pers Bekraf Game Prime 2018, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono mengungkapkan, kegiatan ini bisa dijadikan kesempatan bagi pengembang lokal untuk mempromosikan sekaligus memperluas networking dengan pihak terkait.

“Lakukan juga uji coba game yang saat ini sedang dikembangkan kepada publik. Dengan demikian feedback langsung dari target pengguna bisa didapatkan. Selain itu siapkan elevator pitch saat bertemu dengan investor yang hadir di acara tersebut,” kata Narenda.

Tahun ini Bekraf bersama AGI dan Idea Network memiliki misi untuk mempromosikan karya pengembang lokal, bukan hanya di tanah air namun juga secara global. Dengan demikian diharapkan bisa memancing lebih banyak lagi minat dari generasi muda untuk menjadi pengembang game.

“Jika kita lihat tahun ini eSport mulai banyak digemari oleh pecinta mobile game di Indonesia. Selain memberikan kesempatan untuk melihat langsung karya pengembang lokal, pengunjung juga bsa bertemu langsung dengan pengembang game asing,” kata CEO Idea Network Ricky Setiawan.

Nantinya sekitar 70-80 booth akan diisi oleh pengembang game lokal untuk mempromosikan karya game mereka. Mulai dari mobile game, console hingga PC Game, Semua bisa ditemui saat acara Bekraf Game Prime, yang bakal digelar pada tanggal 13-15 Juli 2018. Serupa dengan tahun sebelumnya, kegiatan ini akan dibagi menjadi dua konsep, yaitu untuk kalangan B2B dan B2C.

Peranan AGI untuk pengembang game lokal

Sebagai asosiasi yang fokus kepada pertumbuhan pengembang game lokal, AGI kerap memberikan dukungan keada pengembang lokal yang kebanyakan adalah entitas, untuk bisa mempromosikan karyanya secara global. Tercatat saat ini Indonesia menduduki peringkat 20 sebagai negara pengembang game yang memiliki potensi cerah.

“Memang tidak mudah untuk mengembangkan game yang sukses dan disukai pengguna. Sedikitnya dibutuhkan waktu sektar tiga tahun, hingga game tersebut berhasil seperti yang telah dilakukan oleh Agate dan pengembang game Tahu Bulat,” kata Narenda.

Meskipun AGI tidak menuntut semua pengembang game untuk masuk kedalam asosiasi, namun dengan bergabungnya mereka yang kebanyakan dari kalangan individu atau kurang dari 3 orang, bisa mendapatkan kesempatan untuk memperluas jaringan hingga meningkatkan kualitas talenta. Dengan demikan, produk yang baik dan tepat sasaran bisa diciptakan.

AGI sendiri bersama dengan Bekraf saat ini tengah menyiapkan platform untuk pengembang lokal mendapatkan pelatihan hingga kesempatan untuk mengembangkan produk game.

“Tentunya tidak ada formula yang efektif untuk game yang ideal dan berpotensi untuk laku di pasaran. Semua mengikuti tren dan tentunya tergantung dari kualitas game itu sendiri,” kata Narenda.