Tag Archives: Asosiasi Game Indonesia

Melirik Potensi Besar Industri “Gaming” di Indonesia

“Gamal! Kapan belajarnya?! Jangan main terus!,” ujar Mary, orang tua Gamal, pelajar kelas 12 SMA di Bekasi.

Bu Mary sudah berkali-kali mengungkapkan kekesalannya ke anaknya itu. Gamal terlalu sering lalai mengerjakan tugasnya dari sekolah dan cuma asyik bermain game di smartphone-nya semalaman. Kebiasaan buruk itu bukan sekali dua kali, tapi hampir setiap hari dilakukan Gamal, yang termasuk kids jaman now.

Maksud Mary, Gamal boleh saja rileks sejenak, namun jangan sampai kebablasan. Namun kenyataannya, lebih sering bablas bergadget ria, daripada belajar. Alhasil perolehan nilai sekolah Gamal ikut terjun bebas, padahal dia sekarang sudah ada di tingkat akhir.

Mary tidak tahu game apa yang membuat Gamal bisa keranjingan sampai sedemikian parahnya. Awalnya Gamal bukan anak yang gemar main game. Tapi, karena pengaruh teman-teman di sekolah, atau mungkin dari teman-temannya di dunia maya, akhirnya membuat dia jadi gamer gelap mata.

Tren MOBA

Gamal, seperti kebanyakan anak-anak generasi zaman sekarang, rupanya keranjingan main game Mobile Legends: Bang Bang. Mobile game ini sangat populer dan terus menempati posisi teratas dalam Top Charts di Play Store dan App Store. Di Play Store saja, terhitung sudah diunduh oleh lebih dari 50 juta kali di seluruh dunia.

Mobile Legends adalah multiplayer online battle games (MOBA), lima lawan lima dengan cara bermain yang simpel. Ada tutorial disediakan bagi gamer yang baru pertama kali mencoba. Pemain dapat bertanding dengan pemain yang dikenal atau orang yang tidak dikenal dari seluruh dunia. Mereka dapat bekerja sama memenangkan pertandingan, bahkan disediakan fitur in-game chat agar tetap bisa berkomunikasi selama game berlangsung.

Desain grafis dan visual ditata dengan cukup apik. Baik karakter, map, item, efek skill, dan lainnya cukup nyaman dipandang mata, hampir sempurna untuk dikategorikan sebagai sebuah mobile game.

Aktor yang ‘bermain’ pada game sengaja dibuat dari berbagai negara. Ada Bruno dari Brazil, Yin Shun Shin dari Korea, Kagura dari Jepang, Chou dari Tiongkok, bahkan ada karakter dari Indonesia, Gatot Kaca. Seluruh karakter tersebut memiliki berbagai skill yang berbeda-beda untuk dimainkan.

Game Mobile Legends Bang Bang

Pamor game ini cukup tinggi di Indonesia. Buktinya, kompetisi Mobile Legends South East Asia Cup (MSC) 2017 digelar di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Menurut Mobile Legends, Indonesia dipilih lantaran memiliki 3,5 juta pemain aktif harian. Ini angka tertinggi dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Perusahaan game dibalik Mobile Legends adalah Shanghai Moonton Technology dari Tiongkok.

Pesaing (game) Mobile Legends di Indonesia adalah Arena of Valor yang masuk ke Indonesia lewat perusahaan publisher Singapura, Garena, pada Juli 2017. Perusahaan ini termasuk ke dalam salah satu anak usaha Tencent Games.

Tencent adalah salah satu perusahaan teknologi terbesar, bersaing dengan Alibaba dan Baidu. Lewat anak usahanya, Tencent Games dikenal lewat produk mobile game yang mereka keluarkan, seperti Mobile Area, Strike of Kings, dan King of Glory.

Tips Bermain Ranked Match di Arena of Valor

Meski keduanya saat ini sedang bersiteru di pengadilan Amerika Serikat terkait isu pelanggaran properti intelektual dan hak cipta yang diduga dilakukan Mobile Legends, ternyata pamornya di Indonesia cukup kuat. Mereka berlomba-lomba menarik anak-anak remaja seusia Gamal hingga kalangan pekerja untuk
keranjingan bermain game tersebut. Pengguna rela mengucurkan biaya tambahan untuk membeli item yang dijual dalam game. Demi meningkatkan peluang untuk memenangkan pertandingan dan prestise. Harganya pun bervariasi mulai dari Rp3 ribu sampai Rp1,5 juta.

Potensi bisnis di industri gaming Indonesia

Penjualan item menjadi salah satu kantong pendapatan Mobile Legends. Mengutip data statistik yang diungkap Prioridata.com, hingga Maret 2017 Mobile Legends telah diunduh oleh 31,6 juta kali di seluruh dunia. Total pendapatannya mencapai U$5,3 juta sejak pertama kali diluncurkan pada November 2016.

Populasi penduduk Indonesia yang hampir mencapai 260 juta, menjadi nilai surplus bagi siapapun yang berbisnis di sini. Menurut hasil riset lembaga firma game Newzoo, di tahun 2016 secara demografis jumlah pemain mobile game didominasi kalangan laki-laki berusia 21-35 tahun dengan persentase 27%. Posisi kedua ditempati oleh kalangan usia 10-20 tahun sebesar 24%, dan sisanya usia 36-50 tahun.

Untuk perempuan, porsi terbesar juga dipegang oleh kalangan berusia 21-35 dengan persentase 18%. Usia 10-20 tahun sebesar 14% dan 36-50 tahun sebesar 7%. Sehingga bisa disimpulkan, kalangan usia 21-35 tahun merupakan lahan utama bagi perusahaan game karena mereka merupakan orang-orang pekerja yang rela mengeluarkan uang ekstra demi game favoritnya.

EMARKETER (DATA DARI NEWZOO)

Secara industri, potensi bisnis game di Indonesia lebih ‘hijau’ dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara karena pertumbuhannya yang cepat. Masih mengacu dari sumber yang sama, total pendapatan industri game di Indonesia diprediksi mencapai US$879,7 juta di 2017. Angka ini lebih besar dari Malaysia US$586,6 juta dan Singapura US$317,6 juta.

Besarnya kue industri game menjadikan Indonesia sebagai negara ke-16 dengan potensi bisnis terbesar dari 100 negara yang diriset Newzoo. Negara terbesar yang menduduki posisi nomor 1 dan 2 adalah Tiongkok dan Amerika Serikat, dengan potensi pendapatan masing-masing sebesar US$27,55 miliar dan US$25 miliar.

Angka yang cukup menakjubkan tersebut, ternyata menurut Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono porsi yang dinikmati lokal kurang dari 10%.

“Hmm.. kalau dirunut masalahnya jadi panjang dan enggak kelar-kelar [bahasnya],” terang Narenda sambil menghela napas dan tertawa kecil, (9/10).

Narenda menguraikan satu per satu masalah yang masih menghantui pemain game lokal.

Pertama adalah kanal distribusi yang sudah terlalu didominasi oleh Google Play Store dan App Store. Sedangkan untuk game berjenis PC dikuasai oleh platform Steam, distributor game digital yang dapat beli langsung di sana. Untuk konsol, pasti menggunakan prinsipal masing-masing yang beredar saat ini, di antaranya PlayStation, Nintendo, dan Xbox.

Dari seluruh kanal distribusi di atas, yang paling cocok untuk pasar Indonesia adalah mobile game. Kebanyakan orang Indonesia merupakan pemakai baru memakai smartphone (mobile-first). Meskipun demikian, karena didominasi oleh dua pemain besar (Google dan Apple), panggung untuk pemain kecil jadi kian tipis akibat dari tingkat persaingan yang ketat dengan aplikasi lainnya.

“Akhirnya untuk mendapatkan exposure harus pasang iklan. Lagi-lagi iklan itu tidak murah. Kalau mau pasang [iklan] di TV, sudah tahu kan biayanya seberapa banyak. Masih banyak perusahaan game yang revenue-nya masih di bawah Rp200 juta-an.”

Kedua, masalah belum meratanya kualitas pengembang game. Ada yang sangat bagus, ada yang kurang. Akibatnya kualitas game yang diciptakan secara rerata masih kalah dengan Vietnam.

Ketiga, tingkat kesudian orang Indonesia untuk membeli game premium beserta item-itemnya masih sangat minim. Padahal langkah ini adalah salah satu pundi-pundi perusahaan game melakukan monetisasi.

Terakhir, membuat game yang berkualitas rupanya bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang bagi perusahaan. Sayangnya, membuat game yang berkualitas tidak ada formula pastinya. Pengembang game harus terus memroduksi produk baru dan terus pelajari bagaimana hasilnya.

“Untuk mengasah kemampuan coding itu bisa belajar di manapun. Tapi untuk mengasah gimana membuat game yang bagus, perlu membuat produk terus menerus dan pelajari hasilnya sampai nanti sampai ke titik game-nya jadi jackpot. Ini akan jadi masalah kalau enggak ada pemodal. Karena ini yang akan membuat runaway jadi pendek, akhirnya beralih buat advergame.”

Dukungan berbagai pihak

Seluruh permasalahan di atas, menurut Narenda, membuat mentalitas kewirausahaan pengembang game jadi kurang tahan banting. Terutama bagi anak muda yang baru lulus kuliah dan memiliki minat jadi pengembang game. Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti di tengah jalan, beralih ke profesi lain karena tidak mampu bertahan dengan proses awalnya.

Siklus reproduksi talenta dalam industri ini jadi kurang variatif karena ujung-ujungnya diisi oleh pemain veteran dan idealis yang mampu bertahan.

“Jadi kayak ayam dan telur. Karena enggak ada yang mau danai, nafasnya jadi tidak bisa panjang. Banyaklah cerita yang kami dapat akhirnya beralih profesi. Bukan hal yang salah juga karena enggak ada yang berani kasih funding sampai produk mereka jadi hit.”

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Dicoding, perusahaan tempat Narenda bernaung, untuk membuat mobile game yang layak setidaknya membutuhkan waktu antara 6 bulan maksimal setahun. Definisi layak itu setidaknya memenuhi semua kriteria minimum, termasuk gameplay, storyline, karakter, dan lainnya.

Berbeda dengan industri lainnya, di dalam game berlaku faktor X yang bisa menjadi titik loncatan terbesar bagi suatu produk game.

SUMBER: NEWZOO

Salah satu contoh game yang menjadi hit karena faktor X adalah Angry Birds oleh Rovio. Game tersebut muncul, salah satunya karena momentum epidemi flu babi yang merebak secara global di 2009. Wabah tersebut melahirkan ide untuk menjadikan babi sebagai karakter dan musuh bagi burung, karena virus tersebut menyebar lewat perantara babi.

Angry Birds sendiri bukan game pertama yang dibuat Rovio, melainkan game ke 52 yang diproduksi Rovio sejak berdiri di 2003. Faktor X tersebut membawa kejayaan Rovio hingga kini. Awalnya Angry Birds dibuat eksklusif untuk platform iOS sebagai game premium, biaya pembuatannya sekitar US$136 ribu dengan lama pengerjaan 8 bulan.

“Karena faktor X ini yang membuat game di mata para pemodal kurang menarik. Secara fluktuasi sangat tinggi dan kurang sustainable. Padahal industri ini rumusnya jelas: game bagus, promosi maksimal, uang pasti ada.”

Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di industri game, AGI rajin mengadakan program pelatihan bekerja sama dengan kampus-kampus demi menghasilkan bibit-bibit muda. Maksud dari kegiatan ini adalah AGI ingin memberi mereka pengalaman merintis sebuah game dari awal jauh hari sebelum mereka lulus kuliah.

Semangatnya adalah ketika mereka sudah lulus sudah ada kemampuan untuk membuat game dan mendirikan usaha sendiri. Dengan demikian, bisa memperbaiki siklus reproduksi pelaku game tidak lagi diisi oleh veteran saja.

SUMBER: BEKRAF

Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana menuturkan pihaknya telah menyaksikan pertumbuhan industri game lokal yang berkualitas tinggi dan dapat diterima masyarakat. Contohnya adalah Tahu Bulat, Tebak Gambar, dan Warung Chain.

“Mereka tumbuh luar biasa dengan angka pertumbuhan yang kuat dalam hal pendapatan dan unduhan,” kata Jason tanpa menyebutkan detil angkanya.

Untuk terus mendukung ekosistem game lokal, Google Indonesia secara aktif terus melakukan inisiasi lokal dengan membuat kegiatan seperti Indonesia Games Contest, Made in Indonesia Collection, Ramadan Collection, Independence Day Collection, dan koleksi lainnya bermuatan lokal.

Melihat potensi yang cukup besar dari industri kreatif ini, aplikasi dan developer game (AGD) menjadi satu dari tiga subsektor prioritas yang diangkat oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Setelah itu ada sektor film, dan musik.

“Tiga subsektor prioritas ini yang paling menderita karena ekosistemnya belum terbentuk,” ucap Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam kata sambutan acara yang digelar Samsung, (9/10).

Bekraf mengangkat tiga subsektor ini karena memiliki kesamaan yakni tidak ada formula standar yang membuat setiap produk yang dirilis selalu laris di pasar. Ini yang membuat fluktuasinya tinggi dan kurang terlihat nyata keberlangsungan bisnisnya di mata pemodal.

Ditambah pula, kontribusinya terhadap total produk domestik bruto (PDB) untuk ekonomi kreatif di bawah 1% pada tahun lalu. Padahal, pertumbuhan PDB dalam masing-masing sektor tumbuh sekitar 7% tiap tahunnya.

Sebagai gambaran, kontribusi aplikasi dan developer game sebesar 1,77%, musik 0,47%, dan film 0,16%.

Alasan lainnya, Bekraf mengangkat aplikasi dan developer game karena industri ini dianggap jadi motor untuk mengangkat subsektor ekonomi kreatif lainnya. Misalnya game bisa diperuntukkan dalam dunia hiburan, media iklan, edukasi, dan lain sebagainya.

Dari segi pertumbuhan pendapatan pun, industri game terus menunjukkan peningkatan yang cukup drastis [lihat grafik Newzoo]. Namun porsi yang dinikmati lokal sangat minim.

“Karena alasan alasan tersebut, Bekraf memutuskan untuk mengangkat aplikasi dan game developer, serta musik, dan film masuk ke dalam subsektor prioritas sejak tahun lalu. Kami gerak aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang melibatkan ketiga subsektor tersebut,” ucap Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, (17/10).

Beberapa program yang diinisiasi Bekraf untuk memajukan industri game, mulai dari mencetak sumber daya alam, membangun infrastruktur, hingga bantuan pendanaan. Untuk mencetak talenta berkualitas, Bekraf mengadakan Bekraf Developer Day (BDD) bekerja sama dengan perusahaan skala global. Tujuannya tak lain ingin mempertemukan pelaku usaha dengan perusahaan agar terjadi kolaborasi bisnis.

Dalam kurun waktu dua tahun, BDD telah hadir di 14 kota, dihadiri lebih dari 10 ribu pengembang dan menghasilkan lebih dari 1.300 aplikasi. Dari total tersebut, sekitar 338 aplikasi adalah game. Program lainnya Bekraf turut berpartisipasi lewat kegiatan Samsung Developer Academy Indonesia. Di sana telah mendidik 5 ribu orang dan menghasilkan 900 aplikasi lokal.

Dalam rangka mendukung pembangunan ekosistem ekonomi kreatif, Bekraf mendorong seluruh kota di Indonesia mengikuti program Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I). Program ini ditujukan untuk mendorong peningkatan kontribusi PDB ekonomi kreatif yang dilakukan langsung oleh pemerintah daerah.

Setiap kota diwajibkan untuk memilih satu dari 16 subsektor yang diandalkan. Nanti Bekraf akan lakukan penilaian dan verifikasi tersendiri dan memberikan sejumlah insentif untuk menunjang kegiatan subsektor tersebut. Misalnya bantuan pengadaan kantor dan pusat kegiatan.

Kota yang sudah memutuskan diri untuk fokus ke subsektor AGD adalah Malang. Penilaian Bekraf untuk memilih AGD untuk Malang karena subsektor ini telah tumbuh dan terus berkembang sejak 2011.

Di sana, jumlah pelaku AGD mencapai lebih dari 2.200 pelaku, 6 komunitas, 96 pengusaha, 4.800 lulusan akademik, dengan kegiatan tahunan skala nasional dan operasi bisnis skala internasional. Diperkirakan jumlah tenaga yang terserap saat ini sekitar 2.200 orang dengan pertumbuhan sebesar 20% per tahun.

Secara ekonomi, sektor AGD memiliki indikasi forward linkage pada kegiatan bisnis di subsektor unggulan lainnya, yaitu kuliner dan animasi, film & video. Serta, backward linkage pada penyerapan tenaga kerja terampil dan terdidik dari universitas maupun sekolah kejuruan.

“Kami juga tantang mereka, setelah fokus ke subsektor AGD berapa kontribusi PDB yang bisa mereka berikan ke Malang, berapa tenaga kerja yang bisa diciptakan. Sebagai gantinya, kami beri insentif berupa bantuan dana untuk pembangunan infrastruktur untuk dukung sektor AGD.”

Kota lainnya yang sudah menetapkan fokus ekonomi kreatif adalah Semarang, yang memilih fesyen, Banda Aceh dan Pekalongan memilih kriya. Sleman, menurut Hari, meski belum memutuskan, kemungkinan besar akan jadi kota kedua setelah Malang yang fokus ke AGD.

Dengan adanya berbagai upaya positif dari Bekraf, AGI, maupun Google untuk memajukan pemain game lokal, artinya masih ada secercah harapan untuk Tahu Bulat dan kawan-kawannya untuk terus eksis di Tanah Air, menghadapi terjangan dari Mobile Legends dan sebangsanya.

Bekraf Game Prime 2017 Segera Digelar Pekan Depan di Jakarta

Acara tahunan Bekraf Game Prime 2017 kembali digelar pada 27 Juli – 30 Juli 2017 di Jakarta. Yang berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini Game Prime mengusung dua format, tak hanya menyasar B2B, namun juga segmen B2C untuk publik.

Format B2B dikemas dalam bentuk seminar yang menghadirkan pelaku industri game dari mancanegara dan lokal. Diharapkan dalam sesi ini bisa mengedukasi dan menginspirasi pemangku kepentingan game tanah air untuk lebih berkembang sejalan, sehingga dapat sejajar bahkan melampaui industri game di Asia Tenggara.

Sedangkan format B2C, murni mengusung konsep eksibisi untuk mengajak seluruh pengunjung bermain game sehari penuh. Pelaku game lokal juga dapat memamerkan hasil karyanya ke publik.

Untuk B2B akan digelar pada tanggal 27 Juli 2017 di Hotel Ayana Midplaza Jakarta. Sementara, untuk B2C digelar selama dua hari, tanggal 29 dan 30 Juli 2017 di Balai Kartini.

“Bekraf Game Prime digelar dengan dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan kualitas developer game Indonesia melalui pertukaran ilmu dengan developer dan pelaku industri game internasional. Kedua, meningkatkan exposure dari game lokal agar bisa diketahui lebih banyak oleh komunitas gamer mainstream,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, Jumat (21/7).

Adapun tema diskusi yang akan dibahas pada hari pertama akan terdiri dari enam sesi, mengupas semua sisi dari industri game. Mulai dari proses edukasi talenta baru, kisah sukses developer top dari Asia Tenggara, hingga membeber standar game yang bisa menarik perhatian publisher.

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narendra Wicaksono berharap, acara tahunan ini dapat menjadi pemicu untuk membawa industri game Indonesia lebih bersaing dengan negara tetangga. Pasalnya, mengutip dari Newzoo, total pendapatan mobile game di Indonesia pada tahun lalu sekitar US$331 juta, namun sayangnya kontribusi dari pengembang lokal hanya 1% saja.

“Kue industri game di Indonesia masih sangat besar, namun kontribusi dari lokal masih sangat kecil. Kami berharap acara ini bisa jadi trigger, mengenalkan industri game lebih jauh,” pungkasnya.

Menentukan Masa Depan Industri Game Indonesia

Industri game di Indonesia masih memiliki peluang untuk menguasai pasar sendiri yang terlanjur terkepung pemain dari luar negeri. Mengacu pada hasil riset yang dipublikasi Newzoon dan Kominfo di 2016, industri game Indonesia tumbuh 86,92% menjadi US$600 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2014, nilainya baru mencapai US$180 juta.

Hanya saja dari porsi tersebut yang bisa dinikmati pengembang lokal kurang lebih berkisar 10% saja atau sekitar US$60 juta. Sisanya dikuasai pemain asing.

Masih kecilnya porsi pengembang lokal terjadi karena masih adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seluruh stakeholder. Salah satu tantangannya adalah lemahnya branding dengan minimnya investasi untuk dorong industri game lokal.

Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo
Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo

Cipto Adiguno, Deputi Akses Jaringan dan Permodalan Asosiasi Game Indonesia (AGI), menjelaskan industri game tergolong baru di Indonesia. Branding masih belum kuat untuk bersaing dengan pemain dari luar negeri. Dia menilai branding sangat erat kaitannya dengan investasi karena branding yang lemah berpengaruh pada jumlah investasi untuk industri game saat ini tergolong minim.

“Kita agak susah jual branding game lokal karena industri ini masih baru, karena branding yang belum kuat membuat investor jadi kurang berminat untuk investasi game di sini. Kita tidak bisa branding kalau tidak punya investasi karena tidak bisa buat game yang besar. Di sisi lain, investasi tidak akan datang kalau tidak ada branding. Dua hal ini jadi berkesinambungan,” ucapnya, Kamis (16/3).

Indonesia, sambungnya, belum memiliki branding yang kuat sebagai negara pembuat game, beda halnya dengan Jepang. Indonesia lebih dikenal sebagai negara konsumen, yang akan menggelontorkan uangnya untuk membeli merchandise dari berbagai game luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Pilih fokus segmen pengembangan game lokal

Dari sisi asosiasi, lanjut Cipto, pihaknya akan menentukan fokus yang akan dibidik dalam rangka meningkatkan daya saing pengembang lokal. Salah satunya, pertimbangan untuk menentukan segmen industri game Indonesia apakah ingin mengarah ke game untuk smartphone bertipe low end atau game console dan PC. Keputusan ini bakal dibicarakan saat rapat asosiasi esok hari (17/3).

Menurutnya, kedua segmen ini sama-sama memiliki peminat di Indonesia, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Cipto menjelaskan, penetrasi pengguna smartphone di Indonesia dikuasai oleh tipe smartphone low end dengan harga di bawah Rp2 juta. Smartphone tipe tersebut umumnya memiliki keterbatasan memori dan kapasitas maksimal RAM sebesar 2 GB.

Fakta tersebut membuktikan beberapa game lokal seperti Tahu Bulat dan Nasi Goreng cukup diminati masyarakat. Kedua game ini hanya membutuhkan kapasitas memori yang rendah dan konsumsi internet yang terbatas, sehingga bisa digunakan masyarakat di pinggiran kota.

Beda lagi dengan pemain game console dan PC. Penggunanya masih cukup mendominasi, hanya saja produk game untuk jenis ini umumnya masih dikuasai oleh game dari luar negeri.

“Ambil contoh, di Malaysia mereka memilih untuk mendorong perusahaan asing untuk outsource dan menanamkan modalnya ke dalam negeri. Yang terpenting, mereka ingin penggunaan tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan, meski produk yang diciptakan tidak dipasarkan di Malaysia. Kami akan tentukan dalam rapat asosiasi, mau tentukan arah mana yang mau diambil untuk memajukan industri game.”

Membuat kegiatan networking game skala internasional

Salah satu upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah menggelar lebih banyak acara networking dan konferensi game tingkat internasional yang dapat mempertemukan pemain lokal dengan luar negeri, seperti acara Game Networking Jakarta 2017.

Kali ini, Game Networking Jakarta 2017 dihadiri sejumlah perusahaan besar seperti Square Enix, A Team, Google Play, Pierrot, dan lainnya.

Acara tahunan sudah ketiga kalinya di selenggarakan di Indonesia, jumlah pesertanya pun semakin bertambah. Kegiatan networking seperti ini dapat menjadi pintu antara kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan kerja.

Perusahaan tersebut membuka kesepakatan kerja dengan para pengembang game lokal. Bentuknya kesepakatannya pun bervariasi, ada yang ingin memasarkan produknya ke Jepang atau sebaliknya, perusahaan asing tersebut mencari tenaga outsource untuk dipekerjakan, memberi investasi untuk pengembang lokal yang butuh pendanaan, atau kolaborasi dalam hal pemasaran produk.

“Bentuk deal-nya macam-macam dan rata-rata sifatnya tertutup karena terikat perjanjian. Kegiatan networking ini pada intinya membuka kesempatan pada pengembang lokal bisa berkenalan dengan pemain asing, begitupun dengan pemain asing bisa mengenal lebih banyak pengembang lokal. Mereka bisa dapat sesuatu lewat kegiatan ini,” pungkas Cipto.

Game Dev Gathering Prime 2015 Akan Dilangsungkan Akhir Minggu Ini

Awalnya dimulai sebagai wadah kumpul-kumpul dan sharing komunitas developer lokal, penyelenggara Game Dev Gathering kini tak ragu lagi mengklaim bahwa ia merupakan konferensi dan seminar video game non-profit tahunan terbesar di Indonesia. Setelah roadshow di tiga kota, panitia siap menggelar ajang puncaknya di penghujung minggu ini. Continue reading Game Dev Gathering Prime 2015 Akan Dilangsungkan Akhir Minggu Ini

Cara Mengirim Email Lewat Yahoo

Memperingati Hari Kemerdekaan RI, Festival In.Game 2015 Segera Digelar

Melihat perkembangan industri gaming di Indonesia selama beberapa tahun ke belakang, kita sadar bahwa ia pelan-pelan bergerak ke arah yang lebih positif. Konsumen kian matang dan lebih selektif dalam memilih game, esport diakui secara resmi, lalu akses ke store digital semacam Steam jadi jauh lebih mudah. Dan kini saatnya ranah independen untuk turut bangkit. Continue reading Memperingati Hari Kemerdekaan RI, Festival In.Game 2015 Segera Digelar

Trend Micro Ajak Tujuh Pengembang Permainan Lokal Ciptakan Lingkungan Permainan Mobile Aman

Ilustrasi Anak-Anak Bermain Mobile Game / Shutterstock

Indonesia merupakan salah satu daerah yang paling cepat berkembang untuk game berkat adopsi smartphone yang terus meningkat. Perangkat smartphone sendiri saat ini semakin terjangkau dan juga canggih, namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti dengan proteksi terhadap perangkat smartphone itu sendiri. Berangkat dari alasan inilah Tren Micro, perusahaan perangkat lunak keamanan asal Jepang, menggandeng tujuh pengembang game lokal untuk menciptakan game mobile yang aman dalam Safe Gaming Alliance di Jakarta pada hari Kamis lalu (12/2).

Continue reading Trend Micro Ajak Tujuh Pengembang Permainan Lokal Ciptakan Lingkungan Permainan Mobile Aman