Tidak ada yang bisa menjamin bahwa kamu akan memiliki cukup uang di hari tua. Namun, salah satu cara terbaik untuk menyiasatinya adalah melalui surat Jaminan Hari Tua (JHT).
Singkatnya, JHT adalah program yang dapat menjamin kamu akan memiliki uang saat pensiun.
Namun bagaimana prosedurnya dan siapa saja yang dapat mengambil JHT. Berikut kami punya penjelasan lengkapnya untuk kamu!
Apa Itu JHT (Jaminan Hari Tua)?
Menurut PP No. 46 Tahun 2016 JHT dalam kaitannya dengan penyelenggaraan program lanjut usia adalah santunan uang yang dibayarkan satu kali pada saat peserta mencapai usia pensiun, meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap.
Program ini mengkompensasi hilangnya pendapatan karena kematian, cacat atau usia tua. Jadi uang Anda tetap terjamin jika mengikuti program ini.
JHT menggunakan skema simpanan pensiun wajib. Jadi setiap bulan harus dibayar. Biasanya perusahaan secara otomatis menggunakan gaji bulanan kamu untuk membayar biaya program JHT. Oleh karena itu, aturan pengajuan dana JHT tahun 2022 sedikit diubah.
Perubahan ini tertuang dalam Permenaker 2022 No. 2, yang berhubungan dengan prosedur pembayaran dan kelayakan untuk manfaat pensiun. Sekretaris Tenaga Kerja Ida Fauziyah resmi menandatangani SK ini pada 2 Februari 2022.
Dalam pasal 3 tersebut menyebutkan bahwa manfaat JHT hanya dapat diberikan jika peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) berusia 56 tahun. Namun, Menaker menarik kembali peraturan tersebut. Dikutip dari CNN Indonesia, Perda tersebut kini kembali ke Perda sebelumnya, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015
Dengan begitu, syarat JHT cair itu pada usia 56 tahun, meninggal dunia atau cacat tetap dibatalkan.
Manfaat JHT
Sejatinya, manfaat dari program jaminan tua adalah jumlah uang yang dikembalikan sama dengan biaya yang dibebankan dan hasil pembangunan. Hasil perkembangan itu setidaknya sama dengan rata-rata deposito counter rate di bank-bank pemerintah.
Jadi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, telah terjadi perubahan regulasi pembayaran manfaat JHT.
Pemerintah mengumumkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Akibatnya, dana JHT hanya dapat dibayarkan jika peserta resmi berusia 56 tahun, cacat total tetap atau meninggal dunia. Dengan dicabutnya peraturan ini, dana JHT kini dapat langsung dibayarkan secara tunai apabila peserta mencapai usia 56 tahun, mengundurkan diri, mengundurkan diri atau resmi menganggur setelah 1 bulan.
Hal ini ditunjukkan dan dijelaskan dalam pasal 5 dan 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 19 Tahun 2015.
Pengakhiran JHT BPJamsostek dapat dilakukan secara online di situs resmi BPJS Ketenagakerjaan.
Syarat Penerima JHT
Ada berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh peserta, seperti ditulis di laman BPJS Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut.
1. Peserta penerima upah yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara
• Semua pekerja baik yang bekerja pada perusahaan dan perseorangan
• Orang asing yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan
2. Peserta bukan penerima upah
• Pemberi kerja
• Karyawan di luar hubungan kerja/mandiri
• Pekerja bukan penerima upah selain poin 2
• Pekerja bukan penerima upah selain pekerja di luar hubungan kerja/mandiri
Perhitungan JHT
Dilansir dari laman BPJS Ketenagakerjaan, besaran iuran Jaminan Hari Tua (JHT) adalah sebagai berikut.
1. Penerima upah
• 5,7% dari upah (2% pekerja, 3,7% pemberi kerja)
• Upah yang dijadikan dasar adalah upah sebulan (upah pokok & tunjangan tetap)
• Total iuran JHT = 5,7% x Rp5.000.000 = Rp285.000/bulan
• Iuran JHT yang kamu bayar = 2% x Rp5.000.000 = Rp100.000/bulan
• Iuran JHT yang dibayar perusahaan = 3,7% x Rp 5.000.000 = Rp185.0000/bulan
2. Bukan penerima upah
Pembayaran didasarkan pada nominal tertentu yang ditentukan dalam PP lampiran I. Peserta memilih daftar pembayaran sesuai dengan pendapatan masing-masingnya.
Pada dasarnya, Jaminan Hari Tua merupakan program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Program ini dapat memberikan efek positif pada hari tua atau pensiun.
Esports sudah menjadi industri besar. Orang-orang di dalamnya pun dituntut untuk bekerja layaknya seorang profesional, termasuk para pro gamer. Dan jangan salah, gaji para pemain profesional yang bermain di liga besar sudah melampaui Upah Minimum Regional DKI Jakarta. Misalnya, gaji minimum pemain Mobile Legends Professional League adalah Rp7,5 juta. Para pemain esports yang berlaga di kancah internasional bahkan punya gaji yang jauh lebih fantastis. Di Eropa, gaji rata-rata pemain League of Legends profesional mencapai miliaran rupiah.
Namun, gaji bukan satu-satunya variabel yang harus diperhitungkan ketika seseorang hendak memilih pekerjaan. Ada beberapa faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan, seperti asuransi atau dana pensiun. Inilah alasan mengapa bagi sebagian orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih merupakan pekerjaan idaman. Sementara bagi perempuan, peraturan terkait cuti hamil dan melahirkan bisa jadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.
Lalu, apakah organisasi esports menawarkan keuntungan lain bagi para pemainnya?
Keuntungan yang Bisa Ditawarkan Organisasi Esports: Jaminan Kesehatan dan Edukasi Finansial
Menjadi pemain esports tidak semudah kelihatannya. Ada beberapa pengorbanan yang harus dibuat untuk menjadi pemain profesional. Salah satunya adalah kesehatan. Ketika menjadi pemain profesional, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih.
Kepada TMZ Sports, Kenny “Kenny” Williams dari Los Angeles Thieves dan Dillon “Attach” Price dari Minnesota ROKKR mengungkap jadwal latihan mereka. Attach berkata, dia dan timnya bisa menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam sehari untuk berlatih. Dalam seminggu, mereka berlatih selama 6-7 hari. Menjelang turnamen, mereka bisa berlatih tanpa hari libur. Sementara itu, Kenny menyebutkan, ia dan timnya menghabiskan waktu sekitar 35-40 jam seminggu untuk berlatih. Jika mereka berlatih selama 6 hari, maka setiap harinya, mereka menghabiskan sekitar 6-7 jam.
“Kami punya jadwal latihan tetap. Kami bermain sejak jam 1 siang sampai sekitar jam 7 malam,” kata Kenny. “Namun, menjelang turnamen, kami biasanya akan berlatih lebih lama.” Ketika seseorang menghabiskan terlalu banyak waktu dalam posisi duduk, hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari naiknya risiko obesitas sampai pelemahan otot. Tak hanya itu, seorang pemain profesional juga bisa terkena cedera, mulai dari cedera pada pergelangan tangan, punggung, atau leher.
Selain waspada akan cedera, seorang pemain profesional juga harus memerhatikan asupan gizinya. Pasalnya, gizi dan nutrisi juga memengaruhi performa pemain. Jadi, salah satu benefit yang bisa ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya adalah jaminan akan gizi yang memadai. Untuk itu, sebagian organisasi esports bahkan rela mempekerjakan ahli gizi untuk memastikan bahwa para atlet mereka mendapatkan asupan gizi yang memadai. Sayangnya, tidak semua organisasi esports mau — atau mampu — melakukan hal ini.
Pemain profesional tak hanya harus peduli pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Jika diacuhkan, gangguan mental bahkan bisa menyebabkan seorang atlet esports mengundurkan diri. Hal ini terjadi pada Heo “PawN” Won-seok, pemain League of Legends asal Korea Selatan yang sempat diklaim sebagai rival abadi dari Lee Sang-hyeok alias Faker. PawN mengundurkan diri karena mengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
Selain itu, bertanding dalam turnamen bergengsi di hadapan banyak penonton memberikan tekanan mental untuk para atlet esports. Beban mental yang ditanggung oleh pemain profesional elit bahkan disebutkan sama seperti beban mental para atlet Olimpiade. Dan keadaan psikologis seorang pemain punya pengaruh padaa performanya. Itulah sebabnya mengapa beberapa organisasi esports mempekerjakan psikolog. Sayangnya, lagi-lagi, tidak semua organisasi esports bisa atau bersedia mempekerjakan psikolog.
Tak melulu soal kesehatan, edukasi soal literasi finansial bisa jadi salah satu benefit yang ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya agar mereka setia. Dan literasi keuangan itu memang penting untuk para pemain profesional. Hanya saja, walau sudah ada organisasi esports yang bersedia mengedukasi para pemainnya soal tabungan dan investasi, praktek ini belum menjadi standar di industri esports. Alhasil, jika pemain tidak mawas diri, uang yang mereka kumpulkan selama mereka berkarir sebagai pemain profesional bisa hilang tanpa bekas.
Jika kesehatan atlet esports penting, kenapa tidak semua organisasi esports mau mempekerjakan ahli gizi atau psikolog? Dan jika literasi finansial penting untuk masa depan para atlet esports, kenapa hanya sebagian organisasi esports yang mau mengedukasi para pemainnya tentang literasi finansial?
Esports adalah industri baru. Memang, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$1 miliar. Meskipun begitu, organisasi esportsbelum menemukan model bisnis yang pasti. Karena itu, tentunya mereka juga akan berusaha untuk menekan pengeluaran. Jadi, tidak heran jika sebagian organisasi esports enggan untuk mempekerjakan ahli gizi atau psikolog. Dalam kasus ini, tanggung jawab untuk menjaga kesehatan para atlet akan jatuh ke tangan mereka sendiri.
Soal literasi finansial, alasan yang sama juga berlaku. Tidak semua organisasi esports punya biaya — atau mau mengeluarkan biaya — untuk membayar ahli finansial demi mengedukasi para atletnya tentang perencanaan finansial jangka panjang. Apalagi karena literasi finansial tidak memberikan dampak langsung pada performa pemain.
Memang, dalam dunia kerja, pekerja yang setia tidak hanya lebih produktif, tapi juga memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada kepuasan konsumen, dan berakhir pada meningkatnya pendapatan perusahaan. Jadi, perusahaan memang punya kepentingan untuk membuat para karyawannya puas dengan kondisi kerja mereka. Dan salah satu cara untuk membuat karyawan menjadi betah bekerja di sebuah perusahaan adalah dengan memberikan benefit ekstra — termasuk kesempatan untuk belajar hal baru. Sayangnya, kondisi di dunia esports — khususnya terkait pemain profesional — agak berbeda. Pasalnya, karir pemain profesional sangat singkat.
Menurut Esports Lane, rata-rata, karir seorang pemain esports hanya bertahan selama sekitar 4-5 tahun. Hal itu berarti, sebuah organisasi esports tidak punya urgensi untuk mempertahankan atlet esports dalam waktu lama, berbeda dengan perusahaan konvensional yang bisa mempekerjakan seseorang hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Karena itu, tidak aneh jika organisasi esports tak terlalu memusingkan soal benefit yang bisa mereka berikan pada para pemainnya.
Durasi Liga Esports dan Kontrak yang Singkat
Esports memang sering dibandingkan dengan olahraga tradisional. Competitive gaming bahkan kini mulai dianggap sebagai olahraga dan dimasukkan ke dalam berbagai event olahraga besar, seperti Asia Games dan SEA Games. Meskipun begitu, esports tetap punya beberapa perbedaan dengan olahraga tradisional. Salah satunya adalah game, yang menjadi media pertandingan dalam esports, merupakan produk komersil. Hal itu berarti, popularitas skena esports dari sebuah game bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan publisher. Sebagai ilustrasi, FIFA tidak akan mendapatkan untung apapun jika jumlah pemain sepak bola amatir bertambah. Namun, jika jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik, maka hal ini bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan Ubisoft.
Hal lain yang membedakan antara esports dan olahraga adalah game esports punya risiko menjadi dead game. Umur rata-rata penonton sepak bola terus naik. Namun, tidak ada berita yang menyebutkan bahwa “sepak bola akan mati!” Lain halnya dengan game esports. Bahkan game yang skena esports-nya sudah tumbuh besar sekalipun, seperti Dota 2, pernah diduga akan menjadi dead game. Ekosistem Dota 2 di Indonesia pun sudah kering kerontang. Dua perbedaan antara esports dan olahraga ini membuat penyelenggaraan kompetisi esports menjadi agak berbeda dari pertandingan olahraga tradisional, misalnya dalam hal frekuensi dan durasi kompetisi.
Dalam setahun, kompetisi esports biasanya diadakan dua kali; spring split dan fall split atau summer split dan winter split. Sementara kompetisi olahraga tradisional, seperti sepak bola, biasanya hanya diadakan satu tahun sekali. Selain itu, durasi kompetisi esports juga jauh lebih pendek. Free Fire Master League Season III berlangsung selama 5 minggu, sejak 16 Januari 2021 sampai 20-21 Februari 2021. Sementara regular season dari Mobile Legends Professional League berlangsung selama 8 minggu sebelum memasuki babak playoff, yang biasanya berlangsung selama 3 hari. Sebagai perbandingan, Liga Inggris dimulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Mei di tahun berikutnya. Hal itu berarti, Liga Inggris berlangsung selama sekitar 10 bulan.
Pendeknya durasi liga esports punya pengaruh pada durasi kontrak antara pemain dan tim esports. Menurut shoutcasterWibi “8ken” Irbawanto, rata-rata, kontrak antara pemain dan tim esports hanya berlangsung selama 3-12 bulan. Memang, ada beberapa pemain yang bisa mendapatkan kontrak hingga 2 tahun. Namun, jika kontrak punya durasi lebih dari 2 tahun, hal itu sudah dianggap sebagai “taruhan besar” oleh sebuah organisasi esports. Sementara itu, rata-rata durasi kontrak pemain sepak bola adalah 3-5 tahun.
Umur karir yang singkat dan frekuensi penyelenggaraan turnamen yang tinggi; 2 hal ini tampaknya merupakan faktor mengapa para pemain esports tidak segan untuk pindah dari satu tim ke tim lain dalam waktu singkat. Dan hal itu sah saja. Pindah ke perusahaan lain memang merupakan salah satu cara untuk bisa menaikkan gaji seseorang. Jadi, wajar saja jika seorang pemain memutuskan untuk pindah ke tim lain demi mendapatkan gaji yang lebih besar atau benefit yang lebih baik.
Selain itu, organisasi esports juga tidak segan untuk mengeluarkan seorang pemain atau membubarkan tim jika performa sang pemain atau tim itu dianggap tidak memuaskan. Dalam hal ini, organisasi esports juga tidak bisa disalahkan. Pasalnya, sponsorship masih menjadi kontributor terbesar dalam pemasukan organisasi esports. Dan mendapatkan fans sebanyak-banyaknya merupakan salah satu cara untuk menarik sponsor. Untuk bisa memenangkan hati fans, sebuah organisasi esports juga harus bisa unjuk gigi.
Regenerasi pemain memang penting. Namun, jika organisasi esports terus mengganti roster pemainnya, hal ini juga akan menyebabkan masalah tersendiri. Misalnya, para pemain harus kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan gaya bermain sang pemain baru. Sementara jika sebuah organisasi esports merekrut tim yang sama sekali baru, maka mereka harus melatih para pemain dari nol. Bagi para pemain profesional, berganti tim juga punya risiko sendiri. Tak bisa dipungkiri, chemistry antar pemain juga berpengaruh pada performa sebuah tim. Dalam sepak bola pun, bukan hal yang aneh melihat seorang striker mendadak tak bisa mencetak gol karena berganti tim.
Ekosistem Esports yang Sehat, Tanggung Jawab Siapa?
Publisher menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan ekosistem esports dari game-nya tidak hanya berkembang, tapi juga tumbuh dengan sehat. Alasannya, publisher memegang wewenang paling besar atas sebuah game dan ekosistem esports dari game itu. Misalnya, Activision Blizzard bisa menentukan gaji minimum untuk para pemain yang berlaga di Overwatch League. Sementara itu, Riot Games bisa memutuskan soal penggunaan sistem franchise pada liga League of Legends. Dengan kata lain, publisher hampir punya kuasa penuh dalam menentukan bagaimana cara mereka menyelenggarakan kompetisi esports.
Mengingat singkatnya durasi liga esports menjadi salah satu faktor mengapa roster tim esports cepat berubah, salah satu hal yang bisa publisher lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memperpanjang durasi liga esports. Dengan begitu, baik tim maupun atlet esports bisa punya waktu yang lebih panjang untuk membuat rencana. Meskipun begitu, hal ini bisa jadi memunculkan masalah baru, seperti penurunan penonton, yang pasti bakal berdampak ke pemasukan. Pasalnya, target penonton kompetisi esports adalah generasi milenial dan gen Z, yang sering disebut punya attention span singkat. Jadi, mengadakan liga esports yang lebih panjang justru bisa membuat para penonton menjadi bosan.
Sebagai bagian dari industri esports, pemain dan organisasi esports tentunya juga punya peran sendiri dalam memastikan ekosistem esports tumbuh dengan sehat. Salah satu kewajiban organisasi esports adalah memberikan kompensasi — gaji dan benefit — yang memadai untuk para pemainnya. Memang, organisasi esports bukanlah badan amal yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk menjamin masa depan para atletnya bahkan setelah pensiun. Meskipun begitu, jika mereka tetap ingin memberikan literasi finansial tanpa mengeluarkan dana ekstra, mereka bisa menjalin kerja sama dengan institusi keuangan.
Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tak terkecuali bank dan asuransi. Jika organisasi esports tetap ingin memberikan asuransi tapi terkendala masalah biaya, mereka bisa menggandeng institusi keuangan sebagai rekan. Hal ini telah dilakukan oleh T1. Pada Juli 2020, mereka bekerja sama dengan Hana Bank. Melalui kerja sama ini, para pemain T1 mendapatkan asuransi dan layanan finansial dari Hana Bank. Sebagai gantinya, T1 akan mempromosikan aplikasi dari Hana Bank dan membantu bank itu untuk mengembangkan produk finansial untuk fans esports.
Tak hanya edukasi, organisasi esports juga bisa membantu para pemainnya yang telah pensiun dengan cara lain. Contohnya, dengan menawarkan pekerjaan lain pasca pensiun dari pro player. CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP pernah mengungkap bahwa pemain RRQ yang sudah pensiun bisa melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan anak MidPlaza Holding, yang merupakan induk dari RRQ. EVOS Esports juga sudah melakukan hal yang sama. Pada akhir Februari 2021, EVOS menunjuk Stefan Chong sebagai Business Development Lead untuk kawasan Singapura. Di Korea Selatan, kesetiaan Lee “Faker” Sang-hyeok pada T1 berbuah manis. Pada Februari 2020, T1 tidak hanya memperpanjang kontrak dengan pemain League of Legends itu. Faker bahkan mendapatkan sebagian saham dari organisasi esports tersebut.
Jika dibandingkan dengan publisher dan organisasi esports, pemain profesional memang terlihat sebagai pihak dengan bargaining power paling kecil. Namun, hal itu bukan berarti para atlet esports harsu pasrah begitu saja menerima keadaan. Salah satu hal yang pemain profesional bisa lakukan sebagai ancang-ancang sebelum pensiun adalah mempelajari kemampuan baru. Jadi, begitu karirnya selesai, dia tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, seorang pemain esports juga bisa banting setir ke bisnis. Karena itulah, literasi finansial penting bagi para pemain profesional.
Satu hal yang pasti, bagaimana kehidupan pemain profesional setelah karirnya selesai akan tergantung pada dirinya sendiri. Memang, organisasi esports bisa membantu dengan memberikan edukasi literasi keuangan atau menawarkan posisi manajemen. Walaupun begitu, pada akhirnya, sang pemainlah yang mengambil keputusan tentang rencananya di masa depan.
Penutup
Pada akhirnya, kontrak kerja punya konsep yang sama dengan kontrak jual-beli. Akad jual-beli hanya akan terjadi jika penjual dan pembeli setuju bahwa harga yang dibayar pembeli sesuai dengan nilai dari barang atau layanan yang dijual. Begitu juga dengan kontrak kerja. Seorang pekerja bersedia untuk memberikan tenaga dan waktunya demi perusahaan asal dia mendapatkan kompensasi yang cukup. Saya rasa, konsep ini juga berlaku di dunia esports. Hanya saja, umur para pemain esports memang jauh lebih muda dari karyawan perusahaan. Jadi, pengalaman mereka terkait dunia kerja mungkin masih minim.
Idealnya, organisasi esports tidak hanya menjaga kesehatan pemainnya, tapi juga mengajari pemainnya tentang bagaimana bersikap profesional. Lebih baik lagi jika mereka membantu para atletnya untuk mempersiapkan masa depan mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya, tanggung jawab akan masa depan seorang pemain profesional ada di tangan sang atlet esports sendiri.
Penetrasi industri asuransi jiwa tercatat hanya sebesar 1,1% per Juli 2020 menurut catatan OJK. Isu ini terus menjadi kendala menahun yang belum berhasil diatasi dengan optimal.
Penetrasi asuransi merupakan tingkat rasio jumlah dana di industri asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB). Artinya, total aset industri asuransi per Juli 2020 senilai Rp515,78 triliun baru berkontribusi 1,1% terhadap PDB.
Tingkat penetrasi asuransi harus dilihat dari dua sisi. Meski kontribusi industri terhadap perekonomian masih rendah, tapi di sisi lain peluang untuk tumbuh masih teramat besar.
“Berdasarkan pengalaman saya sebagai pengawas asuransi, sebenarnya kunci bagaimana memenangkan penetrasi itu justru dari sisi penerapan good corporate governance [GCG],” ucap Deputi Direktur Pengawasan Asuransi II OJK Kristianto Andi Handoko seperti dikutip dari Bisnis.com.
Pada 2018, OJK pernah mencatat penetrasi industri asuransi secara keseluruhan pernah tembus ke angka 2,77% dan pada 2017 sebesar 2,84%. Hingga kini, tingkat penetrasi asuransi belum pernah mencapai angka 3%, apalagi 5% seperti yang selalu diidam-idamkan para pelaku industri ini.
Sebagai perbandingan, tingkat penetrasi asuransi di Singapura berada di kisaran 6-7%. Kendati penetrasi menurun, tingkat kesadaran (awareness) masyarakat terhadap produk asuransi jiwa meningkat semenjak pandemi virus corona.
Hasil survei lembaga riset Nielsen yang dikutip Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkapkan, kesadaran memiliki produk asuransi jiwa di kota besar Indonesia sebesar 24%. Akan tetapi, angka itu belum memberikan dampak signifikan karena premi asuransi jiwa cenderung turun menjadi Rp44,11 triliun di kuartal I 2020 dari periode yang sama di tahun sebelumnya Rp46,4 triliun.
Pekerjaan rumah yang sudah menahun ini sebenarnya menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan, baik itu dari pembuat kebijakan hingga pelaku industri itu sendiri.
Kehadiran startup insurtech, sebagai mitra teknologi dari perusahaan asuransi, menjadi jalan baru mengakselerasi penetrasi asuransi. Bersama-sama mereka meracik produk mikro terkustomisasi yang menyesuaikan target nasabah, sehingga konsumen dapat bertransaksi di platform digital favorit mereka dengan harga murah, mendapatkan perlindungan simpel, dan melakukan proses klaim dengan lebih mudah.
“Semakin relevan dengan kebutuhan mereka, maka kemungkinan besar produk asuransi tersebut pasti mereka [konsumen] beli. Misalnya, seperti asuransi perjalanan, asuransi handphone, asuransi logistik, dan sebagainya,” ucap Co-Founder dan COO Qoala Tommy Martin, beberapa waktu lalu saat menjadi pembicara di #SelasaStartup.
Ia meyakini produk asuransi asuransi akan menjadi pintu awal meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia. Di luar sana, solusi asuransi jauh lebih kompleks dan butuh bantuan insurtech untuk mengatasinya dengan teknologi pendukungnya.
Antusiasme pembeli produk asuransi selama pandemi berhasil dirangkum laporan e-Conomy 2020 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company. Laporan tersebut mengungkapkan pembelian asuransi secara online melejit hingga 30% dalam setahunannya dengan CAGR $2 miliar, disokong permintaan terhadap produk asuransi jiwa dan kesehatan.
Industri wellness
Di sisi lain, rendahnya penetrasi ini turut dipengaruhi masih melekatnya stigma “susah klaim” karena produk yang dibeli hanyalah secarik kertas berisi perjanjian apa saja yang akan dibayar ketika sakit atau meninggal dunia. Bayar klaim adalah “moment of truth” buat sebuah perusahaan asuransi dan itulah saatnya mereka bekerja.
Pendekatan lain asuransi agar semakin mudah diterima adalah melalui industri wellness. Di Asia, industri ini mulai dilirik layanan asuransi global untuk mempopulerkan program gaya hidup sehat pada awal 2010-an. Inti dari pendekatan ini adalah mengubah hubungan perusahaan asuransi dengan pelanggan, tidak lagi transaksional. Kondisi ini didukung tren pelacakan mandiri dengan perangkat wearable, termasuk ditandai peluncuran jam tangan Apple pada 2015.
Di Singapura, Great Eastern Life jadi salah satu perusahaan pelopor di awal 2012, lalu disusul pada setahun kemudian oleh AIA untuk memperkenalkan program wellness. Ambisinya adalah perusahaan ingin terlibat ke aspek hidup pelanggan setiap harinya untuk meminimalisir risiko sakit dan memperpanjang usia. Dua aspek ini sangat melekat buat asuransi.
Wellness akhirnya mulai perlahan diperkenalkan di Indonesia melalui banyak channel. Momentum pandemi Covid-19 turut mendongkrak tren ini. Perusahaan asuransi global pun ikut ingin terlibat dengan memboyong aplikasinya masuk ke sini. Mereka adalah Prudential dan AIA.
Prudential meresmikan aplikasi kesehatan all-in-one Pulse yang didukung kecerdasan buatan untuk mendukung pengguna mengelola kesehatan secara proaktif. Pulse diboyong ke Indonesia sejak Februari 2020 dan diresmikan pada sembilan bulan kemudian.
Pulse pertama kali hadir di Malaysia pada 2019, lalu secara bertahap digulirkan ke sejumlah negara di Asia, seperti Kamboja, Hong Kong, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Sejak diluncurkan, aplikasi ini telah diunduh lebih dari 16 juta kali per Januari 2021. Orang Indonesia menyumbang lebih dari 4,3 juta per 11 November 2020.
Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang jumlah nasabah Prudential di Indonesia yang mencapai lebih dari 2 juta orang per tahun lalu, sejak mereka pertama kali beroperasi di 1995.
“Khusus di tahun ini, Prudential menegaskan komitmennya untuk memperluas peran di masyarakat, bukan hanya memberikan perlindungan, namun juga mendukung peran di masyarakat, bukan hanya memberikan perlindungan, namun juga mendukung untuk mencegah dan menunda penyakit semakin buruk,“ kata Presiden Direktur Prudential Indonesia Jens Reisch.
Tak mau kalah, pada awal tahun ini AIA meresmikan AIA Vitality di Indonesia setelah hadir di delapan negara Asia Pasifik. Meski fitur tidak kaya Pulse, semangat yang disampaikan AIA tidak jauh berbeda. Elemen-elemen penting kesehatan dalam kehidupan sehari-hari diturunkan ke dalam empat pilar: Eat Well, Move Well, Think Well, dan Plan Well untuk mencapai hidup lebih sehat, lebih lama, dan lebih baik.
Presiden Direktur AIA Indonesia Sainthan Satyamoorthy menjelaskan, AIA Vitality mentransformasi cara perusahaan dalam menjalankan bisnis asuransi dengan pendekatan share value model. Hal ini akan menjadi terobosan di industri, mengubah standar bagaimana perusahaan asuransi memberikan layanan dan perlindungan yang relevan untuk masyarakat.
“Melalui AIA Vitality, kami ingin terlibat aktif meningkatkan kualitas hidup nasabah, tidak hanya membantu mereka saat menghadapi masa-masa sulit tapi juga memotivasi dan menghargai setiap perubahan kecil yang mereka lakukan untuk gaya hidup lebih sehat melalui rewards yang telah kami siapkan,” tuturnya saat peresmian bertajuk All Well Indonesia.
Selain dibekali fitur berbau wellness, baik Pulse dan AIA Vitality juga sudah dilengkapi dengan model bisnis. Pulse memiliki paket berlangganan karena aplikasi ini tidak eksklusif untuk nasabah Prudential saja.
Paket yang dibanderol seharga Rp39.900 per bulannya ini berisi beragam fitur, di antaranya Perencanaan Makan, Jurnal Makanan, My Healthy Eating Goal, My Eye Dispensary & My Pulmonary Clinic, dan voucher perlindungan asuransi jiwa yang nilainya setara dengan satu bulan premi.
Di luar itu, pengguna yang tidak berlangganan dapat mengakses fitur gratis, seperti alat ukur BMI, Cermin Kerutan Wajah, dan Monitor Kegiatan Olahraga yang dapat terhubung dengan perangkat wearable. Tersedia pula fitur non kesehatan, seperti informasi dan pengingat waktu sholat dan penunjuk arah kiblat.
Teknologi AI yang ada di dalam Pulse hadir berkat kerja sama global perusahaan dengan Babylon, startup healthtech AI dari Inggris. Di Indonesia, Pulse didukung juga Halodoc untuk fitur telemedicine dan membeli obat.
Berbeda dengan Pulse, AIA Vitality hadir khusus untuk nasabah AIA dan menjadi produk komplementer untuk mereka yang ingin mengelola kesehatan secara lebih proaktif. AIA Vitality bekerja dengan tiga tahap: Know Your Health, Improve Your Health, dan Enjoy the Rewards.
“AIA Vitality adalah gerakan transformasional yang mengajak masyarakat untuk mulai melakukan perubahan kecil, selangkah demi selangkah, langkah realistis untuk mendorong perubahan perilaku jangka panjang yang menghasilkan hidup lebih sehat, lebih lama, lebih baik,” terang CMO AIA Indonesia Lim Chet Ming kepada DailySocial saat dihubungi secara terpisah.
Ia menjelaskan, nasabah AIA dapat bergabung di AIA Vitality dengan membayar sebesar Rp50 ribu per bulan. Aplikasi ini berisi program kesehatan dan kebugaran yang dapat memotivasi nasabah untuk aktif dalam meningkatkan kesehatan, serta kualitas hidup dengan memberikan Poin Vitality dan berbagai manfaat berupa diskon, voucher, dari rekanan AIA yang sudah tergabung, seperti Garmin, Gojek, Fitbit, dan Prodia.
Sebelum menyelesaikan tantangan, nasabah sebelumnya perlu melakukan self-assessment online untuk mengetahui seberapa sehat kondisi badan. Mereka bisa menghubungkan alat pelacak aktivitas dengan aplikasi AIA Vitality dan ikut berpartisipasi dalam berbagai tantangan yang direkomendasikan dan memperoleh poin dari sana.
“Mengubah kebiasaan dalam hidup adalah sebuah tantangan tersendiri. AIA Vitality mengerti akan hal ini dan memberikan sebuah siklus yang akan mendorong upaya perubahan kebiasaan hidup sehat di tengah masyarakat untuk menghasilkan perubahan perilaku jangka panjang.”
Lim menuturkan, kehadiran AIA Vitality menjadi pembuktian AIA tetap relevan dengan kondisi pandemi global yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Semua, termasuk nasabah kami, turut berjuang untuk hidup di tengah pandemi. Maka kita perlu memastikan pertahanan terbaik yang kita miliki yaitu dengan memprioritaskan kesehatan dan proteksi jiwa, juga kesehatan.”
Butuh dukungan regulator
Penerapan aspek wellness di global sudah jauh lebih matang dibandingkan di Indonesia. Bicara potensi di global, industri ini diprediksi bernilai $4,2 miliar pada 2017 dengan pertumbuhan tahunan 6,4% menurut laporan Global Wellness Institute (GWI).
Laporan DSResearch yang tertajuk “Wellness Market in Jakarta” 2019, menunjukkan memulai gaya hidup sehat di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Meski pengetahuan dan awareness terlihat menjanjikan, tapi biaya masih menjadi beban buat sebagian besar orang.
Di negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan ekonomi menjadi faktor pendorong terbesar untuk menyesuaikan budaya wellness ke dalam kehidupan sehari-hari.
Laporan itu juga melihat obat-obatan, makanan sehat, dan suplemen kesehatan menjadi produk yang diminati masyarakat. Pun juga animo untuk bergabung sebagai anggota kebugaran. Meskipun perhatian kepada tindakan preventif dengan memelihara kesehatan semakin baik, fokus masyarakat masih ke tindakan penyembuhan setelah sakit.
“Tingkat adopsi teknologi yang tinggi, khususnya dalam bentuk aplikasi digital, dapat menjadi katalisator untuk mendorong pengetahuan dan sosialisasi produk atau layanan kesehatan yang lebih baik di wilayah tersebut,” tulis laporan tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang dipublikasikan BPS menunjukkan angka obesitas orang dewasa di Indonesia meningkat menjadi 21,8%. Padahal tingkat kesehatan berpengaruh tinggi terhadap produktivitas kerja. Perlu penerobosan, termasuk manfaat kesehatan oleh korporasi, untuk mendorong kesehatan kehidupan perkotaan.
Dibutuhkan dukungan regulator untuk mempopulerkan wellness agar semakin dikenal. Sebagai contohnya di India, regulator setempat (Insurance Regulatory and Development Authority of India/IRDAI) meminta perusahaan asuransi memasukkan fitur wellness dan pencegahan ke dalam klausul polis. Harapannya para pemegang polis tetap sehat, meminimalisir kemungkinan jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit.
“Pedoman dari IRDAI tentang memasukkan fitur kesehatan dan pencegahan dalam asuransi kesehatan tentunya merupakan langkah maju yang positif bagi pelanggan yang sekarang dapat dengan bangga memiliki polis asuransi kesehatan mereka,” kata Gurdeep Singh Batra, Kepala Penjamin Emisi Ritel, Asuransi Umum Bajaj Allianz, dikutip dari Financial Express.
Ia menuturkan, langkah ini sangat ditunggu industri karena dapat memberikan dorongan yang diperlukan untuk sebuah produk asuransi kesehatan. “Kami bisa memberikan penghargaan kepada pelanggan dengan berbagai cara yang ditentukan seperti diskon konsultasi atau perawatan, farmasi, diagnostik kesehatan, voucher yang dapat ditukarkan untuk suplemen kesehatan dan keanggotaan fitness, dan lain-lain.”
Menurutnya, pada jangka panjang, perusahaan asuransi bisa membuat harga polis jauh lebih terjangkau dengan program wellness ini. Dengan demikian, semakin banyak orang yang bisa terlindungi dengan asuransi.
Gurdeep mengatakan, “Kami juga dapat memberikan diskon kepada pelanggan jika mereka mengikuti kriteria kesehatan yang ditetapkan dalam polis. Selain mendorong lebih banyak orang untuk memilih asuransi kesehatan, langkah ini juga akan membantu mereka menjalani gaya hidup sehat.”
Despite many business models in the development of the Indonesian startup ecosystem, technology insurance (insurance technology – insurtech) is one that is currently captured by many local and foreign investors. The main principle, insurtech tries to revolutionize consumer behavior, by presenting a simpler, more transparent, and economical insurance process.
There are several basic reasons why insurtech is projected to rise. As Lifepal stated, citing the results of the Munich Re Economic Research study, Indonesia will support the growth of health and life insurance premiums from 2019-2030, with a CAGR of 9.1%.
Throughout 2019, the premiums that have been successfully booked have reached 185.3 trillion Rupiah for life insurance and 80.1 trillion Rupiah for health insurance.
The Covid-19 pandemic has not declined the growth of the insurance business in Indonesia. From the data summarized by Lifepal, it is shown that there is a relatively fast recovery in relation to gross premium income for life insurance throughout 2020. Especially in June 2020, the value increased compared to the same period last year.
Momentum for Insurtech
Amid the growth of the insurance business, it turns out that if you look deeper, there are many pain points for prospective customers. The process of seeking information, buying, and claiming insurance products is sometimes not easy, and it is also considered less transparent. The conventional business model uses an agency system, an agent will “fully encourage” prospective customers to subscribe to the insurance product, without providing holistic and comprehensive education.
In some cases, these agents created distrust among consumers. Especially in the digital era like today, consumers can easily validate the information submitted. However, even when searching for it on your own, for example through Google, many complex terminology and biased recommendations are encountered, in the end, it does not lead consumers to products that provide optimal benefits.
Based on this fact, several startups appeared to offer easier insurance processing, through the help of technology. The DSResearch report entitled “Insurtech Strategic Innovation” has mapped several local startups operating in this industry.
Lifepal itself is one of the insurtech players that offers customers the convenience of finding and buying the right insurance for their specific needs. It provides content and reviews designed to make it easier for consumers to plan, by presenting lists and comparing insurance products. Currently there are around 50 insurance brands that have been embraced, with 200 product choices; manages to generate approximately 4 million site visits every month.
Insurtech development
In 2020, several insurtech startups have strengthened business penetration, including raising new funding. Most recently, PasarPolis announced that it has secured funds of up to 796 billion Rupiah. This value is also supported by the latest round of series B from LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, and Xiaomi. This acquisition is claimed to be the largest for insurtech startups in the region.
Last May, Igloo, previously known as Axinan, also announced series A + funding worth 238.4 billion Rupiah. They are a startup from Singapore that already has an operational base in Indonesia through its collaboration with Sompo Indonesia. There is also Qoala, who booked series A funding of 209 billion Rupiah in April 2020.
Innovations continue to roll, several players have also launched insurtech-based products this year. As is done by People’s Capital, in collaboration with Adira they present vehicle insurance. This initiative was launched simultaneously with the company’s entry into the e-procurement business of purchasing logistics trucks.
There are also artificial intelligence-based innovations launched by Prixa. They integrated the healthtech system with insurtech, engaging several players in related landscapes. The service is presented in the form of a chatbot, with the hope of making it easier for potential customers to gain understanding while chatting with an expert.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian Header: Depositphotos.com
Di antara banyaknya model bisnis yang berkembang di ekosistem startup Indonesia, teknologi asuransi (insurance technology – insurtech) menjadi salah satu yang kini banyak dilirik kalangan investor lokal maupun asing. Prinsip utamanya, insurtech mencoba merevolusi perilaku konsumen, dengan menghadirkan proses asuransi yang lebih sederhana, transparan, dan hemat.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa insurtech diproyeksikan berkembang baik di sini. Seperti yang disampaikan Lifepal dalam sebuah kesempatan, mengutip hasil studi Munich Re Economic Research, Indonesia akan memimpin pertumbuhan premi asuransi kesehatan dan jiwa dari tahun 2019-2030, dengan CAGR sebesar 9,1%.
Sepanjang taun 2019, premi yang berhasil dibukukan sudah mencapai 185,3 triliun Rupiah untuk asuransi jiwa dan 80,1 triliun Rupiah untuk asuransi kesehatan.
Pandemi Covid-19 turut tidak menyurutkan pertumbuhan bisnis asuransi di Indonesia. Dari data yang dirangkum Lifepal, ditunjukkan adanya pemulihan yang relatif cepat terkait pendapatan bruto premi untuk asuransi jiwa sepanjang tahun 2020. Apalagi di bulan Juni 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu nilainya meningkat.
Momentum untuk insurtech
Di tengah pertumbuhan bisnis asuransi, ternyata jika menelisik lebih dalam masih banyak pain-points yang dihadapi calon nasabah. Proses mencari informasi, membeli, hingga mengklaim produk asuransi kadang tidak mudah, juga dirasa kurang transparan. Model bisnis konvensional menggunakan sistem keagenan, seorang agen akan “mendorong penuh” calon nasabah untuk berlangganan produk asuransinya, tanpa memberikan edukasi yang holistis dan komprehensif.
Pada akhirnya, di beberapa kasus, para agen tersebut justru menciptakan ketidakpercayaan di kalangan konsumen. Apalagi di era digital seperti saat ini konsumen juga dapat dengan mudah memvalidasi informasi yang disampaikan. Namun, ketika mencari tahu sendiri pun, misalnya lewat Google, banyak terminologi rumit dan rekomendasi bias yang ditemui, pada akhirnya tidak mengantarkan konsumen pada produk yang memberikan manfaat secara optimal.
Berbekal fakta tersebut, kemudian beberapa startup muncul menawarkan pemrosesan asuransi yang lebih memudahkan, melalui bantuan teknologi. Laporan DSResearch bertajuk “Insurtech Strategic Innovation” telah memetakan beberapa startup lokal yang sudah beroperasi di lanskap tersebut.
Lifepal sendiri menjadi salah satu pemain insurtech yang menawarkan kemudahan kepada pelanggan untuk menemukan dan membeli asuransi yang tepat untuk kebutuhannya yang spesifik. Di dalamnya menyajikan konten dan ulasan yang didesain untuk memudahkan konsumen melakukan perencanaan, dengan menyajikan daftar dan membandingkan produk asuransi. Saat ini ada sekitar 50 merek asuransi yang telah dirangkul, dengan 200 pilihan produk; berhasil menghadirkan sekitar 4 juta kunjungan situs setiap bulannya.
Perkembangan insurtech
Tahun 2020, beberapa startup insurtech makin kuatkan penetrasi bisnis, termasuk didukung melalui pendanaan baru. Teranyar, PasarPolis umumkan telah membukukan dana hingga 796 miliar Rupiah. Nilai tersebut turut didukung putaran terbaru seri B dari LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, dan Xiaomi. Perolehan ini diklaim jadi yang terbesar untuk startup insurtech di regional.
Mei 2020 lalu, Igloo yang sebelumnya dikenal sebagai Axinan, juga umumkan pendanaan seri A+ senilai 238,4 miliar Rupiah. Mereka adalah startup asal Singapura yang telah memiliki basis operasional di Indonesia melalui kerja samanya dengan Sompo Indonesia. Ada juga Qoala yang bukukan pendanaan seri A senilai 209 miliar Rupiah pada April 2020 lalu.
Inovasi pun terus bergulir, beberapa pemain turut lahirkan produk berbasis insurtech tahun ini. Seperti yang dilakukan oleh Modal Rakyat, bekerja sama dengan Adira mereka hadirkan asuransi kendaraan. Inisiatif ini diluncurkan bebarengan dengan masuknya perusahaan ke bisnis e-procurement pembelian truk logistik.
Ada juga inovasi berbasis kecerdasan buatan yang diluncurkan Prixa. Mereka mengintegrasikan sistem healthtech dengan insurtech, menggandeng beberapa pemain di lanskap terkait. Layanannya disajikan dalam bentuk chatbot, dengan harapan memudahkan calon konsumen mendapatkan pemahaman seraya sedang chatting dengan seorang pakar.
After receiving fresh series A funding in 2018 from Go-Jek, Tokopedia, and Traveloka with an unspecified value, PasarPolis insurtech is reportedly to be in discussion with the International Finance Corporation (IFC) for further round. Regarding the truth, Cleosent Randing as the founder gives some clarification to DailySocial.
“We avoid commenting on such speculation. We continue to receive offers from the best investors from within and outside the country. We are always open to those who have the vision to democratize insurance for all through technology,” Cleosent said.
Was founded in 2015, PasarPolis is said to experience double-digit growth every month. The company has also developed some new breakthroughs such as collaboration with Gojek in developing insurance named Go-Sure, and developing new products such as cracked screen protection using patented QR code technology. Previously. they also expand to Thailand and Vietnam.
“Amid the Covid-19 pandemic we’ll also launched many products to protect the wider community,” Cleosent said.
The current outbreak of the Covid-19 virus is claimed to affect just a speck of the PasarPolis business. Although some of our partners in the transportation sector have decreased in traffic rate. It is said that PasarPolisis to overcome this by diversifying products into health. For example, the current products that rapidly growing with the number of partners from several industry segments outside transportation.
“To date, we have worked with more than 30 partners, almost all of them are leaders in their respective industries, such as Gojek on ride-hailing, Tokopedia in e-commerce services. In 2019, PasarPolis protects and releases more than 50 million insurance policy every month,” Cleosent said.
PasarPolis plans after the pandemic
With the Covid-19 pandemic still ongoing, it is predicted that today and in the future new habits will be formed among people who prefer to buy insurance products online.
The insurtech platforms, such as PasarPolis which is actively increasing literacy in the importance of insurance, expected to increase public awareness in the future about the importance of easy and affordable insurance. Utilizing platforms such as PasarPolis that provide access and convenience in providing insurance is now much easier via digital.
“We see that after the Covid-19 pandemic ends will begin a new ‘ normal’ era where insurance purchases via digital continue to increase. With lower distribution costs, consumers can get more value and this Pandemic certainly provides a lesson for us all how important it is to maintain health,” Cleosent said.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Setelah tahun 2018 lalu layanan insurtech PasarPolis menerima dana segar seri A dari Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka dengan nilai yang tidak disebutkan, kabarnya perusahaan tengah dalam penjajakan dengan International Finance Corporation (IFC) untuk pendanaan berikutnya. Disinggung kebenaran kabar tersebut, Cleosent Randing selaku founder memberikan klarifikasinya kepada DailySocial.
“Kami tidak berkomentar untuk spekulasi. Kami terus menerima tawaran dari investor investor terbaik dari dalam maupun luar negeri. Kami selalu terbuka kepada mereka yang memiliki satu visi untuk mendemokratisasi asuransi untuk semua lewat teknologi,” kata Cleosent.
Hadir tahun 2015 lalu, kini PasarPolis mengklaim terus mengalami peningkatan dengan double digit growth setiap bulannya. Perusahaan juga telah mengembangkan banyak terobosan baru seperti kerja sama dengan Gojek dalam mengembangkan asuransi di Gojek melalui Go-Sure, dan mengembangkan produk baru seperti proteksi layar retak dengan menggunakan teknologi QR code yang telah di patenkan. Sebelumnya mereka juga telah melancarkan ekspansi ke Thailand dan Vietnam.
“Di tengah pandemi Covid-19 kami juga meluncurkan banyak produk yang melindungi masyarakat luas,” kata Cleosent.
Penyebaran Covid-19 saat ini diklaim tidak terlalu berpengaruh kepada bisnis dari PasarPolis. Meskipun beberapa partner di bidang transportasi mengalami penurunan dari sisi traffic. Konon hal tersebut bisa teratasi oleh PasarPolis dengan adanya diversifikasi produk ke kesehatan. Misalnya yang justru bertumbuh sangat pesat di saat ini dan juga dengan banyaknya partner dari beberapa segmen industri di luar transportasi.
“Sampai saat ini kami telah bekerja sama dengan lebih dari 30 partners, hampir semuanya adalah leader di industri masing-masing, seperti Gojek di ride hailing, Tokopedia di layanan e-commerce. Pada tahun 2019 PasarPolis setiap bulannya melindungi dan mengeluarkan lebih dari 50 juta polis asuransi,” kata Cleosent.
Rencana PasarPolis usai pandemi
Meskipun pandemi Covid-19 masih terus berlangsung, diprediksi saat ini dan ke depannya akan terbentuk kebiasaan baru di kalangan masyarakat yang lebih banyak memilih dan membeli produk asuransi secara online.
Dengan adanya platform insurtech seperti PasarPolis yang secara aktif terus meningkatkan literasi akan pentingnya asuransi, harapannya bisa meningkatkan kesadaran masyarakat ke depannya akan pentingnya asuransi yang dapat diperoleh dengan sangat mudah dan juga terjangkau. Memanfaatkan platform seperti PasarPolis yang memberikan akses dan kemudahan dalam memberi asuransi jauh lebih mudah lewat digital.
“Kami melihat setelah pandemi Covid-19 usai akan terbentuk kebiasaan baru ‘new normal’ di mana pembelian asuransi lewat digital terus meningkat. Karena biaya distribusi yang lebih rendah sehingga konsumen bisa mendapatkan value yang lebih dan juga Pandemi ini tentunya memberikan suatu pembelajaran bagi kita semua betapa pentingnya menjaga kesehatan,” kata Cleosent.
Bertujuan untuk menghadirkan produk asuransi untuk kalangan milenial, Sompo Indonesia (perusahaan asuransi asal Jepang) dan Axinan menjalin kemitraan strategis meluncurkan aplikasi Igloo. Aplikasi yang dilengkapi dengan teknologi machine learning tersebut menyediakan layanan asuransi khusus untuk perlindungan layar (screen protector) untuk semua tipe dan merek ponsel yang tersedia di Indonesia.
CEO Sompo Indonesia Eric Nemitz menyebutkan, dipilihnya Axinan sebagai mitra karena sesuai dengan misi dan komitmen untuk memperluas ruang usaha dengan mengandalkan teknologi dan menargetkan kalangan milenial. Igloo merupakan aplikasi konsumen pertama mereka di Indonesia yang berfokus pada asuransi.
“Kami menyadari kalangan milenial yang memiliki asuransi jumlahnya masih sedikit. Dengan produk awal yaitu perlindungan layar smartphone dalam aplikasi Igloo, kami harapkan akan lebih banyak lagi kalangan milenial yang tertarik untuk memiliki asuransi,” kata Eric.
Proses mudah ajukan dan klaim asuransi
Dalam presentasinya diperlihatkan cara mudah bagi pengguna yang ingin memiliki asuransi melalui aplikasi Igloo. Hanya dengan menunjukkan foto layar kamera ponsel dalam kaca, nantinya teknologi machine learning bisa mendeteksi secara langsung jenis ponsel yang dimiliki dan menyesuaikan nilai asuransi yang sesuai.
Setelah jenis ponsel ditentukan, pengguna bisa memasukkan nomor KTP yang berfungsi untuk proses KYC dan verifikasi. Nantinya proses pembayaran bisa dilakukan melalui Go-Pay, bank transfer dan beberapa opsi lainnya.
“Dengan machine learning kami bisa menentukan asuransi yang tepat dan relevan dengan kebutuhan pengguna. Sehingga tidak ada lagi nilai asuransi yang berlebihan, semua disesuaikan dengan kondisi ponsel milik pengguna,” kata CEO Axinan Wei Zhu.
Saat ini Igloo hanya menyediakan asuransi untuk layar ponsel saja, namun ke depannya Igloo juga akan menghadirkan asuransi untuk perjalanan wisata, perlindungan furnitur dan barang berharga di apartemen.
“Proses klaim asuransi yang cepat juga bisa kita pastikan, berbeda dengan layanan asuransi konvensional. Kami telah bermitra dengan 5 penyedia service ponsel di Jakarta. Saat ini layanan kami hanya tersedia di Jabodetabek,” kata Wei.
Menyediakan layanan untuk segmen B2B
Sebagai perusahaan yang berbasis di Singapura, Axinan bersama dengan Sompo Indonesia saat ini juga telah memiliki layanan asuransi khusus yang menyasar segmen B2B. Bermitra dengan marketplace dan e-commerce di Indonesia, Axinan memberikan asuransi jaminan barang untuk pengembalian yang bisa dimanfaatkan oleh merchant.
“Prosesnya adalah dari e-commerce dan marketplace tersebut akan melakukan kurasi merchant apa saja yang bisa memanfaatkan asuransi. Kami juga menyediakan asuransi perlindungan barang kepada pembeli,” kata Wei.
Perusahaan mengklaim sedang bersiap melakukan penggalangan dana. Tujuannya antara lain untuk mengembangkan produk, menambah tim dan melakukan ekspansi ke negara lainnya di Asia Tenggara.
“Setelah Indonesia kami melihat pasar yang memiliki potensi lainnya adalah Thailand. Masih dalam tahap penjajakan dengan mitra lokal kami berencana dalam waktu dekat akan melakukan ekspansi ke Thailand,” kata Wei.
Berbicara layanan jasa keuangan (LJK) di Indonesia, salah satu unsur utama yang harus ditaati adalah hukum. Pasalnya, LJK berbeda dengan industri lainnya karena ada transaksi dari dana nasabah, sehingga kejelasan izin usaha menjadi kunci utama membuka usaha LJK. Aturan dibuat karena tujuan akhirnya bermuara ke perlindungan konsumen dari tindakan moral hazard.
Atas dasar pemikiran itulah, Futuready didirikan. Futuready adalah perusahaan pialang (lebih dikenal broker) asuransi, dengan jalur penjualan khusus online. Perusahaan ini diklaim memiliki lisensi resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan nama usaha PT Futuready Insurance Broker dan nomor izin no. KEP-518/NB.1/2015.
Izin usaha Futuready sudah keluar sejak 2015, namun situs baru tersedia sejak pertengahan tahun lalu. Saham Futuready dimiliki oleh Aegon Grup sebanyak 80% dan sisanya 20% dimiliki perusahaan lokal dengan identitas tidak disebutkan.
Aegon Grup adalah perusahaan asuransi jiwa yang bermarkas di Den Haag, Belanda. Aegon memilih masuk ke Indonesia sebagai perusahaan broker, bukan berlisensi perusahaan asuransi. Alasannya simpel karena pemain asuransi di Indonesia sudah terlalu padat, sehingga prospek broker asuransi dinilai lebih cerah dan menjanjikan.
“Saat bicara Futuready, kami paham ini akan jadi manfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia namun harus dalam ranah hukum yang jelas. Kalau kami yakin tujuannya mulia, ya caranya harus mulia [memiliki izin lisensi],” terang CEO dan Presiden Direktur Futuready Sendy Filemon kepada DailySocial.
Mendapatkan izin lisensi untuk menawarkan produk jasa keuangan itu, menurut Sendy, hukumnya wajib karena jasa keuangan itu berbeda dengan menawarkan produk fesyen, elektronik, atau tiket perjalanan. Transaksi justru baru dimulai saat uang berpindah tangan, misal dalam asuransi, transaksi baru akan selesai apabila masa pertanggungan berakhir.
Sumber dana dari perusahaan jasa keuangan itu hanya ada tiga, yaitu dari modal, keuntungan bisnis, dan uang nasabah. Potensi terjadinya moral hazard pun makin besar.
“Karena ada uang titipan, ada risiko yang pegang dana bisa kabur. Ini bisa terjadi moral hazard, kalau ada feedback negatif dari konsumen karena hal tersebut, bisa rusak industri. Makanya itu perlu izin usaha resmi yang sesuai regulasi, dalam hal ini OJK mengeluarkan izin dan bertugas mengawasi perusahaan setelah izin diberikan.”
Berdasarkan POJK, ketentuan untuk mendirikan perusahaan broker adalah menyiapkan modal disetor minimal Rp3 miliar. Wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro atas nama perusahaan pada salah satu bank umum di Indonesia.
Biaya distribusi produk jasa keuangan sangat mahal
Sendy bercerita, saat pihaknya terpikirkan mendirikan Futuready ingin memecahkan permasalahan titik distribusi produk jasa keuangan yang terbilang mahal dan eksklusif. Saat ini pola pemasaran produk jasa keuangan kebanyakan dilakukan secara captive, bukan shared.
Hal inilah yang membuat harga produk asuransi, pada khususnya, jadi mahal. Sebab, pada akhirnya masyarakatlah yang harus membayar kemahalan tersebut, pasalnya komisi agen dibebankan ke konsumen karena biaya ini masuk ke harga produk. Belum lagi, dengan cara captive, membuat produk jasa keuangan jadi terasa eksklusif karena standar pelayanan dan dokumen yang digunakan disediakan berstandar Jakarta.
Padahal, di daerah bagi bank swasta atau nasional harus bersaing dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Di mana, mereka menggunakan standar dokumen yang sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
“Pernah tidak lihat produk kredit dari Bank A di jual di Bank B? Tidak ada kan?. Beda dengan produk FMCG, seperti Aqua dan Unilever. Apakah mereka pakai jalur khusus untuk berjualan produknya? Tidak, mereka lebih memilih untuk berkompetisi di pola pemasaran shared, seperti di supermarket atau minimarket. Karena polanya captive, makanya harga produk asuransi jadi mahal.”
Dia ingin menyelesaikan masalah itu dengan bantuan teknologi, sehingga posisinya adalah fintech menjadi jembatan untuk mengefisienkan harga produk asuransi karena ada biaya yang dipangkas.
Terlebih, konsep kerja broker adalah mengedepankan kepentingan nasabah. Sendy menjamin hal ini akan jadi nilai jual yang tidak bisa didapatkan nasabah ketika mereka membeli asuransi lewat agen atau secara online. Broker juga dapat diamanatkan oleh nasabah untuk melakukan klaim.
Asal tahu saja, secara regulasi tugas agen itu bekerja untuk perusahaan dan tidak diamanatkan untuk membantu nasabah saat melakukan klaim. Nilai tambah ini, menurut Sendy, tidak bisa ditemukan oleh nasabah ketika membeli asuransi. Meskipun, baik agen maupun broker, keduanya mendapat komisi dari pembayaran premi dari nasabah.
Target Futuready
Tahun ini, Futuready berencana untuk menambah kategori produk asuransi baru jadi delapan jenis dengan menambah mitra kerja sama perusahaan asuransi. Sementara, target nasabahnya ditargetkan bisa mencapai 72 ribu orang, naik dari posisi saat ini yang masih di bawah 10 ribu orang.
Sementara ini, Futuready memiliki empat jenis kategori produk asuransi, yakni asuransi kesehatan, asuransi perjalanan, asuransi kecelakaan, dan asuransi mobil. Meski belum ditentukan kategori produknya, ada beberapa potensi yang bisa dimasukkan ke dalam portofolio Futuready, diantara asuransi barang elektronik, asuransi berjangka (term life), properti, dan gaya hidup.
Sendy yakin pihaknya akan mencapai target tersebut. Pasalnya, sepanjang tahun ini induk usaha berencana akan beberapa kali menyuntikkan dana segar. Dana tersebut akan dipergunakan, salah satunya untuk merekrut tenaga kerja baru untuk bagian pengembangan teknologi dan TI. Pada tahun lalu, Futuready mendapat dua kali suntikan dana dengan nilai yang tidak disebutkan.
Mengenai prospek bisnis broker, menurut Sendy, akan makin cerah. Berbekal lisensi yang sudah dipegang Futuready, pihaknya yakin bisa menggarap sektor produk asuransi yang belum tersentuh agen pemasaran dengan menjual produk dengan premi tahunan sekitar Rp500 ribu sampai Rp5 juta.
Segmen ini dinilai kosong dan pihak penjualnya pun terbatas. Misalnya untuk asuransi perjalanan kebanyakan dijual oleh agen perjalanan atau asuransi mobil dijual oleh diler mobil.
“Intinya di Futuready hanya menjual produk asuransi yang sederhana, tidak butuh ketemu face to face. Bila konsumen suka, silahkan beli, prosesnya full online, baik itu untuk pendaftaran maupun klaim. Seluruh proses sudah comply dengan regulasi dan diawasi oleh OJK. Kami wajib melaporkan keuangan kami secara rutin ke otoritas.”
Kehadiran startup di segmen financial technology (fintech) yang saat ini makin banyak bermunculan dicermati dengan baik oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK). Satu hal yang nantinya akan dibuat aturan yang jelas adalah terkait dengan penentuan batas modal minimal industri fintech. Salah satu alasan dibuatnya aturan tersebut adalah untuk perlindungan konsumen.
“Ini lagi kita bahas, bukan hanya soal sektor IKNB (industri keuangan non bank), tapi juga di sektor perbankan, pasar modal juga. Tapi kita atur sederhana saja karena banyaknya startup company. Kita persyaratkan modal, tapi juga sedikit saja,” kata Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani kepada Neraca.
Selama ini fintech sebagai perusahaan yang masuk dalam kategori industri keuangan berbasis teknologi kebanyakan menggunakan modal milik sendiri untuk menjalankan bisnisnya dan bukan deposit taker atau perusahaan yang mengumpulkan dana dari masyarakat. Dengan demikian nantinya aturan akan disesuaikan dengan nominal yang tepat dan tentunya tidak terlalu besar jumlahnya. Hingga kini OJK yang masih belum bersedia menentukan berapa batas modal minimal yang tepat kepada startup fintech.
“Yang ringan-ringan dulu. Nanti awal-awal gitu, kalo udah baru kita tingkatkan yang agak besar atau bagaimana gitu. Yang penting concern kita adalah bagaimana agar tidak merugikan konsumen,” ujar Firdaus.
Salah satu aspek yang menjadi penentu dari ketetapan tersebut adalah keberadaan kantor serta penggunaan server oleh startup fintech, yang nantinya akan mempengaruhi berapa besar batas modal yang ditentukan.
“Jadi misalnya kira-kira berapa ya, sewa ruko dan lain-lain. Sewa ruko paling murah Rp100 juta, apa Rp 500 juta, atau Rp1 miliar atau berapa,” tambah Firdaus.
Selain itu yang juga diperlukan oleh startup fintech adalah keberadaan lembaga kustodi, yang berfungsi untuk menyimpan data digital nasabah, agar terhindar dari aksi kecurangan dari nasabah yang ‘nakal’.
“Misalnya nasabah agak nakal, jadi diubah-ubah sedikit, lalu nanti terjadi sengketa yang di sini begini tapi di sana berbeda. Nah kalau misalnya terjadi sengketa, kita lihat ke kustodinya karena kan dia juga punya yang digital,” kata Firdaus.
Peluang teknologi fintech diaplikasikan perusahaan asuransi
Di lain pihak, kemudahan yang ditawarkan oleh fintech untuk memberikan informasi, layanan serta kebutuhan yang diperlukan oleh nasabah, menjadikan alasan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mempertimbangkan fintech untuk diaplikasikan perusahaan asuransi.
Diharapkan nantinya fintech tidak hanya membantu penjualan produk asuransi, tetapi juga mempercepat proses pembelian, pembayaran premi, penjelasan produk dan klaim pemegang polis sehingga nasabah tidak perlu datang ke kantor cabang perusahaan asuransi.