Storytel, aplikasi audiobook berbasis di Swedia, meresmikan kehadirannya di Indonesia setelah mengumumkan rencananya tersebut sejak April 2021. Aplikasi ini hadir dengan membawa pendekatan audiobook pertama berbahasa Indonesia yang hadir secara premium karena sudah terkurasi dan diproduksi dengan serius.
“Kami sangat menantikan kesempatan ini, untuk membawa layanan Storytel yang memberikan cerita terbaik menggunakan teknologi terdepan dan mudah digunakan oleh konsumen. Pengalaman panjang kami dalam konten audio dan feedback yang luar biasa dari pelanggan, mendorong kami untuk mengambil langkah baru dalam misi untuk memungkinkan lebih banyak orang dalam berbagi dan menikmati cerita kapan saja dalam skala global,” ucap Chief Content Strategy Officer Storytel Helena Gustafsson dalam konferensi pers virtual, Rabu (9/3).
Format buku audio dinilai berpotensi
Country Manager Storytel Indonesia Indriani Widyasari menambahkan, audiobook merupakan rekreasi yang bermakna. Kelebihan audiobook bisa dinikmati sambil melakukan hal-hal lain, seperti sebelum tidur atau sambil merelaksasi tubuh. Hal ini tentu bisa meningkatkan wawasan, membuka konten-konten literasi yang biasanya harus dibaca sekarang bisa dinikmati dengan mendengarkan.
Dia melanjutkan, berdasarkan survei yang sebelumnya dilakukan perusahaan di negara-negara lain, mendapati bahwa pengguna audiobook memiliki kesempatan lebih banyak menghabiskan buku dibandingkan saat hanya membacanya. Jika biasanya, dalam satu bulan seseorang bisa menghabiskan buku satu hingga tiga buku, maka dengan audiobook orang-orang bisa membaca buku mencapai lima buku.
“Indonesia adalah salah satu negara yang cepat beradaptasi dan adopsi digital baru. Sekitar tiga sampai empat tahun lalu masih banyak yang belum tahu podcast, tapi sekarang sudah jadi bagian dari gaya hidup,” kata Indri.
Storytel menghadirkan lebih dari 150 ribu audiobook dalam berbagai 19 genre buku dan cerita dalam Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Mandarin. Seluruh konten ini diproduksi secara serius. Perusahaan bermitra dengan penerbit terkemuka lokal untuk menghasilkan perpustakaan audiobook berbahasa Indonesia dengan mengakuisisi hak cipta audio.
Serta, memproduksi sendiri cerita audiobook oleh tim Storytel, disebut Storytel Original. Salah satu judul original yang sudah dirilis adalah cerita detektif terbaru tentang Sherlock Holmes yang terlaksana berkat kesepakatan dengan Conan Doyle Estate. Karya tersebut ditulis oleh penulis tersohor dari Inggris, Anthony Horowitz.
Indri melanjutkan, isi audiobook dinarasikan para seniman suara profesional yang dapat menghidupkan cerita melalui suara untuk melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari yang melelahkan dengan cerita yang praktis dan mudah dinikmati oleh para pecinta buku.
Secara eksklusif, Storytel Indonesia menampilkan versi audiobook dari judul-judul buku populer dari penulis terkenal, seperti Dewi Lestari, Tere Liye, Ika Natassa, Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Pidi Baiq, dan Habiburrahman El Shirazy. Juga, bekerja sama dengan aktor dan aktris Indonesia untuk menarasikan audiobook, seperti Dian Sastrowardoyo, Adinia Wirasti, dan Fedi Nuril.
Langkah tersebut menjadi perhatian serius Storytel. Pasalnya, dalam riset perusahaan disebutkan bahwa 90% penggunanya mengonsumsi konten di Storytel dalam bahasa lokal. Oleh karenanya, lokalisasi punya peranan penting untuk mendekatkan pengguna dengan buku-buku terbitan luar negeri.
Ditambah lagi, masih dalam riset yang sama, dikatakan sebanyak 70% perpustakaan di Storytel adalah buku keluaran lama yang tidak dijual lagi bentuk fisiknya di toko buku. Sehingga, unsur tersebut membuat munculnya unsur emosional yang mengikat para pengguna untuk bernostalgia.
Secara global, Storytel memiliki lebih dari 700 ribu judul buku dan 30 bahasa, termasuk dalam Bahasa Indonesia. Penggunanya mencapai lebih dari 1,7 juta orang dengan genre yang paling banyak dinikmati adalah detektif dan romansa.
Untuk menikmati seluruh pustaka di Storytel, pengguna perlu berlangganan dengan biaya mulai dari Rp39 ribu per minggu selama periode peluncuran. Aplikasi dapat diunduh melalui App Store dan Play Store dengan persyaratan minimal Android 5 dan iOS 13.
To date, the entertainment app competition in Indonesia, either social media or streaming video/audio, is dominated by global players. The opportunity is there for local platforms, however, it requires differentiation and comply with the Indonesian people preferences to acquire new users.
This formula was successfully implemented by Vidio and Mola TV, which survived due to the strategy of broadcasting sports content exclusively, amidst the massive penetration of global video streaming platforms. According to research by Nielsen Sport in 2017, Indonesia (77%) ranks 2nd globally after Nigeria (83%) as a country with high interest in football.
That “exclusivity” formula doesn’t apply to audio streaming apps. There is no local platform dominates in this entertainment vertical. The opportunity has finally emerged since podcasts have mushroomed in Indonesia. DailySocial once reviewed how big the chances of local players to win in their own country through this voice-based content. Noice is one of which that is trying to pursue this position.
In an interview with DailySocial, Noice’ CEO Rado Ardian said, the podcast and non-music audio industry continues to grow, but the platform for providing quality non-music audio content is still very limited. As a result, Indonesia is still in a significant asymmetry position for support to digital-based entertainment content.
In Noice’s research, at least within 24 hours, Indonesians consume visual or on-screen content within 12 hours, then four hours off-screen which is an opportunity for audio platforms, and the remaining eight hours to rest.
Off-screen moments, or Noice calls them screenless moments, are moments where users listen to audio content, making it easy for those who are multitasking and productive in doing activities without looking at the screen, such as studying, driving, driving, or sports, but still want to enjoy entertainment content. quality.
This is validated by Noice’s annual achievements. Noice users increased by 144% in the last year or reached almost 1 million users. The average daily active listener spends more than 60 minutes on the Noice platform each day. In general note, users listen to the content at night before going to bed.
These users come from the age range of 18-34 years with various occupational backgrounds, including students, fresh graduates, employees, workers, and housewives. It is recorded that there are more than 100 original content has been produced by Noice’s creators, the number of which continues to grow. Comedy, horror, and hobbies are the favotite genres most people listen to.
“When the shows [we make] are getting more listeners, this is a validation of Indonesian people needs of screenless moment. We want to give a moment which the video content can’t provide,” Rado said.
Hyperlocal content
Noice always emphasizes on the hyperlocal strategy they bring as differentiation to similar players, also as part of the company’s hypothesis to be the home of audio content in Indonesia. Rado explained that this hyperlocal content prioritizes aspects of Indonesian and regional languages with relevant topics in each region.
In further translating this strategy, Noice has developed a lot of tools to increase growth in terms of supply and demand. In increasing supply, the company will collaborate more with local communities to find quality creators to work through Noice.
From Noice’s observation, there are many local creators with quality content, but in visual form. For this reason, an educational process is needed through various webinars, therefore, creators can create quality audio content. In fact, the process of creating audio content is not arbitrary as it plays an element of the brain’s imagination with a series of words.
“Because making audio content is different from visual ones because you have to play a theater of mind, you have to know how to capture it in audio format. Therefore, you don’t just convert from visual content to audio, because the target audience is different,” Noice’s Chief Business Officer, Niken Sasmaya added.
In the process of creating audio content, she said, is much simpler than visual because it does not need to include supporting images. The thing is to arrange the flow of discussion and speaking style, therefore, it can capture the listener’s imagination, and the tapping experience will be even more different.
Niken continued, the Noice team provides full support with studio facilities, production and marketing teams specifically for creators who want to create original and exclusive content on Noice. “There are producers and programmers who will help us think of the concept we want to make in accordance to the listener’s interest, then we look for suitable talents. It’s vice versa with the process [if any talent comes to Noice]. Thus, we’ll brainstorm with talent, what topics he likes to discuss.”
With the support of the Mahaka Group, which is Noice’s parent company, finding local talent will be easier because of its extensive network in the radio industry throughout Indonesia. Niken said Mahaka’s support in boosting Noice’s penetration was also intense, both in content partnerships and in collaboration with radio broadcasters.
“There are many famous radio influencers in Mahaka, we want to collaborate in these two worlds. We’re working on a plan regarding this.”
Apart from discovering and improving talent capabilities, Noice also creates a platform for more local creators can distribute their work via RSS feeds. Thus, Noice’s content supply is not only original and exclusive works.
Niken said, if there is a potential content in the future from this feature, it is possible that they will be invited to collaborate more deeply with Noice to become an exclusive partner.
Currently, there are some local creators have been recruited by Noice in its respective regions in the form of Original and Exclusive Noice, including Lambemu (Surabaya), Capila (Sulawesi), Balik Bandoeng (Bandung), and Stories of Hometown (Yogyakarta).
The presence of these local creators is able to boost the spread of Noice users. Although the majority are still in Jakarta (18.05%), there are also contributions from listeners in Surabaya (16.45%), Depok (8.24%), Makassar (5.29%), and Bandung (5.28). %).
Noice Live
Meanwhile, to increase the demand side, Noice has developed a lot of features with objective to increase two-way interaction between creators and their listeners. The feature to represent that objective is Noice Live which the company just launched and will be a big feature in Noice.
Noice Live is actually not much different from Clubhouse because it allows real-time interaction between creators and listeners. The topics raised were varied, ranging from small talk, comedy, music, business, and current issues.
However, Rado said there are several differentiations that make Noice Live unique with Indonesian nuances. It includes providing live comment for listeners in the room. This feature is created because Indonesians like to be directly involved with their favorite creators.
Listeners who have registered can simply open the Noice application and click on the room to listen to the content. In addition, verified creators who want to create content in the Noice Live room can also invite listeners to become speakers/guests in the room.
“We want to create a new experience to increase engagement between creators and listeners in a two-way manner. From the existing collaborations with creators, the engagement is quite good, many of the live sessions last long because listeners are happy with the content. This is a new color for us, in the future, Noice Live will be able to be used in other formats.”
Noice Live is more selective for creators who want to create rooms, it only allows those who have been verified. Therefore, it’s not simply anyone can open a room. This is to maintain the quality of the content presented by Noice.
“Not everyone wants to be a speaker, some people want to stay behind the scenes. That’s why we made the room only for selective creators. However, there is a possibility for it to be open to more people, such as public figures or celebrities, therefore, the content can be of higher quality and more engagement occurs.”
Another feature to complements Noice’s ambition as a home for audio content is an audiobook named NoiceBook. It is said that currently 70 audiobook titles have been published, the plan is to reach 150 titles by the end of this year.
Aiming for a sustainable company
Rado said, Noice’s various efforts described above are to show its ambition to set a benchmark in the industry on how to create quality audio content, considering that the audio content industry is relatively new in Indonesia. “We wanted to participate in the industry with a benchmark set to inspire other podcasters looking to create audio content.”
Apart from that, the company has also made a series of monetization plans in the future to become a sustainable company. Niken explained that in the common audio content industry, there are many ways of monetization, for example adlibs that generate revenue sharing between companies and creators, as is what the radio industry is currently doing.
The company is to use the strategy this year. The monetization plan Noice’s has been doing is currently for original content produced in collaboration with creators appointed as talents. There is value given to them.
The company has also created virtual gifts on Noice Live for users to give to their favorite creators and it can also be cashed out. YouTube has implement this strategy through Super Chat.
“In the future we will start to generate monetization plan outside of exclusive and original content, there will be several monetization features to develop. We want to make it possible for creators to make Noice their livelihood,” concluded Niken.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Hingga hari ini peta persaingan aplikasi hiburan di Indonesia, baik itu media sosial ataupun streaming video/audio, didominasi pemain global. Kesempatan platform lokal sebenarnya masih ada, tapi butuh diferensiasi mencolok dan sesuai dengan kegemaran orang Indonesia agar dapat mengakuisisi pengguna baru.
Formula tersebut berhasil diterapkan Vidio dan Mola TV yang bertahan karena strateginya menayangkan konten olahraga secara eksklusif, di tengah gempuran platform streaming video global. Menurut penelitian Nielsen Sportdi 2017, Indonesia (77%) menduduki posisi ke-2 secara global setelah Nigeria (83%) sebagai negara yang memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap sepak bola.
Formula “eksklusivitas” itu tidak berlaku untuk aplikasi streaming audio. Tidak ada platform lokal yang mendominasi di vertikal hiburan ini. Kesempatan akhirnya mencuat sejak podcast menjamur di Indonesia. DailySocial pernah mengulas seberapa besar peluang pemain lokal untuk menjadi raja di negeri sendiri lewat konten berbasis suara ini. Noice adalah salah satu yang sedang berusaha mengejar posisi tersebut.
Dalam wawancara bersama DailySocial, CEO Noice Rado Ardian mengatakan, industri podcast dan audio non-musik terus bertumbuh, namun platform penyedia konten audio non-musik yang berkualitas masih sangat terbatas. Alhasil, Indonesia masih dalam posisi asimetri yang signifikan dalam dukungan konten hiburan berbasis digital.
Dalam riset Noice, setidaknya dalam 24 jam, orang Indonesia mengonsumsi konten visual dalam 12 jam atau disebut on-screen, kemudian empat jam off-screen yang menjadi peluang platform audio, dan sisanya delapan jam untuk waktu istirahat.
Momen off-screen, atau Noice menyebutnya dengan screenless moment, adalah momen di mana pengguna mendengarkan konten audio memberikan kemudahan bagi mereka yang sedang multitasking dan produktif berkegiatan tanpa melihat layar, seperti belajar, berkendara, menyetir, atau olahraga, namun tetap ingin menikmati konten hiburan berkualitas.
Validasi tersebut terbukti dengan pencapaian tahunan Noice. Pengguna Noice naik sebesar 144% dalam setahun terakhir atau mencapai hampir 1 juta pengguna. Pendengar aktif harian rata-rata menghabiskan lebih dari 60 menit di platform Noice setiap harinya. Umumnya pengguna mendengarkan konten pada malam hari sebelum tidur.
Para pengguna ini datang dari rentang usia 18-34 tahun dengan berbagai latar belakang pekerjaan, termasuk pelajar, fresh graduate, karyawan, pekerja, dan ibu rumah tangga. Terhitung ada lebih dari 100 konten original yang sudah diproduksi kreator Noice yang jumlahnya terus bertambah. Genre favorit yang banyak didengarkan adalah komedi, horor, dan hobi.
“Ketika show yang [kami buat ternyata yang] mendengarkan semakin banyak, ini menjadi validasi bahwa orang Indonesia butuh screenless moment. Kita mau berikan momen yang tidak diberikan oleh video,” kata Rado.
Konten hyperlocal
Diferensiasi yang selalu ditekankan Noice dibandingkan pemain sejenis adalah strategi hyperlocal sebagai bagian dari hipotesis perusahaan yang ingin menjadi rumah konten audio di Indonesia. Rado menjelaskan konten hyperlocal ini sangat mengedepankan aspek bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan topik-topik yang relevan di tiap wilayah.
Dalam menerjemahkan lebih jauh strategi ini, Noice banyak melakukan pengembangan tools demi meningkatkan pertumbuhan dari sisi suplai dan demand. Dalam meningkatkan suplai, perusahaan bakal banyak melakukan kolaborasi dengan komunitas lokal untuk menemukan bibit kreator berkualitas dapat berkarya melalui Noice.
Dari pantauan Noice, ada banyak kreator lokal dengan konten berkualitas, namun dalam bentuk visual. Untuk itu, diperlukan proses edukasi melalui berbagai webinar agar para kreator dapat membuat konten audio yang berkualitas. Pasalnya, proses membuat konten audio tidak sembarangan karena memainkan unsur imajinasi otak dengan rangkaian kata-kata.
“Sebab membuat konten audio ini berbeda dengan visual karena harus memainkan theater of mind, harus tahu bagaimana meng-capture-nya dalam format audio. Jadi tidak asal convert dari konten visual ke audio, sebab target pendengarnya berbeda,” tambah Chief Business Officer Noice Niken Sasmaya.
Dalam proses pembuatan konten audio, menurutnya, jauh lebih simpel daripada visual karena tidak perlu memasukkan gambar pendukung. Yang dibutuhkan adalah menyusun alur pembahasan dan gaya bicara agar dapat menangkap imajinasi pendengar, sehingga pengalamannya saat tapping pun jauh lebih berbeda.
Niken melanjutkan, tim Noice memberikan dukungan penuh dengan fasilitas studio, tim produksi dan marketing khusus untuk kreator yang ingin membuat konten original dan eksklusif di Noice. “Ada produser dan programmer yang akan bantu memikirkan konsep yang ingin kita buat sesuai minat pendengar, dari situ kita cari talent yang sesuai. Vice versa juga prosesnya [kalau ada talent yang datang ke Noice]. Jadi kita ada brainstorming dengan talent, topik apa yang suka dia bahas.”
Dibantu Grup Mahaka, yang merupakan induk Noice, pencarian talenta lokal akan lebih mudah karena jaringannya di industri radio yang sudah luas di seluruh Indonesia. Niken menuturkan, dukungan Mahaka dalam mendongkrak penetrasi Noice juga gencar, baik dalam content partnership maupun bekerja sama dengan para penyiar radionya.
“Di Mahaka ada banyak radio influencer yang terkenal, kita mau kolaborasikan dua dunia ini. Sedang kita godok rencananya terkait ini.”
Selain menemukan dan meningkatkan kapabilitas talenta, Noice juga membuka wadah agar semakin banyak kreator lokal yang dapat mendistribusikan karyanya lewat feed RSS. Dengan demikian, suplai konten di Noice tidak hanya karya original dan eksklusif saja.
Menurut Niken, apabila ada konten yang berpotensi tumbuh bagus ke depannya dari fitur ini, tidak menutup kemungkinan mereka bakal diajak kerja sama lebih dalam dengan Noice untuk menjadi mitra eksklusif.
Saat ini terdapat sejumlah kreator lokal yang telah direkrut Noice di daerahnya masing-masing dalam bentuk Noice Original maupun Exclusive, di antaranya Lambemu (Surabaya), Capila (Sulawesi), Balik Bandoeng (Bandung), dan Cerita Kampung Halaman (Yogyakarta).
Kehadiran kreator lokal ini mampu mendongkrak persebaran pengguna Noice. Meski mayoritas masih di Jakarta (18,05%), namun terdapat kontribusi yang menarik dari pendengar di Surabaya (16,45%), Depok (8,24%), Makassar (5,29%), dan Bandung (5,28%).
Noice Live
Sementara untuk meningkatkan sisi demand, Noice banyak melakukan pengembangan fitur yang memiliki objektif dapat meningkatkan interaksi dua arah antara kreator dengan para pendengarnya. Fitur yang sejauh ini mewakili objektif tersebut adalah Noice Live yang baru diluncurkan perusahaan dan akan menjadi fitur besar di Noice.
Noice Live sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Clubhouse karena memungkinkan para kreator dapat berinteraksi dengan pendengarnya secara real-time. Topik yang diangkat pun beragam, mulai dari obrolan ringan, komedi, musik, seputar bisnis, hingga isu terkini.
Kendati begitu, menurut Rado, ada beberapa diferensiasi yang membuat Noice Live khas dengan nuansa Indonesia. Yakni, memungkinkan pendengar untuk langsung memberikan komentarnya di dalam room secara live. Fitur ini hadir karena orang Indonesia senang dilibatkan secara langsung dengan kreator favoritnya.
Pendengar yang telah teregistrasi akun cukup membuka aplikasi Noice dan mengklik room yang ingin didengarkan kontennya. Selain itu, para kreator yang sudah terverifikasi yang ingin membuat konten di room Noice Live juga bisa mengundang pendengar untuk menjadi pembicara/guest dalam room tersebut.
“Kami ingin buat pengalaman baru dalam meningkatkan engagement antara kreator dengan pendengarnya secara dua arah. Dari kolaborasi yang sudah kita lakukan dengan kreator, engagement-nya bagus, live session-nya banyak yang stay sampai akhir karena pendengar senang dengan kontennya. Ini jadi warna baru bagi kami, ke depannya Noice Live akan bisa dipakai dalam format lain.”
Noice Live lebih selektif dalam membuka kesempatan bagi kreator yang ingin membuat room, hanya mereka yang sudah terverifikasi saja. Jadi tidak sembarang orang dapat membuka room. Hal tersebut untuk menjaga kualitas konten yang disajikan Noice.
“Tidak semua orang mau jadi speaker, ada yang ingin di belakang layar saja. Makanya kita buat room itu hanya untuk selective creator. Tapi ada kemungkinan bakal kita buka ke lebih banyak orang, seperti publik figure atau selebgram, sehingga konten bisa lebih berkualitas dan lebih banyak engagement terjadi.”
Fitur lainnya yang turut melengkapi ambisi Noice sebagai rumah konten audio adalah audiobook, dinamai NoiceBook. Disebutkan saat ini 70 titel audiobook yang telah dipublikasi, rencananya sampai akhir tahun ini ditargetkan dapat mencapai 150 titel.
Menjadi perusahaan berkelanjutan
Rado menuturkan berbagai upaya Noice yang telah dijelaskan di atas untuk memperlihatkan bahwa pihaknya ingin membuat benchmark di industri bagaimana membuat konten audio yang berkualitas, mengingat industri konten audio itu terbilang masih baru di Indonesia. “Kami ingin berpartisipasi di industri dengan set benchmark agar bisa menginspirasi podcaster lain yang ingin membuat konten audio.”
Di luar itu, perusahaan juga sudah membuat sejumlah rencana monetisasi yang akan dilakukan Noice ke depannya agar menjadi perusahaan yang berkelanjutan. Niken menerangkan secara umum di industri konten audio ada banyak cara monetisasi, contohnya iklan adlibs yang membuka revenue sharing antara perusahaan dengan kreator, seperti yang dilakukan industri radio saat ini.
Cara tersebut akan dilakukan perusahaan pada tahun ini. Adapun strategi monetisasi yang sudah dilakukan Noice baru untuk konten original yang diproduksi bekerja sama dengan kreator yang diangkat sebagai talenta. Ada value yang diberikan untuk mereka.
Perusahaan juga sudah membuat virtual gift di Noice Live yang diberikan pengguna kepada kreator favoritnya dan dapat diuangkan. Hal tersebut sudah dilakukan YouTube melalui Super Chat.
“Ke depannya kami akan mulai buka monetisasi di luar konten eksklusif dan original, akan ada beberapa fitur monetisasi yang akan kita coba. Kami ingin membuat kreator itu bisa menjadikan Noice sebagai mata pencaharian mereka,” tutup Niken.
Di antara industri konten kreatif yang terus melejit selama beberapa tahun terakhir, salah satu yang menjadi rising star adalah konten audio podcast. Sebuah riset bertajuk “Global Podcasting Market by Genre, by Formats, by Region, Industry Analysis and Forecast, 2020 – 2026” menyebutkan bahwa ukuran pasar podcast global diperkirakan akan mencapai $41,8 miliar pada tahun 2026, mengalami pertumbuhan pasar sebesar 24,6% CAGR dalam periode tersebut.
Secara sederhana, podcast adalah file audio digital yang dapat diunduh pengguna — atau di beberapa aplikasi, streaming — dan dengarkan melalui internet, biasanya tersedia sebagai seri yang dapat dengan mudah diterima oleh pendengar. Meskipun podcast sangat beragam dalam hal konten, format, nilai produksi, gaya, dan panjang, semuanya didistribusikan melalui RSS, atau Really Simple Syndication, format standar yang digunakan untuk menerbitkan konten. Dalam hal podcast, RSS berisi semua metadata, karya seni, dan konten acara.
Menurut beberapa sumber, podcasting bermula dari blogposting yang dikembangkan oDavid Winer dan Christopher Lydon pada awal 2000-an. Winer membuat kanal RSS yang mengumpulkan rekaman audio wawancara antara mantan wartawan NPR, Christopher Lydon, dengan ahli teknologi dan politikus. Dalam kurun waktu yang sama, Adam Curry memperkenalkan program Daily Source Code yang saat itu didistribusikan lewat iPod.
Hal ini menarik minat seorang jurnalis Ben Hammersley yang kemudian membahas animo masyarakat terkait maraknya penyebaran konten audio dan secara tidak sengaja menemukan terminologi podcasting [singkatan dari iPod dan broadcasting]. Pada masa awalnya, pasar ini berfokus pada audiens khusus atau niche dan topik individu — seperti televisi kabel atau blog — berbeda dengan radio yang ditujukan untuk audiens massal, jadi harus memiliki konten dengan daya tarik luas.
Pada tahun 2005, Apple merilis versi 4.9 yang mendukung distribusi podcast dalam semua platformnya. Ketika itu, Steve Jobs mengatakan, “Podcasting adalah generasi radio berikutnya, dan pengguna sekarang dapat berlangganan lebih dari 3.000 Podcast gratis dan setiap episode baru secara otomatis dikirimkan melalui Internet ke komputer dan iPod mereka.”
Apple Podcast memainkan peran penting dalam pengembangan industri dan tetap mendominasi tangga aplikasi untuk mendengarkan. Namun, pangsa pasarnya telah turun dalam beberapa tahun terakhir, dari lebih dari 80% menjadi 63%. Hal ini terlihat wajar mengingat semakin banyak platform yang mulai mengakomodasi distribusi podcast seperti Google Podcast dan Spotify.
Saat ini, orang-orang telah semakin banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan podcast. Menurut kompilasi portal data dan statistik, Statista, 37 persen orang dewasa di Amerika Serikat (AS) telah mendengarkan podcast, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat selama satu dekade terakhir.
Lahir dan berkembang di pasar AS, popularitas podcast menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Industri podcast di Tiongkok disebut telah 23x lebih besar dari Amerika karena satu alasan utama: Podcast di Tiongkok sebagian besar memiliki model bisnis langganan berbayar, sementara podcast di Amerika hampir semuanya gratis dan hanya didukung iklan.
Sebagai negara dengan industri podcast yang terbilang masih “bayi”, kiblat mana yang sekiranya pas untuk pasar Indonesia?
Model bisnis podcast
Dilansir dari HBR, model bisnis yang baik harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Siapa pelanggannya? Dan apa nilai yang ditawarkan?’ Lalu hal tersebut juga harus menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana kita menghasilkan uang dalam bisnis ini? Apa logika ekonomi mendasar yang menjelaskan bagaimana perusahaan dapat memberikan nilai kepada pelanggan dengan biaya yang sesuai?”
Dalam sebuah utas di Twitter, Co-Founder dan partner Village Global, sebuah VC tahap awal yang berbasis di US, Erik Torenberg menjabarkan fakta-fakta menarik terkait monetisasi dalam industri podcast. Erik mengungkap beberapa alasan industri ini masih kesulitan dalam menemukan sumber pendapatan adalah karena monetisasi tidak bisa dilakukan pada saluran distribusi yang paling besar [Apple], pemasaran ekor panjang [long-tail marketing] yang belum mencukupi, serta kelengkapan data yang belum tersedia dan perangkat “targeting” yang belum canggih.
Startups in China have figured out monetization: there’s advertising, subscriptions, a la carte purchases, and donations/tipping.
Monetisasi bisnis podcast saat ini layaknya internet pada masa awal, masih baru dan belum stabil. Seiring meningkatnya jumlah pendengar, podcast bisa mulai menghasilkan pendapatan melalui iklan yang masuk. Namun, terkadang iklan saja tidak cukup. Dalam utasnya, Erik turut menyampaikan penggambaran model bisnis potensial yang dapat dipelajari dari Tiongkok.
Yang pertama dan masih jadi yang utama adalah iklan atau sponsor. Meskipun dinilai efektif dan dengan cara yang unik (karena dapat menyasar demografi serta geografi yang nyaris tanpa batas), terkadang iklan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Selain itu, ada donations yang memungkinkan pembuat konten mendapatkan revenue melalui donasi lewat pihak ketiga dari para pendengarnya. Salah satu platform yang familiar digunakan di Indonesia, Anchor, memungkinkan pendengar memberikan donasi kepada pembuat konten hingga $10/bulan.
Lalu ada subscription dan a la carte purchases. Model berlangganan premium ini populer di Tiongkok. Salah satu platform audio konsumen yang sudah mencapai status unicorn, Ximalaya, memiliki fitur berlangganan seharga $3 per bulan yang memungkinkan pengguna mengakses lebih dari 4000 e-book dan lebih dari 300 kursus audio atau podcast premium. Konten audio juga tersedia a la carte, mulai dari $0,03 per episode, atau mulai dari $10 hingga $45 untuk kursus audio berbayar.
Menurut observasi penulis, dua skema pertama (iklan dan berlangganan), menjadi konsep yang paling memungkinkan untuk diterapkan jaringan pembuat konten tanpa platform independen.
Ekosistem yang mulai matang
Selama lima tahun terakhir, aplikasi audio khusus di China telah berkembang pesat. Faktanya, pengguna pasar audio online tumbuh lebih dari 22% di China pada tahun 2018, meningkat lebih cepat daripada aplikasi video atau membaca. Melihat China dapat menggambarkan model bisnis potensial — sebagian melalui mengadopsi pendekatan audio-sentris daripada mengikuti definisi podcasting yang terbatas.
Ximalaya diketahui telah memiliki 70 persen hak buku audio atas judul buku terlaris di China dan baru-baru ini melakukan investasi di media Himalaya yang berbasis di San Francisco. Didukung Tencent, Ximalaya telah membangun platform dan komunitas berbasis audio, Ximalaya FM, dengan rata-rata 250 juta pengguna bulanan. 146 juta di antaranya mendengarkan konten audio perusahaan melalui perangkat internet-of-things (IoT) dan perangkat pihak ketiga lainnya.
Per Maret 2020, Ximalaya berhasil menempati peringkat kedua setelah Apple sebagai platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok, mengungguli Spotify yang berada di peringkat ke-6.
Di Indonesia, industri ini kian naik daun ketika Spotify membuka kanal khusus yang mempermudah siapa saja untuk mengunggah konten podcast. Beberapa nama yang sudah tidak asing seperti Rapot, Podkesmas, atau Rintik Sedu telah bertengger di kategori podcast terpopular di Spotify.
Podcast sebagai industri kreatif telah berkembang sedemikian rupa, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.
Salah satu platform podcast lokal yang juga ikut bersaing adalah Inspigo atau Inspiration on the Go yang belum lama ini dikabarkan telah disuntik dana oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Berikut gambaran beberapa platform yang sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Indonesia serta strategi monetisasinya.
Aplikasi
Layanan
Monetisasi
Spotify
Distribusi musik dan podcast
Iklan dan akses Spotify premium mulai dari Rp2,500 per hari hingga Rp79,000 per bulan
Apple Podcast
Distribusi podcast
Gratis (Khusus pengguna iOS)
Soundcloud
Distribusi musik dan podcast
Iklan dan akses premium mulai dari Rp36,000 hingga Rp174,000 per bulan
Pocket Casts
Rekaman dan distribusi podcast
Akses premium mulai dari Rp14,000 per bulan
Google Podcast
Distribusi podcast
Gratis
Anchor
Rekaman dan distribusi podcast
Gratis
NOICE
Distribusi musik, podcast, radio dan audiobook
Gratis
Inspigo
Distribusi podcast, audio playbook
Akses premium mulai dari Rp10,000 per 7 hari hingga Rp300,000 per 12 bulan
Pandangan pemain lokal
Pertumbuhan bisnis podcast yang semakin terlihat turut menarik minat investor lokal maupun global. Namun, mengingat tantangan monetisasi, pertanyaannya adalah apakah startup dapat membangun jalur yang tepat untuk menjadi bisnis yang berkelanjutan?
Aryo Ariotedjo, Co-Managing Partner Absolute Confidence, yang telah masuk sebagai seed investor di Podkesmas, mengungkapkan, “Dengan maraknya konten di Indonesia seperti YouTube, podcast merupakan industri yang baru berkembang 2 tahun terakhir seperti halnya YouTube waktu di tahun 2014. Menjadi pendukung para podcasters di awal-awal berkembangnya industri ini, dapat mampu mendongkrak talent-talent tersebut menjadi professional dan dapat me-monetize lebih baik lagi dan menciptakan content yang memang dicari berdasarkan data yang ada (data driven content creation).”
Di Indonesia sendiri, layanan podcast yang dari awal sudah yakin dengan model bisnisnya adalah Inspigo. Mereka membangun konten dengan tujuan konsumsi (pegawai) perusahaan. Sementara podcaster yang lain masih mencari popularitas dan pendengar setia di platform seperti Spotify dan Apple Podcast.
CIO Mugi Reksa Abadi Grup dan juga angel investor Michael Tampi menyatakan optimismenya dengan mengatakan, “Kita masih dalam tahap mencari format paling tepat, namun pemenang-pemenangnya sudah mulai terbentuk.”
Hari ini (09/5) Deezer mengumumkan kerja samanya dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Kerja sama ini memungkinkan pengguna Deezer mendengarkan siaran langsung pertandingan Liga Indonesia dan Piala Dunia 2018 melalui streaming. Selain itu pengguna Deezer juga dapat mendengarkan siaran berita dari RRI PRO3 dan Ensklopedi Budaya KeIndonesian dari RRI PRO4.
Vice President APAC Deezer Daud Irsan Aditirto mengatakan bahwa salah satu landasan kerja sama ini karena di Indonesia cukup banyak orang yang menggemari sepak bola. Menurut survei yang dilakukan Nielsen Sports, 77 persen orang Indonesia menyukai sepak bola. Deezer mencoba menghadirkan pengalaman baru menikmati sepak bola melalui siaran audio.
Dari pihak RRI, Soleman Yusuf selaku Direktur Program dan Produksi menyampaikan bahwa sinergi ini akan menguntungkan dua belah pihak. Bagi RRI memungkinkan pengguna untuk memilih saluran akses yang lebih disukai sesuai dengan persona masing-masing.
Tahun 2018 ini Deezer tengah mengupayakan peningkatan bisnis di Indonesia. Diawali Januari lalu, Deezer menjalin kerja sama strategis dengan Tri Indonesia. Misinya untuk menyebarkan layanan kepada pengguna provider terkait.
Deezer sendiri sebenarnya sudah cukup lama hadir di Indonesia, tepatnya sejak tahun 2012, namun hadirnya layanan serupa membuat perusahaan asal Perancis ini harus menguatkan ikat kepala untuk berjuang lebih keras. Pasalnya para pemain lain seperti Spotify atau JOOX juga terus menggencarkan perluasan pangsa pasar.
Susunan manajemen baru juga sudah dijalankan, dengan harapan dapat memuluskan pengembangan bisnis Deezer di Indonesia. Selain itu beberapa fitur dan fungsionalitas terus dikembangkan untuk mendapatkan unique selling point.
Salah satu yang tengah digencarkan sosialisasinya adalah fitur Flow, memungkinkan pengguna menikmati Deezer dengan lay back experience, sesuai dengan genre kesukaan mereka.
Last.fm, layanan rekomendasi musik dan audio streaming yang populer hari ini mengumumkan bahwa Last.fm akan mengenakan biaya sebesar $4.40 per bulan untuk para pengguna diluar AS, Inggris dan Jerman. Di tiga negara tersebut LastFM sudah cukup sukses mendatangkan revenue melalui iklan, namun di negara lainnya LastFM harus mencari biaya tambahan dan akan dibebankan kepada pengguna.
Langkah yang sangat disayangkan karena saya sendiri adalah pengguna setia LastFM sejak cukup lama dan tentu saja hal ini akan cukup memberatkan saya. Namun di sisi lain LastFM memang perlu mempertahankan kualitas layanannya untuk semua pengguna dan ‘terpaksa’ membebankannya ke pengguna. Saya pikir LastFM sendiri merupakan sebuah layanan yang cukup monetisable dan seharusnya bisa mencari cara lain untuk mendatangkan revenue dari pengguna internasional.
Ambil saja contoh negara kita sendiri, band-band yang berasal dari Indonesia cukup banyak bertebaran di LastFM dan pendengarnya pun lumayan banyak. Mungkin akan lebih masuk akan kalau biaya $4.40 per bulan tersebut dibebankan ke band-band lokal yang saya cukup yakin tidak akan berkeberatan untuk membayarnya. Band-band lokal ini mungkin memang bukan core-business target dari LastFM tapi lebih ke sebuah fitur spesial atau localized content yang tentunya juga merupakan nilai tambah tersendiri bagi pengguna Indonesia.
UPDATES
LastFM kemudian mengumumkan hal lain yang mungkin tidak mengganggu pengguna, namun cukup mengganggu untuk para provider aplikasi pihak ketiga. LastFM melalui sebuah blog post mengumumkan akan menutup API-nya untuk aplikasi pihak ketiga seperti Mobbler, dan MyStrands. Melalui post tersebut LastFM menekankan bahwa dibukanya API hanya berlaku sementara dan bisa berubah sewaktu-waktu, dan LastFM juga menekankan bahwa API ini tidak akan ditutup rapat melainkan dapat digunakan setelah diadakan perjanjian kerjasama.
Dua berita buruk dalam satu dari oleh satu layanan, sebuah indikasi yang cukup bagi saya untuk menafsirkan bahwa LastFM akan segera menarik revenue dari layanannya.