Tag Archives: Auto-battler

PUBG Auto-battler

Mode Baru PUBG Bakal Gabungkan Elemen FPS dan Auto-Battler?

PUBG tampaknya akan mendapatkan mode baru. Berdasarkan informasi bocoran yang beredar, mode baru dari PUBG tersebut akan menggabungkan elemen FPS dan Auto Battler. Informasi ini berasal dari PlayerIGN. Dalam sebuah video, dia memberikan penjelasan tentang mode baru PUBG, yang saat ini menggunakan nama kode Vostok.

Dalam mode Vostok, para pemain akan beradu dengan satu sama lain dalam pertandingan 1v1. Masing-masing pemain akan memiliki 3 nyawa. Setiap seorang pemain kalah, maka dia akan kehilangan nyawanya. Ketika ketiga nyawanya sudah habis, maka dia akan dianggap kalah. Semua pemain akan saling bertanding dengan satu sama lain hingga hanya 1 pemain yang tersisa, yang merupakan ciri khas genre battle royale.

https://www.youtube.com/watch?v=voerqvGWe08&feature=emb_logo&ab_channel=PlayerIGN

Namun, mode baru dari PUBG ini juga memiliki elemen FPS. Pemain yang menang akan mendapatkan bonus uang sehingga mereka bisa membeli senjata dan peralatan yang lebih bagus, sama seperti mekanisme yang digunakan di Counter-Strike: Global Offensive. Besarnya bonus yang didapatkan oleh pemain ditentukan berdasarkan dari performa mereka dalam ronde sebelumnya. Para pemain akan bisa langsung membeli senjata atau peralatan baru atau menyimpan uang mereka sehingga mereka bisa membeli senjata yang lebih mahal di ronde-ronde akhir.

Mengingat informasi tentang mode baru dari PUBG ini masih belum resmi, belum diketahui apakah mode tersebut memang akan diluncurkan. PlayerIGN merasa, jika mode gabungan FPS dan Auto-Battler ini dirilis, mode tersebut baru akan bisa dimainkan pada pertengahan Update 8.3 atau bahkan pada awal Season 9.

Beberapa bulan lalu, PUBG juga memperkenalkan fitur bots, yang berfungsi untuk membantu para pemain baru belajar cara memainkan game tersebut. Dalam sebuah surat terbuka, Joon H. Choi, Lead Project Manager, PUBG Console Team mengungkap bahwa semakin banyak pemain baru yang terbunuh di awal pertandingan. Tak hanya itu, mereka bahkan tidak dapat melukai para pemain lain.

Hal ini akan membuat para pemain baru kesulitan untuk belajar menjadi lebih baik. Karena itu, PUBG menambahkan fitur bots dengan harapan para pemain baru akan bisa mempelajari mekanisme pertarungan di PUBG tanpa harus khawatir akan dibunuh oleh para pemain veteran.

Pada Juli 2020, PUBG Corp. meluncurkan PUBG Update 8.1. Ketika itu, mereka juga mengungkap pencapaian PUBG sebagai game. Per Juli 2020, game tersebut telah terjual sebanyak 70 juta kopi sejak diluncurkan pada 2017. Dengan menambahkan mode baru yang menggabungkan elemen FPS dan Auto-Battler, hal ini akan dapat membuat PUBG menjadi semakin populer di kalangan para fans kedua genre tersebut.

Sumber: PCGN, GamesRadar

2019 adalah Tahunnya Auto Battler. Mampukah Ia Bertahan Lama?

Auto battler adalah sebuah sub-genre dari strategy games yang memiliki bentuk seperti catur. Para pemainnya menaruh karakter yang mereka mainkan di atas papan ketika waktu persiapan berjalan. Peperangan terjadi setelah waktu persiapan selesai tanpa kontrol apapun dari pemain. Genre ini dipopulerkan oleh game Auto Chess di awal tahun 2019.

Auto Chess merupakan mod dari game Dota 2 yang sangat sukses membuat para pemain Dota 2 bermain Auto Chess pada saat itu. Dengan karakter hero-hero Dota 2 yang bisa Anda mainkan, tentu Auto Chess menjadi sangat menarik bagi para penggemar Dota 2. Semua skill yang dipakai pun sama persis dengan hero Dota 2. Terbilang santai, banyak pemain Dota 2 memainkannya ketika istirahat dari ranked match. Sempat 90% dari total friendlist saya yang sedang online, semuanya bermain Auto Chess ketimbang bermain Dota 2.

Pada akhir bulan Maret, sebelum tiga bulan sejak mereka rilis. Auto Chess berhasil mencapai 7 juta total download. Melihat kesuksesan yang mereka gapai, Drodo Studio akhirnya mengeluarkan game Auto Chess-nya dari platform Dota 2. Mereka merilis standalone Auto Chess ke khalayak luas. Drodo mendapatkan kesuksesannya dari rasa puas yang pemain dapatkan dari unsur keberuntungan karena, pada setiap turn, Anda mendapatkan karakter-karakter yang random. Rasa puas ketika mendapatkan karakter yang Anda inginkan di saat-saat genting dan berhasil mengalahkan musuh saat menggabungkan 3 karakter yang sama membuatnya adiktif. Memainkannya pun cukup mudah, Anda tinggal santai dan melakukan klik pada layar komputer Anda. Mudah untuk dimainkan, meski sulit untuk didalami.

Auto Battler ala Valve dan Riot Games

Pada bulan Juni 2019, Valve merilis Dota Underlords. Auto Battler yang dibuat oleh Valve sendiri yang memiliki hak cipta setiap hero di Dota 2. Tetapi banyak penggemar Dota 2 yang skeptis melihat perilisan Dota Underlords. Pasalnya, tahun lalu Valve meluncurkan Artifact dan hasilnya game tersebut jadi sebuah artefak di platform Steam. Hanya butuh beberapa bulan saja bagi Artefact untuk kehilangan hampir seluruh pemainnya. Game ini memiliki monetization secara berlebihan yang bisa Anda lihat di harga game, pembelian card packs, dan transaksi pembelian kartu di Steam Market yang memiliki biaya tambahan.

Pada bulan perilisannya, Dota Underlords mencapai 202.254 total peak players yang terbilang cukup sukses untuk sebuah game auto battler tapi hal ini tidak bertahan lama. Sampai bulan Desember, Dota Underlords sudah kehilangan hampir 90 persen pemainnya. Tentu saja bukan tanpa alasan, Dota Underlords menghadapi persaingan dari pesaing terberatnya yaitu League of Legends.

Sumber: Steam Charts
Sumber: Steam Charts

Riot Games juga merilis Teamfight Tactics untuk mengikuti tren auto battler yang sedang berjalan. Dengan karakter-karakter League of Legends untuk menarik playerbase League of Legends sendiri, tentu Dota 2 dengan Dota Underlords tidak akan bisa memenangkan persaingan karena kalah jumlah playerbase dibandingkan League of Legends.

Auto Battler Goes to Mobile and Esports

Drodo Studio yang memulai tren auto battler di 2019 ini akhirnya membuat turnamen besar yaitu Auto Chess World Invitational yang berhadiah total US$1 juta dengan 32 peserta. Bukan hanya Auto Chess, Dota Underlords dan Teamfight Tactics juga mengadakan turnamen dengan hadiah yang jauh lebih rendah dibandingkan Auto Chess World Invitational. Namun apakah total hadiah berbanding lurus dengan jumlah viewership yang didapat?

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Viewership untuk WePlay! Dota Underlords Open dan Rise of the Elements Invitational jelas menunjukan viewership yang lebih baik. Auto Chess sepertinya tidak dapat bersaing dengan Dota Underlords apalagi dengan Teamfight Tactics. Auto Chess yang terbilang terlambat merilis versi PC-nya, membuatnya tertinggal jauh dari Teamfight Tactics yang sudah lebih dulu dikenal dan sudah banyak streamer di Twitch menayangkan game Teamfight Tactics.

Chess Rush juga sempat menyelenggarakan turnamen untuk para influencer dari delapan negara yang memiliki total hadiah 16.000 US Dollar. Chess Rush sendiri sudah memiliki jumlah download lebih dari 5 juta di Google Playstore.

Melihat popularitasnya di platform livestream seperti Twitch, Auto Chess yang sempat memiliki banyak penonton akhirnya mengalami penurunan. Rata-rata penonton pada bulan Desember 2019 ini hanya tersisa 424 viewers di bagian kategori game Auto Chess pada platform Twitch.

Sumber: Twitch Tracker
Sumber: Twitch Tracker

Sama seperti Auto Chess, Dota Underlords kini juga mengalami penurunan. Berbanding lurus dengan hilangnya jumlah pemain, pada bulan Desember ini, Dota Underlords kehilangan sekitar 90 persen jumlah penontonnya di Twitch. Hal yang sama diakibatkan oleh menghilangnya streamer-streamer terkenal yang ingin menyiarkan permainan Dota Underlords. Sempat banyak streamer terkenal dari Hearthstone juga ikut bermain Dota Underlords, seperti Janne “Savjz” Mikkonen dan Jeremy “Disguised Toast” Wang, tetapi mereka tidak bertahan lama karena popularitas Teamfight Tactics di platform Twitch.

Sumber: Twitch Tracker
Sumber: Twitch Tracker

Walaupun Teamfight Tactics masih merajai genre auto battler saat ini, bukan berarti mereka tidak mengalami penurunan jumlah penonton juga. Tercatat, Teamfight Tactics mengalami penurunan lebih dari 80 persen dari total penonton yang mereka dapat ketika awal perilisan di platform Twitch.

Jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang jadi tahunnya genre Battle Royale, tahun 2019 tak berhasil membuat Auto Battler mencapai titik popularitas yang setara. Ketika 2018, banyak game Battle Royale yang meroket seperti PUBG, Fortnite, PUBG Mobilem dan Free Fire. Saya tidak perlu menunjukan statistiknya karena Anda mungkin sudah bisa melihatnya juga.

Di sisi lain, saya juga sempat memperkirakan genre Auto Battler ini tidak spectator friendly untuk ranah kompetitif esports-nya. Kesulitan untuk menonton pertandingan esports-nya mungkin juga jadi penghalang untuk genre game tersebut sukses di esports.

 

Genre Game Populer di Industri Game Dalam 10 Tahun Terakhir

Dalam 10 tahun belakangan, industri game berkembang pesat. Gamer tak lagi dikaitkan dengan pecundang anti-sosial yang tak punya teman. Faktanya, berkat popularitas esports, tak sedikit gamer yang justru diusung sebagai pahlawan. Tim esports tak melulu membawa nama tim, tapi juga membawa nama negara, seperti saat tim-tim esports mewakili Indonesia di ajang SEA Games 2019. Dalam 10 tahun belakangan, tren di dunia game juga telah berubah. Muncul beberapa genre game populer di industri game.

Pada tahun 2000-an, MMORPG menjadi salah satu genre favorit. Blizzard meluncurkan World of Warcraft pada 2004. Selama enam tahun ke depan, game tersebut diklaim sebagai “MMO King”. Namun, melewati tahun 2010, Blizzard mulai kesulitan untuk memberikan update konten yang tetap menarik bagi para pemain WoW. Studio game lain menganggap ini sebagai kesempatan untuk membuat game MMORPG untuk menggantikan WoW. Karena itulah, pada awal 2010-an, muncul berbagai game MMORPG. Sebagian bahkan diklaim sebagai “WoW killer”. Dan memang, beberapa game tersebut sukses, seperti Star Wars: The Old Republic yang bahkan bertahan sampai sekarang. Meskipun begitu, WoW tetap bertahan, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Masih di awal 2010-an, sementara banyak studio game sibuk untuk membuat MMORPG, Defense of the Ancients — yang pada awalnya merupakan mod dari Warcraft 3 — mulai mendapatkan jumlah pemain yang cukup banyak. Sayangnya, DotA masih terikat dengan Blizzard karena menggunakan properti mereka. Para developer lalu tergerak untuk membuat game MOBA dengan desain serupa DotA. Hanya saja, kali ini, game itu tidak lagi menggunakan IP milik Blizzard. Lahirlah League of Legends pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Namun, Heroes of Newerth akhirnya kalah populer oleh Dota 2 yang dirilis oleh Valve pada 2013. Sampai sekarang, baik Dota 2 maupun League of Legends masih memiliki jumlah pengguna bulanan aktif yang cukup banyak.

Dota 2. | Sumber: Steam
Dota 2. | Sumber: Steam

Sejak saat itu, popularitas MOBA mulai menyaingi MMORPG. Sama seperti di era keemasan WoW, banyak developer yang juga membuat game MOBA, seperti Vainglory dan Heroes of the Storm. Meskipun begitu, League of Legends dan Dota 2 tetap merajai genre MOBA. Sekarang, keduanya juga menjadi game esports paling populer. Salah satu alasannya karena kedua game ini memang menuntut para pemainnya untuk berpikir strategis dan bekerja sama dengan anggota tim masing-masing. Pada saat yang sama, gameplay yang kompleks menjadi pisau bermata dua bagi dua game MOBA tersebut, karena ini membuat jumlah pemain mereka stagnan dan tidak kunjung bertambah. Jangan menjadi profesional, jika seorang pemain ingin bisa dianggap “jago” dalam bermain Dota 2 atau League of Legends, mereka harus bisa memperhatikan banyak detail sekaligus, mulai dari skill masing-masing karakter, sinergi antara satu karakter dengan karakter lain, penempatan wards, dan lain sebagainya. Seolah itu tidak cukup buruk, tak semua pemain Dota 2 atau League of Legends mau membantu para pemain baru. Tak sedikit pemain yang sedang belajar yang mendapatkan kecaman.

Meskipun begitu, game MOBA tetap hidup sepanjang 10 tahun belakangan. Bahkan ketika game mobile menjadi semakin populer, juga muncul berbagai game MOBA untuk pemain mobile. Sebut saja Mobile Legends yang menjadi salah satu game esports terpopuler di Tanah Air.

Munculnya beberapa genre baru

Sama seperti World of Warcraft yang tampaknya tak lagi bisa digoyahkan. Dota 2 dan League of Legends tampaknya akan tetap bertahan sebagai game MOBA populer. Namun, itu bukan berarti industri game stagnan begitu saja. Setelah MOBA, kini muncul genre battle royale. Genre ini dipopulerkan oleh PlayerUnknown’s Battleground. Melihat popularitas battle royale, developer lain dengan cepat membuat game bergenre serupa, seperti Fortnite dari Epic Games atau Apex Legends dari Electronic Arts.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa franchise game pun juga mendapatkan mode battle royale, seperti Fallout 76 dan Call of Duty: Black Ops 4. Bahkan Tetris sekalipun mendapatkan mode battle royale dengan kemunculan Tetris 99. Game racing seperti Forza Horizon 4 pun akan mendapatkan mode battle royale — yang saat ini disebut “The Eleminator” oleh Playground Games. Selama sebuah game memungkinkan puluhan pemain untuk bertemu dan bersaing dengan satu sama lain, maka game itu dapat dibuat menjadi battle royale. Tentu saja, tak semua game battle royale atau mode battle royale dalam sebuah game disambut dengan baik.

Tetris 99. | Sumber: Engadget
Tetris 99. | Sumber: Engadget

Battle royale bukan satu-satunya genre yang menjadi populer dalam satu dekade ini. Genre lain yang mulai diminati para developer adalah auto battlers. Dalam game auto battlers, pemain hanya akan diminta untuk memilih sejumlah karakter yang lalu akan melakukan battle secara otomatis. Pada akhir pertandingan, pemain yang masih memiliki karakter — atau memiliki karakter paling banyak — keluar sebagai pemenang. Saat ini, ada beberapa game auto battlers didasarkan pada IP dari game yang sudah ada, seperti Dota Underlords dari Dota 2 dan Teamfight Tactics buatan Riot Games.

Selain itu, loot shooter menjadi salah satu genre yang menjadi populer dalam 10 tahun belakangan. Genre ini muncul ketika Borderlands dirilis pada 2009. Ketika itu, Borderlands menawarkan jutaan senjata bagi para pemainnya. Borderlands terbukti sukses. Buktinya, belum lama ini, Borderlands 3 baru saja dirilis.

Namun, melakukan hal yang sama berulang kali bisa membosankan, tak peduli sebanyak apa item yang ditawarkan oleh developer. Salah satu kunci kesuksesan dari game loot shooter adalah membuat gameplay yang menarik, membuat pemain tak keberatan untuk melakukan hal yang sama — menembakkan senjata dan menjelajahi peta — berulang kali. Saat ini, game-game loot shooter menawarkan tema yang bervariasi, mulai dari tema high-fantasy sci-fi dalam Destiny 2 sampai dunia post-apocalyptic yang diusung dalam Tom Clancy’s The Division 2. Satu masalah dalam game loot shooter adalah pemain dituntut untuk bermain dalam waktu lama — sampai puluhan jam — untuk mendapatkan senjata atau perangkat terbaik. Ini bisa menyebabkan pemain merasa jenuh.

Tak semua genre yang muncul dan menjadi populer dalam 10 tahun belakangan adalah genre serius. Ialah clicker game, yang mulai populer ketika developer Orteil meluncurkan prototipe Cookie Clicker — kini menjadi salah satu game paling populer di Steam. Seperti namanya, dalam clicker game, Anda cukup mengklik satu tombol atau sejumlah tombol untuk mendapatkan reward. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk setiap klik yang Anda lakukan, reward yang Anda dapatkan dalam game bertambah. Reward ini bisa muncul dalam bentuk beragam, poin atau uang atau sesuatu yang lain. Reward yang telah Anda kumpulkan akan bisa Anda gunakan untuk melakukan upgrade. Sampai akhirnya, Anda tak lagi perlu melakukan klik terlalu sering.

Game clicker tersedia di PC dan mobile. Salah satu contoh clicker game buatan Indonesia adalah Tahu Bulat buatan Own Games. Dalam game ini, semakin sering Anda mengklik, semakin banyak pengunjung yang datang, yang berarti semakin banyak uang yang Anda dapatkan. Setelah uang terkumpul, Anda bisa memperbaiki peralatan Anda — mulai dari speaker sampai mencari bumbu tahu bulat baru — sehingga Anda bisa mendapatkan uang lebih banyak per detiknya. Biasanya, clicker game cukup populer di kalangan mobile gamer, karena Anda bisa memulai dan berhenti bermain kapan saja.

Tahu Bulat. Sumber: DailySocial
Tahu Bulat. Sumber: DailySocial

Game gratis yang menghasilkan

Selain soal genre, dalam 10 tahun belakangan, satu tren lain yang mulai terlihat adalah perubahan model bisnis dari developer. Dulu, Anda harus membeli sebuah game sebelum dapat memainkannya. Sekarang, Anda bisa memainkan game dengan gratis. Namun, skin atau item kosmetik lainnya harus Anda beli. Selain itu, juga muncul game dengan model Pay-to-Win. Jadi, selama Anda bermain gratis, Anda tidak akan bisa mengalahkan pemain yang mengeluarkan uang ekstra.

League of Legends adalah salah satu contoh game gratis yang hanya menjual skin. Model bisnis ini terbukti menguntungkan. Pada 2018, Riot Games mendapatkan US$1,4 miliar dari League of Legends. Fortnite juga bisa dimainkan secara gratis. Epic hanya menjual battle pass dan skin. Dari sini, mereka berhasil mendapatkan US$2,4 miliar.

Selain model freemium, sistem lain yang kini mulai diadopsi oleh para developer game adalah early access. Menurut Polygon, orang pertama yang menggunakan sistem ini adalah Markus “Notch” Persson untuk membuat Minecraft. Satu keuntungan yang ditawarkan game early access adalah developer dapat mengumpulkan uang sambil berusaha menyelesaikan proses pengembangan game. Bagi sebagian developer, termasuk Persson, ini memungkinkan mereka untuk fokus sepenuhnya mengembangkan game, tanpa harus mengambil pekerjaan lain untuk menyokong hidup mereka.

Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget
Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget

Sistem early access juga bisa membantu developer untuk mengembangkan game sesuai ekspektasi gamer. Ketika game yang diluncurkan di bawah label early access memiliki masalah — ada bug, konten yang kurang menarik, dan lain sebagainya — developer memiliki kesempatan untuk memperbaiki masalah tersebut. Dan ada beberapa game AAA yang menjadi lebih baik setelah mendapatkan masukan dari para gamer, seperti Rainbow Six: Siege. Keuntungan lain yang didapatkan oleh developer dengan model early access adalah mereka dapat tetap memberikan update secara berkala, sehingga perhatian para pemain tetap tertuju pada game buatan mereka.

Hanya saja, terkadang, game yang telah diluncurkan dengan label early access tak pernah dirilis secara sempurna, yang akan membuat sebagian orang bingung dengan arti dari “early access”. Game seperti PlayerUnknown’s Battleground dan Minecraft resmi diluncurkan satu tahun setelah versi early access muncul. Sayangnya, tidak semua game seperti itu. DayZ, misalnya, resmi diluncurkan pada Desember 2018 setelah versi early access bisa dimainkan sejak Desember 2013. Contoh lainnya adalah Star Citizen.

Star Citizen bermula sebagai proyek Kickstarter. Developer game ini lalu mulai membuka donasi di situsnya sendiri. Game itu didesain sebagai game bertema luar angkasa yang memungkinkan para pemainnya untuk saling bertempur dan berdagang. Namun, konsep gameplay dari Star Citizen begitu kompleks sehingga proses pengembangannya pun memakan waktu yang sangat lama. Karena itu, sang developer merilis game ini meski belum selesai, agar para pemain bisa mencobanya. Versi pertama memungkinkan pemain untuk memodifikasi pesawat luar angkasa dan memarkir pesawat itu di dalam hangar. Setelah itu, sang developer terus menambahkan fitur untuk game tersebut. Star Citizen juga memiliki elemen first person shooter dan penjelajahan luar angkasa. Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada benang merah yang membuat semua elemen dalam game menyatu dan menjadikannya sebagai game menjadi koheren. Hingga sekarang, masih belum diketahui kapan game ini akan diluncurkan.

Star Citizen. | Sumber: PC Gamer
Star Citizen. | Sumber: PC Gamer

Kesimpulan

Satu hal yang pasti, selama satu dekade belakangan, tidak ada satu game atau developer pun yang berhasil memberikan game yang jauh lebih populer dari game-game lain. Walau PUBG menjadi game battle royale pertama, banyak pemain yang tertarik game battle royale lain ketika game itu dirilis. Uniknya, masing-masing game dan genre memiliki pemain setia tersendiri. Misalnya, meskipun Fortnite, Apex Legends, dan PUBG sama-sama merupakan game battle royale, mereka memiliki gamer setia yang berbeda-beda. Pemain Fortnite menyukai game itu karena Epic lebih menitikberatkan pada interaksi sosial. Sementara gamer Apex Legends lebih suka dengan pacing dari game tersebut. Dan PUBG disukai karena memaksa para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Karena semua developer bisa membuat game online dengan life cycle yang lama. Di sisi lain, semakin banyak game yang muncul, semakin ketat pula persaingan untuk mendapatkan pemain setia. Semua orang hanya memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Dan tidak semua waktu tersebut bisa mereka gunakan untuk bermain. Jadi, sebuah game harus bisa memenangkan hati para pemainnya agar mereka rela menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game.

Riot Games Bersama State Farm dan Fandom Gelar Turnamen Teamfight Tactics

Ketika genre Auto-Battler menjadi fenomena di kalangan gamers, berbagai pengembang gerak cepat membuat iterasi mereka sendiri akan genre tersebut. Bermula dari custom game Dota 2 yang dibuat oleh Drodo Studio, kini Auto-Battler berkembang jadi 4 jenis game. Drodo membuat Auto Chess jadi standalone, Valve membuat Underlord, Tencent punya Chess Rush di mobile, Riot Games juga tak mau kalah membuat Teamfight Tactics.

Ketika rilis, Teamfight Tactics (TFT) juga segera mendapat perhatian banyak pemain, walau mungkin tidak sebegitu booming di Indonesia. September lalu, Teamfight Tactics memiliki total 33 juta pemain pada bulan itu, dan dimainkan selama 1,7 juta jam. Karena ini juga, Riot Games memutuskan berkomitmen akan mengembangkan ekosistem kompetitif TFT di tahun 2020 mendatang.

Bersiap untuk hal tersebut, Riot Games baru-baru ini menjalin kerja sama dengan Fandom (media yang fokus pada topik entertainment), dan State Farms, untuk menyelenggarakan turnamen TFT mingguan. Turnamen bernama Fandom Legends: Teamfight Tactics akan dimulai 1 Desember 2019 mendatang, dengan durasi pertandingan selama empat pekan.

Sumber: Fandom
Fandom, media yang membahas berita entertainment yang kini mulai terjun ke esports. Sumber: Fandom

Setiap pekan, 16 pemain bertanding berebut total hadiah US$2000 (sekitar Rp28 juta), dan mendapatkan kesempatan untuk gelaran State Farm Championship Finals. Puncak kompetisi ini akan diselenggarakan 21 Desember 2019 mendatang dengan total hadiah US$5000 (sekitar Rp70 juta).

“Kami berharap kerja sama ini akan membuat hubungan kami dengan Riot Games jadi makin erat, terutama dalam hal menyediakan komunitas kompetisi mingguan kepada komunitas Teamfight Tactics.” Ucap Sean Kiely, head of gaming and esports sales Fandom, kepada Esports Observer.

“Kami juga berharap kompetisi ini bisa membuka jalan bagi talenta baru yang ingin mencari nama mereka lewat kompetisi online. Kami juga ingin berterima kasih kepada State Farm selaku rekan dan pendukung dari komunitas Teamfight Tactics.” tutup Sean.

Sumber: Esports Insider
State Farm, merupakan salah satu rekan lama Riot Games dalam menyelenggarakan League of Legends Championship Series. Sumber: Esports Insider

Kerja sama State Farm dengan Riot Games bukan merupakan hal baru. State Farm sudah mensponsori League of Legends sejak tahun 2018 lalu. Kini mereka semakin meningkatkan dukungannya dengan cara turut terlibat dalam gelaran Mid-Seasonal Invitational, All-Star event, dan Worlds 2021.

Fandom Legends: Teamfight Tactics bisa jadi adalah cara Riot Games menguji animo pemain menonton pertandingan Auto Battler League of Legends, sebelum 2020 nanti. Terakhir kali jumlah penonton game ini memang cukup besar di Twitch. Mengambil data dari Twitch Tracker, jumlah penonton TFT mencapai 364.836 pada 17 Juli 2019, sekitar 1 bulan setelah perilisan. Akankah esports Auto-Battler bisa menarik minat menonton para gamers?