Di tengah situasi pandemi yang masih belum bisa dikendalikan, ternyata terjadi peningkatan di ekosistem gaming dan esports Indonesia. Usaha warnet atau yang dapat disebut juga sebagai iCafe adalah salah satu jenis usaha yang sekalipun sangat dekat dengan aktivitas gaming dan esports mengalami tantangan untuk dapat bertahan di waktu-waktu yang sulit ini.
Hari ini dengan disaksikan juga pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika, Wallet Codes bergandengan tangan dengan Asosiasi Video Games Indonesia (AVGI) dan mencoba menjangkau pemilik usaha warnet di Indonesia. Langkah ini diambil dalam rangka memberikan dukungan kepada industri esports Indonesia yang tengah berkembang.
Adapun Wallet Codes adalah salah satu produk dari Forest Interactive yang memungkinkan gamers membeli game voucher ataupun in-game item secara online. Sejak didirikan di tahun 2018, Wallet Codes mendapat respon yang baik dari komunitas gamers dan sudah dipercaya di lebih dari 6 negara di region Asia Tenggara. Jalinan kerja sama dengan game developer, membuat Wallet Codes memastikan setiap transaksi yang terjadi aman dan terjamin.
Saat ini, memang Indonesia menjadi pasar yang sangat potesial bagi kegiatan gaming dan esports, di skala regional maupun global. Sejumlah data dapat menunjukkan bahwa di tingkat regional Indonesia menjadi skena esports yang tumbuh dengan cepat. Menurut data Newzoo di tahun 2015, Indonesia menempati posisi teratas dari segi populasi gamers dan tentu saja sudah berkembang lebih jauh lagi hingga sekarang.
Hanya saja pada kenyataannya, warnet sebagai tempat yang akrab dengan aktivitas gaming dan esports justru tidak dapat beroperasi sama sekali. Kebijakan PSBB yang diberlakukan secara luas, berdampak langsung pada pendapatan usaha warnet. Sampai saat ini masih belum ada regulasi dan inisiatif yang terukur dari pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi, sekalipun sudah disosialisasikan protokol new normal dan relaksasi di beberapa tempat.
Turyana Ramlan selaku pemilik usaha warnet asal Blitar menyampaikan kegelisahannya, “pendapatan kami terjun bebas selama hampir tiga bulan tidak beroperasi.”
Sambil terus berinovasi dan beradaptasi, Wallet Codes merangkul dan membuka ruang kerja sama bagi pelaku usaha warnet melalui program B2B layanan pembelian game voucher dari Wallet Codes. Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan usaha warnet dapat bertahan di tengah situasi yang cukup sulit secara bisnis.
Co-founder and Director Wallet Codes Indonesia, Sharon Maurenn mengatakan, “dukungan terhadap pelaku usaha warnet perlu diberikan karena mereka memegang peranan yang juga penting dalam ekosistem esports.”
Di waktu berlainan Wallet Codes juga sudah pernah aktif mendukung dan terlibat dengan komunitas gaming dan esports melalui Forest Interactive Gaming Habitat Team (FIGHT) dan mengadakan turnamen esports berskala komunitas. Wallet Codes juga menyatakan akan menjalin kerja sama dengan tim esports di Indonesia.
Esports semakin berkembang. Tak bisa dipungkiri, regulasi semakin diperlukan agar ekosistem ini bisa bertahan dan tidak jadi carut marut. Sabtu lalu (18 Januari 2020), pengurus Pengurus Besar Esports (PB Esports) periode 2020 – 2024 telah dilantik. Dipimpin oleh Jendral Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan yang saat ini juga menjabat Kepala Badan Intelijen Negara sebagai ketua umum, PB Esports diharapkan menjadi wadah demi membuat esports Indonesia jadi lebih baik.
Namun demikian, jika Anda adalah pengikut setia berbagai informasi seputar esports, Anda mungkin sedang dilanda kebingungan saat ini. Setelah IESPA muncul pertama kalinya pada tahun 2013, Indonesia belakangan memiliki berbagai macam badan baru di dalam esports. Ada Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) yang dibentuk Juli 2019 lalu, dan Federasi Esports Indonesia (FEI) yang dibentuk Oktober 2019 lalu.
Kini, jumlah pengurus tersebut bertambah lagi dengan kehadiran PB Esports. Dengan pengaruh yang bisa dibilang lebih besar, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa kita harapkan dari kehadiran PB Esports ini.
Fasilitas khusus esports berstandar internasional
Walau esports bisa dipertandingkan secara online, namun tak bisa dipungkiri, presensi offline tetap menjadi satu hal yang membuat esports jadi lebih menghibur dan punya cerita. Setelah proses pelantikan selesai, Budi Gunawan sempat berbincang singkat dengan awak media. “Ini merupakan olahraga baru, banyak hal yang perlu kita siapkan. Pertama perangkat peraturannya, regulasi, kita sudah membentuk pokja (kelompok kerja). Kemudian tempat untuk training center, lalu venue, dan terakhir event. Ada beberapa event yang akan kita buat untuk dalam negeri, dan juga target untuk Asian Games.”.
Melanjutkan soal Venue, Budi Gunawan lalu melanjutkan. “Untuk venue sedang kita bangun di Sentul (Bogor). Sambil itu jalan, kita juga sambil mempersiapkan di tempat lain.”.
Dalam perkembangan ekosistem, kehadiran esports stadium memang bisa dibilang cukup penting. Kenapa? Salah satu alasannya, kehadiran tempat tersebut akan memudahkan penyelenggara acara esports. Reza kala masih di MET Indonesia mengatakannya sendiri ketika Hybrid mewawancaranya untuk membahas soal tantangan membuat stadion atau venue khusus esports di Indonesia.
“Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujar Reza dalam pembahasan soal venue khusus esports.
Namun demikian, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah soal lokasi. Rezaly Surya Afhany juga bicara soal hal tersebut saat membahas potensi bisnis venue khusus esports. “Contohnya ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga seperti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Ucap Rezaly menyatakan pandangannya.
Kehadiran stadium esports, atau venue khusus esports tentu akan memudahkan para pelaku bisnis, terutama penyelenggara acara esports. Namun demikian, jika lokasinya kurang strategis, bukan tidak mungkin membuat venue khusus esports berdampak kurang maksimal terhadap ekosistem.
Regulasi untuk para pelaku industri esports
Soal regulasi juga jadi sesuatu yang penting di ekosistem esports. Apalagi, perkembangan industri esports yang sedang begitu pesat. Lalu, apa regulasi yang sebenarnya penting bagi ekosistem esports Indonesia. Pengakuan profesi mungkin jadi salah satunya.
Dalam hal Amerika Serikat, pengakuan status profesi biasanya berdampak kepada hak-hak yang akan didapatkan oleh sang pekerja. Contoh kasusnya adalah saat negara bagian California, Amerika Serikat, mengakui pemain esports sebagai karyawan tetap suatu perusahaan. Dampaknya adalah mereka (para pemain esports), jadi berhak atas gaji minimal atau gaji UMR dan perlindungan serta benefit untuk para pekerja tetap seperti cuti atau asuransi.
Jujur, sampai sejauh ini saya sendiri juga belum tahu, apakah para pemain esports di Indonesia mendapatkan hak-hak kepegawaian tersebut. Namun demikian, dengan kehadiran PB Esports, yang punya pengaruh politis lebih besar di jajaran pemerintahan, harapan untuk hal ini bisa jadi lebih besar. Meski memang pembuktiannya masih harus menunggu waktu, apakah memang ada tindak nyatanya atau esports jadi sekadar jalan menuju panggung politik yang lebih megah. Jika pemain esports mendapatkan hak seperti demikian, maka membuat ekosistem esports jadi lebih stabil mungkin tak lagi hanya di angan-angan saja.
Integrasi antar-lembaga, serta pembagian kerja yang jelas
Dengan banyaknya asosiasi untuk esports, tak heran jika awak media jadi mempertanyakan soal pembagian kerja antar-lembaga. Apalagi, saat gelaran SEA Games 2019 kemarin, urusan seleksi, pembrangkatan atlet dan lain sebagainya masih diurus oleh IESPA. Terkait hal tersebut, Budi Gunawan menjawab dengan cukup singkat. “Semua akan kita satukan, kita wadahi.”
Menurut bayangan saya, nantinya secara struktur PB Esports mungkin akan membawahi lembaga-lembaga lainnya seperti IESPA, AVGI, dan FEI. Saya sendiri merasa, tak ada salahnya ada banyak lembaga yang mengurusi, asalkan ada pembagian kerja yang jelas antar lembaga satu dengan yang lain.
Berdasarkan dari pemaparan mereka masing-masing, sebenarnya porsi kerja antar lembaga mungkin bisa terbilang masih tumpang tindih, seperti AVGI dengan FEI contohnya. Angki Trijaka dalam tanya jawab media saat pelantikan pengurus AVGI mengatakan bahwa mereka ingin melakukan standarisasi untuk menjadi atlet esports, mengatasi kasus poaching, ataupun jadwal turnamen yang bertabrakan. Sementara di sisi lain Andrian Pauline (AP) yang menjabat ketua umum FEI, mengatakan bahwa ia bersama FEI juga ingin melakukan standarisasi kontrak pekerja esports, termasuk pemain.
Mungkin akan lebih indah jika ketiga lembaga ini bisa benar-benar saling bersinergi dan membagi wilayah kerjanya agar tidak saling tumpang tindih. Saya membayangkan mungkin baiknya seperti ini, IESPA dikhususkan untuk mengurusi pelatnas dan hubungan internasional, karena pengalamannya dalam memberangkatkan atlet Indonesia ke beberapa festival olahraga seperti Asian Games 2018 atau SEA Games 2019.
Lalu AVGI mungkin bisa fokus pada ekosistem industri esports itu sendiri, terutama pada bagian event dan liga. Ini juga mengingat, salah satu apa yang Angki ingin lakukan adalah melakukan regulasi terkait jadwal turnamen yang saling bertabrakan. Lalu terakhir FEI, mungkin bisa fokus kepada regulasi terkait atlet dan juga para pekerja di dunia esports. Kembali lagi, ini mengingat apa yang dikatakan AP sebelumnya, terkait apa yang ingin ia lakukan lewat kehadiran FEI di esports Indonesia.
—
Pada akhirnya, banyaknya badan pengurus esports adalah bukti, bahwa industri ini berkembang begitu besar bahkan sampai menarik perhatian politisi seperti Sandiaga Uno. Ini jadi angin segar bagi ekosistem esports, karena kehadiran para politisi harusnya bisa memuluskan perkembangan ekosistem esports. Namun, dengan satu catatan, hanya jika kepengurusan ini dikerjakan dengan hati dan diurus dengan serius.
Kabar mengenai asosiasi baru di industri game dan esports Indonesia memang sudah santer terdengar di belakang layar sejak beberapa bulan silam. Namun, baru kemarin (16 Juli 2019), satu asosiasi baru diumumkan lewat konferensi pers mereka di hotel Red Top, Jakarta Pusat. Asosiasi baru ini bernama Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia (AVGI).
Ada dua Menteri yang turut hadir dan memberikan sambutan dalam acara kali ini. Mereka adalah Menteri Komunikasi dan Informatika(Menkominfo) Rudiantara dan Menteri PerhubunganBudi Karya Sumadi.
“Pemerintah tidak lagi menjadi regulator, khususnya terkait hal-hal baru. Tapi menjadi fasilitator, bahkan akselerator.” Ujar Rudiantara dalam sambutannya.
Menariknya, hanya ada 2 figur esports yang berada di dalam jajaran pengurus asosiasi ini. Meski memang ada 2 orang lagi dari ekosistem esports yangsaya kenal berjaket AVGI di acara tersebut, namun keduanya biasanya berada di balik layar.
Di posisi Ketua Umum AVGI ada nama Rob Clinton Kardinal yang merupakan mantan pemilik organisasi esports baru,ONIC, dan juga anak dari Robert Joppy Kardinal (anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya). Rob sendiri juga sebelumnya mengumumkan melepas kepemilikannya atas ONIC melalui akun Instagram nya.
Sedangkan satu nama lagi ada Angki Trijaka yang menjabat sebagai Sekretaris Jendral AVGI. Angki Trijaka sendiri bukan orang baru di dunia esports karena sebelumnya ia merupakan Wakil Ketua IESPA, yang dipimpin oleh Eddy Lim.
Dalam rilis yang diberikan di kesempatan yang sama, Rob Clinton memberikan komentarnya, “Berbagai faktor ini (standarisasi, benchmarking, hingga regulasi), khususnya regulasi sangat penting karena selain dapat membantu perkembangan industri olahraga elektronik, juga dapat memotivasi para pelaku dan atlet olahraga elektronik untuk terus berprestasi membawa nama Indonesia ke tingkat lebih tinggi.”
Di sesi tanya jawab bersama rekan-rekan media, saya pun bertanya apa perbedaan AVGI dengan 2 organisasi di industri game yang sudah lebih dulu ada, IESPA dan AGI?
Angki menjawab, “Ada beberapa hal yang membedakan AVGI dengan IESPA. AVGI itu mencakup semuanya yang terlibat dalam ekosistem dan industri esports. Kalau IESPA itu hanya mengurusi pemain esports. Perlu di-quote ya, kita totally different dengan IESPA. Namun, kalau pemerintah lebih percaya yang mana itu urusan para petinggi-petinggi, tapi so far itu domain yang membedakan.”
Menurutnya, Angki juga menambahkan, ada sejumlah hal yang belum diatur oleh IESPA yang sebenarnya sangat krusial buat industri esports. “Misalnya saja jadwal turnamen yang bertabrakan, kasus poaching pemain antara tim, dan standarisasi untuk masuk menjadi atlit esports. Kita perlu lah merendahkan ego kita demi kepentingan bersama supaya industri ini maju.” Ujar Angki.
Satu pertanyaan lagi muncul dari media lain tentang sinergi antara AVGI, IESPA, dan AGI. Rob Clinton yang kali ini menjawab, “kalau bersinergi kita tidak menutup kemungkinan untuk itu.”
Saat ini, AVGI juga mengklaim sudah memiliki pengurus di 19 provinsi. Rencana mereka dalam waktu dekat ini adalah membangun database untuk tim dan para pemain esports profesional.
Mengingat esports Indonesia memang sekarang sudah cukup besar (seperti franchising liga yang melibatkan banderol harga sebesar Rp15 miliar), tentunya memang lebih besar pula resiko yang harus disanggupi dan kerja sama yang harus dikolaborasikan. Meski memang berarti lebih banyak juga keuntungan yang mungkin didapatkan. Bagaimana perjalanan AVGI ke depannya ya?