Tag Archives: BaaS

Aplikasi blu menawarkan cara baru dalam mengakses layanan perbankan / blu

blu by BCA Digital Telah Dipakai 1,1 Juta Pengguna, Genjot Inovasi Lewat BaaS

Bank as a Service (BaaS) adalah tren yang makin berkembang di industri jasa keuangan, memungkinkan lembaga nonbank menawarkan kapabilitas keuangan melalui kemitraan dengan bank yang sudah mapan. Di Indonesia sendiri, BaaS memiliki potensi merevolusi industri jasa keuangan, memberikan akses yang lebih besar dan mendorong inklusi keuangan.

Dengan populasi yang besar dan berkembang pesat, Indonesia merupakan pasar utama untuk BaaS, menghadirkan peluang yang signifikan, baik bagi bank tradisional maupun perusahaan non-keuangan.

Salah satu perbankan yang memiliki fokus menghadirkan layanan BaaS adalah blu by BCA Digital. Saat ini mereka mengklaim telah meluncurkan berbagai fitur hingga kemitraan strategis dengan pihak terkait. Kepada DailySocial.id, Head of Marketing & Communication BCA Digital Duardi Prihandiko mengungkapkan inovasi terbaru yang sudah diluncurkan oleh blu hingga rencana perusahaan tahun ini.

Perkuat kemitraan

blu by BCA Digital diluncurkan pada Juli 2021 untuk memberikan kemudahan kepada para nasabah agar bisa melakukan transaksi finansial melalui ponsel. Hingga 10 Januari 2023, blu sudah mencatatkan lebih dari 1,1 juta pengguna.

Kapabilitas BaaS yang dimiliki, memungkinkan nasabah blu bisa membuka rekening, transfer, top up e-money, dan transaksi lainnya dari platform partner, tanpa berpindah aplikasi.

Dengan memanfaatkan keahlian dan infrastruktur bank yang sudah mapan, perusahaan non-keuangan dapat meluncurkan layanan keuangan dengan cepat dan mudah, sekaligus mempromosikan inklusi keuangan dan memperluas jangkauan bank tradisional. Karena kemitraan BaaS terus berkembang, dampaknya terhadap industri jasa keuangan juga semakin besar.

“Saat ini, kami sudah berhasil mengintegrasikan blu dengan mitra dari beragam industri seperti Blibli, Telkomsel Redi, CGV, MRT Jakarta, serta dua kampus yaitu Binus University dan ITHB Bandung. Ke depannya, kami akan terus memperluas akses financial service kami. Sektor investment dan payment menjadi langkah kami selanjutnya,” kata Duardi.

Meski belum merilis fitur pinjaman, blu juga sudah menyalurkan kredit lebih dari Rp3,2 triliun per Januari 2023 melalui pembiayaan untuk segmen koperasi, yang diikuti oleh joint financing dan channeling. Untuk joint financing, saat ini perusahaan telah bekerja sama dengan BCA Finance. Sementara untuk channeling, BCA Digital bekerja sama dengan Akseleran, Komunal, Modal Rakyat dan Koperasi Nusantara. Dalam waktu dekat juga akan ada satu mitra channeling baru dari P2P Lending yang akan segera mereka umumkan.

Terkait dengan demografi nasabah, hingga saat ini target utama dari blu adalah digital savvy generation atau generasi yang melek digital. Perusahaan mencatat saat ini, mayoritas nasabah blu didominasi oleh Gen Z sebesar 55,18%. Disusul oleh Millennials, Gen X dan Baby Boomers.

“Di tahun 2023 ini, fokus kami masih sama yaitu memperkuat kualitas nasabah
agar semakin sering bertransaksi dan memanfaatkan fitur-fitur blu. Sehingga, blu bisa jadi sahabat finansial yang dekat dengan keseharian nasabah,” kata Duardi.

Luncurkan fitur baru untuk nasabah

Di Indonesia hingga saat ini, masih banyak individu dan pelaku usaha kecil yang kurang terlayani oleh bank tradisional, baik karena kurangnya akses maupun tingginya biaya. Dalam hal ini BaaS dapat membantu mengatasi masalah ini dengan menyediakan akses yang lebih besar ke layanan keuangan melalui saluran non-tradisional, seperti aplikasi mobile dan platform online. Fitur-fitur menarik dan tentunya berguna juga bisa membantu nasabah.

Sepanjang tahun 2022, blu telah meluncurkan 15 fitur baru untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan. Fitur tersebut di antaranya blu Virtual Card yang diluncurkan pada Oktober 2022 lalu; kemudian fitur pembukaan rekening tanpa video call; fitur bluSaving dan bluGether hingga 20 accounts per nasabah yang telah di-upgrade tahun lalu; blu juga menghadirkan BI Fast sebagai alternatif layanan transaksi transfer per 27 April 2022.

Untuk membantu nasabah blu mengatur keuangan lebih baik, blu menyediakan Tracker Revamp yang memudahkan tracking transaksi nasabah. Dengan menampilkan QRIS Shortcut, memudahkan nasabah blu dalam melakukan pembayaran. Sepanjang Januari – Desember 2022, tercatat lima transaksi terbesar yang dilakukan nasabah blu adalah transfer, setor tunai tanpa kartu, top up e-money, tarik tunai tanpa kartu, dan QRIS.

Di tahun 2023 ini, blu baru saja meluncurkan fitur bluInvest Linkage, nasabah dapat menghubungkan akun Investasi Moduit dan FUNDtastic dengan aplikasi blu. Nasabah dapat mengakses beragam jenis investasi sesuai dengan kebutuhan, mulai dari reksadana, sampai surat berharga negara (SBN).

“Sejak awal berdiri, fokus kami adalah bisa bermanfaat dan diandalkan nasabah untuk semua kebutuhan perbankan mereka. Selain nasabah blu aktif bertransaksi setiap hari, kepercayaan nasabah juga semakin meningkat, terlihat dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil mencapai Rp6,85 triliun per Desember 2022, ini melampaui target kami di tahun 2022,” kata Duardi.

Application Information Will Show Up Here
Aplikasi BukaTabungan sudah bisa diunduh dan digunakan pengguna / Bukalapak

BukaTabungan Diluncurkan, Realisasi Sinergi BaaS Bukalapak dan Standard Chartered

Bukalapak mulai memperkenalkan layanan “BukaTabungan”. Ini merupakan realisasi atas kerja sama strategis yang dijalin bersama bank Standard Chartered (SC) — yang juga merupakan salah satu investor strategis mereka. Aplikasi bank digital ini memanfaatkan layanan nexus, yakni sebuah banking-as-a-service (BaaS) yang memungkinkan layanan digital untuk mendapatkan kapabilitas perbankan dari SC, khususnya terkait layanan simpanan.

Saat ini aplikasi BukaTabungan sudah bisa diunduh pengguna dan dapat diintegrasikan ke Bukalapak sebagai salah satu medium pembayaran. Dalam promo awalnya, layanan perbankan digital ini menawarkan beberapa penawaran menarik, termasuk bunga tabungan sampai dengan 7%.

Khas layanan bank digital yang tengah melakukan penetrasi awal, BukaTabungan turut menawarkan gratis biaya transfer antarbank sampai 20x setiap bulan; bebas biaya admin tabungan; dan tidak ada minimal saldo.

Ditargetkan untuk ekosistem pengguna Bukalapak, termasuk jaringan UMKM di dalamnya, salah satu fitur BukaTabungan memungkinkan nasabah untuk melakukan penarikan melalui Mitra Bukalapak yang tersebar di berbagai kota. Adapun penarikan dana di merchant gratis 20x per bulan, selanjutnya dikenakan biaya Rp5.000 per transaksi.

Kendati bekerja sama dengan SC, dipastikan tidak ada transaksi terkait BukaTabungan yang bisa dilakukan di cabang Standard Chartered Bank. Seluruh pelayanan dilakukan secara daring melalui aplikasi.

Bukalapak dalam industri bank digital

Awal tahun ini sebenarnya Bukalapak bersama sejumlah perusahaan digital lainnya mendukung kehadiran Allo Bank sebagai bank digital baru di bawah naungan CT Group. Di aksi korporasi tersebut, Bukalapak sendiri mengakuisisi jumlah persentase saham terbanyak, yakni setara 11,49%.

Direktur Utama Bukalapak Willix Halim kala itu menyampaikan, “Bagi Bukalapak, melalui bisnis Mitra dan konektivitasnya dengan vertikal vertikal baru di pasar UMKM, kerja sama ini [dengan Allo Bank] dapat mengembangkan penawarannya serta aksesibilitas kredit bagi para pelaku usaha di area rural.”

Bahkan Allo Bank membawa dampak baik ke laporan keuangan Bukalapak. Di paruh pertama tahun ini, perseroan mengantongi laba bersih sebesar Rp8,59 triliun atau meroket 1.220%. Laba bersih ini adalah hasil dari nilai investasinya di PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI).

Kolaborasi startup dan perbankan

Bukalapak mempraktikkan dua model dalam masuk ke industri perbankan (digital), lewat sinergi BaaS dan akuisisi unit bank. Dua pendekatan tersebut memang telah lumrah dipraktikkan pemain industri. Untuk model BaaS, ada sejumlah inisiatif lain yang telah berjalan di Indonesia, seperti BRI berkolaborasi dengan Grab, Tokopedia dengan BRI Ceria, dan Shopback dengan TMRW (UOB Bank).

Sebagai sebuah sinergi mutualisme, kerja sama tersebut dinilai dapat menguntungkan kedua belah pihak. Dari sisi perbankan sebagai penyedia services, mengutip laporan firma riset Oliver Wyman, pengimplementasian BaaS dapat menjangkau lebih banyak pengguna baru dan menekan biaya akuisisi pelanggan dari kisaran $100-$200 per pelanggan menjadi $5-$35. Sementara bagi aplikasi digital, tujuannya adalah memperkaya fitur dan meningkatkan retensi pengguna.

Adapun model kedua, yakni melalui akuisisi bank dan menjadikannya sebagai unit digital, juga telah dilakukan sejumlah pihak. Misalnya kepemilikan 40% Akulaku atas Bank Neo Commerce, kepemilikan 19% Investree atas Amar Bank, kepemilikan 75% Kredivo atas Bank Bisnis Internasional, dan lain-lain.

Tujuan bank digital, selain memudahkan proses akuisisi nasabah karena tidak memerlukan investasi besar dalam persebaran kantor cabang, juga untuk menciptakan pengalaman keuangan yang terpersonalisasi. Dengan dihubungkan ke aplikasi digital, diharapkan nasabah bisa mendapatkan berbagai fitur dari ujung ke ujung.

Application Information Will Show Up Here

Brankas Scores 287 Billion Rupiah Series B Funding Led by Insignia Ventures

Fintech startup for open finance solution, Brankas, announced $20 million (over 287 billion Rupiah) series B round led by Insignia Ventures Partners with participation from previous investors, Beenext and Integra Partners. Brankas will use the fresh money to expand its network, BaaS API products in six countries in Asia, and double the team of 100 people.

Furthermore, also participated in this round, Visa, AFG Partners and Treasury International, a venture capital firm led by veteran fintech founders Jeff Cruttenden of Acorns and Eli Broverman of Betterment.

Brankas is part of the Visa’s accelerator program last year. One of Visa’s ongoing innovations is the issuance of digital credit cards using Visa’s data capabilities. This solution was showcased during demo day in September 2021.

In an official statement, Samir Chaibi, Principal at Insignia Ventures Partners said, “Brankas is well equipped and well positioned to support the acceleration of the open finance industry in Southeast Asia. We are pleased to partner with a team that has world-class API-based infrastructure built for the key Southeast Asian market to serve emerging fintech players.

“We are also impressed with Brankas’ approach to market development and its ability to launch and scale the products in a regulatory compliant manner while ensuring that developers benefit from a reliable and stable source of banking and financial data and beyond,” Chaibi said, Wednesday (1/5).

Currently, the Brankas platform offers more than 10 BaaS APIs, including online bank account opening, credit assessment, identity verification, e-commerce transactions, and payment solutions for the gig economy. The startup, which was founded in 2016, has a vision to democratize access to financial data and identity for banks, traditional financial institutions, and fintech startups.

For financial institutions, the Safe API platform opens up new digital capabilities and revenue streams such as online payments, identity verification and account opening, and to extend their reach, especially for users who historically have limited access with traditional financial services.

Meanwhile, for fintech companies, the Brankas platform is a bridge for important data needs for verification or assessment processes that should take longer to develop and optimize for users. These use cases are also leveraged outside of financial services, such as e-commerce companies using the Brankas’ API to verify and secure payments on their platforms.

Across industries and use cases, Brankas offers compliant, reliable and secure systems at scale to simplify the local complexities of building and operating fintech products and services.

Brankas’ solution has been used by companies in Indonesia, the Philippines, and Thailand. In the near future, it will soon expand to Vietnam and Bangladesh through partnerships with current leading bank and fintech players.

Quoting from Techcrunch, the company’s interest in the Brankas’ BaaS API solution is growing by 30% every month. There are now more than 40 financial institutions and 100 technology companies and channel partners. Since many of the clients of fintech startups focus on the unbanked and underbanked, Brankas’ partners extend to financial providers such as remittances and e-wallets.

Brankas’ Co-Founder & CEO Todd Schweitzer said that there is a huge opportunity for the open finance industry in Southeast Asia. He said, open finance is more than just payment or banking. Brankas building the next generation of financial services infrastructure in Southeast Asia has opened up new financial product development opportunities, in a region historically dominated by established incumbents.

“Thanks to our growing network of partners and customers, we continue to deepen our understanding of this opportunity and lead the solution development to open this door for those here in Southeast Asia.”

He continued, the year 2021 was a company breakthrough as it opened up opportunities for financial institutions and companies to partner in new businesses in a way that had never been seen before for consumers in Southeast Asia.

Indonesia’s open finance

Compared to other similar players, such as Finantier and Finverse, Brankas claims to be the only company that offers a regulated payments API that allows direct bank transfers and money transfers without intermediaries, as well as API-connected cryptocurrency and e-wallet payments.

Brankas also conveyed four points related to what made him different from his competitors. First, they focus more on the “supply side” of open finance, helping financial institutions to become “API-ready”. The solutions presented help banks to deliver commercial API products in 6 weeks or less.

Second, Brankas seeks to help the government create a competitive and well-regulated open finance economy, therefore, it will be actively involved and chair the relevant associations for consultation. Third, the ongoing regional strategic partnership to bring new technologies and solutions to Indonesia; including with Visa, APIX, and Proxtera. And lastly, Brankas wants to ensure that the API aggregation presented is always reliable in terms of performance and security.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup fintech open finance Brankas mengumumkan putaran Seri B $20 juta yang dipimpin Insignia Ventures Partners, diikuti Beenext dan Integra Partners

Brankas Tutup Pendanaan Seri B 287 Miliar Rupiah, Dipimpin Insignia Ventures

Startup fintech penyedia solusi open finance Brankas mengumumkan penutupan putaran seri B senilai $20 juta (lebih dari 287 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni Beenext dan Integra Partners. Dengan putaran ini, Brankas akan perluas jaringan, produk BaaS API di enam negara di Asia, dan menggandakan tim dari saat ini berjumlah 100 orang.

Lebih lanjut, dalam putaran ini juga turut diikuti oleh Visa, AFG Partners dan Treasury International, perusahaan modal ventura yang dipimpin oleh pendiri fintech veteran Jeff Cruttenden dari Acorns dan Eli Broverman dari Betterment.

Brankas adalah salah satu peserta dari program akselerator yang diselenggarakan Visa pada tahun lalu. Salah satu inovasi yang dikerjakan bersama Visa adalah penerbitan kartu kredit digital yang menggunakan kemampuan data Visa. Solusi ini dipamerkan saat demo day di September 2021.

Dalam keterangan resmi, Prinsipal di Insignia Ventures Partners Samir Chaibi menuturkan, Brankas memiliki perlengkapan yang baik dan posisi yang baik untuk mendukung percepatan industri open finance di Asia Tenggara. Pihaknya senang dapat bermitra dengan tim yang memiliki infrastruktur berbasis API kelas dunia yang dibangun untuk pasar utama Asia Tenggara untuk melayani pemain fintech yang sedang berkembang.

“Kami juga terkesan dengan pendekatan Brankas terhadap pengembangan pasar dan kemampuan mereka untuk meluncurkan dan menskalakan produk mereka dengan cara yang sesuai dengan peraturan sambil memastikan bahwa pengembang mendapat manfaat dari sumber data perbankan dan keuangan yang andal dan stabil dan seterusnya,” ucap Chaibi, Rabu (5/1).

Saat ini platform Brankas menawarkan lebih dari 10 BaaS API, termasuk di antaranya membuka rekening bank online, penilaian kredit, verifikasi identitas, transaksi e-commerce, dan solusi pembayaran untuk gig economy. Startup yang didirikan pada 2016 ini memiliki visi ingin mendemokratisasi akses ke data keuangan dan identitas untuk bank, lembaga keuangan tradisional, dan startup fintech.

Untuk lembaga keuangan, platform API Brankas membuka kemampuan digital dan aliran pendapatan baru seperti pembayaran online, verifikasi identitas dan pembukaan rekening, dan dengan ekstensi memperluas jangkauan mereka, terutama kepada pengguna yang secara historis sulit dilayani dengan layanan keuangan tradisional.

Sementara bagi perusahaan fintech, platform Brankas adalah jembatan untuk kebutuhan data penting untuk proses verifikasi atau penilaian yang seharusnya memakan waktu lebih lama untuk dikembangkan dan dioptimalkan bagi pengguna. Kasus penggunaan ini juga dimanfaatkan di luar layanan keuangan, seperti perusahaan e-commerce yang menggunakan API Brankas untuk memverifikasi dan mengamankan pembayaran di platform mereka.

Di seluruh industri dan kasus penggunaan, Brankas menawarkan sistem yang sesuai, andal, dan aman dalam skala besar untuk menyederhanakan kerumitan lokal dalam membangun dan mengoperasikan produk dan layanan fintech.

Saat ini solusi Brankas sudah dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Dalam waktu dekat, akan segera merambah ke Vietnam dan Bangladesh lewat kemitraan dengan pemain bank dan fintech terdepan di sana.

Mengutip dari Techcrunch, minat perusahaan terhadap solusi API BaaS Brankas mengalami pertumbuhan hingga 30% tiap bulannya. Kini ada lebih dari 40 lembaga keuangan dan 100 perusahaan teknologi dan mitra saluran. Semenjak banyak klien dari startup fintech berfokus pada kelompok unbanked dan underbanked, mitra Brankas meluas hingga perusahaan penyedia keuangan seperti remitansi dan e-wallet.

Co-Founder & CEO Brankas Todd Schweitzer menuturkan peluang yang begitu besar untuk industri open finance di Asia Tenggara. Menurut dia, open finance itu lebih dari sekadar pembayaran atau perbankan. Brankas membangun infrastruktur layanan keuangan generasi berikutnya di Asia Tenggara telah membuka peluang pengembangan produk keuangan baru, di wilayah yang secara historis didominasi oleh pemain lama yang mapan.

“Berkat jaringan mitra dan pelanggan kami yang berkembang, kami terus memperdalam pemahaman kami tentang peluang ini dan memimpin pengembangan solusi untuk membuka pintu ini bagi mereka di sini di Asia Tenggara,” ujar dia.

Dia melanjutkan, tahun 2021 kemarin adalah tahun terobosan bagi perusahaan karena membuka kesempatan bagi lembaga keuangan dan perusahaan untuk bermitra dalam bisnis baru dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya bagi konsumen di Asia Tenggara.

Layanan open finance di Indonesia

Dibandingkan pemain sejenisnya, seperti Finantier dan Finverse, Brankas mengklaim dirinya sebagai satu-satunya perusahaan yang menawarkan API pembayaran teregulasi yang memungkinkan transfer bank langsung dan pengiriman uang tanpa perantara, serta pembayaran mata uang kripto dan e-wallet yang terhubung secara API.

Brankas sendiri menyampaikan empat poin terkait hal yang menjadi pembeda dengan para kompetitornya. Pertama, mereka lebih fokus pada “sisi pasokan” dari open finance, yakni membantu lembaga keuangan untuk menjadi “API-ready”. Solusi yang dihadirkan membantu bank untuk menghadirkan produk API komersial dalam jangka 6 minggu atau kurang.

Kedua, Brankas berupaya untuk membantu pemerintah menciptakan ekonomi open finance yang kompetitif dan diregulasi dengan baik, sehingga memilih terlibat aktif dan mengetuai asosiasi terkait untuk urun rembuk. Ketiga, jalinan kemitraan strategis regional yang terus dibangun menghadirkan teknologi dan solusi baru ke Indonesia; termasuk bersama Visa, APIX, dan Proxtera. Dan yang terakhir, Brankas ingin selalu memastikan agregasi API yang dihadirkan selalu dapat diandalkan secara performa dan keamanan.

OVO Google Play Tarik Tunai

OVO Jadi Opsi Pembayaran di Google Play; Hadirkan Fitur Tarik Tunai di Jaringan ATM BCA

Aplikasi e-money OVO kini bisa digunakan untuk melakukan pembayaran atau pembelian item di Google Play. Pengguna kini dapat menemui opsi “Add OVO” di bagian metode pembayaran. Sebelumnya e-money lokal lain yang juga sudah masuk ke ekosistem Google Play adalah Gopay (sejak 2019), DANA (2021), ShopeePay (2021), dan DOKU (2021).

Mereka berbondong-bondong hadir sebagai layanan pembayaran di Google Play bukan tanpa alasan. Perputaran uang di sana sangat besar, jika membuka di laporan keuangan Alphabet Inc. per Q3 2021 ini Google Services (termasuk di dalamnya Google Play) menghasilkan revenue $59,8 miliar.

Terlebih di era esports seperti saat ini, komoditas aset digital dalam game juga menjadi salah satu barang paling banyak ditransaksikan. Menurut data Sensor Tower, tahun ini Moonton telah menghasilkan $69,2 juta transaksi hanya dari Mobile Legend di Indonesia.

Di samping itu, e-money menjadi sistem pembayaran alternatif di tengah kecilnya penetrasi kartu debit/kredit di Indonesia [yang digunakan untuk pembayaran di layanan digital]. Di samping itu, sebenarnya Google juga sudah bekerja sama dengan operator telekomunikasi lokal sejak lama untuk memungkinkan pengguna melakukan pembayaran aplikasi lewat skema potong pulsa.

Sebagai e-money pertama yang mengintegrasikan sistem pembayaran ke Google Play, Gopay telah mengalami peningkatan transaksi secara pesat di tahun lalu. Dari data internal Gojek sepanjang Maret-Mei 2020 memperlihatkan Gopay banyak dipakai untuk pembelian kupon game dengan kenaikan 3x lipat. Aplikasi Free Fire, Mobile Legends, dan PUBG Mobile menjadi yang terfavorit berdasarkan jumlah pembayaran.

Hadirkan opsi tarik tunai di ATM BCA

Hari ini (16/12) OVO juga meluncurkan fitur tarik tunai OVO Cash yang dapat dilakukan di 17 ribu jaringan ATM milik Bank Central Asia (BCA) seluruh Indonesia. Sebelumnya Gopay juga melakukan integrasi yang sama, memungkinkan penggunanya untuk melakukan penarikan tunai saldo melalui jaringan ATM BCA.

Presdir OVO Karaniya Dharmasaputra memaparkan bahwa sinergi ini berangkat dari kesamaan visi kedua perusahaan untuk memperluas layanan keuangan modern, aman serta inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Pengguna OVO dapat menarik saldo dengan jumlah minimal penarikan sebesar 50 ribu Rupiah dan maksimal 10 juta Rupiah per hari. Fitur ini dapat digunakan setiap hari oleh pengguna OVO dan akan dikenakan biaya admin sebesar 5 ribu Rupiah untuk setiap penarikan.

Hadirnya fitur ini diperkuat dengan analisa dari Boston Consulting Group yang menyebutkan bahwa layanan pembayaran digital seperti OVO digunakan sebanyak 26 persen golongan masyarakat yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) dan 14 persen golongan masyarakat yang memiliki rekening bank tetapi masih menghadapi keterbatasan akses (underbanked), sebagai alat pembayaran yang nyaman, aman dan mampu mendukung kegiatan sehari-hari mereka.

Tingkatkan integrasi dengan bank

Sebelumnya, awal Desember 2021 ini OVO juga baru meresmikan kerja samanya dengan BRI untuk meluncurkan kartu kredit co-brand OVO U Card. Perluasan ekosistem melalui kemitraan strategis memang tengah menjadi langkah penting yang digencarkan semua pelaku industri fintech. Terlebih perbankan juga mulai menempatkan posisinya sebagai enabler, untuk memberdayakan pemain seperti OVO dengan layanan yang lebih luas – melalui Bank as a Services atau embedded finance.

Model kerja sama ini menjadi simbiosis mutualisme. Dari sisi platform, benefit yang didapatkan jelas pada perluasan akses layanan finansial. Sementara bagi bank, memungkinkan mereka untuk meningkatkan transaksi dari segmen pengguna baru yang mungkin sebelumnya tidak terlayani. Di samping itu konsep data sharing di level backend juga akan meningkatkan kapabilitas analisis dan skoring yang dimiliki masing-masing platform, sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih personalized kepada nasabah dan calon nasabah.

Application Information Will Show Up Here
Cermati BaaS

Cermati Rambah Produk BaaS, Garap Segmen “Unbanked” di Indonesia

Cermati Fintech Group (CFG) mulai menggarap produk Banking-as-a-Service (BaaS), ditandai dengan kemitraan strategis dengan BCA Digital dan Blibli. CFG melihat potensi unbanked dan underbanked yang masih begitu besar di Indonesia dapat diselesaikan melalui teknologi tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO CFG Andhy Koesnandar menyampaikan BaaS memungkinkan pihaknya memperluas penawaran produk keuangan, mulai dari pembukaan rekening, paylater, asuransi, dan lainnya di semua jenis platform secara virtual kepada pihak ketiga, sehingga dapat memiliki kemampuan perbankan dalam platformnya yang non-bank.

“BaaS adalah penawaran produk teknologi terbaru dari Cermati Fintech Group, di mana kami menyediakan technology stack untuk menghubungkan bank dengan platform digital,” ucapnya.

Dalam hal ini, Cermati mengembangkan strategi embedded finance, membuka layanan perbankan dapat tertanam dalam ekosistem aplikasi yang memungkinkan kemampuan aplikasi super melalui kemampuan Open API dan BaaS. Penawaran BaaS dari Cermati memungkinkan ekosistem online dan offline untuk menanamkan layanan perbankan, selain asuransi dan paylater yang digunakan sebagai model layanan dalam ekosistem mereka.

Kehadiran produk finansial dapat meningkatkan pengguna fintech, mengurangi user friction, dan meningkatkan loyalitas. Sementara bagi perbankan, teknologi BaaS menawarkan cara baru untuk bermitra dengan ekosistem dengan menyediakan layanan perbankan yang disesuaikan dengan pelanggan tersebut.

Andhy menuturkan, BaaS dan embedded finance secara umum memiliki potensi yang sangat besar. Dari data yang ia kutip, sebanyak 66% dari 275 juta penduduk Indonesia yang masih dalam kelompok unbanked dan underbanked.

Kelompok tersebut belum memiliki akses ke layanan keuangan, yang mana solusi tersebut dapat dengan memperkenalkan produk keuangan melalui platform yang sudah digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari. “Proses onboarding ini sepenuhnya secara digital, tanpa mereka harus pergi ke cabang fisik bank atau institusi keuangan lainnya.”

Dengan integrasi Blu BCA Digital dalam Blibli, pengguna Blibli dapat menikmati rangkaian lengkap layanan perbankan Blu. Mulai dari pembukaan rekening, transfer dana, pembayaran dalam aplikasi, dan lainnya tanpa perlu mengunduh atau beralih ke aplikasi lain.

Ilustrasi BaaS dalam aplikasi blu X Blibli / CFG

Andhy melanjutkan, pihaknya tetap mengedepankan unsur keamanan sebagai aspek yang sangat krusial dalam membangun kemitraan dengan lembaga keuangan. Untuk itu, perusahaan selalu meninjau dan memperkuat sistem agar sekelas keamanan di perbankan. “Awal tahun ini kami disertifikasi untuk ISO 27001, standari internasional untuk keamanan informasi.”

Setelah BCA Digital dan Blibli, Andhy menuturkan akan ada kemitraan berikutnya yang bakal diumumkan pada akhir tahun ini. Meski demikian, ia masih menutup rapat-rapat terkait hal tersebut.

Kesempatan layanan BaaS

Cara kerja BaaS / Business Insider

BaaS kini telah menjadi salah satu strategi kunci dalam konsep open banking. Modelnya memungkinkan bank digital dan pihak ketiga untuk terhubung dengan sistem bank secara langsung melalui API. Dengan begitu, kedua belah pihak dapat membangun layanan di atas infrastruktur penyedia sekaligus membuka peluang mengembangkan produk open banking lainnya.

Model ini juga mulai banyak diterapkan bank-bank di dunia karena dinilai lebih efisien. Dalam sekop global, mengutip laporan firma riset Oliver Wyman, pengimplementasian BaaS dapat menjangkau lebih banyak pengguna baru dan menekan biaya akuisisi pelanggan dari kisaran $100-$200 per pelanggan menjadi $5-$35.

Di Indonesia sendiri, pemain BaaS selain Cermati ada nexus yang diperkenalkan oleh Standard Chartered Bank. Dalam waktu dekat solusi perbankan dari nexus bakal hadir di aplikasi Bukalapak.

Co-Founder dan CEO Finantier Diego Rojas berpendapat bahwa BaaS berbeda dengan konsep API lain karena menyediakan infrastruktur berlisensi dan teregulasi untuk layanan inti perbankan. Secara out of the box, hampir semua perusahaan kini dapat menjadi perusahaan fintech tanpa harus melalui proses panjang tersebut berkat kehadiran perusahaan open finance seperti Finantier.

Finantier adalah startup yang menyediakan ekosistem open finance untuk mendukung kolaborasi antara berbagai jenis perusahaan dalam menyediakan produk finansial yang didesain khusus untuk konsumennya.

Ini merupakan realisasi dari kemitraan layanan Banking-as-a-Service (BaaS) / Standard Chartered Bank

Standard Chartered dan Bukalapak Hadirkan Layanan Perbankan Digital dalam Waktu Dekat

Standard Chartered Bank Indonesia dan Bukalapak resmi memperkenalkan aplikasi digital banking yang direncanakan meluncur ke publik dalam waktu dekat. Produk ini merupakan kelanjutan dari kemitraan strategis yang diteken keduanya pada awal 2021.

Kemitraan yang dimaksud adalah melakukan integrasi layanan banking-as-a-service (BaaS) nexus milik Standard Chartered Bank ke platform Bukalapak. Ada dua fokus area yang dibidik. Pertama, menghadirkan inovasi keuangan dan ecommerce melalui ekosistem Bukalapak. Kedua, mendorong inklusi keuangan kepada 100 juta pengguna dan 13,5 juta UKM di Bukalapak.

Dari kesepakatan tersebut, Bukalapak memperoleh investasi sebesar $200 juta atau setara 2,8 triliun rupiah dari Standard Chartered Bank yang akan digunakan untuk kebutuhan ekspansi.

Dalam keterangan resminya, Cluster CEO Indonesia & ASEAN markets (Australia, Brunei, Filipina) Standard Chartered Andrew Chia mengatakan, Indonesia menjadi negara pertama peluncuran layanan Baas nexus di kawasan tersebut. “Indonesia memiliki posisi strategis dan menjadi pasar penting bagi Standard Chartered,” ungkapnya.

Sementara, Presiden BukaFinancial & Digital Victor Lesmana menambahkan, kolaborasi ini akan memudahkan Bukalapak untuk menjangkau segmen mass market dan UMKM di seluruh Indonesia. Demikian juga kalangan underbanked dan unbanked yang selama ini dinilai sulit mengakses layanan keuangan.

“Dengan teknologi sesuai kebutuhan dan sistem keamanan yang canggih, kami dapat menjembatani kesenjangan literasi keuangan,” papar Victor.

Sebelum ini, Standard Chartered juga menggandeng platform beauty commerce Sociolla untuk kerja sama serupa. Pihaknya mengimplementasikan nexus di Sociolla sehingga pengguna dapat mengakses layanan keuangan, seperti pembukaan rekening baru. Berdasarkan pemberitaan terakhir, layanan ini ditargetkan komersial pada akhir 2021.

Onboarding tanpa tatap muka

Layanan yang akan disuguhkan dalam layanan bank digital tersebut

Aplikasi digital banking ini ditargetkan akan tersedia di Google Play Store dan App Store dalam waktu dekat. Saat ini, perusahaan masih menunggu persetujuan dari Bank Indonesia (BI), tetapi sudah mengantongi lisensi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kemudian, aplikasi ini juga memanfaatkan otomatisasi canggih dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) pada proses Know Your Client (KYC), yakni pengenalan biometri wajah dan validasi e-KTP. Dengan begitu, pengguna dapat melakukan onboarding sepenuhnya digital tanpa perlu verifikasi tatap muka di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, perusahaan juga mengimplementasikan enkripsi kelas industri (TLS1.2) untuk mengamankan data sensitif serta menghindari upaya pengintaian data. Untuk menjamin validasi identitas nasabah yang sahih sebelum memberikan akses ke pemilik rekening dan aplikasi digital, pengguna diberikan autentikasi multi-faktor dengan soft token PIN.

BaaS melalui ekosistem digital

Sinergi dengan model ini memang bukan yang pertama di Indonesia. Sejumlah bank lain sudah melakukan kolaborasi dengan platform digital untuk menjangkau nasabah baru. Misalnya, BRI berkolaborasi dengan Grab, Tokopedia dengan BRI Ceria, dan Shopback dengan TMRW (UOB Bank).

Sebetulnya, sejumlah bank sudah menawarkan layanan pembukaan rekening online, tetapi kebanyakan masih melalui aplikasi mobile banking. Beberapa tahun terakhir sektor perbankan mulai mengubah pendekatan yang selama ini dilakukan secara konvensional. Ini menjadi salah satu upaya menjangkau segmen unbanked yang terkendala mengakses kantor cabang.

Sebagaimana diketahui, Bank-as-a-Service (BaaS) kini telah menjadi salah satu strategi kunci dalam konsep open banking. Modelnya memungkinkan bank digital dan pihak ketiga untuk terhubung dengan sistem bank secara langsung melalui API. Dengan begitu, kedua belah pihak dapat membangun layanan di atas infrastruktur penyedia sekaligus membuka peluang mengembangkan produk open banking lainnya.

Model ini juga mulai banyak diterapkan bank-bank di dunia karena dinilai lebih efisien. Dalam sekop global, mengutip laporan firma riset Oliver Wyman, pengimplementasian BaaS dapat menjangkau lebih banyak pengguna baru dan menekan biaya akuisisi pelanggan dari kisaran $100-$200 per pelanggan menjadi $5-$35.

Application Information Will Show Up Here

Introducing BaaS, a Modern Way to Enter the Digital World

Banking-as-a-service (BaaS) becomes a hot topic on how banks try to innovate into the digital world. Earlier this year, Standard Chartered Bank (Stanchart), through Nexus, pioneered this method through partnerships with Bukalapak and Sociolla. Nexus was developed by SC Ventures, a Stanchart investment company.

BaaS term is different from open banking or digital bank (neobank) which has commonly known. DailySocial interviewed some industry players regarding their respective differentiation.

Before BaaS, Indonesia had already been familiar with the concept of a financial product marketplace such as those implemented by CekAja and Cermati in its debut. The concept is similar to when accessing e-commerce pages, consumers can access various financial products from marketplace partners and make transactions.

“BaaS, open banking, and financial product marketplaces are different things, where BaaS can give providers the ability to build systems that will be owned by the provider itself, based on the infrastructure and expertise of the bank,” CekAja’s Director of Legal, Compliance, Governmental Relations and Human Capital, Marthina Natalyna said.

Meanwhile, Finantier’s Co-Founder and CEO, Diego Rojas said that BaaS is different from other API concepts because it provides a licensed and regulated infrastructure for core banking services. Out of the box, almost all companies can now become fintech companies without going through the long process, thanks to the existence of open finance companies such as Finantier.

Finantier is a startup that provides an open finance ecosystem to support collaboration between various types of companies in providing financial products specifically designed for their consumers.

“Innovators must focus on the customer experience and on their core digital products, while the basic complex infrastructure and regulatory side are fully covered by BaaS,” Rojas said.

Nexus Indonesia’s Country Head, Hermawan Tjakradiwiria shared his views. Quoting KPMG, open banking generally refers to the ability of banking customers to authorize third parties to access their bank account data to collect account information or to initiate payments.

Meanwhile, Investopedia stated that access is done through the use of an application programming interface (API). On the other hand, neobank, according to the interpretation of Fintech magazine, is physical banking that offers a completely digital experience, such as a savings account or debit/credit card service.

“Sometimes these new banks provide services under their own banking license, but they can also take advantage of the BaaS solution as a client to act as a new bank.”

He defines nexus as a BaaS which enables non-bank players to offer financial services to their customers by connecting directly to the bank system via an API. They can provide banking offerings on top of a bank regulated infrastructure. As a result, the platform can launch financial services in its ecosystem.

BaaS global trend

Sumber: Depositphotos.com
Source: Depositphotos.com

In 2018, regulators in European countries issued a Second Payment Services Directive (PSD2) which inspired the standardization of open banking in the United Kingdom to encourage synergies between banks and fintech instead of intensifying competition. The innovative era driven by API and the arrival of BaaS technology allows banks to invest sufficiently while providing better services for mobile-first consumers and remaining in the industry.

The BaaS initiative has been widely used in Europe, then expanded to other regions, such as the United States, Mexico, Brazil, Australia, Singapore, and Nigeria. In Germany, for instance, there is solarisBank that powers many neobanks in Europe. Then in the UK there are Bankable, Pi1, and Starling Bank, while in the United States they operate Green Dot and BBVA. The concept they offer is acquiring multiple partners to offer financial services.

solarisBank has collaborated with 70 companies and managed to acquire 400 thousand new users. One of the solutions offered, along with American Express, is the Splitpay feature to simplify the consumer check out process on an e-commerce platform in Germany with an installment option for several months.

solarisBank earns revenue from partners when they pay for the API services used to activate accounts and cards. The company also collects exchange fees for card transactions (interchange fees) and shares revenue with these partners. In addition, solarisBank can offer income sharing on credit interest with partners.

This condition, for Rojas, is a win-win solution for everyone because banks and financial institutions try to remain relevant to current conditions to reach new consumers. Financial services, which are at the forefront of the company’s business, can still be adapted to certain segments in the market.

“In order to increase their income by allowing other players to take advantage of their services. Bring more AUM (Asset Under Management) and keep the bank relevant,” Rojas said .

“Some of these neobanks focus on very specific markets, such as millennials, with sustainable-oriented business, or even target specific geographic or social groups,” he continued.

Indonesia’s groundwork

In Indonesia, regulations related to open API are currently being prepared by Bank Indonesia. There is no final word yet when the central bank will officially release it. The Open API standard is an embodiment of Vision 2 and Vision 3 of the 2025 Indonesian Payment System Blueprint (BPSPI) to support the implementation of open banking in the payment transaction area in order to encourage digital transformation by banking, as well as interlink between banks and fintech.

Even though there is no standardization yet, Rojas believes that the central bank is taking the right steps to read global trends, learn the kind of mistakes and shortcomings in its application, then adjust it to the practice and guidelines in Indonesia. “There are benefits if you don’t become the first player in this area because banks, businesses, and regulators can learn.”

Moreover, the journey of the fintech in Southeast Asia is quite broad to grow in line with global trends. Creating opportunities for innovators to help banks developing services according to consumer needs. The first players started in Europe and the US, then entered Southeast Asia, slowly starting many financial institutions to transform digital and take approaches through BaaS.

Sumber: Standart Chartered
Source: Standard Chartered

Tjakradiwiria expressed his gratitude for the support from regulators because Stanchart was able to bring Nexus and activate BaaS in Indonesia. He also ensured that Nexus would always comply with local regulations and be ready to implement them with partners.

“There is always room for growth and innovation in banking. We are confident that we are in a new era of finance, especially with the growing digital and mobile penetration in Indonesia.”

Today, there are many digital companies with a user base looking to expand their capabilities and revenue streams by targeting specific issues experienced by users. This is where the Nexus comes in. Providing technology, financial institution support, risk, and compliance expertise will help partners to grow further and increase brand stickiness.

“Nexus will provide partner’s users with access to financial services through a platform, which has become part of their daily lives, therefore, accessing banking services will be as easy and seamless as any other digital engagement in the partner’s ecosystem.”

He said, when consumers feel that financial services are easily accessible through the palms of their hands, that’s a form of victory. Banking digitization embedded in financial services plays a very important role in improving access to finance for the underbanked and unbanked population.

He believes that Nexus can bring Stanchart into a new segment that has never been utilized before. Previously, Stanchart was attached to the perception of commercial banks as affluent middle to upper-class customers.

Nexus targets strategic partnerships with major ecosystem players on social media, ride-hailing, beauty, and others to formulate financial products through co-creation. Eventually, the financial products produced are in line with what consumers need. Therefore, Nexus did not all of a sudden offer the existing banking solutions presented by Stanchart.

“We are iterating product development, conducting research and testing to customers on a regular basis. In order to evaluate product readiness, we consider whether this product satisfies the user’s needs and achieves our goal of increasing access to finance. We adapt it accordingly to solve our partners’ problems.”

Rojas expressed his optimism about the future of BaaS because it could spur innovation. The banking infrastructure will become a commodity, therefore,  many innovators can embed financial services into their products, providing a better end-to-end experience for consumers.

The financial product formulated by Nexus with Bukalapak and Sociolla is worth waiting for. It is to be released this year. “We are committed to launching commercially with the first 2 partners we announced,” Hermawan concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Konsep Bank as a Service (BaaS) di Indonesia diperkenalkan Standard Chartered Bank melalui nexus. Mereka menggandeng Bukalapak dan Sociolla sebagai mitra

Mengenal BaaS, Cara Baru Bank Masuk Ke Ranah Digital

Banking-as-a-service (BaaS) menjadi topik baru bagaimana perbankan mencoba berinovasi ke ranah digital. Awal tahun ini Standard Chartered Bank (Stanchart), melalui nexus, menjadi pionir metode ini melalui kemitraan dengan Bukalapak dan Sociolla. nexus dikembangkan oleh SC Ventures, perusahaan investasi Stanchart.

Istilah BaaS berbeda dengan open banking atau bank digital (neobank) yang telah lebih dahulu dikenal. DailySocial pun bertanya ke pemain industri terkait diferensiasi masing-masing.

Sebelum BaaS dikenal, di Indonesia telah lebih dahulu mengenal konsep marketplace produk finansial seperti yang dijalankan CekAja dan Cermati saat pertama kali beroperasi. Konsepnya sama seperti saat mengakses laman e-commerce, konsumen bisa mengakses ragam produk finansial dari rekanan marketplace dan bertransaksi.

“BaaS, open banking, dan marketplace produk keuangan adalah hal yang berbeda, di mana BaaS dapat memberikan kemampuan bagi provider untuk membangun sistem yang nantinya akan dimiliki oleh provider itu sendiri, berdasarkan infrastruktur dan expertise dari bank,” ucap Director of Legal, Compliance, Governmental Relations and Human Capital CekAja Marthina Natalyna.

Sementara itu, Co-Founder dan CEO Finantier Diego Rojas berpendapat bahwa BaaS berbeda dengan konsep API lain karena menyediakan infrastruktur berlisensi dan teregulasi untuk layanan inti perbankan. Secara out of the box, hampir semua perusahaan kini dapat menjadi perusahaan fintech tanpa harus melalui proses panjang tersebut berkat kehadiran perusahaan open finance seperti Finantier.

Finantier adalah startup yang menyediakan ekosistem open finance untuk mendukung kolaborasi antara berbagai jenis perusahaan dalam menyediakan produk finansial yang didesain khusus untuk konsumennya.

“Inovator harus fokus pada pengalaman pelanggan dan pada produk digital inti mereka, sementara infrastruktur dasar yang kompleks dan sisi regulasi sepenuhnya dicakup oleh BaaS,” terang Rojas.

Country Head nexus Indonesia Hermawan Tjakradiwiria memberikan pandangannya. Mengutip KPMG, open banking secara umum mengacu pada kemampuan nasabah perbankan untuk memberi otorisasi kepada pihak ketiga untuk mengakses data rekening bank mereka untuk mengumpulkan informasi rekening atau untuk memulai pembayaran.

Sementara, Investopedia menyebutkan bahwa akses dilakukan melalui penggunaan antarmuka pemrograman aplikasi (API). Di sisi lain, neobank, menurut interpretasi majalah Fintech, adalah perbankan tanpa fisik yang menawarkan pengalaman digital sepenuhnya, seperti rekening tabungan atau layanan kartu debit/kredit.

“Terkadang bank baru ini memberikan layanan di bawah lisensi perbankan mereka sendiri, tetapi mereka juga dapat memanfaatkan solusi BaaS sebagai klien untuk bertindak sebagai bank baru.”

Ia mendefinisikan nexus sebagai BaaS yang memungkinkan pemain non bank menawarkan layanan keuangan kepada pelanggan mereka dengan menghubungkan langsung dengan sistem bank melalui API. Mereka dapat menyediakan penawaran perbankan di atas infrastruktur yang diatur bank. Sebagai hasilnya, platform dapat meluncurkan layanan keuangan dalam ekosistemnya.

Tren BaaS secara global

Sumber: Depositphotos.com
Sumber: Depositphotos.com

Pada 2018, regulator di negara-negara Eropa menerbitkan Second Payment Services Directive (PSD2) yang menjadi cikal bakal standarisasi open banking di United Kingdom untuk mendorong sinergi antara bank dan fintech alih-alih mengintensifkan persaingan. Era inovatif yang digerakkan API dan kemunculan teknologi BaaS memungkinkan perbankan tidak harus banyak berinvestasi, sambil memberikan pelayanan yang lebih baik untuk konsumen mobile-first dan tetap bertahan dalam industri.

Inisiatif BaaS banyak dimanfaatkan di Eropa, lalu merambah ke kawasan lainnya, seperti Amerika Serikat, Mexico, Brazil, Australia, Singapura, dan Nigeria. Di Jerman, misalnya, terdapat solarisBank yang memberdayakan banyak neobank di Eropa. Lalu di Inggris terdapat Bankable, Pi1, dan Starling Bank, sementara di Amerika Serikat beroperasi Green Dot dan BBVA. Konsep yang mereka tawarkan adalah bermitra dengan banyak partner untuk menawarkan layanan keuangan.

solarisBank telah bekerja sama dengan 70 perusahaan dan berhasil menarik 400 ribu pengguna baru. Salah satu solusi yang ditawarkan, bersama American Express, adalah fitur Splitpay untuk permudah proses check out konsumen di suatu platform e-commerce di Jerman dengan opsi cicilan selama beberapa bulan.

solarisBank meraup pendapatan dari mitra saat mereka membayar jasa API yang dipakai untuk mengaktifkan akun dan kartu. Perusahaan juga mengumpulkan biaya pertukaran atas transaksi kartu (interchange fee) dan berbagi pendapatan dengan mitra tersebut. Tak hanya itu, solarisBank dapat menawarkan berbagi pendapatan atas bunga kredit dengan mitra.

Kondisi tersebut, menurut Rojas, adalah win win untuk semua orang karena bank dan lembaga keuangan berusaha tetap relevan dengan kondisi saat ini untuk menjangkau konsumen baru. Layanan keuangan yang menjadi yang menjadi ujung tombak bisnis perusahaan, tetap dapat disesuaikan dengan segmen tertentu di pasar.

“Dalam rangka meningkatkan pendapatannya dengan memungkinkan pemain lain memanfaatkan layanan mereka. Membawa lebih banyak AUM (Asset Under Management) dan menjaga bank agar tetap relevan,” ujar Rojas.

“Beberapa dari neobank ini berfokus pada pasar yang sangat khusus, seperti milenial, beriorientasi bisnis berkelanjutan, atau bahkan menargetkan kelompok geografis atau sosial tertentu,” sambungnya.

Persiapan di Indonesia

Di Indonesia sendiri, sejauh ini regulasi terkait open API masih dipersiapkan oleh Bank Indonesia. Belum ada kabar terakhir kapan bank sentral akan merilis secara resmi. Standar Open API merupakan perwujudan dari Visi 2 dan Visi 3 dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BPSPI) 2025 untuk mendukung implementasi open banking di area transaksi pembayaran dalam rangka mendorong transformasi digital oleh perbankan, maupun interlink antara bank dan fintech.

Kendati standarisasi belum ada, Rojas memandang bahwa bank sentral mengambil langkah yang tepat untuk membaca tren global mempelajari seperti apa kesalahan dan kekurangan dalam penerapannya, lalu menyesuaikan dengan praktek dan pedoman di Indonesia. “Ada manfaatnya juga jika tidak menjadi first mover dalam ruang ini karena bank, bisnis, dan regulator dapat belajar.”

Terlebih, perjalanan ruang fintech di Asia Tenggara masih sangat luas untuk tumbuh mengikuti tren global. Membuka kesempatan bagi para inovator membantu bank untuk meracik layanan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Penggerak pertama dimulai di Eropa dan AS, lalu masuk ke Asia Tenggara, perlahan mulai banyak lembaga keuangan yang mentransformasi digital dan mengambil pendekatan melalui BaaS.

Sumber: Standart Chartered
Sumber: Standart Chartered

Hermawan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dukungan regulator karena Stanchart dapat memboyong nexus dan mengakifkan BaaS di Indonesia. Ia pun memastikan nexus akan selalu mematuhi peraturan lokal dan siap mengimplementasikannya bersama mitra.

“Selalu ada ruang pertumbuhan dan inovasi dalam perbankan. Kami yakin bahwa kami sedang berada di era baru di bidang keuangan, terutama dengan penetrasi digital dan seluler yang berkembang di Indonesia.”

Saat ini ada banyak perusahaan digital yang sudah memiliki basis pengguna ingin memperluas kemampuan dan aliran pendapatannya dengan menargetkan titik masalah yang spesifik dihadapi pengguna. Di sinilah nexus dibutuhkan, dengan menyediakan teknologi, dukungan lembaga keuangan, keahlian risiko dan kepatuhan, akan membantu mitra untuk berkembang lebih jauh dan meningkatkan “brand stickiness.”

“nexus akan memberi pelanggan dari mitra akses ke layanan keuangan melalui platform, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, sehingga mengakses layanan perbankan akan menjadi semudah dan mulus seperti engagement digital lainnya dalam ekosistem mitra.”

Menurut dia, saat konsumen merasa layanan keuangan mudah diakses melalui telapak tangan mereka itulah bentuk kemenangan. Digitalisasi perbankan yang tertanam ke dalam layanan keuangan punya peran yang sangat penting dalam upaya meningkatkan akses keuangan bagi populasi yang underbanked dan unbanked.

Ia meyakini bahwa nexus dapat membawa Stanchart menuju segmen baru yang belum pernah dimanfaatkan sebelumnya. Sebelumnya, Stanchart melekat dengan persepsi bank komersial untuk nasabah affluent menengah ke atas.

nexus menargetkan kemitraan strategis dengan pemain ekosistem besar di media sosial, ride hailing, kecantikan, dan lainnya untuk merumuskan produk keuangan melalui co-creation. Pada akhirnya, produk keuangan yang dihasilkan selaras dengan apa yang dibutuhkan konsumen. Oleh karenanya, nexus tidak tiba-tiba menawarkan solusi perbankan existing yang dihadirkan lewat Stanchart.

“Kami iterasi pengembangan produk, melakukan penelitian dan pengujian ke pelanggan secara rutin. Untuk mengevaluasi kesiapan produk, kami mempertimbangkan apakah produk ini memenuhi kebutuhan pengguna dengan baik dan mencapai tujuan kami untuk peningkatan akses keuangan. Kami menyesuaikannya dengan tepat untuk memecahkan masalah mitra kami.”

Rojas menunjukkan rasa optimisnya terhadap masa depan BaaS karena dapat memacu timbulnya inovasi. Infrastruktur perbankan akan menjadi suatu komoditas, sehingga banyak inovator yang dapat menanamkan layanan keuangan ke dalam produk mereka, memberikan pengalaman dari ujung ke ujung secara lebih baik untuk konsumen.

Patut ditunggu produk keuangan yang diracik nexus bersama Bukalapak dan Sociolla. Ditargetkan pada tahun ini dapat dirilis. “Kami berkomitmen untuk meluncurkan secara komersial dengan 2 mitra pertama kami yang kami umumkan,” tutup Hermawan.


Foto header: Depositphotos.com

ASLI ID and LoginID Introduce Biometric Authentication Platform for Digital Services

Try counting the apps on your mobile phone, from the existing app, how many accounts you have? With an average use of smartphones almost 4 hours per day, there is likely to be more than one membership-based app being used – such as social media, messaging apps, online shopping, and many more.

One characteristic in those apps is the authentication mode that requires users a password, some with a PIN. Some people might find it tedious and simply use one password for all, while according to experts, it’s kind of risky. In fact, having too many passwords is quite confusing.

The gap is seen by innovators as they create more efficient solution for the authentication system. One that is offered is biometric-based – the most popular ones are using fingerprint, eye retina or face recognition to open access to a service. One company that serves the product is ASLI RI.

“ASLI RI has eKYC verification services using biometric technology, optical character recognition (OCR), liveness detection and digital onboarding; all of our services are SaaS,” ASLI RI’s Co-Founder & COO, Rionald A. Soerjanto.

Recently they worked with LoginID, a company from Silicon Valley, to launch the AsliLoginID product. It’s called a Biometric-Authentication as a Service (BaaS) platform that has FIDO2 certification. This certification is one of the most stringent security standards today, internationally recognized and compatible with a variety of types of computing device operating systems.

“In this collaboration, LoginID has a FIDO2 Certified Server, one of the most capable and recognized types of security institutions in the world today, which is incorporated in FIDO Alliances. ASLI RI has biometric verification technology. We combined these two services to make it easy for application owners to apply safe biometric authentication models,” Soerjanto added.

In this strategic partnership, ASLI RI also provides investment to LoginID with details not mentioned.

FIDO encryption standardization

ASLI RI team in the AsliLoginID launching, with START conference by Tokopedia / ASLI RI
ASLI RI team in the AsliLoginID launching, with START conference by Tokopedia / ASLI RI

In most systems today, user data such as accounts and passwords are stored centrally on the server of the application provider. Even though it is encrypted, the fact that data theft occurred some times in digital services has quite a large user base – both locally and internationally. This problem is trying to be solved by the FIDO alliance with the released standardization, they don’t just place the authentication data centrally at one point.

LoginID’s Founder & CEO Simon Law explained, FIDO standardization uses public-private key encryption. The public key is placed on the server system of service, while the private key is placed on the chip of each device. If the service server got leaked, the public key can be revoked and reissued at any time. This model is considered to reduce security risks. Moreover, using biometrics, to access the device must really bring the device directly to users who have authority.

“You can ensure everything (processing and data centers) is local. We bring technology from Silicon Valley and apply it locally. When talking with FIDO2 Certified, this solution complies with GDPR (known as the hardest data privacy law from the European Union), PSD2, and Open Banking. AsliLoginID will automatically comply with the PDP Law, which is immediately released by the government,” he said.

As we know, the government is currently completing the draft Personal Data Protection Act (PDP Bill). Based on the draft as of December 2019, the PDP Bill contains 72 articles and 15 chapters governing the definition of personal data, types, ownership rights, processing, exceptions, controllers and processors, transmissions, authorized institutions that regulate personal data, and dispute resolution. In addition, it regulates international cooperation to sanctions imposed for misuse of personal data.

BaaS is designed to be ready for application, application development companies can integrate the AsliLoginID platform into their services, complementing existing authentication models – such as single sign-on with email accounts or social media. ASLI RI Team is quite optimistic that the login solution offered will be welcomed by consumers, especially smartphone devices that have a fingerprint or face recognition features in the market.

On the global scene, AsliLoginID solution is being sold by other technology companies. One that also targeting the Indonesian market is Element Inc. The New York-based company has received investment from GDP Ventures, Central Capital Ventures, MDI Ventures, Maloekoe Ventures, and several other investors.