Tag Archives: bakar uang

Adrian Gunardi

Memahami Metrik “Customer Lifetime Value” dalam Startup

Membangun startup tidak hanya mengandalkan metrik traction untuk validasi bisnis. Pada perjalanannya, founder juga perlu memikirkan metrik lainnya untuk memastikan kelangsungan bisnis.

Salah satu metrik utama adalah Customer Lifetime Value (CLV) atau nilai umur pelanggan, tentang bagaimana pelanggan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis startup.

Metrik ini acapkali dilupakan. Padahal CLV dapat membantu startup untuk mengukur pendapatan dan investasi yang dihabiskan untuk memperoleh pelanggan.

Apa saja hal-hal penting lainnya yang bersinggungan dengan CLV dan bagaimana cara menghitung metrik ini? Selengkapnya simak paparan Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi pada sesi #SelasaStartup berikut ini:

Strategi navigasi P2P lending

Adrian menekankan pentingnya memetakan strategi bernavigasi. Pasalnya, industri fintech sangat teregulasi dan diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika bicara soal ‘bakar uang’ dan regulasi, kedua hal ini tentu sangat bertolak belakang.

Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemain Peer-to-Peer (P2P) lending dapat bernavigasi dan tetap menyeimbangkan posisinya pada industri yang memiliki regulasi ketat.

Sejalan dengan perkembangan bisnis, startup harus mempertahankan keseimbangan saat melakukan ‘bakar uang’ dan menjaga pendapatan tetap naik.

“Karakter dan tantangan pada startup adalah mereka harus tumbuh dan scale dengan cepat. Makanya strategi navigasi ini penting karena kedua poin tersebut sering dikaitkan dengan ‘bakar uang’ dan regulasi,” sebutnya.

Eksplorasi pasar B2B

Bagi sejumlah pemain P2P lending, pasar Business-to-Business (B2B) dianggap lebih menarik dibandingkan Business-to-Consumer (B2C). Tentu saja, mencari traction pada segmen B2C lebih mudah. Namun, bukan itu.

Pentingnya menentukan target pasar akan sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah startup melakukan bakar uang. Bagi Adrian, B2B menjadi lebih menarik karena biaya akuisisi pelanggan jauh lebih rendah dibandingkan B2C.

Berdasarkan riset Roland Berger di 2016, sebagaimana dikutip Adrian, alasan mayoritas pemain fintech di Eropa memilih segmen B2B adalah dapat menghasilkan pendapatan lebih maksimal.

“Sejak awal Investree tidak bermain di ranah B2C karena impact B2B terhadap pendapatan akan lebih tinggi. Ini patut menjadi pertimbangan bagi startup. Lagipula, semakin startup berkembang, investor tidak hanya akan melihat growth, tetapi juga profitabilitas,” paparnya.

Di sisi lain, pasar B2B juga dapat dieksplorasi lebih lanjut, seperti e-procurement. Sebagai startup yang juga masu ke ranah ini, Adrian menilai e-procurement berpotensi besar bagi P2P lending, terutama dapat mendorong lebih banyak borrower.

Ia mencontohkan bagaimana Investree mengakuisisi platform e-procurement Mbiz dan melakukan pendekatan ke Telkom dan Unilever. Yang diincar bukan mereka sebagai korporasi besar, tetapi vendor atau pihak ketiga yang menangani iklan dan event perusahaan ini.

Vendor-vendor ini kebanyakan berada di skala UKM yang membutuhkan cashflow yang jelas. Dengan e-procurement, Investree dapat membantu vendor Unilever maupun Telkom supaya dibayar lebih cepat.

“Kita tahu rata-rata pembayaran procurement vendor itu 90-120 hari. Bahkan ada yang 150 hari. Dengan melebarkan solusi ke ranah ini, ini bisa memudahkan pembayaran vendor,” jelas Adrian.

Menghitung CLV dan timing tepat menyetop ‘bakar uang’

Disebutkan sebelumnya bahwa penentuan target pasar akan berkaitan erat dengan bagaimana startup menentukan strategi bakar uang.

Jika sebuah startup mulai bicara tentang Customer Lifetime Value, pertanyaannya adalah sampai kapan harus melakukan strategi ‘bakar uang’ demi mengakuisisi pelanggan?

Sebagai pelaku P2P lending, Adrian memiliki perhitungan CLV sendiri, yakni pendapatan yang diperoleh borrower selama menjadi borrower di Investree. Jika hanya meminjam dana satu kali, artinya CLV juga hanya satu kali.

Kemudian, biaya untuk akuisisi pelanggan. Investree memperhitungkan beberapa komponen biaya, mulai dari biaya promosi, biaya tenaga kerja yang dipakai untuk memperoleh pengguna, hingga biaya processing. 

“Bobot setiap komponen berbeda. Akan tetapi, cost harus dihitung sampai borrower memberikan pendapatan ke Investree. Begitu ada opex dan gaji yang harus dibayarkan, startup sudah harus menghitung [CLV] karena growth tanpa pendapatan tidak sustain,” ucapnya.

Umumnya setelah tahun pertama, startup perlu menghitung metrik untuk memastikan bahwa penggunaan investasi untuk ‘bakar uang’ tidak lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.

“Perhitungannya adalah CLV dibagi [biaya] akuisisi pelanggan. Di industri B2B, yang dianggap bagus anything above dua kali. Kalau Investree, average empat kali karena kita ada ekosistem yang mendukung sehingga faktor pembilangnya jauh lebih besar,” papar Adrian.

Pentingnya melakukan kolaborasi

Pada dasarnya, eksklusivitas bukan lagi yang utama dalam berbisnis. Adrian juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan ekosistem inti dan pendukung di industri P2P lending untuk menciptakan nilai lebih.

“Daripada mengajukan lisensi [bisnis tertentu], misalnya, lebih baik kita kerja sama dan menciptakan nilai masing-masing bagi bisnis,” katanya.

Adrian kembali mencontohkan bagaimana Investree menghadapi tantangan dalam meningkatkan konversi pada retail lender-nya. Menurutnya, retail lender cenderung menarik dana investasinya lebih cepat, apalagi untuk kebutuhan seasonal seperti hari raya dan liburan.

Retail lender itu tidak sticky ya. Kalau kita ingin masuk ke Telkom [untuk e-procurement], Telkom sebagai anchor partner tentu butuh kepastian bahwa Investree bisa mendukung,” ujarnya.

Hal ini membuat Investree tidak dapat mengukur sustainability fund dan harus mengeluarkan biaya lagi. Untuk mengatasi hal ini, Investree akhirnya melakukan pendekatan ke institutional lender untuk menyeimbangkan segmen pemberi pinjaman dengan retail lender.

Running Startups Without External Funding

Funding is an essential and integral part of startup operations. Without funding, it is very likely for a startup to lose before competing.

If it says so, then is it possible for a startup to operate without funding? The answer is probably. Fresh funds are obviously substantial for just daily operations or “burn-money” for promotion.

The truth is, startups can do without funding. This is so far the most relevant option for revenue-based rather than growth-based startups. The following are a few steps for those consider running a startup without funding.

Fixed financial planning from an early stage

With this option, financial planning should be fixed from the very beginning. Without funding, startups must have a detailed calculation of whether the revenue earned from consumers will be greater than the cost spent to acquire consumers.

It’s not only for the early startups but also for mature businesses. Moreover, it is important to be aware of the remaining cash. Drastic steps must be taken when there is only enough cash available for operations in the next six months.

Achieve Product-Market Fit

Startups need parameters to find out whether consumers really want to spend on their products or services. It is important for us to know the product can be the best solution for its users.

The problem is that there are no truly scientific parameters for finding product-market fit. But there are three things that can at least be used as indicators, namely product use, customer retention, and sales activities.

There is no such thing as another metric, it’s only profit

Having a product that is widely discussed by the public is certainly good news. But high traffic, positive engagement, can’t possibly become the right substitute for mature sales and marketing strategies.

Such metrics are often become the early startups killer. They are fixated on pursuing something that doesn’t really impact sales or user acquisitions. Another thing to avoid is investing their money and time and resulting in sales and marketing strategy that won’t last long.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tak selamanya startup butuh pendanaan eksternal. Dengan berbagai syarat, sebuah startup tetap dapat beroperasi normal tanpa kucuran dana segar dari luar.

Mengoperasikan Startup Tanpa Bergantung Pendanaan Eksternal

Pendanaan adalah bagian penting yang tak terpisahkan dalam menjalankan suatu startup. Tanpa pendanaan, sangat mungkin sebuah startup kalah sebelum berkompetisi.

Jika memang pertanyaannya demikian, lalu apakah mungkin startup dapat beroperasi tanpa sebuah pendanaan? Jawabannya mungkin saja. Dana segar dari pendanaan jelas sangat berarti untuk sekadar operasional sehar-hari hingga untuk “bakar uang” promosi jor-joran.

Namun kenyataannya, startup tetap bisa melaju tanpa pendanaan. Opsi ini paling relevan untuk startup yang mengedepankan profit ketimbang growth. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diperhatikan jika ingin menjalankan startup tanpa pendanaan.

Perencanaan keuangan solid sejak dini

Perencanaan keuangan harus benar-benar matang sejak awal dengan opsi ini. Tanpa pendanaan, startup harus memiliki perhitungan detail apakah uang yang diperoleh dari konsumen lebih besar dari uang yang dihabiskan untuk menggaet konsumen.

Ini tidak hanya berlaku untuk startup yang masih berusia dini, tapi juga mereka yang sudah cukup matang. Maka menjadi penting untuk awas terhadap nominal kas yang tersisa. Langkah drastis harus diambil ketika kas yang tersedia hanya cukup untuk operasional enam bulan ke depan.

Mencapai Product-Market Fit

Startup perlu parameter untuk mengetahui apakah konsumen benar-benar mau merogoh koceknya untuk produk atau jasa mereka. Parameter ini penting karena kita dapat mengetahui produk kita jadi solusi terbaik bagi penggunanya.

Masalahnya tak ada parameter yang benar-benar saintifik untuk mencari product-market fit. Namun ada tiga hal yang setidaknya bisa dijadikan indikator yakni penggunaan produk, retensi pelanggan, dan aktivitas penjualan.

Metrik lain itu fana, yang abadi hanya profit

Memiliki produk yang ramai dibicarakan khalayak tentu kabar bagus. Namun trafik yang padat, engagement positif, tetaplah bukan pengganti yang tepat untuk penjualan dan strategi pemasaran yang matang.

Metrik-metrik seperti itu seringkali jadi pembunuh startup berusia dini. Mereka terlalu terpaku mengejar sesuatu yang tidak benar-benar menghasilkan penjualan atau adopsi pengguna baru. Hal lain yang harus dihindari jika investasi uang dan waktu mereka ternyata untuk strategi penjualan dan pemasaran yang tak akan bisa bertahan lama.

Ketika startup memutuskan untuk melakukan "bakar uang", mereka harus memperhatikan kalkulasi dan tujuan melakukannya

Bagaimana Seharusnya Startup Menerapkan “Bakar Uang”

Kurang dari muncul pemberitaan yang menyebutkan Lippo Group melepas sebagian sahamnya di platform dompet digital Ovo. Salah satu alasan yang diungkapkan adalah ketidakmampuan Lippo Group menyokong kegiatan cash burn rate atau “bakar duit” yang dilakukan secara masif.

Pertimbangan

“Bakar uang” bisa saja dilakukan namun tidak harus dilakukan. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan startup yang baru memulai bisnis dan menggunakan uang yang didapatkan dari investor untuk keperluan bisnis sebelum perusahaan menghasilkan keuntungan. Dari pendanaan yang diperoleh, kebanyakan startup menghabiskan uang yang besar jumlahnya untuk kegiatan tersebut. Alasannya tentu saja beragam, mulai dari akuisisi pengguna, brand awareness hingga keperluan untuk menambah tim hingga memindahkan kantor baru.

Saat ini, ketika banyak layanan e-commerce, penyedia dompet digital, hingga layanan transportasi ride-hailing melakukan kegiatan “bakar uang”, apakah menjadikan kegiatan tersebut wajib untuk dilakukan? Jawabannya tentu saja tidak. Jika pada akhirnya kegiatan ini menjadi rencana startup Anda, ada baiknya untuk melakukan pertimbangan dan kalkulasi akurat sebelum melancarkan kegiatan ini.

Burn rate selalu memiliki anggaran dan perlu dikeluarkan untuk mempercepat pertumbuhan. Ini bisa sepenuhnya dihindari tetapi sebagai hasilnya pertumbuhan akan melambat tetapi tidak berhenti. Jika pertumbuhan berhenti tanpa burn rate maka ada yang salah dengan produk,” kata CEO Dana Vincent Iswara.

Vincent melanjutkan, saat yang tepat untuk melakukan kegiatan ini adalah ketika produk sudah mengalami pertumbuhan sebelum kegiatan “bakar uang” mulai dilakukan. Kemudian saat yang tepat untuk berhenti adalah ketika biaya akuisisi mulai melebih anggaran yang ditentukan.

“Tentunya setiap industri memiliki kalkulasi yang berbeda-beda, tergantung dari customer lifetime value. Intinya adalah burn rate harus lebih rendah nilainya dari customer lifetime value,” kata Vincent.

Menurut Director of GK Plug and Play Indonesia Aaron Nio, kegiatan ini sah-sah saja dilakukan, tergantung pada industri yang disasar. Aturan umum praktis yang baik adalah kegiatan ini paling tidak sudah dipastikan hanya berjalan sekitar 6 bulan saja dan startup memiliki kemampuan untuk bisa bertahan. Dengan demikian ketika adanya perubahan yang terjadi secara drastis, semua bisa diantisipasi sejak awal.

Hal lain yang patut diperhatikan startup ketika ingin melakukan kegiatan bakar uang adalah unit ekonomi bisnis harus masuk akal.

“Saat yang tepat untuk mulai melakukan burn rate adalah ketika startup sudah melewati proses Product Market Fit, telah melakukan penggalangan dana untuk fokus kepada pertumbuhan, dan memiliki obyektif yang jelas serta target yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut.”

Cara menghitung burn rate

Pada dasarnya tidak sulit untuk melakukan kalkulasi burn rate perusahaan. Yang perlu diperhatikan, burn rate dapat dihitung dengan atau tanpa faktor pendapatan dimasukkan ke dalam persamaan. Perhitungan “dengan penghasilan” dapat membantu agar lebih memahami kelayakan jangka panjang dari pengeluaran perusahaan. Skenario “Tanpa penghasilan” adalah perhitungan skenario terburuk yang menunjukkan berapa lama perusahaan mampu bertahan jika semua penghasilan tiba-tiba terputus.

Untuk menghitung rata-rata burn rate bulanan dalam setahun, kurangi uang tunai saat ini dari modal awal Anda, lalu bagi dengan 12. Misalnya, jika perusahaan memiliki $500.000 pada tanggal 1 Januari dan $200.000 pada tanggal 31 Desember:

($500.000 – $200.000) ÷ 12 bulan = burn rate $25.000

“Menurut saya cara tepat melakukan kalkulasi burn rate adalah it’s anywhere you spend your money on, biasanya per bulan. Pengeluaran per bulan berapa, sama dengan kita manage our own financial kali ya. Sebulan habis berapa buat makan, bensin/transport, hiburan, utilitas. So a startup calculate their burn rate based on their monthly expense,” kata Investment Manager Merah Putih Inc Chrisvania Handita Nyssa.

Terlepas dari situasi tersebut saat perusahaan mulai melakukan kegiatan “bakar uang”, pastikan setidaknya kegiatan tersebut dilakukan selama enam bulan. Kurang dari itu bisa jadi perusahaan tidak siap menerima perubahan pendapatan atau pengeluaran yang tidak terduga.

Dengan kata lain, pengeluaran bulanan perusahaan tidak boleh masuk ke modal minimum yang dibutuhkan, agar bisnis tetap berjalan selama enam bulan ke depan.

Pertumbuhan vs profit

Saat ini sudah banyak investor yang memilih untuk fokus ke profit dibandingkan growth. Jika sebelumnya metrik growth menjadi raja, kini tren tersebut sudah mulai beralih ke profit atau margin dan bagaimana perusahaan bisa memperoleh pendapatan positif tanpa harus bergantung kepada kegiatan “bakar uang”.

Menurut Managing Partners Jungle Ventures David Gowdey, langkah tersebut sebaiknya diambil untuk menghindari potensi permasalahan di masa mendatang.

“Sejak awal kita selalu mengajak pendiri startup untuk memikirkan margin atau profit dibandingkan GMV, sehingga rencana dan target dalam jangka panjang sudah bisa ditentukan, bukan hanya prediksi atau target saja. Kita juga melakukan pendekatan yang unik saat mencari startup yang memiliki potensi, yaitu startup yang sedang tidak melakukan penggalangan dana. Mereka yang kami cari,” kata David.

Perusahaan yang meningkatkan pendapatan dengan cepat dan dengan margin kotor yang tinggi seringkali harus berinvestasi lebih banyak dari modal yang mereka miliki ke pertumbuhan.

Ketika perusahaan telah menemukan Product Market Fit, perusahaan akan tumbuh dengan cepat dan kesempatan untuk merebut market share terbuka lebar sebelum persaingan dengan pemain lainnya. Idealnya investasi yang baik dari dana tersebut adalah memperkuat tim engineer, kantor baru (jika memang benar-benar dibutuhkan), dan kegiatan pemasaran.

“Pada akhirnya memang burn rate tidak bisa dihindari, namun jika digunakan secara tepat dan efisien, ke depannya bisa memberikan hasil yang positif untuk perusahaan. Yang paling mengerti bagaimana mengelola kegiatan ini tentu saja pendiri startup dan tim terkait, karena mereka yang paling familiar dengan berbagai kendala dan tantangan yang ditemui. Untuk itu pastikan mengambil keputusan yang tepat, apakah kegiatan ‘bakar uang’ ini perlu dilakukan, untuk keperluan apa atau tidak perlu dilakukan,” kata Chrisvania.

Tanggung jawab pendiri

Menurut Paul Graham dari Y Combinator, penyebab jatuhnya startup adalah kehabisan uang atau keputusan mundur para pendiri. Seringkali keduanya terjadi secara bersamaan.

Hal lain yang wajib diperhatikan startup baru adalah memahami dengan benar pengeluaran perusahaan. Kebanyakan pendirinya tidak mengetahui berapa pengeluaran dan operasional perusahaan, karena fokus pendiri adalah bagaimana perusahaan bisa tumbuh dengan cepat. Pendiri startup wajib memonitor dan melakukan ulasan pengeluaran secara berkala, agar bisa merumuskan langkah tepat saat “bakar uang” tidak perlu dilakukan lagi.

Pendiri startup harus memastikan perusahaannya memiliki neraca yang kuat dan bisnis yang tumbuh dengan baik sehingga memungkinkannya mendapatkan modal lanjutan untuk mendukung kegiatan “bakar uang”.

Yang perlu diingat adalah semakin masif kegiatan “bakar uang” dilakukan, semakin tinggi pengaruh investor terhadap perusahaan jika pada akhirnya mereka mulai kehabisan uang dan tidak memiliki opsi lain.