Tag Archives: Bank Digital

Dirut Bank Raya Kaspar Situmorang. Bank Raya diposisikan sebagai "digital attacker" BRI

Bank Raya: Kami Ingin Dorong Pekerja “Gig Economy” Naik Kelas

Dalam wawancara eksklusif DailySocial, Direktur Utama Kaspar Situmorang cukup banyak menyoroti manajemen aset dan liabilitas sebagai manifestasi untuk bertransformasi melayani pekerja gig economy atau pekerja informal. Ia punya misi jangka panjang, yakni menaikkelaskan pelaku gig economy, baik itu pemilik warung makan, pedagang, atau pekerja salon.

Kaspar, yang sebelumnya menjabat EVP Digital Banking BRI, berupaya memanfaatkan kekuatan ekosistem milik induk usaha untuk mencapai misi tersebut.

Bagaimana strategi dan pengembangan produk usai berganti identitas menjadi Bank Raya?

Bagaimana proses transformasi Bank Agro ke Bank Raya?

Jawab: Transformasi ini berawal dari buah pikiran Sunarso, Direktur Utama BRI, untuk melakukan transformasi digital BRIvolution. Goal-nya adalah go smaller, go faster, go shorter, dan go cheaper. Melayani sebanyak mungkin dengan biaya sekecil mungkin.

Ada dua objek transformasi [BRI Agro], yakni digital dan work culture. Kedua hal ini telah dirancang Pak Sunarso sejak 2017, di mana saat itu eksekusinya dilakukan bersama Pak Indra Utoyo sebagai Direktur Operasi dan Teknologi Informasi dan Digital Center of Excellence (DCE). Kami siapkan SDM, teknologi, dan data. Pak Sunarso tanya apakah kita sudah siap, karena saat itu kompetitor sudah mulai jalan. Karena Pak Indra Utoyo bilang sudah siap, keputusan diambil pada April 2021 untuk pivot Agro menjadi bank digital BRI.

Identitas Agro berganti menjadi Raya pada April 2021. Fokusnya menjadi digital attacker Grup BRI agar dapat mengamplifikasi layanan perbankan digital secara maksimal. Pembukaan [rekening], pinjaman dilakukan secara digital. Tidak ada manusia di tengah-tengah.

Bagaimana transisi leadership Anda dari BRI ke Bank Raya?

J: Saya banyak belajar kepemimpinan dari Pak Sunarso dan Pak Indra Utoyo. Mereka mengajarkan leadership itu harus by example, memiliki framework, dan kerangka berpikir. Jadi tidak mengarang. Kepemimpinan harus memiliki kompetensi pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Tanpa ketiganya tidak bisa. Jadi, kita harus bisa fit karakter dan model kepemimpinan sesuai perusahaan dan ekosistemnya. Saya merasa fit dengan ekosistem karena belajar dari mereka.

Pak Sunarso juga menciptakan ruang kepemimpinan bagi generasi muda yang bekerja di Grup BRI di anak-anak usaha, baik itu Raya, Pegadaian, atau PNM. Mereka ditempatkan di sana untuk mengasah problem solving, strategic thinking, maupun eksekusi.

Bagaimana framework transformasi Raya?

J: BRI punya framework transformasi digital yang fokus pada pilar eksploitasi dan eksplorasi. Di sisi eksplorasi, bank digital adalah outcome sebagai potensi bisnis dan revenue stream baru bagi Grup BRI. Dengan begitu kami tidak didisrupsi. BRI juga mengirimkan beberapa puluh orang dari divisi Digital Center of Excellence (DCE) ke Raya, termasuk saya, untuk membangun produk, IT, basis data, dan keamanan lebih cepat.

Setelah Bank Raya berdiri, kami menyederhanakan framework ke dalam tiga pilar; digital, digitize, dan revamp. Pilar digital fokus pada pengembangan produk keuangan, tabungan atau pinjaman, secara end-to-end. Pilar digitize fokus pada business process karena sebelumnya masih terbilang toxic. Kami perbaiki semua agar model bisnis digital ini dapat berjalan lancar. Banyak proses di perbankan yang harus didigitasi agar bisa align dengan pilar pertama.

Pilar revamp adalah menata kembali business legacy. Bank Raya bukan barang baru yang [setelah transformasi] lalu siap lari. Sebelumnya Agro bermain di sektor sawit. Kemudian, kami hentikan kredit korporasi dan tata ulang. Ada beberapa cabang ditutup, ada juga yang dialihfungsikan supaya biaya lebih optimal. Utamanya, supaya [transformasi] pada aspek people dan work culture bisa maksimal.

Aspek keuangan itu adalah outcome, tapi di bawahnya ada customer, business process, dan people. Kalau sudah di-retrain, rescale, mereka bisa melayani customer, karena ini adalah bisnis jasa.

Mengapa mengincar pasar gig economy?

J: Visi-misi Raya adalah menjadi house of fintech dan home for gig economy. Mengapa? Dengan memiliki manajemen aset dan liabilitas yang lebih baik, gig economy akan semakin bertumbuh. Data BPS di 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 46 juta pekerja informal tanpa slip gaji. Proyeksinya bertambah menjadi 74 juta pada 2024. Ini menjadi hipotesis kami melayani pekerja gig economy.

Untuk memahami perbankan, kita harus belajar pohon ilmunya, yakni manajemen aset dan liabilitas. Apapun banknya, baik itu bank digital, bank hybrid, atau bank syariah, semua akan fokus pada kedua hal itu.

Dulu Agro memiliki dana dan simpanan dalam jangka pendek, tetapi kreditnya jangka panjang. Kredit korporasi punya tenor 5-10 tahun. Namun, sumber pendanaan berjangka pendek semua, 3 bulan. Ini sulit. Makanya, kami transformasi Raya dengan mengubah manajemen aset dan liabilitasnya. Pinjaman jangka panjang diubah menjadi harian dengan sumber pendanaan bulanan.

Kami survei untuk validasi masalah. Pekerja ini butuh kasbon dengan kredit pendek-pendek. Pembayaran dipotong ketika gajian. Jadi, [kebutuhan] kredit harian dan sumber dana bulanan match dengan pasar pekerja gig economy yang kami bidik melalui produk tabungan dan pinjaman digital kami. Ini hal menarik yang terjadi di era kita. Tanpa validasi pasar, kebutuhan, dan user experience, mengembangkan sesuatu tidak akan ada fokusnya.

Lalu, mengapa house of fintech? Sewaktu menjadi EVP di BRI, kami mendapat amanah untuk membangun BRI Ventures dengan modal awal Rp1,5 triliun. Kami mulai investasi di startup tahap awal hingga unicorn karena kami lihat disrupsi akan datang dari non-bank. Jadi kami harus menyelami cara berpikir.

Dari sini kami melihat bagaimana Raya bermetamorfosis menjadi platform. Apapun layanan di Raya, itu harus bisa bermetamorfosis menjadi platform yang kami sebut Raya API. Kami percaya melalui open API, kami dapat mengintegrasikan ekosistem. Raya bekerja sama dengan BRI, itulah cara kami merajut ekosistem.

Bagaimana memanfaatkan ekosistem milik BRI?

J: Kami belajar dari WeBank dan KakaoBank, yang sudah profit, bahwa ekosistem merupakan kunci keberhasilan. Tanpa itu, tidak mungkin main di bank digital. Kalau menjadi bank hybrid, cost of acquisition tinggi dan customer lifetime tidak lama. Jadi, ekosistem adalah harga mati. Makanya, BRI mengamanahkan ekosistem BRILink agar dapat dikelola Raya, baik dari sisi manajemen aset maupun liabilitas.

Selain itu, bank, khususnya bank digital, jika ingin survive harus memiliki strategi yang spesifik pada manajemen aset dan liabilitas. Dari sudut pandang bankir, bank tanpa kedua hal ini pasti gagal. Prinsip ini kami terapkan di internal untuk menciptakan keunggulan produk. Saya melihat banyak bank di Indonesia yang [menawarkan] pinjaman dengan tenor tahunan, tetapi sumber pendanaan jangka pendek. Belum ada yang harian seperti kami.

Kami diberi amanah oleh BRI untuk menyelesaikan isu likuiditas yang dialami agen BRILink melalui pinjaman PINANG. Mereka punya uang kas banyak, tetapi saldo BRILink sedikit. Jadi, sulit untuk bertransaksi karena tidak ada saldo. Ketika mau setor uang, bank sudah keburu tutup. Makanya, dana talangan ini dapat dipakai untuk kebutuhan cepat. Kira-kira ada sekitar setengah juta agen BRILink di Indonesia.

Bank Raya sudah menyalurkan hampir setengah triliun disbursement ke 12.000 agen BRILink. Target kami dapat mengakuisisi 50.000 agen BRILink. Integrasinya sudah seamless sehingga agen BRILink tidak perlu ganti aplikasi karena PINANG sudah embed di dalam aplikasinya. Model transformasi manajemen aset dan liabilitas ini diterjemahkan ke dalam bentuk API dan web view dengan BRILink sebagai salah satu mitra kami.

Bagaimana profil pengguna Bank Raya? Fitur apa saja yang akan disiapkan?

J: Kami melihat profil pengguna tabungan Raya sudah melek digital. Pada 2020 ada banyak lay off pekerja karena pandemi. Menurut data BPS, mereka yang terkena lay off memanfaatkan banyak aplikasi di smartphone untuk mencari penghasilan. Misalnya, ojek online atau berjualan online. Artinya, pekerja gig economy ini adalah pekerja produktif yang memanfaatkan smartphone.

Gig economy sangat luas sekali. Kami membagi target pasar kami ke dalam tiga kategori, yakni F&B, retail, dan jasa. Dari ketiga sektor ini, kami coba garap fitur sesuai kebutuhan mereka. Semoga bisa kami rilis tahun ini. Kami belum bisa share banyak, tetapi fitur ini berkaitan dengan payroll. Kami ingin bantu pekerja gig supaya naik kelas. Sayang kalau mereka tidak bisa ajukan kredit motor atau KPR hanya karena tidak ada slip gaji. Ini yang bakal mentransformasikan pasar gig economy di Indonesia.

Raya juga bersinergi dengan aplikasi BRImo untuk pembukaan rekening. Kami mendapat izin yang memampukan pengguna memiliki simpanan yang di-embed di aplikasi BRImo. Jadi, customer tidak perlu keluar dari ekosistem BRI. Inilah mengapa kami diminta menjadi digital attacker BRI sehingga dapat leverage kekuatan sendiri.

Kami juga sinergi untuk tarik/setor tunai di seluruh ATM milik BRI tanpa kartu yang [meluncur] Agustus nanti. Transaksinya hanya menggunakan aplikasi dan memakai token. Raya akan kami arahkan untuk cardless dan cashless dengan pembayaran menggunakan QRIS. Selain itu, kami berencana masuk ke produk pinjaman dengan BRI secara cardless. Kami tidak mengajukan izin sebagai issuer sehingga kami pakai [lisensi] BRI sebagai issuer.

Semua ini menjadi pintu masuk ke BRI. Apabila basis pengguna tabungan Raya sudah terbentuk, mereka bisa naik kelas ke pinjaman di atas Rp1 miliar misalnya. Ini akan kami refer ke BRI.

Bagaimana Anda melihat kompetisi bank digital saat ini?

J: Setiap bank memiliki keunggulan dan ekosistem masing-masing. PR kami adalah bagaimana mentransformasi manajamen aset dan liabilitas dengan disipilin pada eksekusinya. Kata kunci keberhasilannya adalah mereka yang paling disiplin, paling cepat, dan paling konsisten dalam menciptakan keunggulan yang berkesinambungan. Dalam perbankan ini artinya cost of acquisition paling rendah dengan customer lifetime value paling tinggi.

Termasuk juga bagaimana media dapat mengedukasi pasar bahwa bank digital tidak hanya bicara soal valuasi, tetapi menciptakan nilai tambah dari ekosistem yang diamanahkan kepada kami.

Application Information Will Show Up Here

Ubah Transaksi Menjadi Cicilan Dengan Fleksibel Menggunakan Split Pay Dari Jenius

Pionir bank digital tanah air, Jenius dari Bank BTPN, terus berkomitmen menghadirkan layanan finansial yang lengkap dan relevan. Salah satunya yaitu dengan memperkenalkan fitur Split Pay yang membantu pengguna merevisi transaksi yang telah dilakukan menjadi cicilan dengan sumber dana yang terhubung dengan produk Flexi Cash (produk pinjaman personal Jenius).

Split Pay memberikan fleksibilitas keuangan bagi seluruh kalangan pengguna Jenius. Secara garis besar, seluruh transaksi mulai dari Rp500 ribu yang dilakukan dalam enam bulan terakhir, kini dapat diubah menjadi cicilan yang dapat disesuaikan dengan preferensi pengguna. Dalam laman resmi Jenius, terjabar daftar transaksi yang dapat diubah menjadi cicilan mulai dari; transfer ke sesama dan antarbank, tarik tunai, pembayaran melalui QR code, transaksi dengan Jenius Pay, top up e-wallet, pembelian saldo mata uang asing, hingga pembayaran tagihan (kecuali zakat dan lainnya).

Lalu bagaimana cara menikmati layanan Split Pay ini? Setelah bertransaksi pengguna dapat langsung memilih opsi cicilan dengan Split Pay melalui widget yang muncul bersamaan dengan notifikasi pembayaran berhasil atau melalui halaman rincian transaksi. Dengan fleksibilitas yang ditawarkan, pengguna dapat menentukan sendiri tenor cicilan sesuai dengan kemampuan pengguna.

Satu hal tambahan, layanan Split Pay ini hanya dapat digunakan oleh pengguna Jenius yang sudah memiliki Flexi Cash, produk pinjaman personal untuk beragam kebutuhan dengan limit hingga Rp200 juta. Setiap menggunakan Split Pay, limit Flexi Cash pengguna akan dipotong sesuai dengan sejumlah transaksi yang dipilih untuk diubah menjadi cicilan. Fitur Split Pay membantu pengguna untuk mengelola jenis transaksi secara fleksibel. Dalam kondisi mendesak misalnya, fitur Split Pay akan sangat membantu pengguna untuk memiliki kebebasan dalam merevisi transaksi yang disesalkan dengan mengubahnya menjadi cicilan.

“Terkadang kita gegabah mengambil keputusan dan bertransaksi tanpa perhitungan matang. Di lain waktu kita menyesal telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli sebuah barang dan berharap bisa merevisi transaksi yang telah terjadi sehingga cashflow berantakan karena keliru melakukan perhitungan. Fitur Split Pay hadir sebagai solusi dari pain points tersebut sehingga pengguna dapat mengubah transaksi yang telah terjadi menjadi cicilan dan cash flow dapat tetap terjaga,” ujar Waasi B. Sumintardja, Digital Banking Business Product Head Bank BTPN seperti yang dikutip dari siaran pers.

Lebih lanjut, dalam keterangannya dikatakan pada riset yang dilakukan oleh Jenius beberapa waktu lalu terhadap 116 responden dengan rentang usia 21–40 tahun, ada tiga alasan utama masyarakat dalam memutuskan memilih transaksi dengan metode cicilan. Disebutkan, sebanyak 38% responden mengatakan untuk mengatur cash flow dengan baik, 18% untuk mengurangi beban pembayaran, dan 16% mengaku akses produk cicilan mudah dilakukan. Dari hasil survei yang sama, 86% responden memilih metode cicilan ketika melakukan transaksi pada e-commerce dan 14% pada offline store atau merchant.

“Jenius ingin hadir sebagai layanan finansial yang lengkap dan terintegrasi. Setelah beragam fitur revolusioner yang sudah Jenius miliki mulai dari menghadirkan kemudahan dalam bertransaksi, menabung, dan berinvestasi, kami juga menjadi semakin lengkap dengan memperkenalkan Split Pay dan Cicilan Jenius Pay yang terhubung dengan Flexi Cash sebagai sumber dana pembayaran yang dapat dipilih oleh nasabah sesuai preferensi dan keadaan,” imbuh Waasi dikutip dari sumber yang sama.

Tertarik untuk mengenal fitur Split Pay dari Jenius dan mengelola transaksi secara fleksibel? Kunjungi tautan berikut ini untuk informasi selengkapnya.

Advertorial ini didukung oleh Jenius.

Direktur Utama Allo Bank Indra Utoyo

Indra Utoyo: Integrasi Awal Allo Bank Sasar Ekosistem Ritel dan “Supply Chain” CT Corp (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.

Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?

Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.

Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.

Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.

Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.

Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.

Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.

Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?

J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.

Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.

Sumber: CT Corp

Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.

Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?

J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.

Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.

Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.

Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.

Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?

J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?

J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.

Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.

Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.

Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.

Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.

Direktur Utama Allo Bank Indra Utoyo

Indra Utoyo: Proses Belajar yang Tak Pernah Berhenti untuk Ciptakan “Value-Driven Innovation” (Bagian I)

Kecintaan Indra Utoyo terhadap teknologi, digital, dan inovasi tak pernah padam sekalipun ia berpindah haluan dari telekomunikasi hingga berlabuh ke perbankan. Alih-alih mencapai posisi kemapanan, ia justru mengaku ingin terus belajar dan menemukan hal-hal baru.

Belasan tahun ia habiskan untuk memperkuat pondasi Telkom sebagai penyedia konektivitas terbesar di Tanah Air sampai akhirnya ia dipercaya untuk memimpin transformasi digital bank BUMN BRI .

Pada gelaran program gagasannya Indigo enam tahun lalu, ia sempat mengatakan bahwa peran entreprenuer muda sangat penting dalam memecahkan masalah dengan cara baru di era digital yang laju perkembangannya sudah tak terbendung lagi.

Ia berharap legacy yang ia tinggalkan dapat terus dibagikan sehingga dapat melahirkan generasi-generasi entreprenuer bertalenta. Kini ia menikmati babak barunya untuk memupuk talenta serta mengorkestrasi layanan dan inovasi di Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat perjalanan karier Anda dari sektor telekomunikasi sampai ke perbankan?

Jawab: Sebetulnya berkarier [di perbankan] tidak saya rencanakan. Saya bekerja di Telkom selama hampir 17 tahun, di mana 10 tahun terakhir menjadi direksi. Di Telkom, saya mengeksplorasi hal baru, baik itu inovasi, IT, hingga digital. Di situlah [perjalanan di dunia digital] saya dimulai. Saya juga mendirikan program inkubator dan akselerator Indigo.

Kemudian, saya pindah ke BRI yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Saat itu saya diminta untuk membenahi sistem IT dan memimpin transformasi digital supaya BRI bisa beradaptasi dan tetap relevan bagi nasabah di era digital. Saya melakukan inovasi, mengembangkan produk digital banking — ada PINANG dan CERIA — dan melakukan massive collaboration dengan pemain digital.

Alhadumdulillah, BRI kini sudah punya pondasi yang baik. Saya membangun digital BRI dengan future-ready IT dan arsitektur di masa depan. Saya siapkan agar dapat mengakomodasi volume yang besar. Itu legacy yang saya tinggalkan [di Telkom dan BRI]. Namun, yang terpenting adalah meninggalkan talent dan culture yang terus membaik.

Apakah kemampuan dan kapabilitas Anda selama ini di telekomunikasi menjadi lebih tereskalasi begitu masuk ke perbankan?

J: Ini pertanyaan bagus. Memang saya merasakannya ketika berkarier di perbankan. Yang membuat saya tertarik adalah bagaimana bank konvensional memadukan layanan banking dengan teknologi karena bisa emerge dengan sektor lain. Kita merasa tumbuh karena proses belajar terus berjalan.

Bank bicara segmen B2C, B2B, atau SME. Bank mendorong inisiatif bisnis untuk tumbuh. Apalagi ada mata rantai di belakangnya. Pemilik bisnis dibantu dengan layanan keuangan. Makanya bank agak berbeda karena lekat dengan semua sektor. Apapun bisnisnya pasti butuh layanan keuangan. Untuk simpan uang atau pembiayaan misalnya. Bank memahami business process. Itulah peran bank.

Ini yang membedakan telekomunikasi dengan perbankan karena sifatnya horizontal bukan vertikal. Sektor telekomunikasi fokus pada platform dan punya basis data kuat. Sebagai penyedia konektivitas dan penyimpanan data, perannya bagus. Selain itu juga mengakomodasi kebutuhan harian konsumen, misalnya pulsa atau paket data. Namun, telekomunikasi kurang dalam hal konteks [bisnis] sebuah sektor, kurang menguasai business process dari konsumen.

Di Telkom, ada misi [membangun] ekosistem digital. Saat itu saya mengembangkan [solusi digital], seperti health dan logistic. Namun, sebetulnya model bisnis Telkom adalah platform, infrastruktur. Sementara business process di sektor terkait bukan ranah Telkom. Artinya, butuh partner di sektor itu agar Telkom bisa engage dengan konsumennya.

Bagaimana Anda bertransisi dari BRI yang notabene fokus ke UMKM ke Allo Bank yang didukung mega ekosistem CT Corp?

J: Ini menarik. Saya menyadari bahwa kita perlu terampil berkolaborasi. Leadership akan berbeda, bukan lagi memimpin satu perusahaan, melainkan menyelaraskan dengan ekosistem. Kita mengorkestrasi ekosistem yang didukung frekuensi, kecepatan, dan pola pikir yang sama.

Misalnya, ada pertukaran value antara Allo Bank dengan Transmart. Belanja di Transmart cukup bahwa ponsel. Mungkin mereka akan merasa kolaborasi ini dapat menghasilkan data, jadi tahu apa yang disukai konsumen. Kita bisa lebih engage untuk memberikan hal baru. Konsumen bisa sering bertransaksi karena layanan lebih personalized. Jadi ke depan bisa semakin relevan. Ini semua menjadi value-driven. 

Di awal, mungkin masih banyak PR. Pemahaman di ekosistem masih baru, produk perlu banyak di-improve. Perlu waktu untuk menguasai produk sampai di tahap ‘oh pakai Allo Bank bisa lebih tumbuh’, itu seninya. Tantangannya bagaimana bermain sebagai ekosistem dan melakukannya bersama dengan tim. Pada dasarnya, semua akan bicara value.

Dari BUMN kini ke perusahaan swasta, apakah Anda kini merasa lebih nyaman untuk deliver sebuah inovasi?

J: Mestinya lebih mudah karena [sebelumnya] sistemnya lebih rigid dengan tata kelola sedemikian panjang. Sementara, di sini kita lebih punya speed yang diseimbangkan dengan kualitas. Speed bisa lebih dominan. Namun, saya tidak suka kemapanan dan senang terhadap hal-hal baru. Sejak di Telkom, saya memang begitu. Kalau kamu tanya apa INDIGO punya KPI? Ya tidak ada. Itu saya bikin sendiri sehingga jadi lah sesuatu. Maka itu, kita harus memadukan entrepreneurship dan strategic management.

Untuk menghadapi hal-hal yang tidak pasti, butuh keberanian mencoba. Ini saya terapkan ketika di Telkom maupun BRI. Sementara CT Corp berawal dari entrepreneurial sehingga lebih mudah pada aspek kecepatan. Yang penting, arahnya jelas dan punya pondasi kuat untuk memanuver gerakan kita ke depan. Ini sedang saya bangun di Allo Bank, tentu didukung Pak CT dan grup. Bagaimana Allo Bank bisa siap ke depan, tak hanya kecepatan, tapi fokus untuk menciptakan value.

Sebagai seseorang yang passion terhadap teknologi dan digital, apakah ada yang ingin Anda eksplorasi maupun belum tercapai saat ini?

J: Perjalanan saya masih jauh dan masih tahap awal, tetapi saya punya aspirasi yang jelas, yakni bagaimana menghadirkan kehidupan dalam satu genggaman, all in one.

Ke depan arahnya ada AI, crypto, hingga blockchain. Sekarang kita bicara Web3, tapi Jack Dorsey (Co-founder Twitter) sudah bicara Web5. Artinya, kita harus adaptasi terus agar dapat memberikan value baru dengan model bisnis yang saya rasa akan terus berkembang dengan Web3.

Kita juga akan berhadapan dengan kompetitor yang membawa pendekatan baru. Ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan berhenti untuk beradaptasi dan bertransformasi supaya [implementasi] bisa semakin luas.

Sea Bank Akuisisi Bank Mayora

BNI Gandeng Sea Group Jadi Mitra Teknologi Usai Rampungkan Akuisisi Bank Mayora

Perusahaan raksasa internet Sea Group kembali terlibat dalam kolaborasi bank digital di Indonesia. Kali ini, PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) mengumumkan bahwa Sea Group akan menjadi mitra teknologi Bank Mayora.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan proses akuisisi Bank Mayora sudah rampung dan saat ini sedang menyusun pengembangan bisnisnya. “Sea Group terlibat dalam penyusunan model bisnis, termasuk mendesain IT untuk Bank Mayora,” tutur Royke dalam konferensi pers beberapa waktu lalu seperti diberitakan Bisnis.com.

Pemegang saham BNI telah memberi lampu hijau terhadap akuisisi Bank Mayora lewat RUPS Tahunan pada Maret 2022. BNI mencaplok sebesar 63,92% saham atau setara 1,19 miliar saham Bank Mayora dari total saham ditempatkan dan disetor ke Bank Mayora.

Menariknya, Royke juga bilang akan membuka kesempatan kepada induk usaha Shopee tersebut untuk memiliki memiliki sebagian saham Bank Mayora. “Saat ini belum, tapi kami terbuka untuk terdilusi kepemilikannya dari 60 sekian persen menjadi 50 persen apabila Sea mau ambil porsi,” ucapnya.

Sebagai informasi, ini menjadi kali kedua Sea Group terlibat pada bank digital di Indonesia. Sebelumnya, Sea Group mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) tahun lalu. Kemudian, Bank BKE berganti nama menjadi Seabank. Adapun, Sea Group telah mendapat lisensi bank digital penuh di Singapura pada Desember 2020, melalui konsorsium bersama Grab-Singtel.

Keterlibatan Sea Group

Fakta bahwa bank BUMN menggaet mitra teknologi dari luas, cukup menimbulkan pertanyaan. Apakah ini berkaitan juga dengan pangsa pasar dan sinergi yang akan diincar Bank Mayora?

Sea group memiliki kapabilitas teknologi yang tidak diragukan, terutama melalui bisnis Shopee yang punya pangsa dan posisi kuat di pasar marketplace Indonesia. Shopee memiliki ekosistem layanan yang lengkap, mulai dari marketplace, dompet digital, food delivery, hingga mart. Pertumbuhan Shopee utamanya didorong dari transaksi mobile oleh pelaku UMKM. Berdasarkan data Similarweb per Maret 2022, kunjungan bulanan ke desktop dan mobile Shopee mencapai 131,6 juta.

Dalam catatan kami, Bank Mayora nantinya akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan produk keuangan digital.

Sebagai perbandingan dengan bank BUMN lain, BRI lewat Bank Raya (sebelumnya BRI Agro) akan masuk ke pasar gig economy. Sementara, Mandiri yang memilih mengembangkan produk existing Mandiri Livin‘, akan memperkuat ekosistemnya sebagai super app untuk segmen retail dan wholesale.

Sementara dalam konteks kolaborasi dengan marketplace lokal, bank digital “blu” yang juga anak usaha BCA, sudah berafiliasi dengan Blibli. Keduanya sama-sama merupakan anak usaha dari perusahaan konglomerasi Grup Djarum. Kemudian, ada Gojek yang mencaplok saham Bank Jago, hanya saja saat itu Gojek belum resmi merger dengan Tokopedia.

Bukalapak juga telah berafiliasi dengan sejumlah bank, di antaranya kemitraan banking-as-a-service (BaaS) dengan Standard Chartered dan sebagai investor strategis di Allo Bank milik CT Group.

Xendit menyampaikan aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. Dua pihak lainnya, PT Sumber Digital Teknologi maupun Xendit sendiri (PT Sinar Digital Terdepan) tidak terlibat dalam pengelolaan

Xendit Klarifikasi Tidak Terlibat dalam Pengelolaan Aplikasi Bank Digital “Nex”

Xendit mengeluarkan pernyataan resmi terkait keterlibatannya dalam pengembangan aplikasi digital banking Nex. Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit menyampaikan aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. Dua pihak lainnya, PT Sumber Digital Teknologi maupun Xendit sendiri (PT Sinar Digital Terdepan) tidak terlibat dalam pengelolaan.

“Aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji coba terbatas, dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna,” tulis manajemen.

Pernyataan yang dikeluarkan Xendit ini untuk meluruskan pemberitaan sebelumnya yang ditayangkan DailySocial.id, menyebutkan bahwa aplikasi Nex dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya berdasarkan laman Kebijakan Privasi.

Dari pantauan DailySocial.id, fitur awal yang ditawarkan Nex adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Penawaran tersebut cukup lumrah seperti bank digital kekinian lainnya.

Sebelumnya Xendit mengonfirmasi telah melakukan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna dan akan menjadi mitra teknologi bank untuk mengembangkan infrastruktur teknologi, serta meningkatkan proses internal dan produk.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Xendit menjadi startup fintech berikutnya yang serius menggarap bank digital. Di antaranya, ada induk Kredivo yang resmi menguasai 75% saham Bank Bisnis Internasional, Grab dan Singtel sebagai investor strategis Bank Fama, Modalku dan Carro berinvestasi di Bank Index, dan Ajaib Group genggam 40% saham Bank Bumi Artha. Selebihnya masih sekadar rumor, tinggal tunggu kabar peresmiannya, seperti Amartha yang dikabarkan akan akuisisi Bank Victoria Syariah.

Application Information Will Show Up Here
Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna, kini kuasai 14,96 persen saham. Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna

Xendit Kini Kuasai Hampir 15 Persen Saham Bank Sahabat Sampoerna [UPDATED]

Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna. Nantinya, Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna untuk mengembangkan infrastruktur teknologi kelas dunia dan terus meningkatkan proses internal dan produk yang tersedia.

Dalam keterangan resmi, tidak disebutkan persentase saham Bank Sampoerna yang kini dimiliki Xendit. Namun menurut pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Xendit akan mengempit saham secara bertahap hingga 51% menjadi pemegang mayoritas.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Co-founder dan CEO Xendit Moses Lo menyampaikan kedua perusahaan akan terus berjalan secara independen, tanpa mengubah produk dan layanan yang ada. “Kami akan bekerja sama unutk menetapkan arah strategis jangka panjang,” ujar Lo dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

“Xendit dan Bank Sampoerna telah menjadi mitra sejak awal Xendit di Indonesia. Dengan investasi ini, Xendit bangga dapat mendukung Bank Sampoerna dalam mengembangkan infrastruktur digital Bank dan terus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital bangsa.”

CEO Bank Sampoerna Ali Rukmijah turut menambahkan, “Kolaborasi telah menjadi titik sentral Bank Sampoerna dalam melayani bisnis mikro dan UKM. Dukungan dari Xendit tentunya akan meningkatkan kemampuan layanan kami. Peningkatan tersebut akan terlihat dari segi kapasitas layanan, cakupan, dan yang tidak kalah pentingnya, kualitas & inovasi.”

Bank Sampoerna adalah bank swasta Indonesia yang fokus pada bisnis mikro, UKM dan banking-as-a-service kepada bisnis berbasis teknologi. Selama bertahun-tahun, Bank Sampoerna terus berinovasi dan berinisiatif mengembangkan layanan transaksi perbankan yang inovatif dengan mengoptimalkan teknologi di berbagai produk dan layanan digital. Hal ini dilakukan melalui integrasi teknis dan berbagai format yang disediakan oleh bank.

Aplikasi Nex

Saat ini, Xendit tengah mengujicoba secara terbatas aplikasi bank digital Nex. Nex akan memanfaatkan kapabilitas perbankan milik Bank Sampoerna dan teknologi yang ditawarkan Xendit. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan pengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar Iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit memberikan pernyataannya. Mereka bilang, aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji-coba terbatas dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna.

“Aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai) maupun PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) tidak terlibat dalam pengelolaan aplikasi ini,” tulis manajemen.

Akuisisi perusahaan pembiayaan

Sebelumnya, Xendit juga mengonfirmasi akan membeli saham perusahaan pembiayaan PT Global Multi Finance. Langkah ini terkait dengan rencana Global Multi Finance merger dengan PT Emaas Persada Finance.

“Yang saat ini diumumkan di media adalah rencana aksi korporasi dari Globalindo Multi Finance mengenai perubahan kepemilikan. Xendit group nantinya menjadi salah satu pemilik dari Globalindo Multi Finance,” ujar perwakilan perusahaan mengutip dari Katadata.

Tidak dirinci lebih lanjut terkait besaran saham yang akan diakuisisi Xendit nantinya. Sebab, dia bilang masih berlangsung proses administrasinya dan akan disampaikan ketika rampung. Dilanjutkan, masuknya ke perusahaan pembiayaan ini nantinya akan memberikan produk-produk pembiayaan sebagai nilai tambah.

 

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari manajemen Xendit terkait Nex.

Application Information Will Show Up Here
Unicorn Xendit dikabarkan beli saham Bank Sahabat Sampoerna secara bertahap sampai 51% untuk hadirkan aplikasi bank digital Nex

Xendit Dikabarkan Bidik Bank Sahabat Sampoerna

Xendit turut berpartisipasi dalam gemuruh persaingan bank digital di Indonesia. Startup yang memperoleh status unicorn tahun lalu ini dikabarkan membidik  saham mayoritas di Bank Sahabat Sampoerna. Sumber DailySocial.id menyebutkan, aksi korporasi akan dilakukan secara bertahap sampai akhirnya menguasai 51%.

DailySocial.id berusaha menghubungi perwakilan Xendit untuk meminta respons, tapi hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan yang diberikan.

Akuisisi tersebut disinyalir menjadi pemulus langkah perusahaan melalui aplikasi bank digitalnya, Nex. Saat ini perusahaan tengah melakukan uji coba untuk internal dan membuka daftar tunggu (waitlist) untuk umum. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan mengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Sebelumnya, Xendit juga memiliki saham di BPR Xen. Mengacu di data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat.

Co-founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan terafiliasi perusahaan karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

“Xendit baru saja menjalin kemitraan strategis dengan PT BPR Xen, sebuah BPR yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. PT BPR Xen dan PT Sinar Digital Terdepan merupakan dua entitas terpisah dan tidak terafiliasi secara kepemilikan,” ujar juru bicara Xendit. Mereka pun mengaku masih dalam tahap eksplorasi terkait kemitraan tersebut bagaimana dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Bank Sahabat Sampoerna

Secara terpisah, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Finance & Business Planning Director Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra menyampaikan bahwa perbankan tengah berusaha memenuhi ketentuan permodalan inti Rp3 triliun sampai akhir tahun ini. Opsi terdekat yang tengah dijajaki adalah menerima investor strategis baru.

“Kemungkinan besar ada beberapa investor strategis yang tertarik untuk join di Bank Sahabat Sampoerna,” ucapnya Henky pada 13 Januari 2022.

Aksi pemenuhan modal inti ini merupakan bagian dari dorongan regulator melalui POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum menetapkan aturan modal inti minimal Rp3 triliun per Desember 2022.

Pada tahun lalu, Bank Sahabat Sampoerna telah memenuhi modal inti Rp2 triliun per November 2021. Penambahan ini dilakukan lewat injeksi modal secara langsung dari pemegang saham terdahulu, kehadiran investor baru, dan akumulasi dari perolehan laba. Tidak dirinci siapa investor baru tersebut karena Michael Joseph Sampoerna lewat PT Sampoerna Investama tetap menjadi pengendali bank.

Mengutip dari Kontan, mengacu pada laporan keuangan Bank Sahabat Sampoerna per September 2021 dibanding laporan per Maret 2021, ada satu investor baru, yakni Sutan Agung Mulyadi, pemiliki Serba Mulya Group, dengan kepemilikan saham 2,96%.

Pemilik mayoritas masih dikuasai PT Sampoerna Investama dengan kepemilikan 78%.

Bank Sahabat Sampoerna sendiri cukup aktif melakukan pengembangan produk digital. Sejumlah layanan fintech telah bermitra. Yang terbaru mereka bekerja sama dengan KoinWorks menghadirkan layanan KoinWorks NEO, Julo, Indodana, Kredivo (kartu kredit fisik paylater), Akulaku, dan lainnya.

Mereka juga berkolaborasi dengan berbagai perusahaan payment gateway, seperti Xendit, Instamoney, Safecash, dan Dhasatra untuk memfasilitasi berbagai transaksi digital.

Sebelumnya sejumlah platform fintech telah mengambil langkah serupa untuk menjadi pemilik bank, seperti Akulaku yang menjadi pengendali di Bank Neo Commerce, Kredivo yang menjadi pemegang saham mayoritas di Bank Bisnis Internasional, dan Ajaib yang memiliki saham terbesar di Bank Bumi Artha.

Amartha Akuisisi Bank

Kabar Rencana Amartha Akuisisi Bank Victoria Syariah dan Potensi Hal Strategis di Baliknya

Hampir sepekan pasca-dikabarkan akan mengakuisisi Bank Victoria Syariah, Amartha belum juga mengonfirmasi hal ini. Sebelumnya, DealStreetAsia melaporkan startup P2P untuk pengusaha perempuan mikro ini akan mengambil alih sebesar 70% saham milik Bank Victoria Syariah.

DailySocial.id telah mencoba menghubungi CEO dan Founder Amartha Andi Taufan untuk mengonfirmasi akuisisi tersebut. Namun, belum ada konfirmasi hingga berita ini diturunkan.

Mengutip Katadata, Andi tidak menampik maupun mengonfirmasi kabar akuisisi tersebut. Dia menyebut tengah berfokus mengakselerasi penyaluran pinjaman kepada pengusaha perempuan dengan digitalisasi layanan keuangan bagi mitra maupun pendana individu lewat fitur crowdfunding.

Adapun, sejak awal berdiri di 2010, Amartha memantapkan komitmennya untuk memberikan akses permodalan, khusus untuk pengusaha perempuan yang selama ini masuk ke dalam golongan unbanked dan underbanked.

Per saat ini. Amartha telah menyalurkan modal usaha sebesar Rp61,7 triliun ke 1.032.959 pengusaha perempuan mikro dengan total TKB90 97,16%.

Akuisisi, bank digital, dan akselerasi pinjaman

Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkap bahwa banyak bank kecil diakuisisi startup dengan harga murah karena tidak dapat memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK.

Dalam konteks di atas, Bank Victoria Syariah diketahui tengah menambah modal untuk memenuhi aturan OJK terkait modal inti sebesar Rp3 triliun. Per September 2021, Bank Victoria Syariah hanya punya modal inti sekitar Rp256,6 miliar.

Fintech masuk [lewat akuisisi] untuk membantu permodalan sehingga bank bisa bertahan. Bahkan tidak menutup kemungkinan bank ini diganti menjadi bank digital,” tutur Bhima.

Jika menilik akuisisi sebelumnya, sebagian besar bank kecil ini diakuisisi dan diubah identitasnya dengan branding baru. Alasan lainnya, bank kecil tidak memiliki infrastruktur, kantor cabang, dan nasabah yang besar sehingga lebih mudah untuk ditransformasi. Contoh, Bank Artos menjadi Bank Jago dan Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce.

Yang perlu disoroti, ujar Bhima, tren akuisisi bank kecil oleh startup P2P memungkinkan mereka untuk menawarkan plafon pinjaman yang lebih tinggi kepada nasabah. Pasalnya, OJK mengatur batasan pinjaman fintech lending maksimum sebesar Rp2 miliar. 

Fintech tidak bisa terus-menerus berharap pada lender ritel karena biaya bunga yang diberikan cukup mahal. Sementara, pendanaan fintech yang bersumber dari institutional lender dibatasi OJK. Maka itu, fintech mengakuisisi bank sehingga sumber pendanaan dari simpanan nasabah bank dapat mendorong penyaluran pinjaman fintech,” paparnya.

Dalam gambaran menyeluruh, aksi korporasi di atas bermuara pada satu misi yang sama, yakni mendorong inklusi keuangan ke segmen underbanked dan unbanked. Perbankan mengalami kesulitan mendorong pinjaman ke segmen mikro karena biaya operasional terlalu mahal. Sementara, fintech banyak menggarap segmen mikro. 

Fintech dan bank saling membutuhkan. Contohnya, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK arahnya akan lebih ke perbankan. Sementara, fintech butuh akurasi data calon debitur di SLIK OJK, untuk mengendalikan risiko kredit macet,” tambahnya.

Berdasarkan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana 99,92% merupakan usaha di segmen mikro dan kecil. Dari total tersebut, sekitar 34% usaha menengah dijalankan perempuan, sedangkan 56% usaha kecil dan 52% usaha mikro dimiliki perempuan.

***
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Application Information Will Show Up Here
Kredivo Bank Digital

Induk Kredivo Resmi Menguasai 75% Saham Bank Bisnis Internasional

PT FinAccel Teknologi Indonesia atau dikenal dengan induk Kredivo, resmi menguasai 75% saham PT Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI) setelah sebelumnya mengajukan penambahan kepemilikan saham ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Menurut mereka, aksi korporasi ini menjadi langkah signifikan perusahaan untuk menawarkan produk keuangan digital yang lebih variatif, dari kredit digital dan paylater hingga pinjaman dengan plafon lebih tinggi di masa depan.

Diberitakan sebelumnya, FinAccel mengakuisisi saham Bank Bisnis secara bertahap. Akuisisi pertama dilakukan pada Mei 2021 sebesar 24% dan menjadi 40% pada Oktober 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya sebesar 1,15 miliar lembar saham atau setara 35% pada Februari 2022.

Dengan demikian, struktur kepemilikan saham setelah pengambilalihan saham menjadi sebagai berikut; FinAccel Teknologi Indonesia memiliki 75% dengan kepemilikan 2,48 miliar lembar saham, Sundjono Suriadi memiliki 4,91% dengan 162,4 juta lembar saham, PT Sun Antarnusa 4,17% (138 juta lembar), dan publik 15,92% (526,3 juta lembar).

Dalam keterangan resminya, Group CEO & Co-founder FinAccel Akshay Garg menargetkan proses akuisisi rampung pekan ini. Semua persetujuan regulator untuk akuisisi Bank Bisnis, termasuk dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah diperoleh.

“Meski Kredivo telah memimpin penyedia kredit digital lewat bisnis paylater dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi layanan perbankan di Indonesia baru saja dimulai. Sejalan dengan misi kami untuk memberikan layanan keuangan dengan cepat, terjangkau, dan luas, kami siap melayani pengguna dengan produk perbankan bertaraf dunia ke depannya,” ungkap Akshay.

Sementara itu, perwakilan pemegang saham dari keluarga Suriadi menambahkan, “Bank Bisnis memiliki sejarah panjang dan membanggakan. Di saat sektor perbankan secara cepat mengarah ke digitalisasi, kami sangat senang menyambut FinAccel sebagai pemegang saham mayoritas baru Bank Bisnis. Kami mendukung visi mereka untuk membangun franchise digital bank terdepan di Indonesia,” demikian pernyataannya.

Fenomena fintech akuisisi bank

Sebagaimana dipaparkan pada artikel sebelumnya, akuisisi FinAccel akan memungkinkan Bank Bisnis untuk dapat memanfaatkan teknologi, data, dan customer base yang telah dimiliki oleh FinAccel untuk mengincar pasar yang selama ini belum terlayani oleh merchant-merchant online di Indonesia.

Saat ini, FinAccel menaungi produk paylater Kredivo dan lending Kredifazz. Kredivo tercatat punya 5 juta pengguna tahun lalu dengan ketersediaan layanan di lebih dari 1.000 merchant di Indonesia.

Dihubungi oleh DailySocial.id, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan ada sejumlah alasan mengapa startup fintech gencar mengakuisisi bank di Indonesia, terutama startup yang menyalurkan pinjaman, baik ke pengguna maupun modal bagi pelaku UMKM

Sebagai konteks, kami mencatat ada beberapa aksi serupa induk Kredivo, di antaranya Akulaku dan Bank Neo Commerce, WeLab dan Bank Jasa Jakarta, dan yang baru-baru ini diberitakan Amartha dan Bank Victoria Syariah (belum terkonfirmasi). Startup fintech di bidang investasi, Ajaib juga mengakuisisi Bank Bumi Artha pada November 2021.

Pertama, OJK mengatur batasan maksimum pinjaman oleh fintech lending sebesar Rp2 miliar. Apabila meminjam ke perbankan, plafon yang ditawarkan bisa lebih tinggi.

Fintech tidak bisa terus-menerus berharap pada lender ritel karena biaya bunga yang diberikan cukup mahal. Sementara, pendanaan fintech yang bersumber dari institutional lender dibatasi OJK. Maka itu, fintech mengakuisisi bank sehingga sumber pendanaan dari simpanan nasabah bank dapat mendorong penyaluran pinjaman fintech,” paparnya.

Jika dilihat, kebanyakan bank yang dicaplok adalah bank kecil. Selain lebih mudah untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil, bank kecil dijual murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK.

Dalam gambaran menyeluruh, aksi korporasi di atas bermuara pada satu misi yang sama, yakni mendorong inklusi keuangan ke segmen underbanked dan unbanked. “Perbankan selalu kesulitan mendorong pinjaman ke segmen mikro karena biaya operasional terlalu mahal. Sementara, fintech banyak menggarap segmen mikro. Jadi, bank tidak perlu report channeling pinjaman mikro ketika merger dengan startup.”

Application Information Will Show Up Here