Tag Archives: Bank Indonesia

On the Second Year of QRIS: Revealing the Transaction Experience through “Mobile Banking” and Digital Money

In the first two year, QRIS feature started to show an extraordinary growth in adoption as DailySocial described in the first part of the article. This is validated by Bank Indonesia (BI) data regarding the increase in transactions over the past year.

Aside from transactions, we also saw an increasing enthusiasm from users which highlighted various issues related to QRIS adoption in the field. This issue was revealed through a mini survey we conducted with 65 respondents. Although it does not represent the majority of digital payment service users in Indonesia, this survey is in line with the main spirit, which is to highlight issues to create room for improvement for stakeholders.

In the second part, DailySocial highlights more detailed issues from the user’s perspective, such as product categories that are often purchased to which payment platforms are preferred to make transactions using the QRIS method.

QRIS on the run

In a previous article, one of the challenges of adopting QRIS is the limitations of merchants that accept payments using this method. Unsurprisingly, most of the respondents admitted to make transactions more for food and beverage (95.2%). In other categories, QRIS transactions are also used to purchase basic needs (35.5%), donations (17.7%), and transportation services (11.3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Product categories bought using QRIS / DailySocial

Of the 93.8% of respondents who made transaction using the QR Code method, 33.3% of them spent IDR 50,000-IDR 300,001 for transactions. Moreover, by 22.7% of respondents spent more than Rp1 million, Rp. 500,001-Rp. 1,000,000 (21.2%), Rp300,001-Rp500,000 (18.2%), and under Rp50,000 (4.5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
QRIS-based payment transaction frequency / DailySocial

When QRIS transactions available for broader categories, such as diverse public transportation, street vendors, and markets, the adoption will certainly increase in a rapid way. In fact, many consumers in this segment still making transaction using cash rather than unfamiliar payment methods.

Mobile banking vs digital money

One of the interesting facts we collected from this survey is how users feel more comfortable in making transaction using QRIS method through mobile banking applications (58.1%) rather than digital money (e-money).

Categorized by platform, mobile banking applications (28.8%) still outperform e-money, such as OVO (27.1%), GoPay (25.4%), and ShopeePay (15.25%). And the reason is?

QRIS-based platform for transaction / DailySocial

Based on the elaboration result of a number of respondents, the mobile banking application is automatically connected to savings, therefore, they do not need to top up and incur administrative costs. There is no need to download each e-money applications, let alone top up to multiple platforms (if you use more than one).

What’s interesting is, digital bank is considered to provide a strong reason why QRIS transactions are more popular in mobile banking applications. Respondents stated, the pocket feature in the application makes it easier to allocate a budget that can be devoted to transactions, such as snacks or transportation, without disturbing other budgets.

Meanwhile, other respondents considered that QRIS transactions through e-money offered a value proposition that mobile banking might not have, including payments with points or rewards. For example, the OVO application. In terms of experience, digital wallets are considered superior due to faster login process than mobile banking.

“Another reason is that users are used to e-money. There are also lots of merchants receive QRIS from e-money. In addition, QRIS is more suitable for transactions with a nominal value of under IDR 500 thousand and e-money is considered appropriate for that need,” some respondents said.

Market education

The elaboration seems to be sufficient to answer why as many as 68.8% claimed to obtain information about QRIS from the payment platform they use daily. Meanwhile, 60.9% answered from the merchant where they made transactions. Payment platforms and merchants can be the main vehicle to educate QRIS adoption.

BCA Digital’s CEO, Lanny Budiati said one of the efforts to increase awareness to users is through attractive promos that can only be obtained when making transaction at merchants using the QRIS method. Company data records that around 10% of BCA Digital’s total customers have done transactions using QRIS with a total volume of Rp1 billion since the blu application was released on July 2, 2021.

“We continue to encourage customers to experience the QRIS adoption convenience. We also prepare educational content on various social media channels regarding how to use it and its benefits. Going forward, BCA Digital will continue to encourage the QRIS development based on the roadmap of Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association ( ASPI),” Lanny said to DailySocial.

Meanwhile, Bank Neo Commerce’s President Director, Tjandra Gunawan considered that all kinds of new technologies would take a long time in terms of adoption. He admitted the optimism that QRIS adoption will be absorbed quickly considering the trend of cashless payments has mushroomed in the past year. In addition, more merchants and financial applications are providing the QRIS feature.

“Neo Commerce Bank will be active in providing financial education to the public, not only familiarizing with the QRIS feature, but also a safe and comfortable digital lifestyle,” he told DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Open API SNAP Bank Indonesia

SNAP Tandai Dimulainya Standardisasi “Open Banking” Indonesia

Indonesia mulai menyusul negara global lainnya untuk mulai mengimplementasikan standar nasional Open API. Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-76, Bank Indonesia meresmikan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP). Sekaligus uji coba sandbox QRIS dengan Thailand (Thai QR Payment) yang disebut QRIS Antarnegara.

SNAP merupakan standar nasional yang ditetapkan BI atas seperangkat protokol dan instruksi yang memfasilitasi interkoneksi antaraplikasi secara terbuka dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Oleh karenanya, SNAP menyatukan berbagai layanan transaksi di Indonesia ke dalam satu sistem.

Standardisasi Open API Pembayaran ini, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

SNAP mencakup standar teknis keamanan, standar data, spesifikasi teknis, dan dokumen pedoman tata kelola sistem pembayaran nasional. Ada dua hal yang distandarkan oleh SNAP.

Pertama, dokumen standar teknis dan keamanan, standar data, dan spesifikasi teknis SNAP menstandarkan, antara lain: protokol komunikasi, tipe arsitektur API, struktur dan format data, metode autentikasi, metode otorisasi, metode enkripsi, persyaratan pengelolaan akses API, struktur data request, hingga struktur data response.

Kedua, dokumen pedoman tata kelola SNAP menstandarkan pedoman perlindungan konsumen, perlindungan data, persyaratan kehati-hatian bagi penyedia layanan dan pengguna layanan, serta kontak.

Pengimplementasian SNAP merupakan salah satu tahapan penting dalam rangka mengakselerasi open banking di area sistem pembayaran. Inisiatif ini adalah tindak lanjut dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

Penyusunan SNAP dilakukan bersama oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dengan membentuk Working Group (WG) Nasional. Sebelum WG nasional dibentuk, BI terlebih dulu menerbitkan Consultative Paper Standar Open API Pembayaran oleh Bank Indonesia pada kuartal I 2020.

Jauh sebelum bank sentral menetapkan standarisasi Open API ini, industri sudah ambil langkah terlebih dulu dengan membuat Open API versi masing-masing. Salah satunya adalah BCA yang meluncurkan API BCA pada 2017. Disebutkan volume transaksi API BCA tumbuh 4,8 kali dalam dua tahun terakhir. Transaksinya tembus lebih dari 1 miliar aktivitas transaksi dan telah digunakan oleh lebih dari 2.500 nasabah bisnis.

Pengembangan fiturnya telah mencapai ratusan untuk memenuhi berbagai kebutuhan bisnis, seperti informasi saldo, mutasi rekening, transfer, BCA Virtual Account, dan lainnya. Bagi nasabah bisnis, implementasi API BCA mempermudah mereka saat rekonsiliasi transaksi penerimaan pembayaran, automasi dan simplifikasi proses transaksi bisnis.

QRIS Antarnegara

Sementara itu, terkait QRIS Antarnegara yang masuk ke dalam bagian SNAP, sebagai permulaannya bekerja sama dengan Bank of Thailand (BOT). Bagi konsumen atau wisatawan yang berasal dari Indonesia dan Thailand bisa melakukan pembayaran dengan memindai kode QR di masing-masing negara.

Perry mengatakan, pengembangan QRIS Antarnegara dengan Thailand dapat menjadi tonggak baru dalam memfasilitasi aktivitas masyarakat antar kedua negara, khususnya bagi wisatawan.

Secara teknis, penyelesaian transaksi QRIS Antarnegara ini menggunakan mata uang lokal masing-masing negara atau local currency settlement (LCS) melalui bank yang sudah dipilih atau appointed cross currency dealers (ACCD).

Interkoneksi switching to switching dibangun antar switching kedua negara yaitu Rintis, Artajasa, Jalin dan Alto dari Indonesia dengan National ITMX (NITMX) dari Thailand. Adapun bank ACCD di Indonesia yang terpilih adalah BCA, BNI, dan BRI. Sementara, bank ACCD di Thailand ada Bangkok Bank (BBL), Bank of Ayudhya (Krungsri), dan CIMB Thai Bank (CIMBT).

Proyek ini juga turut melibatkan 13 provider QRIS. Mereka adalah Bank Sinarmas, Bank Mega, Bank Permata, Bank BSI, Telkom Indonesia, Maybank, ShopeePay, LinkAja, DANA, Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Otto Cash.

Fase komersial penuh dengan Thailand akan dilakukan pada kuartal I 2022. Setelah Thailand, bank sentral tengah menanti uji coba dengan Malaysia. “Setelah Thailand kita dengan Malaysia dan setelahnya sudah ada beberapa negara ASEAN lain yang berminat dan sudah menyetujui,” terang Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengutip dari Katadata.

Setelah skala ASEAN, pada fase berikutnya QRIS Antarnegara bakal disiapkan untuk lintas negara di luar ASEAN. Salah satunya, dengan Arab Saudi.

Open banking di Singapura

Sumber: The Edge Markets

Tentunya kehadiran SNAP mempermudah industri jasa keuangan untuk terhubung secara digital dengan pemain non-bank. Contoh terdekat yang bisa ditengok adalah Singapura yang menjadi salah satu kiblat negara maju di Asia.

Pada dasarnya, semangat open banking adalah memberi manfaat kepada konsumen melalui peningkatan pengalaman konsumen, akses ke produk yang mendukung perbankan terbuka, dan pengambilan keputusan keuangan yang lebih baik dengan menggabungkan informasi keuangan mereka dalam satu platform.

Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah pendorong utama perkembangan open banking yang masif di Singapura. Salah satu inisiatif utama yang mereka ambil adalah memperkenalkan API Exchange (APIX), sebuah platform kolaborasi yang menjadi dasar kuat bagi pertumbuhan open banking.

APIX adalah platform arsitektur terbuka lintas batas pertama di dunia dan bertujuan untuk mendukung inovasi dan inklusi keuangan di ASEAN dan di seluruh dunia. Platform yang diluncurkan pada November 2018 ini menjadi tempat lembaga keuangan dan perusahaan fintech dapat terhubung dengan mudah dan berkolaborasi dalam pengalaman desain melalui API.

Menurut Founder & CEO MatchMove Shailesh Naik, dia telah melihat kemajuan dalam kolaborasi antara bank dan perusahaan fintech di bidang ini selama dua tahun terakhir. Bank sekarang lebih bersedia untuk bekerja sama dan mulai menjangkau untuk tetap kompetitif karena proses di perusahaan fintech menjadi lebih menarik dan hemat biaya untuk sektor keuangan konvensional.

Tonggak penting lainnya lewat MAS adalah inisiatif Financial Planning Digital Services, yang bertujuan untuk memfasilitasi portabilitas data dengan kerangka kerja API yang aman. Pada 7 Desember 2020, MAS meluncurkan Singapore Financial Data Exchange (SGFinDex), yang melibatkan konsolidasi data keuangan dari bank dan lembaga pemerintah di satu tempat, bukan di beberapa lokasi.

Hal ini difasilitasi melalui identitas digital nasional Singapura, Singapore Personal Access (SingPass), yang merupakan layanan single sign-on yang digunakan oleh warga Singapura untuk bertransaksi dengan lebih dari 60 instansi pemerintah secara online. Konsumen memiliki pilihan untuk memberikan akses ke lembaga keuangan yang mereka pilih untuk berbagi informasi mereka.

Infrastruktur ini dikembangkan oleh sektor publik bekerja sama dengan ABS dan tujuh bank yang berpartisipasi, menjadikan SGFinDex menjadi infrastruktur digital publik pertama di dunia yang menggunakan identitas digital nasional dan sistem persetujuan online yang dikelola secara terpusat.

Managing Director MAS Ravi Menon menyampaikan pentingnya penguatan kepercayaan di sektor keuangan. Nilai lebih yang ditawarkan open banking harus diimbangi dengan risiko yang ditimbulkan oleh berbagi data nasabah antara berbagai pihak.

Dalam Global Financial Services Consumer Study 2019 yang diterbitkan Accenture, sebanyak 75% konsumen menyatakan bahwa mereka sangat berhati-hati tentang privasi data mereka, pelanggaran keamanan data menjadi perhatian terbesar kedua bagi konsumen. Oleh karena itu, agar open banking Singapura benar-benar dapat diterima, pelanggan harus sepenuhnya yakin bahwa data mereka aman.

Meskipun data perbankan di Singapura diatur oleh Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disempurnakan, bank juga harus memainkan peran mereka dan terus waspada dalam melindungi data pelanggan mereka untuk menguntungkan konsumen dan industri, dan memastikan keberhasilan open banking di Singapura.

Berkaitan dengan itu, penanganan kebocoran data harus ditangani dengan benar-benar serius oleh pemerintah dan instansi terkait. Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyampaikan isu ini belakangan semakin sensitif, di tengah geliatnya perkembangan ekonomi digital.

“Apabila isu ini terus terjadi, tentunya akan mengganggu pertumbuhan bank digital atau yang berkaitan dengannya. Sebab konsumen akan sulit untuk percaya datanya aman terproteksi,” ujar dia dalam suatu diskusi panel yang diadakan Infobank.

Kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap layanan keuangan digital, tercermin dari survei yang diadakan  Digital 2021 Report. Disebutkan penetrasi aplikasi banking and financial services d Indonesia masih rendah hanya 39,2% dari responden. Angka ini lebih rendah dari Thailand 68,1%, Malaysia 55,7%, dan Filipina 42,1%.

Sementara, mobile payment juga rendah yakni 29,2% dibanding rata-rata dunia, yakni 30,9%. jauh dibanding Thailand, Filipina, dan Vietnam. Adapun, untuk penggunaan kode QR code di Indonesia baru sebesar 42% dari penduduk dewasa. Kalah dari Malaysia 77% dan Singapura 79%.

Mark The Second Year of QRIS Adoption Amidst Indonesia’s Digital Financial Acceleration

Recently, Bank Indonesia (BI) announced the rapid increase of QRIS based payment transactions over the past year. The transaction value has reached Rp 9 trillion in the first semester of 2021 or increased by 214% compared to the same period last year. The increasing number also happened to merchants using QRIS  at 8.2 million. At least, there will be an increase of around 3 million from 6 million merchants at the end of 2020.

In a Digi X webinar held by Infobank, Bank Indonesia’s Assistant Governor and Head of the Payment System Policy Department, Filianingsih Hendarta, said that the Covid-19 pandemic has had a significant booster effect on the acceleration of Indonesia’s digital finance. Aside from the shifting consumer behavior to digital, this acceleration is backed by the players’ collaboration in the digital ecosystem of the banking and non-bank sectors.

“In the near future, we are to launch the Customer Presented Mode feature as we currently have Merchant Presented Mode. We are also piloting QRIS transactions for cross borders, both inbound and outbound,” said the woman familiarly called Fili.

With the unexpected achievement, how is the manifestation of QRIS implementation in the future during this situation, and what kind of efforts are needed to encourage its adoption?

About QRIS

QRIS or Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) is part of Bank Indonesia’s five major initiatives towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025.

Towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS was developed by Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association (ASPI) to combine various QR codes from various Payment System Service Providers (PJSP) into one QR Code. As a digital payment system, QRIS is designed as a QR Code Standard for server-based electronic money applications, digital wallets, and mobile banking.

Technically, QRIS is available in two types. First, in a static format (print media/stickers, one QR Code for every transaction, QR Code does not have a nominal value, only manual input). Second, dynamic (QR Code through receipts printed by the EDC machine/appears on the monitor, different QR Code for each transaction, QR Code has a nominal payment).

People can make payment at merchants with one QR Code for all platforms. The scenario is, if you can’t buy drinks because the relevant merchant doesn’t accept your payment option, QRIS will enable the merchant to accept every payment from each platform. It will no longer require one EDC machine for one platform. QRIS provides space for the public to make payments regardless of the platform with one QR Code.

Therefore, why do we need QRIS? This technology can expand national non-cash payments acceptance in a more efficient way. Through the use of one standard QR Code, goods and services providers no longer require different types of QR Codes from different publishers.

Long before QRIS was launched, the government had implemented QR Code as a payment option since the middle of 2015. However, PJSP was using QR exclusively at that time. With the growth of smartphone penetration and the opportunity to help the unbanked and underbanked segments, BI decided to create the QR Code standardization.

Another reason is that BI discovers a high success rate in QR as a payment option in several countries, China through Alipay and WeChatPay, and India through PayTm and BharatQR.

Two years after its official launch, QRIS reaped positive achievements–mostly helped by the pandemic. Based on BI’s data, QRIS transaction volume rose 247% in the second quarter of 2021 to 83.85 million transactions. Meanwhile, the transaction value skyrocketed 336% to Rp5.59 trillion compared to the same period last year.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI recorded an increase in QRIS transaction in time of pandemic / rewritten by DailySocial

Similar to QRIS, other players and industries in the digital financial ecosystem are also experiencing positive growth due to the pandemic. As Fili said at the webinar, the growth of the digital financial ecosystem (EKD) this year is projected to continue to increase.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Digital Finance Ecosystem (EKD) projection in 2021 / Bank Indonesia

Adoption and Challenges

Considering its premature stage, QRIS’s adoption progress has not been massive. Many consumers find it difficult to use it, especially with today’s society limitations. It is visible from a small survey, involving 65 respondents, conducted online by DailySocial in August 2021.

This survey may not be able to represent the major issues in the field, but respondents provide interesting perspectives as a room for improvement to the stakeholders involved.

First, the transaction challenges using QRIS. Based on respondents’ answers, as many as 65.6% admitted that many merchants are yet to provide QRIS option. Furthermore, around 55.7% said that internet connection may hamper the transactions, and 29.5% of respondents said that the QRIS has a relatively long scanning process.

An interesting fact is that several respondents highlighted how some merchants only used QRIS as a display. They said there are some merchants that provide QRIS, but the cashiers rarely offer it to consumers as they are not familiar with it.

Meanwhile, some respondents admitted that they are not interested in trying QRIS because of its limited availability (60.9%), consumers do not know how to use it (17.4%), the feature is yet to available on the device (13%), and cashiers rarely offer payments with QRIS (4.3%).

From business players perspective, BI has applied some relaxation to the policies to reduce burden on its implementation. Quoting Kontan, BI announced the transaction fee or merchant discount rate (MDR) borne by partners/merchants will be 0.7%. Using QR only costs IDR 35 thousand for one QR code at each merchant.

Merchant expansion

The Covid-19 pandemic has had a positive impact on Indonesia’s digital financial ecosystem. However, the government and stakeholders should ideally not make this a temporary golden moment. There should be bigger room for improvement, therefore, QRIS adoption can consistently increase until the post-Covid era. Moreover, some people are getting used to the digital payment transition,

The remaining information, many respondents expected the QRIS adoption could be expanded and not limited to food and beverage transactions. As many as 87.3% of respondents expect QRIS to be used on street stalls, 81% in markets, 76.2% for government services, and 68.3% for public transportation.

The government also needs to explore how to maximize the QRIS adoption and whether social restriction policy is to continue. With the social restriction in public places, such as shopping centers, how do people suppose to use QRIS while many merchants are not operating. Except for food delivery orders.

As reported by Bisnis, BCA experienced a decline in physical transactions, which affected services using the QRIS method. Meanwhile, based on our respondents’ answers, they began to use QRIS less frequently since the social restriction for the last few months. As many as 20% of respondents admitted that they only make transactions once in 3 months and 2-3 times per month. A total of 16.7% said that they use QRIS for transactions about 2-3 times per week.

DailySocial seeks for Bank Indonesia’s comment regarding the related issues, but no further statement has been made to this point. BI has actually updated the policy on using QRIS by increasing the transaction limit from Rp2 million to Rp5 million.

Soon, BI is to release a Customer Presented Mode feature where merchants perform scans. However, is this enough? The government should not waste the momentum with the current digital acceleration and changes in consumer behavior.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

QRIS merupakan bagian dari lima inisiatif besar bank Indonesia dalam pelaksanaan Sistem Pembayaran Indonesia 2025 / Bank Indonesia

Dua Tahun QRIS: Adopsi di Tengah Akselerasi Keuangan Digital Indonesia

Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) menyebutkan total transaksi pembayaran dengan metode QRIS meningkat pesat selama satu tahun terakhir. Nilai transaksi QRIS mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau melesat 214% dibandingkan periode sama tahun lalu. Total merchant yang menggunakan QRIS juga naik menjadi 8,2 juta. Setidaknya, ada penambahan sekitar 3 juta dari 6 juta merchant di akhir 2020.

Dalam sebuah webinar Digi X yang digelar Infobank, Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta mengungkapkan, pandemi Covid-19 memberikan efek booster luar biasa terhadap percepatan keuangan digital di Indonesia. Selain faktor peralihan perilaku konsumen ke digital, akselerasi ini terbantu kolaborasi para pelaku di ekosistem digital di sektor bank dan non-bank yang semakin erat.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap wanita yang karib disapa Fili ini.

Dengan pencapaian yang tidak terduga ini, bagaimana asa implementasi QRIS ke depan di situasi saat ini, dan apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong adopsinya?

Tentang QRIS

QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari lima inisiatif besar yang dicanangkan Bank Indonesia untuk menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS dikembangkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk menggabungkan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menjadi satu QR Code. Sebagai sistem pembayaran digital, QRIS dirancang sebagai Standar QR Code untuk aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet digital, dan mobile banking.

Secara teknis, QRIS tersedia dalam dua jenis. Pertama, dalam format statis (media cetak/stiker, QR Code sama setiap transaksi, QR Code belum ada nominal sehingga input manual). Kedua, dinamis (QR Code lewat struk yang dicetak mesin EDC/tampil di monitor, QR Code selalu berbeda tiap transaksi, QR Code punya nominal pembayaran).

Masyarakat dapat membayar transaksi di merchant dengan satu QR Code untuk semua platform. Skenarionya begini, apabila Anda tidak bisa membeli minuman karena merchant terkait tidak menerima opsi pembayaran Anda, QRIS akan memampukan merchant untuk menerima setiap pembayaran dari setiap platform. Tidak perlu lagi satu mesin EDC untuk satu platform. QRIS memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran apapun platformnya dengan satu QR Code.

Lalu, mengapa kita memerlukan QRIS? Teknologi ini dapat memperluas akseptasi pembayaran nontunai nasional secara lebih efisien. Melalui penggunaan satu standar QR Code, penyedia barang dan jasa tidak perlu memiliki berbagai jenis QR Code dari penerbit yang berbeda.

Jauh sebelum QRIS diluncurkan, sebetulnya pemerintah sudah menerapkan QR Code sebagai alat pembayaran sejak paruh 2015. Namun, saat itu PJSP masih menggunakan QR secara eksklusif. Dengan pertumbuhan penetrasi smartphone dan peluang untuk membantu segmen unbanked dan underbanked, BI memutuskan melakukan standardisasi QR Code.

Alasan lainnya adalah BI melihat contoh keberhasilan tinggi pada QR sebagai alat pembayaran di beberapa negara, yaitu Tiongkok melalui Alipay dan WeChatPay, serta India lewat PayTm dan BharatQR.

Dua tahun berselang peluncuran resminya, QRIS menuai pencapaian positif–sebagian besar terbantu karena pandemi. Berdasarkan data BI, volume transaksi QRIS naik 247% di kuartal kedua 2021 menjadi 83,85 juta transaksi. Sementara, nilai transaksinya meroket 336% menjadi Rp5,59 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial

Sama halnya seperti QRIS, pelaku dan industri di ekosistem keuangan digital lainnya juga mengalami pertumbuhan positif dikarenakan pandemi. Sebagaimana disampaikan Fili pada webinar tersebut, pertumbuhan ekosistem keuangan digital (EKD) di tahun ini diproyeksi terus meningkat.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia

Adopsi dan tantangan

Mengingat QRIS masih seumur jagung, progress adopsinya pun belum masif. Konsumen banyak menemui kesulitan dalam penggunaannya, terlebih dengan batasan ruang gerak masyarakat saat ini. Hal ini diketahui dari survei kecil, yang melibatkan 65 responden, yang dilakukan DailySocial di bulan Agustus 2021 secara online.

Survei ini mungkin memang belum dapat mewakili mayoritas isu yang ada di lapangan, namun responden memberikan perspektif menarik yang sebetulnya dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan yang terlibat.

Pertama, tantangan ketika bertransaksi dengan QRIS. Menurut responden, sebanyak 65,6% responden mengaku banyak merchant belum mengadopsi QRIS. Kemudian, sekitar 55,7% menilai koneksi internet mempersulit transaksi, dan 29,5% responden menyebut proses scan QRIS relatif lama.

Yang cukup menarik adalah beberapa responden menyoroti bagaimana merchant yang mereka temui hanya menjadikan QRIS sebagai pajangan. Mereka menilai, ada merchant yang telah mengaktifkan QRIS, tetapi kasir jarang menawarkan kepada konsumen karena tidak tahu cara menggunakannya.

Sementara itu, sebagian responden mengaku belum berminat menjajal QRIS karena ketersediaan QRIS di merchant terbatas (60,9%), konsumen tidak tahu cara menggunakannya (17,4%), fitur belum tersedia di perangkat (13%), dan kasir jarang menawarkan pembayaran dengan QRIS (4,3%).

Dari sudut pandang pelaku usaha, sebetulnya BI sudah melonggarkan kebijakan agar tidak memberatkan impelementasinya. Mengutip Kontan, BI menetapkan biaya transaksi atau merchant discount rate (MDR) yang ditanggung oleh mitra/merchant hanya 0,7%. Menggunakan QR hanya mengeluarkan biaya Rp35 ribu untuk satu kode QR di setiap merchant.

Perluasan merchant

Pandemi Covid-19 membawa dampak positif terhadap ekosistem keuangan digital Indonesia. Akan tetapi, pemerintah dan para pemangku kepentingan idealnya jangan menjadikan ini sebagai momentum emas sementara. Perlu ada ruang perbaikan lebih agar adopsi QRIS dapat meningkat secara konsisten hingga sampai era pasca-Covid nanti. Apalagi, mumpung sebagian masyarakat sudah mulai terbiasa dengan transisi pembayaran digital,

Masih dari survei yang kami lakukan, banyak responden berharap adopsi QRIS dapat diperluas penggunaannya dan tidak terbatas pada transaksi makanan dan minuman saja. Sebanyak 87,3% responden mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, 81% di pasar, 76,2% layanan pemerintah, dan 68,3% untuk transportasi publik.

Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana memaksimalkan adopsi QRIS apabila pembatasan sosial masih akan terus berlanjut. Dengan pengetatan aktivitas di tempat publik, seperti pusat perbelanjaan, bagaimana memberlakukan QRIS apabila merchant saja sudah banyak yang tidak beroperasi. Kecuali untuk pemesanan food delivery.

Sebagaimana diberitakan Bisnis, BCA sempat mengalami penurunan transaksi fisik sehingga memengaruhi layanan dengan metode QRIS. Sementara, menurut responden kami, mereka mulai jarang menggunakan QRIS dengan pengetatan aktivitas beberapa bulan terakhir. Sebanyak 20% responden mengaku masing-masing hanya bertransaksi 1 kali dalam 3 bulan ke atas dan 2-3 kali per bulan. Sebanyak 16,7% menyebut bertransaksi QRIS sekitar 2-3 kali per minggu.

DailySocial sempat mencoba meminta tanggapan Bank Indonesia terkait isu-isu di atas, tetapi belum ada pernyataan lebih lanjut. BI sebetulnya sudah memperbarui kebijakan penggunaan QRIS dengan menaikkan limit transaksi dari Rp2 juta menjadi Rp5 juta.

Dalam waktu dekat, BI juga akan merilis fitur Customer Presented Mode di mana merchant yang melakukan scan. Namun apakah ini sudah cukup? Pemerintah diharapkan tidak sampai kehilangan momentum dengan gejolak akselerasi digital dan perubahan perilaku konsumen saat ini.

Payfazz Secures E-money License from BI, Focusing on User Base in Rural Area

Currently focused on providing access to financial services to people in rural areas, Payfazz will soon enter the electronic money (e-money) business. It was marked by obtaining a license from Bank Indonesia on June 28, 2021 as a server-based Electronic Money Provider through PT Cashfazz Teknologi Nusantara, a subsidiary of Fazz Financial Group.

Was founded in 2017, Payfazz has helped more than 700 thousand MSMEs or agents providing more than 80 million people through its application. It enables merchants to serve various types of transactions, including PPOB payments.

“This is a very significant achievement that we have been waiting for for a long time. With the electronic money license, we can bring the company’s goal closer to becoming an integrated financial service provider application for people without access to banking services.” Payfazz’ Co-Founder & CEO, Hendra Kwik said.

Furthermore, this license will be used by the company to create more opportunities to facilitate agents, especially to assist global and local corporate clients at Xfers in collecting payments from the unbanked community.

Previously, Fazz Financial Group had obtained a remittance license through Bank Indonesia, activated payment gateways for both global and local companies through its investment in Xfers (Licence for Large Payment Institutions – MAS), penetrated the digital banking industry through collaboration with BRI Agro (BRI’s subsidiary), and developed loan services through its investment in Modal Rakyat (OJK licensed for P2P financing).

“We expect this license to bring positive impact on the company’s business as a financial service provider and drive transaction volumes three times up the current one. This electronic money license has the potential to strengthen synergies between Payfazz and other financial products within the Fazz Financial Group,” Hendra said.

As of May 2021, Fazz Financial Group claims to have processed transaction volume over $10 billion per year through its product ecosystem, and this electronic money license can increase the transaction volume even higher.

Partnership expansion

Over the past two years, Payfazz has continued to expand partnerships with fintech startups and other related services, by presenting attractive products and services for MSME players in the country. Starting from Payfazz Buku, supported by Credibook, and launching several products for MSME players.One of the products is Warung Online, which allows orders from customers to be recorded directly in the Payfazz application.

Payfazz’ basic services in particular provide bill payments, money transfers, merchant payments, loans, and deposit/savings services for the unbanked through platform partnerships with various financial institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Lisensi E-money Payfazz

Payfazz Resmi Kantongi Lisensi E-money BI, Fokus Jangkau Pengguna di Pedesaan

Fokus untuk memberikan akses layanan finansial kepada masyarakat di pedesaan, Payfazz segera masuk ke bisnis uang elektronik (e-money). Ini ditandai dengan diperolehnya lisensi dari Bank Indonesia tertanggal 28 Juni 2021 sebagai Penyedia Uang Elektronik berbasis server melalui PT Cashfazz Teknologi Nusantara, anak usaha dari Fazz Financial Group.

Sejak diluncurkan tahun 2017, Payfazz telah membantu lebih dari 700 ribu UMKM atau agen melayani lebih dari 80 juta masyarakat melalui aplikasinya. Memungkinkan para merchant untuk melayani berbagai jenis transaksi, termasuk pembayaran PPOB.

“Ini merupakan pencapaian Payfazz yang sangat signifikan yang telah kami nantikan sejak lama. Dengan adanya lisensi uang elektronik, kita dapat mendekatkan tujuan perusahaan menjadi aplikasi penyedia jasa keuangan terpadu bagi masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan.” kata Co-Founder & CEO Payfazz Hendra Kwik.

Selanjutnya lisensi ini akan digunakan perusahaan untuk membuka lebih banyak peluang yang dapat memfasilitasi para agen, terutama untuk membantu klien perusahaan global dan lokal di Xfers dalam mengumpulkan pembayaran dari masyarakat yang tidak memiliki rekening bank.

Sebelumnya, Fazz Financial Group telah mendapatkan lisensi pengiriman uang melalui Bank Indonesia, mengaktifkan gerbang pembayaran baik untuk perusahaan global maupun lokal melalui investasinya di Xfers (lisensi Institusi Pembayaran Besar – MAS), memasuki dunia digital banking melalui kerja sama dengan BRI Agro (anak perusahaan Bank BRI), dan membuka layanan pinjaman melalui investasinya di Modal Rakyat (berlisensi OJK untuk pembiayaan P2P).

“Kami berharap melalui lisensi ini dapat berdampak positif bagi bisnis perusahaan sebagai penyedia jasa layanan keuangan dan mendorong volume transaksi tiga kali lipat dari saat ini. Lisensi uang elektronik ini memiliki potensi untuk mempererat sinergi antara Payfazz dan produk keuangan lainnya di dalam Fazz Financial Group,” kata Hendra.

Per Bulan Mei 2021, Fazz Financial Group mengklaim telah memproses lebih dari $10 Miliar volume transaksi per tahun melalui ekosistem produknya, dan dengan adanya lisensi uang elektronik ini dapat meningkatkan volume transaksi lebih tinggi lagi.

Perluas kemitraan

Selama dua tahun terakhir Payfazz terus memperluas kemitraan dengan startup fintech dan layanan terkait lainnya, dengan menghadirkan produk dan layanan menarik yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM di tanah air. Mulai dari Payfazz Buku yang didukung oleh Credibook, hingga meluncurkan beberapa produk yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM. Salah satunya adalah Warung Online, memungkinkan pesanan dari pelanggan dapat langsung tercatat di aplikasi Payfazz.

Secara khusus layanan dasar mereka menyediakan pembayaran tagihan, transfer uang, pembayaran pedagang, pinjaman, dan layanan simpanan/tabungan untuk yang tidak memiliki rekening bank melalui kemitraan platform dengan berbagai lembaga finansial.

Application Information Will Show Up Here

Dalam Lanskap Keuangan yang Dinamis, Indonesia Memiliki Rencana Terkait Rupiah Digital

Bank Indonesia sedang mempersiapkan mata uang digital bank sentral, atau CBDC, seperti diumumkan Gubernur Perry Warjiyo pekan lalu. Dalam sebuah postingan di Instagram, bank sentral mengungkapkan tengah melakukan penelitian dan penilaian untuk CBDC sebagai aspek mata uang negara. Langkah bank sentral menunjukkan bahwa otoritas keuangan Indonesia sedang meletakkan dasar untuk inovasi keuangan yang lebih maju ketika masyarakat di negara ini mulai nyaman melakukan transaksi tanpa uang tunai.

Bank sentral menunjukkan tiga pertimbangan dalam posting Instagram-nya: mata uang digital akan berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah, akan berbasis teknologi, dan akan mendukung bank dalam kebijakannya, termasuk kontrol jumlah uang beredar.

Pengembangan ini akan memakan waktu, kata Bank Indonesia, karena CBDC akan membutuhkan investasi di bidang infrastruktur seperti langkah-langkah keamanan siber. Bank Indonesia sedang melakukan asesmen untuk lebih memahami manfaat dan potensi CBDC-nya, yang mencakup bidang-bidang seperti desain, teknologi, dan mitigasi risiko. Ini berhubungan erat dengan bank sentral lain untuk meninjau kemajuan dalam masalah ini.

Bank sentral di seluruh dunia sedang mempelajari atau menguji implementasi CBDC. China mempelopori penelitian pada tahun 2014 dan membuat sejarah tahun lalu ketika mulai menguji yuan digitalnya dalam program uji coba yang menelan biaya jutaan dolar per putaran. Indonesia mungkin perlu waktu untuk membuat kemajuan yang signifikan, kata Piter Abdullah, mantan ekonom senior di Bank Indonesia dan sekarang direktur riset di Center of Reform on Economics Indonesia.

“Konsep uang rupiah digital masih belum jelas, dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti bagaimana mekanisme pembuatan dan peredarannya, teknologi apa yang akan digunakan, dan bagaimana bank akan menyalurkan uang tersebut ke konsumen,” ungkap Abdullah kepada KrASIA. Perusahaan fintech dan bank sudah dapat mendigitalkan uang kertas, katanya, tetapi mata uang digital jauh lebih kompleks. “Regulator perlu memetakan konsep, prosedur, dan tujuan sebelum mulai membangun infrastruktur. Itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.”

Berdasarkan definisinya, cryptocurrency terdesentralisasi, seperti Bitcoin dan Ethereum, merebut kendali atas pasokan uang dan sistem pembayaran dari lembaga keuangan konvensional, terutama bank sentral, jika diadopsi secara luas. Meskipun kripto bukanlah alat pembayaran formal di Indonesia, lebih banyak orang menyimpan uang di kripto dan memperlakukannya sebagai kelas investasi atau aset. Saat ini ada 4,45 juta investor kripto di negara ini, melebihi perkiraan 2 juta investor yang aktif di pasar saham konvensional pada Februari 2021.

“CBDC adalah respons dari bank sentral terhadap kebangkitan cryptocurrency,” kata Abdullah. “Ini bukan pesaing crypto karena mereka memiliki prinsip yang berbeda.” Sementara cold, hard cash—dan ekuivalen digitalnya di CBDC Indonesia—diterbitkan oleh bank sentral, cryptocurrency dibuat melalui jaringan komputer terdesentralisasi menggunakan teknologi blockchain.

CBDC membawa berbagai manfaat. Rupiah digital akan lebih murah untuk dibuat, didistribusikan, dan dijaga daripada uang kertas dan koin. Bahkan dapat melengkapi kebijakan moneter bank, karena pemantauan arus kas digital secara real-time dapat memberikan wawasan tentang kondisi makroekonomi. Selain itu, satu hal yang sering dibicarakan adalah bahwa CBDC akan membatasi atau bahkan menghilangkan pencucian uang dan penipuan pembayaran.

Rencana Bank Indonesia tersebut merupakan respon terbaru dari regulator dalam menyikapi pesatnya perkembangan sektor teknologi tanah air. Otoritas keuangan Indonesia OJK dan Bursa Efek, BEI, saat ini sedang mengkaji kebijakan baru untuk mengakomodasi perusahaan teknologi seperti GoTo dan Bukalapak, yang kabarnya berencana untuk go public tahun ini.

BEI secara konsisten mendorong raksasa teknologi untuk berkomitmen IPO di Indonesia. Pada bulan Januari, bursa meluncurkan sistem klasifikasi sektoral baru, yang disebut Klasifikasi Industri BEI, yang dimaksudkan untuk menyediakan metrik bagi investor institusi untuk melakukan analisis keuangan secara rinci. Meskipun pertukaran mengharuskan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan setidaknya selama satu tahun untuk terdaftar di Papan Utama, hal ini membentuk aturan baru untuk raksasa teknologi yang merugi. Alih-alih menggunakan profitabilitas mereka sebagai satu-satunya ukuran, bursa juga dapat memperhitungkan aset berwujud bersih, kapitalisasi pasar, atau arus kas operasi kumulatif perusahaan-perusahaan ini.

Saham teknologi baru kemungkinan akan menarik investor ritel baru, terutama millennial atau Gen Z, yang telah mengamati kinerja saham teknologi di Amerika Serikat atau pasar lain. “Dewasa ini, investor muda lebih tertarik pada crypto meskipun volatilitasnya tinggi,” kata Abdullah. “Tetapi saya percaya saham teknologi juga memiliki potensi besar. Misalnya, sejak Gojek melakukan investasi di Bank Jago, sahamnya terus meningkat, menunjukkan minat yang tinggi pada perusahaan teknologi.”

Inovasi teknologi dalam industri keuangan dan perbankan mengubah cara konsumen dan bisnis menyimpan dan menginvestasikan uang mereka. Namun, potensi penuh CBDC hanya akan terwujud ketika warga memiliki akses yang inklusif terhadap internet serta literasi keuangan dan digital.

“Pemerintah sangat mendukung digitalisasi di industri keuangan untuk memberikan akses bagi lebih banyak orang. Namun, kami masih memiliki jalan, seperti membangun infrastruktur secara merata dan mengedukasi masyarakat tentang keuangan dan teknologi,” tambah Abdullah.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

The Adoption and Regulation of Digital Signature in Indonesia

Digital signatures have started to get more popular amid the rapid increase of digital services, especially in the financial sector, such as in banking applications or fintech. Using this opportunity, startups engaged in providing digital signature platforms are starting to maximize their presence.

According to the Electronic Certification Center (BSrE), part of the National Cyber ​​and Crypto Agency (BSSN), a digital signature is an electronic signature used to prove the authenticity of the sender’s identity of a message or document. In addition, a digital signature is an electronic signature that has been certified. The main purpose of the digital signature is to rapidly secure documents or documents from unauthorized/authorized parties, including protecting sensitive data and powering trust.

Meanwhile, according to Law no. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, an electronic signature is a signature consisting of electronic information that is embedded, associated, or related to other electronic information that is used as a verification and authentication tool.

Current regulation

In Indonesia, digital signature startups are involved with three regulators, including the Ministry of Communication and Information, the Financial Services Authority (OJK), and Bank Indonesia (BI).

First, at Kominfo, Electronic Certification Providers (PSrE) is supervised by the Information Security Directorate. PSrE was formed and operated in accordance with government regulation No. 82 of 2012.

Based on these regulations PSrE is divided into two:

  • Public PSrE; the operator of an electronic certificate/certification authority (CA) run by the Indonesian government under the Directorate of Information Security, Kominfo, which issues electronic certificates for Public PSrE,
  • Private PSrE; electronic certificate operators that have been recognized by the Parent PSrE to run digital certificate services by individuals, organizations, or electronic certificate administering business entities.

Moreover, under the auspices of the Ministry of Communication and Information, startups playing in this area are included as Private PSrE. In terms of players, the government also divides it into three recognition stages, as follows:

  • Registered; given after PSrE meets the requirements of the registration process set out in a Ministerial Regulation.
  • Certified; given after the certificate authority has met the requirements for the certification process set out in a Ministerial Regulation.
  • Parent; given after the PSrE has obtained a certified status and obtained a certificate as Parent PSrE; including the audit process.The following are the players who have registered as PSrE in Kominfo, data accessed as of 18 February 2021:

Gambar 1

Second, at OJK, the players are currently hosting Digital Financial Innovation (IKD). Based on POJK No. 13/POJK.02/2018, the IKD organizer is currently in the process of researching and deepening its business model through the regulatory sandbox mechanism until finally proceeding to the registration and licensing process which will be regulated later.

The specific cluster to facilitate digital signature startups is e-KYC. In this regulation, e-KYC is defined as a platform that helps provide identification and verification services for prospective customers using data population from Dukcapil. The service is integrated with various applications that require transaction processing – several platforms are also starting to place biometric verification as their main foundation.

Gambar 2

In this cluster, as data updated per August 2020 there are four registered players, as follows:

Gambar 3

Third, at BI, the players are under the regulatory sandbox in the Information Technology category. Specifically, BI regulations focus on the use of electronic signatures for submitting banking services such as credit cards. From the current digital signature players, there are three names that have obtained a license from BI, including: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), and PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

The development of digital signature startup

In Indonesia, PrivyID is a pioneering startup providing digital signature services. The Co-Founder and CEO Marshall Pribadi said to DailySocial that his services have been used by around 700 companies of various business scales — 6 of which are 4 national book banks, 3 telecommunications operators, 5 global insurance companies in Indonesia. In addition, PrivyID has also expanded the use of its services in other sectors such as education, energy, manufacturing, and recruitment agencies.

Furthermore, Marshall exemplifies several case studies on how the implementation of digital signatures can provide business efficiency. For instance, in Generali, the finalizing process of illustration form and a Life Insurance Request Letter, which previously took 3 to 5 days, can now be shortened to just 1 hour.

Another implementation is at Bank Mandiri, PrivyID supports the online account opening process and makes the process completely paper-free. At President University, digital signature services are used for the purposes of signing cooperation agreements, NDAs, etc .; including conducting API integration for the signing of diplomas and transcripts by the chancellor and dean.

PrivyID secured Series A2 funding at the end of 2019. The list of investors include Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
PrivyID’s Co-Founder & CEO, Marshall Pribadi / PrivyID

In addition, there are some similar players which already run its services. The latest one is TekenAja, a joint venture under GDP Venture. It is based in the same company as the developer of the ASLI RI biometric verification platform (which has been registered in the IKD OJK cluster).

TekenAja’s Co-Founder & COO, Rionald Soerjanto explained to DailySocial, one of the unique selling points that his company wanted to present was the biometric verification capability. He said this is relevant to avoid gaps in system security and operational standards that is possibly be tricked – for example by using fake identities or photos.

The TekenAja service is currently used by financial service institutions to keep transactions online and safe. Users can later use the mobile application to carry out the signature process. In terms of business, there are two implementation models, either through a special portal provided or through API integration into the application system. TekenAja consumers are corporations in the banking sector, multi-finance, fintech, and retail companies.

PrivyID and TekenAja have jointly established strategic cooperation with Dukcapil for the needs of data population verification.

Digital signature penetration in Indonesia

Marshall also said that before the pandemic, about 80% of its service users came from financial institutions. It is due to the OJK’s policy which requires fintech lending services to apply a digital signature in their system. When the pandemic started, many companies in other sectors started to use PrivyID, including those in the telecommunications, logistics, energy, FMCG, and health industries.

“During the pandemic, PrivyID recorded an increase in corporate subscribers of up to 405% year-on-year. [..] It is ensured that the use of digital signatures in Indonesia will continue to increase in the future,” he said.

Although it’s getting mature, users of signature services in Indonesia are not very significant in quantity. Marshall said this is due to the lack of public knowledge about the legality of digital signatures. In addition, there are still many who do not know the benefits of digital signatures that companies can get. Therefore, he thought, user education is still being the company’s priority.

TekenAja also agreed. The Covid-19 pandemic has accelerated various things to be contactless.  Soerjanto said digital signature services can be an effort to keep transactions fully online, thereby reducing the potential for the spread of viruses – for example, the direct visit for signatures on paper. In addition, to support WFH activities, offices can provide efficient HRD processes for signing permits, applying for leave, and others.

Regarding future challenges, Soerjanto also considers education of digital signatures to be the most important. “In my opinion, the challenge is only in terms of digital signatures. Actually, it is not new in Indonesia, the OJK has started suggesting from 2016. However, it still lacks comprehensive. Thanks to the pandemic, people know better as they are forced in order to make secure online transactions,” he added.

He is optimistic about the development of the digital signature ecosystem in Indonesia as the regulators are quite supportive. “The Indonesian government, both Dukcapil, and Kominfo is quite supportive in terms of implementing biometrics for digital signatures,” Soerjanto concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup tanda tangan digital saat ini bernaung di beleid yang dikeluarkan Kemkominfo, OJK, dan BI

Regulasi dan Pemanfaatan Tanda Tangan Digital di Indonesia

Tanda tangan digital (digital signature) mulai banyak dibicarakan di tengah peningkatan pesat penggunaan layanan digital, terlebih di sektor keuangan seperti di aplikasi perbankan atau fintech. Dengan peluang itu, startup yang bergerak menyediakan platform tanda tangan digital mulai memaksimalkan kehadirannya.

Menurut definisi Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), bagian dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tanda tangan digital adalah tanda tangan elektronik yang digunakan untuk membuktikan keaslian identitas si pengirim dari suatu pesan atau dokumen. Selain itu, tanda tangan digital merupakan tanda tangan elektronik yang telah tersertifikasi. Tujuan utama tanda tangan digital adalah mengamankan pesat atau dokumen dari pihak yang tidak berhak/berwenang, termasuk di dalamnya melindungi data sensitif dan menguatkan kepercayaan.

Sementara menurut UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Regulasi yang menaungi

Di Indonesia, startup tanda tangan digital bisa bernaung di tiga regulator, meliputi Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).

Pertama di Kominfo, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) diawasi oleh Direktorat Keamanan Informasi. PSrE dibentuk dan dijalankan sesuai dengan peraturan pemerintahan No. 82 Tahun 2012.

Berdasarkan peraturan tersebut PSrE dibagi menjadi dua:

  • PSrE Induk; penyelenggara sertifikat elektronik/certification authority (CA) yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia di bawah Direktorat Keamanan Informasi, Kominfo yang menerbitkan sertifikat elektronik bagi PSrE Berinduk,
  • PSrE Berinduk; penyelenggara sertifikat elektronik yang telah diakui oleh PSrE Induk untuk menjalankan jasa sertifikat digital yang dilakukan baik oleh perseorangan, organisasi, maupun badan usaha penyelenggara sertifikat elektronik.

Sehingga dapat disimpulkan, dalam naungan Kominfo, para startup yang bermain di ranah tersebut masuk sebagai PSrE Berinduk. Untuk para pemain sendiri, pemerintah juga membaginya ke dalam tiga status pengakuan, sebagai berikut:

  • Terdaftar; diberikan setelah PSrE memenuhi persyaratan proses pendaftaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
  • Tersertifikasi; diberikan setelah otoritas sertifikat memenuhi persyaratan proses bersertifikat yang diatur dalam Peraturan Menteri.
  • Berinduk; diberikan setelah PSrE memperoleh status tersertifikasi dan mendapatkan sertifikat sebagai PSrE Berinduk; termasuk di dalamnya proses audit.

Berikut para pemain yang telah terdaftar sebagai PSrE di Kominfo, data diakses per 18 Februari 2021:

Gambar 1

Kedua di OJK, para pemain saat ini masih bernaung sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Didasarkan pada POJK No. 13/POJK.02/2018, penyelenggara IKD tersebut dimaksud sedang dalam proses penelitian dan pendalaman terhadap model bisnisnya melalui mekanisme regulatory sandbox sampai akhirnya nanti lanjut ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Klaster yang spesifik memfasilitasi startup tanda tangan digital adalah e-KYC. Dalam beleid tersebut e-KYC didefinisikan sebagai platform yang membantu menyediakan jasa identifikasi dan verifikasi yang dilakukan terhadap calon nasabah/nasabah dengan menggunakan data kependudukan yang bersumber dari Dukcapil. Layanan tersebut terintegrasi dengan berbagai aplikasi yang membutuhkan proses transaksi – beberapa platform juga mulai menempatkan verifikasi biometrik sebagai landasan utamanya.

Gambar 2

Di klaster ini, dari data yang diperbarui per Agustus 2020 terdapat empat permain yang telah tercatat, sebagai berikut:

Gambar 3

Ketiga di BI, para pemain bernaung di regulatory sandbox dalam kategori Teknologi Informasi. Secara spesifik aturan di BI memfokuskan pada pemanfaatan tanda tangan elektronik untuk pengajuan layanan perbankan seperti kartu kredit. Dari pemain tanda tangan digital yang beroperasi, ada tiga nama yang sudah mendapatkan status berizin dari BI, meliputi: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), dan PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

Perkembangan startup tanda tangan digital

Di Indonesia, PrivyID menjadi startup pelopor penyedia layanan tanda tangan digital. Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Marshall Pribadi menyampaikan, saat ini layanannya telah digunakan oleh sekitar 700 perusahaan dengan berbagai skala bisnis — 6 di antaranya bank buku 4 nasional, 3 operator telekomunikasi, 5 perusahaan asuransi global di Indonesia. Selain itu PrivyID juga sudah memperluas penggunaan layanan mereka di sektor lain seperti pendidikan, energi, manufaktur, hingga agensi perekrutan.

Lebih lanjut Marshall mencontohkan beberapa studi kasus bagaimana implementasi tanda tangan digital mampu memberikan efisiensi bisnis. Misalnya di Generali, proses finalisasi ilustrasi formulir dan Surat Permintaan Asuransi Jiwa yang sebelumnya membutuhkan waktu 3 s/d 5 hari, kini bisa disingkat jadi 1 jam saja.

Penerapan lain di Bank Mandiri, PrivyID mendukung proses pembukaan rekening secara online dan membuat prosesnya sama sekali tidak membutuhkan kertas. Di President University, layanan tanda tangan digital digunakan untuk keperluan penandatanganan perjanjian kerja sama, NDA, dll; termasuk melakukan integrasi API untuk penandatanganan ijazah dan transkrip nilai oleh rektor dan dekan.

PrivyID membukukan pendanaan seri A2 pada akhir 2019. Jajaran investor yang selama ini mendukung mereka termasuk Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID

Selain itu ada beberapa pemain sejenis yang sudah mengoperasikan layanannya. Terbaru ada TekenAja, sebuah joint venture dinaungi GDP Venture. Mereka juga berinduk di perusahaan yang sama dengan pengembang platform verifikasi biometrik ASLI RI (yang telah terdaftar dalam klaster IKD OJK).

Kepada DailySocial,Co-Founder & COO TekenAja Rionald Soerjanto menjelaskan, salah satu unique selling point yang hendak disuguhkan perusahaannya adalah kapabilitas verifikasi biometrik. Menurutnya hal ini relevan untuk menghindari celah keamanan sistem maupun standar operasional yang kadang masih bisa diakali – misalnya dengan penggunaan identitas atau foto palsu.

Layanan TekenAja saat ini dipakai lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Di sisi bisnis ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Konsumen TekenAja adalah korporasi di sektor perbankan, multifinance, fintech, dan perusahaan ritel.

PrivyID dan TekenAja sama-sama menjalin kerja sama strategis dengan Dukcapil untuk kebutuhan verifikasi data kependudukan.

Penetrasi tanda tangan digital di Indonesia

Marshall juga mengatakan, sebelum pandemi sekitar 80% pengguna layanannya berasal dari lembaga keuangan. Hal itu karena kebijakan OJK yang mewajibkan layanan fintech lending mengaplikasikan tanda tangan digital di sistemnya. Saat pandemi mulai banyak perusahaan di sektor lain mulai memanfaatkan PrivyID, termasuk yang bergerak di industri telekomunikasi, logistik, energi, FMCG, dan kesehatan.

“Selama masa pandemi, PrivyID mencatat kenaikan pelanggan perusahaan hingga 405% year-on-year. [..] Diyakini penggunaan tanda tangan digital di Indonesia ke depannya akan terus meningkat,” ujarnya.

Kendati terus bertumbuh, pengguna layanan tanda tangan di Indonesia belum signifikan secara kuantitas. Menurut Marshall, hal tersebut karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai legalitas tanda tangan digital. Di samping itu masih banyak yang belum mengetahui manfaat tanda tangan digital yang bisa didapatkan oleh perusahaan. Untuk itu, menurutnya, upaya edukasi pengguna masih tetap diprioritaskan dalam agenda perusahaan.

TekenAja pun memiliki keyakinan yang sama. Pandemi Covid-19 mendorong berbagai hal menjadi contactless. Menurut Rionald, layanan tanda tangan digital dapat menjadi upaya menjaga agar transaksi-transaksi tetap bisa sepenuhnya dilakukan secara online sehingga mengurangi potensi penyebaran virus — misalnya proses kunjungan untuk tanda tangan langsung di kertas. Selain itu, untuk mendukung kegiatan WFH, perkantoran bisa memberikan efisiensi proses HRD untuk penandatanganan surat izin, pengajuan cuti, dan lain-lain.

Terkait tantangan ke depannya, Rionald juga menganggap edukasi pengertian tanda tangan digital menjadi yang paling utama. “Menurut saya, challenge-nya cuma di pengertian soal digital signature. Sebenarnya di Indonesia tidak baru, OJK sudah mulai suruh pakai dari 2016. Tapi pengertiannya dulu belum terlalu dalam. Berkat pandemi, orang jadi lebih tahu karena dipaksa harus bisa melakukan transaksi online secara lebih aman,” imbuhnya.

Ia optimis dengan perkembangan ekosistem tanda tangan digital di Indonesia, karena sejauh ini pihak regulator cukup suportif. “Pemerintah Indonesia, baik itu Dukcapil maupun Kominfo, cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital,” tutup Rionald.

Wawancara eksklusif dengan Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo tentang visi dan strategi bisnis dalam penguatan layanan finansial digital

Strategi MNC Group Perkuat Lini Bisnis Fintech

MNC Group melalui unit MNC Kapital makin agresif mengembangkan layanan fintech. Setelah meluncurkan platform pembayaran SPIN (Smart Payment Indonesia) pada akhir 2019 lalu, mereka mengenalkan Flash Mobile untuk menjadi sistem payment gateway. Layanan tersebut juga sudah mendapatkan lisensi penuh dari Bank Indonesia, meliputi payment gateway, fraud detection, dan invoicing service.

Di luar itu, sebenarnya MNC juga sudah memiliki beberapa aplikasi finansial. Contohnya adalah Hario sebagai platform insurtech yang mengintegrasikan dengan unit perusahaan asuransi MNC Life. Ada juga BangKredit Mobile, aplikasi pengajuan kredit mobil atau rumah yang terintegrasi dengan PT MNC Finance.

Untuk membahas lebih lanjut mengenai visi perusahaan mengembangkan ekosistem fintech-nya, DailySocial berkesempatan melakukan wawancara dengan Jessica Tanoesoedibjo. Ia saat ini menjabat Direktur MNC Kapital, Managing Director SPIN, dan Managing Director Flash Mobile.

“Di struktur MNC Kapital, kami memiliki ekosistem layanan finansial menyeluruh mulai dari bank, sekuritas, aset manajemen, asuransi, multifinasial, dan lain-lain. Tapi seperti yang kita ketahui, sekarang semua sudah merambah ke digital, jadi jika ingin kompetitif dan memberi layanan terbaik maka harus masuk ke sana. Dan kalau kita lihat di ekosistem MNC, maka salah satu yang bisa melengkapi di awal adalah pembayaran, maka dari itu fintech pertama kita adalah e-money dan e-wallet,” jelas Jessica.

Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo / MNC Group
Direktur MNC Kapital Jessica Tanoesoedibjo / MNC Group

Flash Mobile sendiri bukan unit baru di perusahaan. Sebelumnya platform tersebut sudah bernaung di Infokom (anak usaha MNC di bidang infrastruktur) sebagai biller aggregator, ditujukan untuk menjadi jembatan dengan platform pembayaran di luar MNC. Contohnya memudahkan pengguna membayar langganan TV berbayar lewat aplikasi digital wallet atau platform e-commerce.

“Kami melihat potensi payment gateway cukup besar di pasar, jadi kami migrasikan dari di bawah unit media ke layanan finansial,” imbuhnya.

Peran payment gateway memang cukup krusial untuk ekonomi internet saat ini. Layanan tersebut memungkinkan berbagai aplikasi digital atau situs web untuk terhubung dengan berbagai sistem pembayaran. Menggunakan sambungan API, pemilik bisnis bisa menyuguhkan berbagai opsi pembayaran, mulai dari dompet digital, transfer bank, hingga kartu kredit. Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang menyajikan layanan serupa, termasuk Midtrans (Gojek Group), Doku, Xendit, Faspay, dan Cashlez.

Terintegrasi dengan ekosistem bisnis

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam Fintech Report 2020, ada lima aplikasi pembayaran digital yang paling banyak digunakan menurut responden. Secara berurutan meliputi Gopay (87%), OVO (80,4%), Dana (75,6%), ShopeePay (53,2%), dan LinkAja (47,5%). Kondisi pasar memang sangat kompetitif, untuk itu penting bagi pengusung layanan untuk mampu menunjukkan unique selling point yang relevan sehingga dapat memikat pangsa pasar.

Samuel Mulyono, Komisaris SPIN dan COO Flash Mobile, memberikan pandangannya. Ia menjelaskan ada beberapa aspek yang diyakini dapat memperkuat posisi layanan fintech MNC. Salah satu yang dominan adalah kekuatan media.

“Kami hadir bukan sebagai single player, tapi sebagai satu buah ekosistem yang memberikan solusi terintegrasi dengan seluruh layanan kami. SPIN dan Flash Mobile akan berdiri di tengah sebagai center dari seluruh ekosistem keuangan kami. Selain itu kami juga akan menggabungkan dengan kekuatan media yang dimiliki perusahaan, untuk benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat,” ujar Samuel.

Lebih lanjut Jessica menambahkan, integrasi dengan platform digital lain juga menjadi salah satu prioritas dalam menumbuhkan bisnis. “Sebenarnya di MNC ada [platform] e-commerce (salah satunya The F Thing), kita ada Mister Aladin yang beranjak menjadi AladinMall, selain itu ada juga MNC Shop. Di internal kita sudah ada ekosistem digital. Tentunya SPIN dan Flash Mobile akan diintegrasikan. Cuma tidak menutup kemungkinan untuk memperluas cakupan ke luar, karena yang kita tawarkan bukan sekadar pembayaran, melainkan ekosistem yang menyeluruh.”

Lebih lanjut Jessica mencontohkan, kepada rekanannya mereka juga akan memberikan keuntungan seperti exposure media untuk membantu memaksimalkan pemasaran.

Dalam waktu dekat, MNC akan melahirkan inovasi e-TVmall, mengintegrasikan integrasi layanan media, pembayaran, dan e-commerce. Platform ini memungkinkan penonton menjadi lebih interaktif. Saat konsumen melihat iklan di televisi, mereka bisa langsung memindai QRIS yang ditampilkan untuk selanjutnya berbelanja dan melakukan pembayaran. Pendekatan ini juga dinilai akan menguntungkan pengiklan. Jika tadinya promosi hanya untuk meningkatkan awareness, sekarang bisa sekaligus menghasilkan transaksi.

Fokus bisnis tahun 2021

[Ki-Ka] Yudi Hamka (Director SPIN & Director Flash Mobile), Almais Tandung (COO SPIN), Jessica Tanoesoedibjo (Direktur MNC Kapital, Managing Director SPIN & Flash Mobile), Maya Sari Dewi (CFO SPIN & Flash Mobile), Samuel Mulyono (COO Flash Mobile), Darma Widjaja (CFO Benih Baik) / MNC Group
[Ki-Ka] Yudi Hamka (Director SPIN & Director Flash Mobile), Almais Tandung (COO SPIN), Jessica Tanoesoedibjo (Direktur MNC Kapital, Managing Director SPIN & Flash Mobile), Maya Sari Dewi (CFO SPIN & Flash Mobile), Santi Paramita (Direktur Legal MNC Group), Samuel Mulyono (COO Flash Mobile), Darma Widjaja (CFO Benih Bersama) / MNC Group
Di tahun 2020, SPIN dihadapkan pada tantangan pandemi. Namun Jessica justru melihatnya sebagai momentum. Dibantu kekuatan media, mereka mencoba menyampaikan pesan bahwa di era new normal ini model transaksi contactless bisa menjadi pilihan untuk meminimalkan persebaran virus. “One of the good things, karena kita memiliki media masa, pesannya juga bisa kita sampaikan secara luas, tidak perlu door to door satu per satu,” imbuh Jessica.

Kolaborasi juga diyakini menjadi variabel penting dalam ekonomi digital saat ini. Berbicara tentang roadmap MNC di lini digital, sudah ada beberapa hal yang akan disiapkan di waktu mendatang. Mereka akan masuk ke lini venture capital dan crowdfunding. Selain itu akan ada semacam konsep “sandboxing”, sehingga bisa berbaur dengan pemain lain. Semua itu akan dilakukan secara bertahap.

Beberapa korporasi di Indonesia sekarang mengandalkan pendekatan corporate venture capital (CVC) untuk melakukan konsolidasi dengan startup. Tujuannya untuk mengakselerasi transformasi digital di lini bisnis – alih-alih mengembangkan layanan digital secara mandiri, mereka merangkul startup di bidang terkait untuk berjalan bersama, sehingga meminimalkan effort untuk membuat segala sesuatunya dari nol, termasuk edukasi pasar dan mempersempit persaingan.

Dengan bisnis model yang ada, MNC Kapital juga melihat potensi besar di kota tier 2 dan 3, sekaligus di luar Jawa. SPIN maupun Flash Mobile cukup percaya diri mampu masuk ke area tersebut, karena fokusnya memberikan manfaat sekaligus komplementer bagi kebiasaan sehari-hari mereka. Lagi-lagi kekuatan market share 48% di kancah nasional, MNC yakin bisa gesit memberikan edukasi pasar secara tepat.

“Kekuatan media coba kita kolaborasikan. Dengan market share tersebut media kita telah mencakup ke daerah-daerah tadi, yang literasi digitalnya masih perlu ditingkatkan, sehingga kita masih cukup percaya diri bisa membuka pasar baru sekaligus bersaing dengan bisnis lain,” imbuh COO SPIN Almais Tandung.

Beberapa aplikasi yang sudah ada, seperti insurtech, lending, dan securities crowdfunding, ke depannya ingin diintegrasikan menjadi sebuah satu kesatuan sistem. Jessica mengatakan, “Kita punya Hario dan beberapa aplikasi lainnya. Harapannya itu bukan jadi standalone app. Sekarang masih di fase awal, tapi ke depannya semua mengerucut ke satu combined ecosystem.”

“Fitur produk akan terus dikembangkan, baik SPIN, Flash Mobile, dan platform lainnya. Tahun ini juga ada target user acquisition lebih luas lagi,” tutup Jessica.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here