Tag Archives: Bank Indonesia

Bank Indonesia to Set Standard for Open API, Optimizing Collaboration of Banking and Fintech

Bank Indonesia set the standard for the Open Application Programming Interface (API) to facilitate collaboration between banking and fintech to create an inclusive financial services ecosystem. Open API is an application program that allows companies to be integrated between systems (system to system).

BI’s Director of Payment System Policy Department, Erwin Haryono explained, there would be an agreement and a standardized code by banks and fintech when adopting the Open API standard.

“We want digital transformation in Indonesia to be more integrated. Open API allows banks and fintech to collaborate on data,” Erwin said, as quoted from Katadata.co.id.

The standard is included in the five main central bank initiatives in the blueprint of the Indonesian payment system by 2025. BI is currently refining the stages.

Once released, the application will be performed in stages considering diversity in the payment system industry in Indonesia. This stage will be performed both in terms of the players and the implementation time, considering the size and complexity of the business.

BI considers the Open API standard to improve efficiency in transaction and payment systems. In addition, it is able to increase innovation, competition, and financial inclusion, also reduce and mitigate risk.

Moreover, it is required in the industry, influenced by the rapid digitalization that accelerates the implementation of collaboration between banking and fintech. This is at least reflected in a number of banking corporate actions, which have penetrated the digital banking business model.

Rapid development

Previously, many banks considered opening technology such as API to other companies as forbidden. In fact, this allows the occurrence of moral hazard that could threaten certain aspects of consumer protection. This aspect is a guideline that is always preferred for the financial services industry in running a business.

However, with the rapid technology development, banking is starting to open up. The qualified payment system is required in advancing digital-based businesses, such as e-commerce.

Payment via bank transfers used to be quite popular, but the manual checking process turns out to be a barrier. Finally, due to the rapid development, consumers can top-up electronic money through virtual accounts or NFC in e-commerce applications, also open saving account in non-e-commerce applications.

More banks are opening API services to reach their customers when transacting in various digital applications. It includes BCA, Bank Mandiri, BRI, Bank Danamon, Bank Permata, Bank CIMB, Jenius, Digibank, and many more.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Standar API Bank Indonesia

Bank Indonesia Segera Rilis Standar Open API, Permudah Kolaborasi Bank dan Fintech

Bank Indonesia segera merilis standar Open Application Programming Interface (API) untuk permudah kolaborasi antara bank dan fintech mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif. Open API adalah program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar sistem (system to system).

Direktur Departement Kebijakan Sistem Pembayaran BI Erwin Haryono menerangkan, akan ada perjanjian kerja sama dan kode etik terstandar yang dilakukan perbankan dan fintech ketika sudah mengadopsi standar Open API.

“Kami ingin transformasi digital di Indonesia lebih terintegrasi. Open API membuat bank dan fintech bisa berkolaborasi terkait data,” ujar Erwin mengutip dari Katadata.co.id.

Standar ini masuk ke dalam lima inisiatif utama bank sentral pada cetak biru sistem pembayaran Indonesia hingga 2025. Adapun saat ini tahapannya sedang disempurnakan oleh BI.

Bila sudah dirilis, penerapannya akan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan keberagaman dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Tahapan tersebut akan dilakukan baik dari sisi pelaku maupun waktu implementasi, dengan mempertimbangkan aspek ukuran dan kompleksitas bisnis.

BI memandang standar Open API akan meningkatkan efisiensi dalam sistem transaksi dan pembayaran. Selain itu, mampu meningkatkan inovasi dan persaingan, meningkatkan inklusi keuangan, serta mengurangi dan memitigasi risiko.

Terlebih itu, keberadaannya sangat dibutuhkan di industri, terpengaruh dari derasnya digitalisasi yang mempercepat terlaksananya kolaborasi antara perbankan dengan fintech. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam beberapa aksi korporasi perbankan, yang sudah merambah model bisnis bank digital.

Perkembangan pesat

Dulu banyak perbankan menganggap membuka teknologi seperti API ke perusahaan lain adalah tindakan yang haram. Pasalnya, ini memungkinkan terjadinya tindakan moral hazard yang bisa mengancam aspek perlindungan konsumen. Aspek ini adalah pedoman yang selalu diutamakan bagi industri jasa keuangan dalam berbisnis.

Namun, lambat laun seiring perkembangan teknologi yang pesat perlahan-lahan perbankan mulai membuka diri. Pasalnya sistem pembayaran yang mumpuni itu sangat dibutuhkan dalam memajukan bisnis berbasis digital, salah satunya adalah pemain e-commerce.

Pembayaran dengan bank transfer dulu cukup terkenal, namun menjadi hambatan karena proses pengecekannya harus dilakukan secara manual. Akhirnya sekarang perkembangan makin pesat, bahkan konsumen bisa top-up saldo uang elektronik, melalui virtual account atau NFC di dalam aplikasi e-commerce, bahkan buka tabungan di bukan aplikasi e-commerce.

Semakin banyak perbankan yang membuka layanan API untuk menjangkau para nasabahnya saat bertransaksi di beragam aplikasi digital. Di antaranya, ada BCA, Bank Mandiri, BRI, Bank Danamon, Bank Permata, Bank CIMB, Jenius, Digibank, dan masih banyak lagi.

uang elektronik eidupay

Aplikasi Uang Elektronik EiduPay dan Solusinya Khusus Dunia Pendidikan

Dominasi GoPay, Ovo, Dana, dan LinkAja sebagai pemain uang elektronik tersohor di Indonesia, masih menyiratkan peluang di segmen tertentu yang belum digarap secara maksimal mereka, yakni dunia pendidikan. Kesempatan tersebut ingin digarap oleh pemain baru asal Yogyakarta, yakni EiduPay.

Sejatinya, EiduPay berdiri di bawah payung bimbingan belajar Prime Generation yang mengklaim sebagai integratif bimbel online dan offline. Salah satu produknya adalah Eduprime (Prime Mobile) sebagai edutech berbasis aplikasi. Perusahaan ini fokus pada bimbel untuk pelajar mulai dari tingkat kelas 4 SD sampai kelas 12 SMA.

Kepada DailySocial, Founder dan President EiduPay Dewi Yuniati Asih menjelaskan EiduPay didirikan untuk membangun inklusi keuangan, sekaligus mewujudkan ekosistem yang efisien di dunia pendidikan. “Secara teknis, EiduPay baru beroperasi pada Maret 2020,” ucapnya.

Dengan semangat itulah, EiduPay memilih untuk bersaing langsung dengan pemimpin industri, melainkan perkuat bisnis utamanya di bidang pendidikan, bermitra dengan pemain di ekosistem yang sama. “Fitur khas EiduPay adalah kemudahan mendapatkan konten terkait pendidikan. Meski secara umum, kami juga punya fitur transfer dana dan pembayaran untuk apa saja.”

Selain Dewi, dalam jajaran manajemen EiduPay ada Ahmad Nursodik sebagai Chairman dan Sweet Luvianto sebagai Operation.

Dia memastikan ke depannya perusahaan akan terus berinovasi agar fitur-fitur yang dihadirkan dapat menjawab solusi yang ada di lapangan. Perusahaan mengincar kemitraan dengan 1500 sekolah yang tersebar di Indonesia. Menurutnya di sana ada 800 ribu siswa, guru, dan orang tua yang ditotal mencapai 2 juta orang.

“Ini merupakan sinergi dengan Eduprime, platform belajar mengajar yang menjadi salah satu pemegang saham EiduPay.”

Di dalam aplikasi EiduPay itu sendiri, dilengkapi dengan fitur-fitur umum yang sudah ada di pemain aplikasi e-money lainnya. Seperti, pembayaran tagihan listrik, BPJS, beli pulsa, bayar tagihan telepon, PDAM, dan donasi. Untuk fitur edukasi, baru tersedia pembelian paket belajar Eduprime.

Perusahaan juga sudah mengantongi lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia untuk operasionalnya.

Solusi bidang pendidikan

Apa yang ditawarkan EiduPay sebenarnya sudah dilakukan oleh pemain uang elektronik. Misalnya, GoPay kini bisa dipakai saldonya untuk membayar tagihan SPP sekolah dan biaya pendidikan lainnya melalui GoBills yang ada di dalam aplikasi Gojek.

Sejak diumumkan pada Februari 2020, kini terhubung dengan berbagai institusi pendidikan d tak hanya di kota-kota besar saja, tapi sudah masuk ke Nganjuk, Surakarta, Batam, Palangkaraya, hingga Solok.

Inovasi ini hadir berkat kemitraan antara Gojek dengan Infra Digital Nusantara (IDN), startup bidang keuangan dan pembayaran untuk institusi pendidikan. Diklaim ada lebih dari 180 unit institusi pendidikan dengan total 180 ribu siswa dari 14 provinsi masuk ke jaringan IDN.

Selain GoPay, ada LinkAja yang sudah memasukkan fitur pendidikan di dalam aplikasinya. LinkAja menyediakan pembayaran mulai dari tingkat kursus, perguruan tinggi, pesantren, hingga sekolah dari berbagai lokasi di Indonesia.

Di luar aplikasi uang elektronik, ranah ini juga digarap oleh Tokopedia. Perusahaan yang dipimpin William Tanuwijaya ini menyediakan pilihan pembayaran edukasi online dan institusi pendidikan dari kursus, perguruan tinggi, dan sekolah.

Application Information Will Show Up Here
Facebook Pay Indonesia mungkin masuk ke Indonesia dengan menggandeng GoPay, Ovo, dan LinkAja. Sudah ada perbincangan dengan Bank Indonesia.

Menimbang Rencana Kolaborasi Facebook dan Pemain Fintech Lokal untuk Sistem Pembayaran

Berdasarkan data yang dirangkum oleh WeAreSocial per awal tahun 2020 ini, Indonesia memiliki sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Sebanyak 84% dari total tersebut menggunakan WhatsApp, 82% menggunakan Facebook, 79% menggunakan Instagram, dan 50% menggunakan Messenger.

Pada November 2019, Facebook Pay diluncurkan diperkenalkan sebagai layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk mengirim dan menerima uang melalui empat aplikasi di atas. Di versi awalnya untuk penggunaan di negara asalnya, pengguna dapat memanfaatkan kartu kredit untuk diintegrasikan ke dalamnya.

Sebenarnya inisiatif ini bukan hal baru, beberapa raksasa digital lain juga meluncurkan inisiatif serupa, misalnya Google Wallet dan Apple Pay. Yang membuat jadi menarik, santer terdengar rumor bahwa layanan pembayaran perusahaan yang diinisiasi Mark Zuckerburg tersebut akan dibawa ke Indonesia. Alih-alih bekerja sama dengan bank untuk transaksi via kartu kredit, mereka menggandeng pemain fintech lokal yang bergerak di bidang pembayaran.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta kepada Reuters mengatakan, tiga pemain fintech lokal telah mulai membincangkan rencana tersebut kepada BI sekaligus memohon persetujuan. Belakangan diketahui, perusahaan yang dirangkul Facebook adalah tiga platform terbesar saat ini, yaitu GoPay, LinkAja, dan Ovo.

Ditegaskan kembali hal ini masih dalam diskusi. Belum ada proses pengajuan resmi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Facebook Pay
Layanan Facebook Pay yang diluncurkan pada November 2019 lalu / Facebook

Konsolidasi dengan pemain fintech lebih masuk akal

Pagi ini kami mencoba menghubungi tim Facebook di Indonesia. Mereka masih enggan untuk memberikan keterangan terkait rencana tersebut. Pun demikian dengan pihak fintech lokal.

Namun demikian, menurut sumber lain yang dikutip Reuters, Facebook Inc sedang bersiap untuk mengajukan diri sebagai mobile payment yang beroperasi di Indonesia, bermitra strategis dengan tiga perusahaan fintech di atas.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit beredar per Februari 2020 tercatat 17,61 juta. Rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan total penduduk atau bahkan populasi pengguna internet di Indonesia. Sementara penetrasi digital wallet jauh melampaui pertumbuhan pengguna kartu kredit. Ambil contoh pada Desember 2019, LinkAja catatkan lebih dari 40 juta pengguna. Cukup masuk akal jika di Indonesia Facebook lebih memilih pemain fintech ketimbang bank untuk debutnya.

Jika integrasi ini berhasil dilakukan, nantinya pengguna Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp bisa berkirim uang menggunakan nominal saldo yang tersimpan di akun GoPay, LinkAja, atau Ovo yang dihubungkan dengan layanan Facebook Pay.

Apa jadi ancaman?

Sebanyak 59% dari total penduduk di Indonesia adalah pengguna media sosial. Jika diakumulasi, pengguna aplikasi dari “keluarga Facebook” akan mendominasi. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk sebuah statistik pengguna platform digital – bahkan bisa dibilang yang terbesar, bagaikan sebuah ekosistem tersendiri yang dapat dikembangkan potensi bisnisnya.

Bagi pemain fintech lokal yang menjadi mitra, jelas ini kesempatan baik untuk meningkatkan sebaran pengguna layanan mereka. Facebook sendiri memiliki beberapa layanan bisnis yang berpotensi dapat turut melibatkan sistem pembayaran, misalnya untuk mendukung sistem marketplace, kegiatan donasi, atau pembayaran iklan.

OY! Indonesia Remitansi

Perkaya Fitur, OY! Indonesia Luncurkan Layanan Remitansi

OY! Indonesia adalah salah satu perusahaan fintech yang terus mencoba memperkaya fitur demi memuaskan pelanggannya. Bermula sejak tahun 2016 degan konsep aplikasi chat, kini mereka menjelma sebagai aplikasi keuangan yang memiliki fokus untuk memudahkan kehidupan finansial secara menyeluruh.

OY! Indonesia mengklaim diri sebagai wallet aggregator, sebuah layanan yang memungkinkan pengguna untuk menghubungkan berbagai macam kartu debit yang dimiliki untuk bisa langsung bertransaksi atau melakukan transfer. Sederhananya mereka berusaha menjadi sebuah aplikasi mobile banking yang menghubungkan banyak akun perbankan di satu kanal.

Kini startup yang digawangi Jesayas Ferdinandus, Jan Kristanto dan Hilfi Alkaff baru saja merilis fitur baru, yakni remitansi. Memungkinkan pengguna mengirim dan menerima uang dari luar negeri.

“Mulai tahun ini, fitur transfer uang dalam aplikasi OY! Indonesia tidak hanya antar-bank di dalam negeri namun juga ke luar negeri, dan pastinya dengan biaya transfer yang paling terjangkau. Beberapa negara yang dapat menjadi penerima adalah Singapura, Malaysia, Thailand, India, Korea Selatan dan China,” jelas Head of Marketing Sarah Azzahra Rilyad.

Remitansi mulai banyak diinisiasi perusahaan fintech dalam negeri

Di Indonesia sendiri layanan remitansi ini sudah diterapkan oleh beberapa perusahaan fintech, di antaranya adalah Transfez, per akhir Januari 2020 layanan remitansi mereka sudah bisa menjangkau 37 negara, baik Asia dan Eropa. Uang yang dikirim pun sudah mencapai Rp220 miliar.

Ada juga TrueMoney, yang pada pertengahan 2019 sudah mulai merencanakan fitur remitansi untuk pengiriman ke Malaysia, Singaura, Filipina, Nigeria, dan Pantai Gading. RemitPro, Top Remit juga tak mau ketinggalan. Layanan terbaru dari Digiasia Bios ini bermitra dengan Western Union.

Selain perusahaan fintech dalam negeri penyedia layanan remitansi dari luar negeri juga sudah mulai memasuki pasar Indonesia. Di 2018 silam, Wallex Asia resmi masuk ke Indonesia pasca mendapatkan investasi yang dipimpin oleh Beenxt dan diikuti oleh Central Capital Ventura dan Indonusa Dwitama.

Kendati bukan menjadi yang pertama OY! Indonesia merasa peluang mereka masih cukup besar untuk tumbuh. Selain karena potensi transfer uang dari dan ke luar negeri masih cukup tinggi OY! Indonesia juga cukup yakin bahwa fitur remitansi mereka lebih sederhana dan mudah digunakan.

Saat ini perusahaan juga sudah mendapatkan izin dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara transfer dana. Seperti diketahui, beberapa layanan finansial berbasis pembayaran dan pinjaman diregulasi ketat oleh otoritas, sehingga konsumen pun harus selalu memastikan layanan yang digunakan sudah berizin.

Kehadiran fitur remitansi di aplikasi finansial merupakan bentuk dari inovasi lanjutan teknologi finansial di Indonesia. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir inovasi di sektor finansial terus diupayakan berbagai pihak. E-money sekarang sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat, dan yang dibutuhkan sekarang adalah fungsionalitas yang lebih tinggi dari sebuah layanan teknologi finansial.

Remitansi dan ambisi OY! Indonesia jadi aplikasi finansial paling lengkap

Di luar remitansi, mereka juga memiliki fitur untuk transfer antar bank dan top up tanpa dikenakan biaya. Selain itu mereka juga memiliki fitur personal finance management, sebuah fitur yang memugkinkan pengguna melakukan pelacakan pengeluaran dan pemasukan yang dapat dikategorikan sesuai dengan peruntukannya.

Per awa tahun 2020 ini mereka mengklaim sudah memiliki 500 ribu basis pengguna. Pertumbuhan ini juga bakal digenjot seiring dengan banyaknya fitur dan juga promosi yang dilakukan.

“[Tahun ini kami berharap] Semakin luas dalam melakukan penetrasi pasar, mengembangkan basis pengguna untuk transfer dari dan ke luar negeri sekaligus menambah negara-negara yang dapat menerima layanan International Remittance. Selain itu, kami juga terus mengembangkan kemitraan dengan produk-produk finansial untuk menambah pelayanan referral produk finansial dalam aplikasi OY!,” pungkas Sarah.

Application Information Will Show Up Here
Alipay WeChat Pay di Indonesia

CIMB Niaga Dapat Restu, Kawal WeChat Pay Masuk Indonesia

Aplikasi pembayaran asal Tiongkok WeChat Pay mendapat restu Bank Indonesia untuk beroperasi yang dikawal Bank CIMB Niaga sebagai bank acquirer. Kabar ini dikonfirmasi langsung Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng pada pekan lalu (11/1).

Alhamdulillah WeChat Pay sudah mematuhi, sekarang mereka sudah saya kasih izin QRIS. Jadi sudah jalan, yang dulu nggak ada payung hukumnya sekarang sudah ada payung hukum mengenai QRIS. Mereka harus patuh,” kata Sugeng seperti dikutip dari Detik.

WeChat Pay sebagai penyelenggara jasa pembayaran (PJSP) asing, harus memenuhi ketentuan. Bahwa mereka harus bekerja sama dengan Buku IV untuk masuk sebagai PJSP domestik.

Dikonfirmasi langsung kepada DailySocial, Direktur Bisnis Konsumer Bank CIMB Niaga Lani Darmawan menjelaskan perseroan bekerja sama dengan WeChat Pay untuk menerima pembayaran dan transaksi menggunakan aplikasi WeChat Pay di merchant QRIS dan EDC milik CIMB Niaga.

“Ini untuk memfasilitasi kegiatan wisatawan mancanegara pengguna WeChat Pay di Indonesia, sehingga kami harapkan bisa lebih menggairahkan pariwisata Indonesia karena kemudahan transaksi wisatawan di Indonesia,” ujar Lani.

Perseroan berharap dapat mengantongi lebih banyak sumber CASA (current account and saving account) alias dana murah yang dapat diraup. Produk dari CASA itu sendiri adalah tabungan dan giro.

Alipay WeChat Pay di Indonesia

Setelah mendapat restu dari BI, perseroan akan perluas jumlah merchant di lokasi-lokasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan Tiongkok. Selain Bali, potensi wisata yang banyak mereka kunjungi adalah Batam dan Manado.

Sebelumnya perseroan melakukan piloting di sejumlah titik wisata di Bali sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu. Sayangnya, Lani enggan menggambarkan tingkat transaksinya seperti apa. “Sangat kecil [transaksinya] karena terbatas [lokasi merchant],” tambahnya.

Dia mengaku, selama kurun waktu tersebut piloting relatif berjalan lancar dan tanpa hambatan.

Tidak hanya bersama CIMB Niaga, WeChat sebenarnya juga menggandeng BCA sebagai acquirer. Namun belum menemukan titik terang.

Kompetitor terdekat WeChat, Alipay disebutkan masih dalam proses persetujuan untuk masuk secara resmi. Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Ricky Satria menjelaskan proses persetujuan ini punya kontrak yang cukup rumit karena menyangkut kedua belah pihak.

Menurutnya, tidak hanya kedua pemain besar tersebut yang berencana masuk Indonesia, masih banyak PJSP asing yang kemungkinan akan masuk. Hal ini lantar menguntungkan Indonesia karena dapat mengetahui seberapa banyak turis tersebut berbelanja di dalam negeri berkat kehadiran QRIS.

“Sekarang kan (turis berbelanja) tidak tercatat. Tapi kalau lewat QRIS tercatat berapa sih teman-teman turis yang berbelanja lewat QRIS,” tutur Ricky.

Vicky G. Saputra

Netzme Kantongi Lisensi Uang Elektronik Bank Indonesia, Fokus Rangkul Pengguna dari Perkampungan

PT Netzme Kreasi Indonesia (Netzme) resmi mengantongi lisensi uang elektronik (e-money) dari Bank Indonesia (BI). Izin resmi ini digulirkan sejak 19 Desember 2019 dengan nomor surat 21/584/DKSP/Srt/B. Selain itu perusahaan juga mendapatkan izin sebagai Penyelenggara Transfer Dana dalam Rangka Penyediaan fitur Transfer Dana Melalui Uang Elektroik dengan nomor surat 21/585/DKSP/Srt/B.

Dengan keluarnya izin resmi dari BI, pihak Netzme lebih leluasa untuk mengoptimalkan inovasi yang ada guna menggenjot pertumbuhan bisnis dan menjangkau lebih banyak lagi pengguna.

Founder & CEO Netzme Vicky G. Saputra kepada DailySocial menceritakan bahwa izin yang mereka dapat minggu lalu diurus sejak dua tahun silam. Implikasinya tahun ini Netzme tidak banyak melakukan inovasi fitur karena fokus pada pemenuhan syarat yang diminta BI.

Vicky juga menceritakan, sejauh ini mereka sudah memiliki 2,5 juta pengguna aktif, 97% di antaranya berada di kota-kota kecil dan daerah pinggiran. Sesuai dengan target mereka yang berusaha menyediakan solusi bagi kalangan masyarakat yang sama sekali belum tersentuh layanan bank (unbankable).

Rangkaian strategi online dan offline akan terus ditingkatkan guna menjaring lebih banyak pengguna. Termasuk dengan membuat program eksklusif yang menyasar perkampungan dan pesantren. Program “1000 Kampung Digital” sendiri juga sudah dilaksanakan mulai tahun ini, menggandeng beberapa ambassador yang ditunjuk sebagai leader membantu masyarakat desa tertentu untuk lebih melek ke layanan teknologi finansial.

“Harapannya kita bisa back to kampung, pesantren seperti sebelumnya, dan comply dengan QRIS, (juga) memulai lagi proses IPO. Saya sih maunya sesegera mungkin, tapi belajar dari pengalaman kemarin yang pasti akan segera memulai prosesnya,” imbuh Vicky.

Lebih dari sekadar layanan pembayaran

Aplikasi Netzme didesain tidak hanya sebagai platform pembayaran. Di dalamnya dibubuhkan serangkaian fitur berbasis media sosial. Layaknya Facebook atau Twitter, pengguna dapat menemukan rekan baru, berkomunikasi, sampai membagikan kabar. Menariknya, jika di Facebook kita bisa memberikan Like, di Netzme pengguna bisa memberikan Like dalam bentuk nominal uang yang disebut Trulikes.

Konsep ini diyakini Netzme dapat mendukung terciptanya kreator-kreator konten andal, karena para pengikutnya dapat memberikan apresiasi lebih. Selain itu ada fitur lain seperti kuis online, game, dan berbagai kompetisi yang diadakan secara rutin.

Sebagai dasar layanan, layaknya aplikasi e-money lainnya, Netzme memungkinkan pengguna untuk melakukan berbagai pembayaran, mentransfer uang ke bank, membeli paket data/pulsa, atau melakukan pembayaran menggunakan kode QR.

Application Information Will Show Up Here

 

Rangkuman mengenai perkembangan industri fintech Indonesia selama paruh pertama tahun 2019, meliputi dinamika bisnis hingga regulasi.

Catatan tentang Industri Fintech Indonesia di Paruh Pertama 2019

Teknologi finansial (fintech) menjadi salah satu lanskap yang paling atraktif di Indonesia. Mulai dari unicorn sampai pemain baru, silih berganti menghadirkan inovasi produk keuangan digital. Di paruh pertama tahun 2019, DailySocial mencatat berbagai informasi mengenai dinamika industri tersebut. Di antaranya berita mengenai pemain baru (30), produk/fitur baru (24), kolaborasi antar perusahaan (13) hingga pendanaan ke startup fintech (8).

Mengenai pemain baru yang hadir cakupannya cukup beragam. Ada yang bermain di sub-sektor p2p lending seperti Amalan, e-money seperti Zipay, agregator seperti Aiqqon, hingga pemodal ventura seperti BRI Ventures yang akan fokus berinvestasi ke fintech.

Slide1

Untuk pendanaan startup fintech, hingga Juli 2019 ada 13 transaksi. Kendati sebagian besar tidak menyebutkan nilainya, dari 4 startup yang membeberkan nominal didapat total dana $22,3 juta. Sebanyak 7 transaksi merupakan putaran tahap awal, sisanya merupakan Seri A dan Seri B.

Jika dibandingkan dengan tahun lalu, seperti yang diulas dalam Fintech Report 2018, jumlah transaksi memang meningkat kendati secara total nilai justru jauh di bawahnya. Di periode yang sama, Modalku (seri B), CekAja (seri C), Investree (seri B), dan Kredivo (seri B) berhasil membukukan lebih dari $80 juta.

Sorotan lain ialah mengenai kolaborasi yang kian intensif, baik sesama pemain digital maupun bersama institusi konvensional. Sebagai contoh, GoPay berkolaborasi dengan Google untuk menghadirkan opsi pembayaran di Google Play. LinkAja bantu Pemkot Banyuwangi untuk tingkatkan efisiensi pembayaran pajak. Ovo kerja sama dengan sejumlah fintech lending untuk hadirkan fitur cicilan tanpa kartu kredit.

Kolaborasi ini, selain meningkatkan kapabilitas layanan, dinilai efektif untuk menjaring segmentasi pelanggan yang lebih luas.

Fintech lending berizin OJK

Per 7 Agustus 2019, ada 127 pemain fintech lending yang berstatus terdaftar di OJK –sebanyak 9 di antaranya sajikan jenis layanan berbasis syariah. Yang baru, tahun ini OJK juga mulai memberikan jalan bagi para pemain untuk mendapatkan status “izin usaha”, sebagai level berikutnya setelah menggaet status “terdaftar dan diawasi”.

Hingga tulisan ini diterbitkan, ada 7 pemain yang sudah mendapatkan izin usaha yakni Danamas, Investree, Amartha, Dompet Kilat, Kimo, Tokomodal dan UangTeman.

Secara keseluruhan untuk lini bisnis p2p lending OJK mencatat terjadi pertumbuhan transaksi. Setidaknya hingga Juli 2019 nilai pinjaman yang digelontorkan sudah mendekati 50 triliun Rupiah dengan tingkat TKB90 yang cukup apik. Partisipan, baik dari sisi peminjam dan pemberi pinjaman, juga terus bertambah.

Slide2

Sebagai informasi, TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan penyelenggara p2p lending terkait penyelesaian transaksi dalam jangka waktu maksimal 90 hari sejak jatuh tempo. Sementara TKW90 adalah ukuran dari non performing loan atau gagal bayar, yakni wanprestasi dalam penyelesaian kewajiban di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. OJK meminta setiap penyelenggara untuk menginformasikan TKB90 tersebut sebagai bagian dari transparansi.

Standardisasi pembayaran QR Code

Awal Mei 2019 lalu, Bank Indonesia meresmikan QR Code Indonesia Standard (QRIS) sebagai langkah awal transformasi digital di Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) dalam membantu percepatan pengembangan ekonomi dan keuangan digital. Sederhananya, dengan QRIS nantinya satu QR Code dapat diakses oleh berbagai layanan pembayaran – misalnya di sebuah kedai hanya cukup punya satu kode, pengguna Ovo, LinkAja atau GoPay bisa membayar dengan memindai kode yang sama.

Inisiatif ini salah satunya untuk memudahkan masyarakat sebagai pengguna, di tengah pertumbuhan layanan pembayaran digital berbasis server. Setiap tahun selalu ada platform baru, kendati lebih sedikit dibanding tahun lalu, sepanjang Juli 2019 sudah ada 3 perusahaan yang sudah mengantongi lisensi e-money, yakni OttoCash, LinkAja dan Zipay.

Slide3

Penguatan peran asosiasi

Awali tahun 2019, OJK menerbitkan surat penunjukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai badan resmi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (p2p lending) di Indonesia. Berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 Bab XIII Pasal 48, maka seluruh p2p lending di Indonesia wajib mendaftarkan diri sebagai anggota AFPI.

AFPI akan menjadi mitra strategis OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan para penyelenggara yang menjadi anggotanya dan berperan dalam mendukung berbagai kegiatan edukasi dan perlindungan konsumen perusahaan fintech di Indonesia.

Otoritas juga turut menunjuk Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sebagai Asosiasi Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD), bertujuan untuk membangun sistem pengawasan yang efektif. IKD di sini terkait segmen fintech yang selama ini belum diregulasi oleh OJK. Ini adalah istilah dari OJK yang menyebutnya sebagai inovasi, bukan sebagai industri. Sejauh ini baru dua industri fintech yang sudah diregulasi, yakni p2p lending dan equity crowdfunding.

“Tahun ini industri fintech, khususnya pembayaran dan pembiayaan, semakin matang, baik dari segi regulasi maupun segi ekosistem. Kita akan melihat lebih banyak kolaborasi untuk mendukung usaha menjadi pemimpin pasar,” ujar Editor-in Chief DailySocial Amir Karimuddin mengomentari perkembangan dan proyeksi industri keuangan digital Indonesia.


Tulisan ini menjadi pengantar Fintech Report 2019 yang akan diterbitkan DailySocial dalam beberapa waktu mendatang yang mengulas secara komprehensif data dan informasi industri fintech tanah air. Agar tidak ketinggalan updatenya, silakan daftarkan email Anda untuk berlangganan di newsletter resmi DSPatch.

TranSwap Plans to Expand, Introducing “Cross Border Payment” Platform for Business in Indonesia

Not a while ago, a cross border payment provider, TranSwap, announced license from Bank Indonesia to run the money-transfer service. It’s also an opportunity taken by the Singapore-based startup to expand.

Benjamin Wong, TranSwap’s Co-Founder & CEO said to DailySocial, the license allows their company to run cross border payment service for business. They’re targeting SMEs and e-commerce in particular.

The license registered under PT TranSwap Dunamis Indonesia – part of TranSwap Group which is currently based in Hong Kong. In its debut, TranSwap is backed by an international bank with a branch office in Indonesia, but he avoids to mention any title.

“It didn’t take long to come up with Indonesia. We’re neighbors, besides, the number of cross border transaction between both countries are quite big in the last few years. Also, Indonesia runs the exponential growing e-commerce and export market,” he added.

TranSwap is available through its official website. Currently, Rupiah is yet to pop up as an option – only SGD and HKD. Later on, the platform will have special dashboard for cross border transfer/payment.

In Singapore and Hong Kong, they’ve acquired a license from the local authority. Prior to this, Koku had first arrived in Indonesian market. They offer an SaaS-based platform that allows the financial institution to digitization, including remittance or cross-border transfer. For those targeting B2C, there is also a fintech startup from Medan, TopRemit.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

TranSwap

Rencana Ekspansi TranSwap ke Indonesia, Hadirkan Platform “Cross Border Payment” untuk Bisnis

Beberapa waktu lalu, penyedia layanan cross border payment TranSwap mengumumkan telah mendapatkan lisensi dari Bank Indonesia untuk mengoperasikan layanan transfer dana. Kabar itu sekaligus menjadi pembuka rencana ekspansi startup asal Singapura tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO TranSwap Benjamin Wong mengatakan, lisensi tersebut memungkinkan perusahaannya mengadakan layanan pengiriman uang antar negara untuk bisnis. UKM dan layanan e-commerce akan menjadi target pasar prioritasnya.

Lisensi terdaftar melalui PT TranSwap Dunamis Indonesia –bagian dari TranSwap Group yang juga sudah beroperasi di Hong Kong. Dalam debutnya, TranSwap didukung oleh sebuah bank internasional yang telah beroperasi di Indonesia, namun Benjamin enggan menyebutkan namanya.

“Tidak butuh waktu lama untuk menentukan Indonesia. Selain tetangga, volume transaksi antar kedua negara (Singapura-Indonesia) sangat besar dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah lagi Indonesia memiliki pasar ekspor dan e-commerce yang bertumbuh eksponensial,” terang Benjamin.

Layanan TranSwap dapat diakses melalui situsnya. Sejauh ini, opsi Rupiah belum muncul di formulir pengiriman –baru antar Dollar Singapura dan Hong Kong. Nantinya bisnis yang menggunakan platform tersebut akan memiliki dasbor khusus yang dapat digunakan untuk pengiriman uang ke negara tujuan.

Di Singapura dan Hong Kong mereka juga sudah mendapatkan lisensi dari otoritas setempat.

Sebelumnya ada juga Koku yang hadir di Indonesia. Mereka menyajikan layanan berbasis SaaS yang memungkinkan institusi keuangan melakukan digitalisasi, termasuk menyajikan layanan remitansi atau transfer uang antar negara. Untuk yang menyasar ke B2C ada juga TopRemit, sebuah startup fintech asal Medan.