BI (Bank Indonesia) will issue the standardization of QR (Quick Response) code for electronic payment system this month. The implementation will be restricted to 12 licensed companies. The issuance has been delayed since April 2018.
Onny Wijanarko, Head of Payment System Policy and Oversight Department, said that BI will choose ASPI (Payment System Association of Indonesia) as the standard institution. They will be in charge to create the standardization.
“The restricted implementation may be going until September or October this year,” he said, as quoted in Katadata.
Some of the licensed companies are Go-Pay, TCash, OVO, BNI Yap!, and BRI. While finishing the implementation, other companies that already filed for QR code license have to re-register and complete the requirements.
“To issue the specifications [QR Code] is risky.”
ASPI is an institution created by BI involving all representations of Indonesia’s payment system industry players. It has given the authority in technical and micro extent for the standardization in payment system industry according to the terms and conditions.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan standarisasi kode respon cepat (Quick Response/QR Code) untuk sistem pembayaran uang elektronik pada bulan ini. Hanya saja, implementasinya akan dilakukan secara terbatas diikuti 12 perusahaan yang sudah mendapat izin menggunakan QR Code. Penerbitan standarisasi ini molor dari target semula BI, pada awal April 2018.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Wijanarko mengatakan BI akan menunjuk Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sebagai lembaga standar. ASPI akan menjadi lembaga yang membuat standarisasi ini.
“Implementasi terbatas itu mungkin sampai September sampai Oktober tahun ini,” kata Onny seperti dikutip dari Katadata.
Di antara perusahaan yang sudah mendapat izin menggunakan QR Code adalah Go-Pay, TCash, OVO, BNI Yap!, dan BRI. Sembari menyelesaikan implementasi terbatas, perusahaan yang sudah mengajukan izin pakai QR Code juga wajib mendaftar kembali dan memenuhi standar.
“Kalau menerbitkan spesifikasi [QR Code] sendiri, itu malah bahaya.”
ASPI adalah lembaga yang dibentuk BI dengan melibatkan representasi seluruh pelaku industri sistem pembayaran di Indonesia. Lembaga tersebut diberi kewenangan dalam lingkup mikro dan teknis untuk membuat aturan main dalam industri sistem pembayaran dengan tetap memperhatikan ketentuan dan kebijakan.
BI (Bank Indonesia) has just released the latest e-money regulations written in PBI (Bank Indonesia’s Regulation) Number 20/6/PBI 2018 to revise the previous regulation. It’s supposed to ensure a safe, efficient, fluent, and reliable e-money operation.
Quoted from Detik, Head of Payment System Department Onny Wijanarko, mentioned the 15 adjusting points. Some of which are e-money’s operational principals, open loop and closed loop.
The new rules also define a minimum capital, shares composition, representation and guarantee, fit and proper test, single ownership, holding period, cash float, cross-border, transaction, limit, and so forth.
In the regulation, floating cash in the closed loop is set for 1 billion Rupiah. The operators are divided into two groups, the front end and the back end.
The front end involves issuer, acquirer, payment gateway, e-wallet, and fund transfer. In the other hand, the back end involves principal, switching, clearing, and settlement. It’s designed to avoid monopoly.
The other standard is set for LSB (Non-Bank Financial Institutions). It shouldn’t be over 3 billion Rupiah with 51% of the shares must be locals or Indonesia’s Legal Entity.
In terms of balance, BI has renewed some limits. For the unregistered (identity is not registered and no record by the issuers), BI increase the maximum limit to Rp2 million. Meanwhile, the registered (identity is registered and recorded by the issuers) has a maximum limit of Rp10 million.
PBI’s new regulations have summarized the restrictions. It includes the prohibition of minimum balance as settlement or termination, deducting or blocking the e-money unilaterally, charging termination fee, and changing or omitting e-money value within the validity period.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Dalam lima tahun terakhir industri teknologi finansial mulai berkembang di Indonesia. Tidak hanya soal layanan dan para pemain yang terus bermunculan, perkembangan juga terlihat dari segi regulasi.
Bank Indonesia juga terlihat aktif melakukan pendataan dan pemeriksaan untuk produk dan layanan teknologi finansial. Yang terbaru Bank Indonesia juga terlihat mulai mengakui tanda tangan digital melalui masuknya PrivyID sebagai layanan penunjang fintech yang sudah lolos pemeriksaan bank Indonesia.
PrivyID masuk dalam daftar setelah melalui proses, diperiksa, dan dinilai oleh Bank Indonesia melalui beberapa aspek. Mulai dari teknologi tanda tangan digital yang disediakan, bagaimana manajemen risiko informasi, kondisi keuangan sampai dengan transaksi yang dilakukan.
“Setelah terdaftar di BI, orang jadi bisa tahu bahwa tanda tangan digital dari PrivyID ini bukan sekedar oret-oret di tablet karena diawasi oleh regulator sekelas bank Indonesia. Banyak perusahaan fintech atau tanda tangan digital mengklaim mereka yang paling ini paling itu. Tapi pada akhirnya kan kita butuh pihak ketiga yang netral untuk menilai, dan Bank Indonesia sangat kompeten menilai perusahaan fintech dari penunjangnya,” ujar CEO PrivyID Marshall Pribadi.
Tanda tangan digital sejauh ini diproyeksikan sebagai kunci atau identitas di internet yang akan melindungi akun atau memverifikasi keaslian seseorang/lembaga. Dengan Bank Indonesia yang mulai mengakui tanda tangan digital bukan tidak mungkin ke depannya para penyedia layanan teknologi finansial bisa memulai terobosan untuk memanfaat tanda tangan digital untuk lebih menjamin keamanan transaksi yang ada.
Aturan tandan tangan digital sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam UU ITE. Dan langkah BI dengan mengakui tanda tangan digital bisa menjadi awal yang baik untuk implementasi ke depannya.
Bank Indonesia (BI) baru saja merilis aturan baru mengenai uang elektronik yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/6/PBI 2018 sekaligus merevisi laporan sebelumnya. Aturan baru ini diharapkan bisa memastikan penyelenggaraan uang elektronik yang aman, efisien, lancar dan andal.
Dikutip dari Detik, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Onny Wijanarko menjelaskan ada 15 pokok aturan yang disesuaikan. Beberapa poin yang diatur seperti prinsip penyelenggaraan uang elektronik, uang elektronik open loop dan closed loop, dan juga pengelompokan izin jasa sistem pembelajaran.
Aturan baru ini juga mendefinisikan mengenai modal minimal yang disetor, komposisi saham, representasi dan jaminan, fit and proper test, kepemilikan tunggal, holding period, dana float, cross border, transaction, limit uang elektronik dan beberapa lainnya.
Di peraturan baru ini jumlah dana float diatur dengan closed loop di angka 1 miliar Rupiah. Penyelenggara jasa sistem pembayaran dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni front end dan back end.
Untuk kelompok front end meliputi penerbit, acquirer, payment gateway, dompet elektronik dan transfer dana. Sedangkan untuk kelompok back end meliputi prinsipal, switching, kliring dan penyelenggara penyelesaian akhir. Pengelompokan ini didesain untuk menghindari monopoli.
Aturan lain yang baru ada di PBI yang baru ini adalah aturan mengenai modal disetor LSB. Ketentuan yang diterapkan adalah modal yang disetor dibatasi 3 miliar Rupiah dengan 51% saham dimiliki oleh WNI atau Badan Hukum Indonesia.
Soal saldo, BI juga melakukan beberapa pembaruan soal batas. Untuk unregistered (identitas tidak terdaftar dan tidak tercatat pada penerbit) BI menaikkan batas maksimal menjadi 2 juta Rupiah. Sedangkan untuk pengguna registered (identitas terdaftar dan tercatat pada penerbit) batas maksimal tetap di angka 10 jutaRrupiah.
Poin-poin baru di aturan PBI juga ada merangkum kategori larangan. Poin tersebut meliputi larangan penerapan saldo minimal sebagai persyaratan penggunaan atau pengakhiran, menahan atau memblokir uang elektronik secara sepihak, mengenakan biaya pengakhiran penggunaan, dan juga menghapus, mengubah atau menghilangkan nilai uang elektronik ketika masa berlaku media UE berakhir.
Melalui artikel terdahulu yang bertajuk “Mengenal Cryptocurrency dan Mekanisme Transaksinya”, DailySocial mengulas konsep dasar cryptocurrency dan cara kerja blockchain sebagai salah satu aplikasinya. Dari ulasan tersebut disimpulkan, bahwa secara umum blockchain memberikan beberapa manfaat ketika diterapkan dalam sebuah proses bisnis. Pertama, sifatnya yang terdesentralisasi dapat memperluas akses keuangan karena tidak terbatas adanya perantara dalam proses transaksi. Hal ini sekaligus menghadirkan efisiensi karena tidak ada batasan waktu dan tempat dalam operasinya.
Kedua, menciptakan solusi keuangan dengan biaya transaksi yang lebih murah –jika dibandingkan dengan rate transaksi konvensional—dengan tetap mengedepankan keamanan transaksi. Sifat mata uang crypto yang tersusun dari algoritma rumit (terenkripsi) dan divalidasi oleh jaringan yang mengusung membuat blockhain dinilai sangat aman. Dengan keunggulan tersebut, diharapkan bisnis perbankan akan menjadi yang paling merasakan disrupsi blockchain, terlepas dari penerapan riil saat ini yang masih terbatas.
Menurut Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eny Panggabean, penerapan blockchain di sektor finansial publik di Indonesia dapat didesain menjadi beragam bentuk. Misalnya untuk mendukung layanan pembayaran lintas negara (cross-border payment) dan remitansi melalui private blockchain. Selain yang merujuk langsung pada transaksi finansial, Eny turut menyampaikan beberapa skenario lain yang dapat didorong melalui blockchain, misalnya mencatat kepemilikan tanah, membantu rekap perdagangan saham, hingga merekam obligasi pemerintah.
Ettienne Reinecke, CTO Dimension Data Group, turut memberikan contoh penerapan blockchain yang dirasa cukup visioner dengan perkembangan digital, yakni mendukung bisnis Internet of Things (IoT). Dalam IoT platform berjalan secara real-time, pebisnis akan menghasilkan jutaan transaksi yang dikumpulkan dari mesin yang terdistribusi. Log yang dihasilkan akan sangat banyak. Jika sistem tersebut menerapkan model transaksional dan harus dikelola secara tersentralisasi, menggunakan middleware sebagai perantara, kemungkinan besar sistem akan menjadi lambat dan mahal.
Mengenal risiko
Di balik sifatnya yang terdesentralisasi, modal blockchain juga menghadirkan beberapa risiko yang perlu dicermati. Sistem berbasis blockchain tergolong sangat “bebas”, artinya tidak ada jaminan perlindungan konsumen seperti dalam proses yang tersentralisasi (misalnya Bank Indonesia sebagai regulator). Semua transaksi dikelola di ranah publik, sehingga privasi data konsumen juga terancam tidak terjaga baik. Di luar sistem, blockchain juga memungkinkan terjadinya kegiatan kriminal, seperti pencucian uang dan pendanaan untuk kegiatan terorisme –pihak berwenang akan sulit untuk melayak atau mengontrol kegiatan transaksi tersebut.
Salah satu tugas utama negara dalam sektor keuangan ialah menjaga stabilitas sistem yang ada. Jika blockchain tidak diregulasi, besar kemungkinan akan terjadi disrupsi yang mengganggu sistem. Kebijakan sentralisasi yang ada saat ini selalu menitikberatkan kebijakan moneter dari aturan yang dirilis Bank Indonesia. Untuk itu jika memang ke depannya akan dimungkinkan penerapan blockchain secara masif, sejak sekarang perlu ada banyak hal yang dilakukan, khususnya untuk pihak yang berkepentingan meregulasi sistem moneter di negara.
Hal krusial yang tidak pertama dilakukan ialah adanya uji coba dan melakukan pembuktian dari keandalan yang ditawarkan oleh blockchain ain. Dari situ, pemerintah perlu menyesuaikan regulasi dan menyusun aturan untuk penegakan hukum sebagai payung penyangga sistem yang berjalan, misalnya guna mencegah kegiatan pencucian uang atau korupsi. Lalu, harus ada tata kelola, manajemen risiko, dan standardisasi operasional yang kuat, tujuannya untuk menghindari fragmentasi pasar. Untuk membangun sistem blockchain sebenarnya juga diperlukan investasi yang tidak sedikit, sehingga perlu dilakukan kajian mendalam soal ROI (Return of Investment) dari penerapannya.
Studi kasus penerapan blockchain di Indonesia dan dunia
Bank Central Asia (BCA) mengklaim saat ini sudah menggunakan teknologi blockchain untuk aktivitas operasional di internal perusahaan. Visi dari penerapannya ialah untuk mempercepat transaksi pembayaran, mengurangi kompleksitas transaksi di back-office. Selain itu juga ada POS Indonesia, perseroan ini mengembangkan sebuah sistem bernama “Digiro.in”, yakni penerapan blockchain untuk layanan multicurrency atau lebih tepatnya ialah untuk evolusi layanan giro yang menjadi salah satu model bisnis yang diterapkan POS Indonesia.
Ada juga Digital Artha Media Corporation (DAM Corp), sebuah perusahaan fintech-enabler beroperasi di Indonesia yang mencoba mengembangkan solusi white labelblockchain untuk membantu perusahaan di bidang finansial. Solusi yang ditawarkan diklaim mampu membantu perusahaan dalam melakukan transisi dari model bisnis tersentralisasi menjadi terdesentralisasi. Sebuah startup asal Singapura juga baru mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Bernama Veiris, startup tersebut mengusung teknologi visual komputer berbasis blockchain guna membantu korporasi menyelesaikan proses Know Your Customer untuk meningkatkan engagement dengan para mitra.
Di luar negeri, blockchain juga sudah mulai terealisasi. Misalnya di Kanada, Royal Bank of Canada (RBC) sudah mengembangkan sebuah sistem berbasis Distributed Ledger Technology (DLT) yang diberi nama Hyperledger. Penerapannya sudah diaplikasikan untuk membantu transaksi dengan cabang bank di wilayah Amerika Serikat dan Kanada. Menariknya, Hyperledger didesain secara terbuka, melalui mekanisme tertentu institusi perbankan bisa terhubung ke dalamnya. Di Singapura, Bank Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC) menerapkan blockchain untuk membantu memuluskan transaksi antar kantor Cabang di Singapura dan Malaysia. Dengan suksesi tersebut, diklaim membuat proses transaksi hanya memakan waktu maksimal 5 menit.
Pendapat para pakar soal implementasi blockchain
Dalam sebuah kesempatan diskusi di sesi #SelasaStartup yang diselenggarakan DailySocial, salah satu pemateri Country Blockchain Leader IBM Indonesia, Juliandri Jenie, menerangkan lebih lanjut seputar implementasi blockchain di beberapa bidang. Di awal presentasinya ia menunjukkan tentang ambisi Spotify membawa blockchain di industri musik digital. Pada bulan April 2017 lalu, Spotify mengakuisisi sebuah startup blockchain bernama Mediachain Labs. Tujuannya Spotify ingin menghadirkan sebuah mekanisme perhitungan dan pembayaran royalti yang lebih adil untuk pencipta musik. Keunggulan blockchain yang ingin dikembangkan ialah untuk melacak melacak siapa pencipta lagunya, judul lagu yang sudah diciptakan, dan sebagainya, sehingga royalti dapat didistribusikan dengan lebih tepat juga.
Untuk di Indonesia Janie menjelaskan ada beberapa bidang yang dapat dioptimalkan dengan blockchain, salah satunya di bidang supply-chain. Menjelaskan soal aplikasinya, ia menuturkan:
“Blockchain akan sangat terasa manfaatnya untuk perusahaan supply chain. Keuntungan yang bisa mereka rasakan adalah peningkatan visibilitas informasi logistik dan dokumentasi di seluruh rantai pemasok. Keuntungan lainnya termasuk mengurangi biaya dan risiko melalui otomasi, pelacakan yang dapat diukur dan aman terhadap risiko fisik dan kejadian dalam rantai pasokan, serta memungkinkan terciptanya model bisnis baru.”
Menjelang akhir tahun lalu, DailySocial turut hadir dalam konferensi blockchain internasional di Bali. Di sana beberapa ahli menyampaikan ide dan penemuannya soal pemanfaatan blockchain di tingkat lanjut. Salah satu praktisi blockchain yang hadir adalah Chief Scientist CyberMiles Michael Yuan. Dalam presentasinya ia menjelaskan bagaimana bisnis e-commerce dapat terbantu dengan teknologi blockchain, misalnya untuk menghadirkan efisiensi dalam manajemen identitas, termasuk membantu mewujudkan sistem pelacakan dan keaslian produk, karena semua data bisa disimpan di dalam blockchain dan disinkronisasikan ke semua jaringan. Solusi seperti itu dinilai bisa merevolusi kembali bisnis dan teknologi e-commerce.
Menurut Matej Michalko, CEO Decent, di konferensi yang sama, blockchain dinilai dapat menjadi solusi dari masalah menaun yang menghantui industri konten, yakni pembajakan. Dengan sistem blockhain, para kreator dengan mudah menjual dan mendistribusikan konten ke para penikmat konten secara langsung dengan mekanisme yang disebut dengan “data exchange”. Bayangkan jika sebuah konten dapat didistribusikan dengan enkripsi dan identitas yang unik untuk setiap penikmatnya. Ketika terjadi distribusi di luar ketentuan, pelacakannya akan lebih mudah atau bahkan menjadi mustahil lantaran sistem enkripsi yang diterapkan.
Bank Indonesia sebagai regulator
Sebagai langkah preventif, Indonesia perlu segera menyusun kebijakan baku soal blockchain. Perkembangannya tidak terlihat, namun jika melihat tren teknologi yang ada sebelumnya yang memiliki perkembangan sangat cepat, Bank Indonesia menjadi komponen kunci di sini.
Pertama, dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, perlu diciptakan solusi pengaduan, penanganan, atau transparansi dalam setiap proses bisnis yang diterapkan.
Bank Indonesia juga perlu menjadi trigger terjadinya kolaborasi lintas otoritas, termasuk membangun kemitraan dengan pihak internasional mengingat cakupan blockchain tidak terbatas di suatu negara. Untuk mencegah dampak negatif dalam penyelenggaraan sistem pembayaran, perlu adanya ketetapan untuk menjamin kesetaraan di sistem pembayaran yang diaplikasikan. Yang terakhir, sekaligus paling esensial, Bank Indonesia perlu menjadi penentu skala prioritas. Teknologi boleh saja maju dengan tetap mempertimbangkan perkembangan, stabilitas, dan integritas ekonomi negara.
Menurut pemaparan Bank Indonesia dalam sebuah kesempatan, pihaknya membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses kajian penerbitan uang digital, kurang lebih akan selesai pada tahun 2020 mendatang. Tampaknya regulasi blockchain akan menjadi salah satu bagian di dalamnya.
Antusiasme blockchain di Indonesia sebagai sinergi tahap awal
Menyusul perkembangan blockchain yang ada di dunia dan di Indonesia, enam perusahaan blockchain lokal (Blocktech Indonesia, Blockchain Zoo, IndoDAX, Indonesian Blockchain Network, Luno, dan Pundi X) mendirikan Asosiasi Blockchain Indonesia.
Diketuai CEO IndoDAX Oscar Darmawan, asosiasi tersebut membawa sejumlah visi. Salah satunya ialah untuk mendorong kolaborasi antara pemangku kebijakan dengan pelaku usaha yang akan menggunakan blockchain dan cryptocurrency sebagai landasan teknologi.
Sebagai langkah awal, asosiasi juga telah menjadi bagian Kamar Dagang Indonesia (KADIN) untuk bersama-sama merumuskan program penyelarasan perkembangan blockchain dengan regulasi di Indonesia.
Bank Indonesia has selected PT Toko Pandai Nusantara to enter regulatory Sandbox. It is decided after considering the 8 criteria to be fulfilled by financial technology (fintech) players in accordance with Governor Board Regulation Number 19/14/PADG/2017 on Financial Technology’s Preliminary Space (Regulatory Sandbox).
Currently, there are 15 fintech players already registered in BI. They are Cashlez Mpos, Pay by QR, Bayarind Payment Gateway, Toko Pandai, YoOk Pay, Halomoney, Saldomu, Disitu, PajakPay, Wallezz, Lead Generation, Netzme, Mareco Pay, and iPaymu.
Toko Pandai has a B2B business model for merchants and distributors providing store, customer, and cash management feature, provides access to products, digital service, and financial products.
Onny Widjanarko, BI’s Department Head of Payment System Policy explained the regulatory sandbox is a safe trial space to test the fintech players along with its products, services, technology, and/or other business model.
“There are 25 [companies] already registered, which filtered into 15. Of those 15, a select company to enter regulatory sandbox is Toko Pandai,” he said on Monday (4/2).
In addition, after registered in BI, a fintech company (to be reviewed) should include the elements of the payment system, innovation, and fully equipped with risk identification and mitigation.
Regulatory sandbox mechanism
Companies entering the regulatory sandbox are required to apply the consumer’s safety, risk management, and prudential principles. They have to report to BI and follow the regulations.
The responsibilities are to provide facts and accurate data, information, and documents. Safety and reliability systems are used to run the preliminary products, services, technology, and/or business model in the regulatory sandbox.
During the regulatory sandbox implementation, BI will be assisting and reviewing. It will last for six months, but, if required, it’s open for one-time extension up to six months. The preliminary status set by BI.
Successful preliminary will be followed by licensing, otherwise, the product will be prohibited.
Widjanarko confirms other registered company that has conformed with the criteria will be next in the pipeline.
The regulation is to create a healthy fintech ecosystem to support continuous and inclusive national economy growth by keeping monetary and financial stability, safer, easier, efficient, and reliable payment system.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Bank Indonesia menetapkan startup fintech PT Toko Pandai Nusantara masuk ke dalam uji coba regulatory Sandbox. Perusahaan perdana ini dipilih BI setelah mempertimbangkan terpenuhinya 8 kriteria yang harus dipenuhi penyelenggara tekfin (teknologi finansial) sesuai dengan Peraturan Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial.
Terhitung saat ini terdapat 15 penyelenggara tekfin yang telah terdaftar di BI. Perusahaan yang telah terdaftar adalah Cashlez Mpos, Pay by QR, Bayarind Payment Gateway, Toko Pandai, YoOk Pay, Halomoney, Saldomu, Disitu, PajakPay, Wallezz, Lead Generation, Netzme, Mareco Pay, dan iPaymu.
Toko Pandai memiliki model bisnis B2B bagi toko dan distributor yang menyediakan fitur manajemen kas, pelanggan, dan toko, membuka akses ke produk, jasa digital, serta produk keuangan.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menerangkan regulatory sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji penyelenggara tekfin beserta produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis lainnya telah memenuhi kriteria tekfin.
“Yang daftar kurang lebih sampai hari ini 25 [perusahaan], yang sudah dicek terdaftar ada 15. Dari 15 itu yang sementara masuk regulatory sandbox adalah Toko Pandai,” kata Onny, Senin (2/4).
Dia melanjutkan agar dapat masuk ke dalam uji coba regulatory sandbox, selain harus terdaftar di BI, tekfin yang dapat diuji dalam regulatory sandbox merupakan tekfin yang mengandung unsur yang dapat dikategorikan ke dalam sistem pembayaran. Selain itu, mengandung unsur inovasi, dapat digunakan secara massal, telah dilengkapi dengan identifikasi dan mitigasi risiko serta hal lain yang dianggap penting oleh BI.
Mekanisme regulatory sandbox
Perusahaan yang masuk ke dalam regulatory sandbox, mereka berkewajiban untuk memastikan dilakukannya prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai. Mereka wajib menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara reguler maupun insentil sesuai dengan permintaan BI, serta menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun tanggung jawabnya kepada BI, perusahaan tersebut harus memberikan kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang disampaikan. Keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menjalankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba dalam regulatory sandbox.
Selama pelaksanaan uji coba dalam regulatory sandbox, BI melakukan pendampingan dan review sebagai dasar untuk menetapkan status hasil uji coba penyelenggara tekfin. Jangka waktu uji coba ditetapkan paling lama enam bulan namun bila diperlukan dapat diperpanjang 1x paling lama enam bulan.
Setelah jangka waktu uji coba habis selama enam bulan, BI akan menetapkan status hasil uji coba berdasarkan penilaian atas seluruh rangkaian kegiatan. Status hasil uji coba tersebut terdiri dari tiga, yaitu berhasil, tidak berhasil, dan status lain yang ditetapkan BI.
Apabila berhasil, dapat dilanjutkan dengan proses perizinan. Namun bila tidak berhasil, dilarang untuk memasarkan produknya.
Onny meyakinkan apabila ada perusahaan lainnya yang sudah terdaftar di BI dan bisa memenuhi kriteria untuk masuk ke regulatory sandbox, maka akan masuk dalam radar BI berikutnya.
Diharapkan ketentuan tersebut dapat mendorong ekosistem tekfin yang sehat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif, dengan tetap menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal.
Telkomsel’s e-money service TCash introduces QR Code payment feature after receiving Bank Indonesia’s approval. This feature, at the same time, indicates the shifting of company’s strategy that has been carrying NFC technology (Near Field Communication) for quite some time.
Danu Wicaksana, TCash’s CEO, said that EDC machine for NFC is considered too expensive and less efficient for the company’s business and should be distributed to merchants. The company is in need of a technology more efficient and effective to acquire more users and merchants. Hence the QR code is considered as the better payment method.
TCash has partnered with more than 5,000 merchants, 70% of which use EDC machines to capture transactions from NFC stickers embedded in user’s smartphones. The number of users has reached more than 20 million and it has processed more than 10 million monthly transactions on average.
“This year’s target is 8-10 thousand merchants to join TCash. Most of those will be for the QR Code implementation because it is the most efficient method to acquire merchants and users,” Wicaksono said, Tue (3/27).
The QR Code was first implemented in Pasar Modern Bintaro, then proceed to Pasar Mayestik by the beginning of this year. Of the two locations, TCash has been working with 300 merchants, mostly are SME players.
Furthermore, T-Cash will be massively targeting similar places in other locations along with partnerships between companies and the Jakarta Government to digitize the market using safer and easier digital payment methods.
“Therefore, if you went to Pasar Mayestik paying with TCash, now you can pay using QR Code. This is a form of our commitment to market digitization, later, we will invite small shops to join TCash merchants.”
Other than targeting retails and F&B, TCash also collaborates with transportation services. One of which is Trans Semarang for bus tickets payment with QR Code. The realization will begin next month.
TCash is claimed to be the first fintech company, along with two banks, that have acquired approval from Bank Indonesia (BI) for QR technology implementation. Until recently, QR Code standardization is yet to be available. T-ash joined as a member of the preparation and development team of standardized QR Code for fintech and banking companies in Indonesia.
Provide e-KYC for migration to full service
Along with this announcement, TCash now accommodates e-KYC service that comes with face-to-face validation through a video call. Users only have to fill in the bio, upload ID, take a selfie with the ID (KTP), and make a video call with TCash agent through the app. This service will be officially launched on April 1st, 2018.
Previously, user is required to come to Grapari and fill out documents to upgrade, then wait for at least one day before enjoying the full service.
“Users can now choose to make a video call or come to Grapari for upgrading into full service.”
By upgrading, customers can enjoy T-Cash’s main features of sharing funds (P2P), receiving, and withdrawing cash. The number of cash stored in any application must not over Rp10 million (full user) and Rp1 million for basic users.
TCash provides a variety of bill payment options for TV, internet, BPJS, PLN, PDAM, Halo postpaid, online game voucher purchase, and Telkomsel’s data and balance top-up.
There will be financial products available in the near future, including insurance, loans, and others. It will boost Tcash mission to be a one-stop service for all types of bill payments and non-cash purchases through mobile phones.
“To pamper our customers, we apply zero rates for the app usage. Means customers will be charged of zero data usage for all activities within the app. They only get charged for downloading the app. It’s free afterward,” Wicaksana said.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Layanan uang elektronik dari Telkomsel T-Cash resmikan fitur pembayaran lewat QR Code pasca memperoleh izin resmi dari Bank Indonesia. Kehadiran fitur ini sekaligus menandakan mulai beralihnya strategi perusahaan yang selama ini mengusung teknologi NFC (Near Field Communication) sebagai keunggulannya.
CEO T-Cash Danu Wicaksana menuturkan selama ini pengadaan mesin EDC untuk NFC dinilai terlalu mahal dan kurang efisien bagi bisnis perusahaan dan harus ditempatkan ke merchant. Oleh karena itu, perusahaan butuh teknologi yang dinilai lebih efisien dan ringkas agar dapat mendongkrak lebih banyak jumlah pengguna sekaligus merchant.
Sejauh ini T-Cash sudah bermitra dengan lebih dari 5 ribu merchant, 70% di antaranya menggunakan mesin EDC untuk menangkap transaksi dari stiker NFC yang disematkan di ponsel pengguna. Adapun jumlah penggunanya sudah lebih dari 20 juta pelanggan, memproses rata-rata lebih dari 10 juta transaksi bulanan.
“Tahun ini kami targetkan 8 ribu sampai 10 ribu merchant bergabung di T-Cash. Kebanyakan penambahan ini akan kami sasar untuk penggunaan QR Code karena metode ini paling efisien untuk akuisisi lebih banyak merchant dan pengguna,” terangnya, Selasa (27/3).
Implementasi QR Code pertama kali dimulai di Pasar Modern Bintaro, kemudian dilanjutkan ke Pasar Majestik yang dimulai sejak awal tahun ini. Dari dua lokasi tersebut, T-Cash telah menggandeng sekitar 300 merchant yang kebanyakan adalah pedagang UKM.
Berikutnya, T-Cash akan gencar menggaet tempat serupa di lokasi lainnya seiring kerja sama antara perusahaan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk digitalisasi pasar dengan memanfaatkan metode pembayaran digital yang lebih aman dan praktis.
“Jadi sekarang kalau mau ke Pasar Majestik bayarnya pakai T-Cash cukup dengan QR Code saja. Ini adalah bentuk komitmen kami untuk digitalisasi pasar, ke depannya kami akan gaet toko-toko kecil untuk jadi merchant T-Cash.”
Selain menyasar sektor ritel dan FnB, T-Cash telah teken kerja sama dengan penyedia jasa transportasi. Salah satunya adalah Trans Semarang untuk pembayaran tiket bus dengan QR Code. Realisasi kerja sama ini akan dimulai pada bulan depan.
Diklaim T-Cash adalah perusahaan fintech pertama, bersama dengan dua perbankan yang sudah mengantongi restu dari Bank Indonesia untuk implementasi teknologi QR. Secara regulasi, hingga saat ini standardisasi QR Code masih digodok oleh BI sehingga belum keluar aturan resminya. Untuk itu T-Cash bergabung sebagai tim persiapan dan pengembangan QR Code terstandardisasi untuk perusahaan fintech dan perbankan di Indonesia.
Sediakan e-KYC untuk migrasi ke full service
Selain mengumumkan fitur QR Code dalam upgrade aplikasi terbaru, T-Cash kini mengakomodasi layanan e-KYC yang dilengkapi dengan video call untuk validasi tatap muka. Pengguna hanya cukup mengisi biodata, mengunggah foto KTP, dan selfie dengan KTP, kemudian video call dengan agen T-Cash via aplikasi. Layanan ini bakal meluncur secara resmi pada 1 April 2018 mendatang.
Sebelumnya untuk upgrade ke full service, pengguna diharuskan untuk datang ke Grapari dan mengisi dokumen, lalu menunggu sampai satu hari kerja sebelum menikmati layanan dengan penuh.
“Pengguna kini bisa pilih mau video call atau datang ke Grapari untuk upgrade ke full service.”
Dengan upgrade layanan, pengguna bisa menikmati fitur utama T-Cash mulai dari berbagi dana (P2P), menerima, dan menarik tunai dana. Nominal dana yang bisa disimpan dalam aplikasi pun maksimal bisa mencapai Rp10 juta dibandingkan pengguna basic hanya Rp1 juta.
Dari segi fitur, T-Cash menyediakan berbagai opsi pembayaran tagihan mulai dari TV, internet, BPJS, PLN, PDAM, dan kartu Halo, pembelian voucher game online, dan pembelian pulsa dan data Telkomsel.
Ke depannya akan ditambah produk finansial untuk asuransi, pinjaman, dan lainnya untuk mewujudkan misi T-Cash sebagai one stop service untuk semua jenis pembayaran tagihan dan pembelian non tunai di ponsel.
“Untuk semakin memanjakan pelanggan, kami memberlakukan zero rate untuk penggunaan aplikasi. Artinya pelanggan tidak perlu membayar biaya penggunaan data untuk seluruh penggunaan aplikasi ini. Pelanggan hanya perlu menggunakan data saat pertama kali mengunduh aplikasi, setelahnya tidak dipungut biaya apa pun,” pungkas Danu.